• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V ANALISA DATA

5.2. Hasil Temuan

5.2.2. Informan Utama

Nama : Rizky Pratam Silaen Usia : 11 Tahun

Alamat : Tinggal dijalanan simpang Juanda (nomaden) karena jauh dari keluarga

86 Suku : Batak Mandailing Asal : Rantau Prapat

Pendidikan : 2 SMP (Putus Sekolah) Pekerjaan : Anak Jalanan ( Pengangguran) Agama : Islam

Awalnya peneliti meminta izin dengan Manager Operasional Yayasan KKSP yaitu Bapak Syamsul untuk melakukan wawancara dengan anak jalanan dampingan mereka. Setelah mendapatkan izin saya menemui Bang Biar selaku staf KKSP sebagai koordinator lapangan rumah belajar di jalan Bridgen Katamso. Kemudian peneliti mulai membuat janji menentukan waktu untuk terjun langsung kelapangan untuk mewawancarai anak jalanan dampingan KKSP Medan. Tibalah waktu dimana yang sudah di sepakati sebelumnya denga Bang Biar sampai lah kami dilapangan. Pada siang dini hari dengan cuaca yang cukup terik. Peneliti bertemu dengan anak jalanan. Beberapa dari mereka ada yang sedang berisitirahat duduk dipinggiran toko orang, ada juga yang sedang menikmati santap makan siang dengan sebungkus nasi yang itu dimakan bersama 3-4 anak dan ada juga beberapa dari mereka ada yang sedang melakukan aksi nya saat lampu merah yaitu mengamen. Saat itu Bang Biar menunjuk beberapa anak jalanan yang dapat diwawancarai salah satunya Rizky. Bang biar pun mengemukakan alasannya dikarenakan bahwasannya kalau si Rizky ini mampu bertutur kata dengan baik.

Peneliti pun mulai menghampiri Rizky yang sedang duduk bersantai menikmati teriknya matahari mengipaskan wajahnya dengan sebuah topi. Disaat Bang Biar menjelaskan apa maksud kedatangan kami, awalnya Rizky menolak untuk diwawancarai dikarena kan ada rasa malu dan takut. Setelah peneliti mulai

87

memperkenalkan diri dan mencoba menjelaskan dengan baik akhirnya Rizky bersedia untuk diwawancarai. Hal pertama yang di tanyakan oleh peneliti adalah apa faktor penyebab Rizky menjadi anak jalanan, Rizky mengatakan faktornya adalah ekonomi. Dan Rizky pun menuturkan, “Kalau awak sendiri lah ya kak awalnya itu memang faktor ekonomi di bawah rata-ratalah kak”. Lalu ketika peneliti menanyakan apakah Rizky masih sekolah, Rizky kembali menuturkan, Awalnya sekolah kak tapi udah engga lagi berhenti di kelas 2 SMP. Karena pas SMP awak udah liar kak. Aturannya tahun inilah tamat kak.”

Saat di tanyakan kembali apakah tidak ada niat meneruskan atau melanjutkan sekolah lagi, kembali Rizky menjawab sambil bercanda,

“Alhamdulillah belum ada kak, sempat terpikir ada cuma terlalu jauh untuk memulainya kembali kak jadi jalani apa yang ada sekarang ajalah kak.”

Peneliti kemudian kembali menanyakan bagaimana sampai pada akhirnya Rizky bisa sampai di jalanan dan tidak mau pulang kerumah, Rizky mengatakan bahwa prosesnya itu panjang penuh dengan lika liku dan berjuang hidup sendiri dari Rantau Prapat ke Medan. Rizky menuturkan, “awak bisa sampai kesini sulit dicertakan lah kak panjang kali lebar kalau di ceritakan. Awak dari Rantau Prapat ke Medan penuh perjuangan berbulan-bulan dijalanan sendirian numpang naik truk, jalan kaki, naik angkot semualah kak. Sampai pernah habis duit awak ngamen lah kak. Tinggal pun lompat-lompat terus kenal-kenalan sama abang-abangan awak dari simpang ke simpang. Ya udah sampailah awak disini kak.”

Saat peneliti menanyakan sering tidak Rizky pulang ke rumah dan bagaimana respon keluarga mengetahui Rizky menjadi anak jalanan, Rizky

88

menjawab, “udah tiga tahun aku kak gak pernah lihat muka orang tua gak tau lagi akupun kak kabar orang itu cemana, akupun mau ngabari orang itu gak tau cemana hp gak punya nomor hp orang itu yang bisa dihubungi pun aku gak tau. Jadi orang itu mana tau kak aku kaya mana tinggal dimana. Paling kalau apa akulah pulang ke ranto cumakan mau kesana pake biaya terus pun aku mau pulang kesana mau apa cuma jadi beban aja.”

