• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyebaran Informasi dan Rangsangan Melalui Media Massa

HASIL PENELITIAN

9. Penyebaran Informasi dan Rangsangan Melalui Media Massa

Terjadinya tindakan kekerasan terhadap anak akibat pengaruh media elektronik khususnya film -film asusila, seperti terlihat dari wawancara dengan informan.

Kasus 2.

“..Malah kadang pernah menurut cerita orang dia suka menghidupkan video porno, kemudian mengajak anak – anak untuk menontonnya. Kebiasaan ini sudah banyak diketahui warga “

( RS )

“ Berdasarkan hasil putusan pengadilan pada NA, ZF memperkosa NA setelah dia menonton film seks di televise, pada saat itu NA sedang tidur di ruang tamu bersama dengan anaknya. Hal ini membuat gairan seksual ZF meningkat. Selain itu kondisi ZF yang sedang mabuk membuat dirinya tidak snaggup menahan nafsu.”

Berdasarkan data dari KPAI ( 2010) pelaku mengaku sebelum memperkosa mereka terlebih dahulu menonton video porno sehingga terangsang dan melakukan perkosaan. Dampak video porno bagi anak sangat buruk, terutama bagi anak – anak dibawah umur, apakah itu anak yang menjadi korban maupun pelaku. Dampak yang ditimbulkan dari peredaran video porno tersebut telah merusak jutaan moral anak bangsa. Di Indonesia masih sangat mudah mengakses video porno tersebut baik melalui handphone dan internet.

5.3. Jenis Tindakan Kekerasan Seksual pada Anak

Berbagai jenis tindakan kekerasan seksual pada anak dirasakan oleh korban.. Seperti terungkap dari hasil wawancara dengan informan.

Kasus 1.

“Tiba-tiba saya terbangun dan tersentak karena mulut saya sudah disumpal dengan kain dan tangan sudah mau diikat, saya berusaha untuk melawan tapi tidak mampu karena tangan saya sudah diikat dan saya tidak sanggup melawan dan meminta tolong. Kemudian abang ipar langsung menurunkan celana saya tapi tidak membuka semuanya. Kemudian abang menindih badan saya dan terjadilah perkosaan tersebut dengan kasarnya..”

(NA) “Pada saat itu dia berdua dengan ayahnya diajak oleh ayahnya pergi ke gubuk yang dekat tambak untuk mencari anak udang, sekitar jam 8 malam, sesampai di sana ayahnya langsung membuka celana dia, tapi pada saat itu dia sudah mengatakan “jangan” sama bapaknya. Tapi bapaknya menjawab jangan ribut, nanti orang-orang bisa dengar. Kemudian ayahnya langsung memasukkan alat vitalnya ke dalam kemaluan korban, setelah sekira 5 menit ayahnya mencabut alat vitalnya dan menumpahkan maninya ke lantai.”

(RT) Kasus 2

“Dia cerita – cerita dulu. Kemudian dia kasih duit untuk saya lima ribu rupiah. Kemudia baru dia duduk disamping saya dan mencium saya. Dia bilang jangan ribut, kalau ribut nanti orang – orang bisa tahu. Kalau orang tahu kami bisa kami dipukul oleh orang. Setelah itu dia membuka kain sarungnya. Dan menyuruh saya memegang dan mengisap kemaluannya

(BD)

Poerwandari dalam Fuadi (2011) mendefinisikan kekrasan seksual sebagai tindakan yang mengarah kejakan/desakan seksual seperti menyentuh, meraba, mencium atau melakukan tindakan – tindakan lain yang tidak dikehendaki oleh korban. Tindakan – tindakan ini meliputi memaksa korban menonton produk

pronografi, gurauan – gurauan seksual, ucapan – ucapan yang merendahkan dan melecehkan dengan mengarahkan pada aspek jenis kelamin/seks korban, memaksa melakukan hubungan seks tanpa persetujuan korban dengan kekerasan fisik maupuntidak; memaksa melakukan aktifitas – aktifitas seksual yang tidak disukai, merendahkan, menyakiti atau melukai korban.