Rizky merasa dirinya hanya menjadi beban keluarga, baginya dia tidak dapat membantu keluarganya. Dia merasa lebih baik jauh dari keluarga. Rizky lebih memilih berada dijalanan, baginya kehidupannya yang sekarang sudah nyaman apalagi sudah memiliki teman seperjuangan. Rizky bersama teman- temannya bisa hidup bebas ketika mereka tidak memiliki uang untuk makan mereka langsung turun ke jalanan untuk mengamen agar mendapatkan uang. Apalagi penghasilan yang didapat cukup lumayan. Hal itu Rizky utarakan saat peneliti menanyakan apa saja kegiatan di jalanan, “kegiatan kami dijalanan ya cuma ngamen lah kak, ngamen dari jam 7 pagi sampe jam 8 malam kalau lagi datang rajinnya ya kak. Alhamdulillah untuk diri sendiri mencukupilah kak, biasa sehari paling sedikit kotornya 50 ribu untuk makan 3x, paling banyak 80-100ribu perhari.”

Peneliti melanjutkan pertanyaan kepada Rizky apakah pernah terjaring razia, kalau pernah apa saja yang mereka lakukan tehadap kalian dan bagaimana perlakukan aparat negara terhadap anak–anak jalanan? Rizky menjawab, “kalau itu jangan di tanyalah kak. Pasti hampir setiap anak jalanan rata–rata pernah ngalami itu. Aku pernah kak sekali kena, tapi gak diapa-apain kok kak Cuma itulah kadang ngomong nya mau agak keras tapi gak pernah dipukuli kareana itu

89

semua tergantung kita kak, gak akan orang keras kalau kita gak salah dan melawan ibarat lembu kan. Main tangkap memang main tangkap tapi sampai disana diarahkan. Tapi aku ditahan paling lama satu hari satu malam aja habis itu dibebaskan, cuma dikasih pembinaan gak disuruh ngapa–ngapain. “

Pada saat Rizky menungkapkan pengalamannya diatas, kemudian peneliti menanyakan apakah Rizky memakai narkoba atau pernah melakukan tindakan kriminal yang melanggar hukum? Rizky menjawab, “kalau aku narkoba ganja sabu gak pake kak ngelem pun aku engga cuma aku rokok ajalah tapi abang– abangan aku banyak, sering aku ditawari cuma masih gak mau aku kak. Sayang duitnya untuk kaya gitu. Mungkin inilah salah satu faktor aku gak make karena gak ada duit barangnya mahal pula itu. Kalau untuk tindakan kriminal gak pernah juga kak. “

Peneliti menanyakan lagi apakah saat ini Rizky memiliki kartu identitas seperti KTP, Kartu pelajar atau akte kelahiran? Rizky menuturkan, “ kalau akte aku ada kak tapi sama mamakku makanya aku dulu bisa sekolah, tapi kalau KTP sama kartu pelajar gak punya karena aku kan berhenti dari sekolah gitu aja. Semenjak pisah sama orang tua umurku belum 17 tahun jadi belum di urus. Jadi kalau sekarang gak punya apa–apa.”

Ketiadaan tanda pengenal atau identitas diri ini yang membuat Rizky sulit merasakan pelayanan gratis seperti puskesmas dan akses untuk melamar pekerjaan. Hal ini ditanyakan kepada Rizky oleh peneliti mengenai apakah Rizky pernah melamar pekerjaan dan bagaimana hasilnya? Rizky menuturkan, “aku gak pernah melamar kerja kak paling dulu sebelum tinggal dijalanan waktu pas masih

90

perjalanan kemedan aku pernahlah jadi–jadi kuli bangunan itupun cuma beberapa hari udah dapat uang untuk ongkos aku pergi pidah lagi.”

Rizky tidak pernah merasakan pelayanan publik secara gratis bahkan ia tidak tahu sama sekali apa saja pelayanan itu, misalnya pengobatan di puskemas gratis. Saat peneliti menanyakan disaat Rizky sakit bagaimana cara Rizky mengobatinya? Rizky mengatakan, “ Alhamdulillahnya aku gak pernah sakit kak. Paling adalah satu dua orang kalau sakit yang penting istirahat satu harilah paling gak kerja sama minum obat udah sembuh tapi memang kami jarang sakit kak. Kalau pun parah kali terus dia masih ada keluarganya disini ada identitasnya kami bawa kekeluarganya lah kak. Tapi kalau soal pelayan dari pemerintah aku taunya dari KKSP kalau kami sakit orang itu bisa bawa kami ke puskesmas itulah gunanya KKSP bagi kami kak.”