Kekerasan fisik dalam tindak kekerasan seksual yang dialami korban (NA) oleh abang iparnya menyebabkan korban tidak mampu melawan dan meminta tolong. Korban diikat, disumpal mulutnya, membuka celana secara paksa, dan menindih korban sehingga korban benar-benar tidak berdaya. Bahkan tindakan tersebut dilakukan berulangkali oleh pelaku pada korban sehingga korban hanya bersikap pasrah menerima perlakuan korban. Walaupun korban meronta-ronta dan menangis tetapi pelaku tidak menghiraukannya bahkan memiliki kecenderungan semakin ganas memperkosa korban.

Pada kasus BD tindak kekerasan seksual yang dilakukan oleh kek AL berupa bujuk rayu menyebabkan korban masih mau kembali mendatangi rumah korban sehingga terjadi perkosaan sebanyak 3 kali. Selain itu, ancaman pelaku membuat korban takut untuk memberitahu kepada orangtuanya.

5.4. Dampak Tindakan Kekerasan Seksual pada Anak

Akhir-akhir ini intensitas kekerasan terhadap anak semakin meningkat. Adanya berbagai tindak kekerasan menyebabkan korban anak dalam jumlah yang cukup banyak. Akibat adanya berbagai tindak kekerasan, anak mengalami gangguan

perkembangan baik secara fisik maupun secara psikologi. Anak yang menjadi korban perkosaan atau keluarganya, kerap kali tidak tahu apa yang harus dikerjakan atau segan mengusahakan penyelesaian permasalahan itu, karena kurang/tidak mempunyai pengetahuan, dana, keberanian, dan harapan; Mungkin juga karena adanya anggapan bahwa kejahatan perkosaan yang menimpa diri anak sudah nasibnya. Berbagai dampak akibat kasus tindakan kekerasan seksual (perkosaan) yang dialami anak adalah sebagai berikut:

1. Hamil

Kehamilan merupakan dampak yang sering terjadi pada kasus tindak kekerasan seksual. Pada dua kasus yang diteliti, kasus pertama NA mengalami kehamilan, sedangkan pada kasus BD korban tidak hamil. Kehamilan yang dialami oleh korban 1 seperti terungkap dari hasil wawancara dengan informan

Kasus 1.

“Dua bulan setelah perkosaan saya sudah merasakan pusing-pusing, sering mual, dan muntah-muntah.”

(NA) “Ada warga yang melaporkan kepada kami. Kalau si NA sudah hamil.”

”Kan perutnya sudah membesar, kalau tidak salah sudah masuk 5 bulan waktu itu. Masyarakat sering melihat kalau dia sedang bermain sering muntah-muntah dan kadang-kadang sudah pusing.”

(AY)

Dampak yang muncul dari kekerasan seksual pada anak kemungkinan adalah depresi, fobia, dan mimpi buruk, curiga terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Ada pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan

akibat dari perkosaan, kehamilan yang tidak diinginkan. Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri (Sulistyaningsih & Faturochman, 2002).

Kehamilan akibat perkosaan tidak hanya menimbulkan penderitaan fisik, mental dan sosial bagi korban, tetapi juga sangat bertentangan dengan hak-hak reproduksinya. Kehamilan tersebut akan membawa dampak negatif bagi korban yakni mengalami penderitaan secara fisik, mental dan sosial. Korban mengalami trauma psikologis dan merasa tidak berharga lagi di mata masyarakat (Wangi, 2012).

Dalam kasus tindak kekerasan seksual pada korban (NA) telah terjadi kehamilan tanpa disadari dan diketahuinya. Dua bulan setelah perkosaan korban sudah merasakan pusing-pusing, sering mual, dan muntah-muntah, tetapi korban tidak tahu kalau itu tanda-tanda orang hamil. Pendidikan yang kurang serta korban mengalami retardasi mental menyebabkan dirinya tidak mengetahui bahwa dirinya hamil akibat perbuatan perkosaan yang dilakukan oleh abang iparnya. Bahkan warga masyarakat mengetahui korban sudah hamil lima bulan dengan kondisi perut yang membesar (buncit).