Rizky dan kawan–kawannya merasa tidak ada yang perduli dengan mereka terutama pemerintah. Mereka mendapatkan rasa peduli itu hanya melalui teman–teman sekomuitasnya. Tetapi walaupun begitu Rizky dan kawan–kawan tidak pernah mendapatkan perlakuan buruk yang berlebihan dari aparat negara dan masyarakat hanya saja berupa perkataann yang kasar dan makian dari masyarakat kerap kali mereka terima. Dan Rizky juga tidak pernah merasakan bantuan dari pemerintah,“ Kalau dapat bantuan dari pemerintah kami gak pernah kak, tapi kalau dari masyarakat yang mempunyai jiwa demarwan pernah kak. Kami dipanggil dibagi–bagiin nasi sama uang.” Ada kalanya Rizky merasa termarginalkan menjadi bagian yang terekslusi dari masyarakat. Hal ini Rizky utarakan saat peneliti menanyakan apakah Rizky merasakan termarginalkan, terasing dan terekslusi dan apa harapannya Rizky untuk pemerintah dan

91

masyarakat. “Terkadang ada kak merasa kami ini berbeda tapi itulah gunanya kawan seperjuangan kami, ada abang–abangan yang bisa dibilang senior lah kak yang mengingatkan kami bahwa kami harus dipandang sebagai manusia. Dengan cara kasih sayang mereka yang mendidik saya dan melindungi saya karena saya pula paling kecil disini. Harapannya yaitu tadi kak anggaplah kami ini manusia. Gini kak ibarat HP, HP itukan ada casingnya kan kak jadi masyarakat itu nilai kami kaya HP kadang casingnya jelek rusak tapi isinya masih bagus, jadi susah kak. Karena orang itu berpikir kami ini benalu beban jangan dibilang kita sampah terkecuali kami main di jalanan ini mencuri membuat onar. Kami turun kejalanan ini menjual opini kami sendiri, kami menghasikan uang dari keringat kami sendiri kami tidak selalu mengangkat tangan kak.”

Nama : Bayu Davino Simanjuntak Usia : 15 tahun

Alamat : Tinggal dijalanan beberapa simpang di kota Medan ( Simpanng Juanda dan Simpang Pantura) Suku : Batak Toba

Asal : Aekanopan Pendidikan : SMK ( Tamat)

Pekerjaan : Anak Jalanan ( Pengangguran) Agama : Islam

Setelah selesai mewawancari Rizky peneliti beralih ke informan lainnya. Kali ini informan yang ini di wawancarai Bayu namanya. Saat itu Bayu yang baru selesai mengamen langsung peneliti hampiri meminta izin apakah Bayu mau untuk diwawancarai seputar kehidupannya di jalanan. Dan Bayu bersedia

92

kamipun langsung memulai pembicaraannya. Mula–mula peneliti menanyakan pertanyaan hal yang sama kepada Bayu tentang alsaan atau faktor Bayu bisa turun ke jalanan. Bayu menuturkan “Gak ada kak faktor awalnya pengen bebas aja karena keluarga jugalah kak. Aku orang aekanopan kak Cuma keluarga udah lama pindah ke Medan itulah orang tua sibuk kerja, jadi aku pengen bebas. Aku disini sama adek sama ibu ngontrak di Mandala tapi bapak kerja diluar kota.”

Bayu yang aslinya orang aekanopan sudah lama pindah ke Medan bersama keluarganya disaat peneliti menanyakan pendidikan terakhir Bayu terakhir tinggal di aekanopan saat mengenyam dibangku Sekolah Dasar tetapi saat SMP Bayu sudah bersekolah di Medan dan pendidikan terakhirnya adalah SMK. Tetapi Bayu tidak berniat untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang perkuliahan. “aku sekolah udah tamat kak, SMK. Aku gak pengen kuliah tapi pengen les private, les musik.”

Peneliti kemudian menanyakan pertanyaan berikutnya mengenai apakah waktu Bayu lebih sering di jalanan atau sering pulang kerumah dan apa saja kegiatan Bayu di jalanan. Bayu menuturkan, “Lebih enak disinilah kak dijalanan sama kawan–kawan. Memang aku udah setiap hari di sini sebelum kedua orang tua aku yang jemput langsung aku gak mau pulang. Kegiatan aku ngamen– ngamen aja yang lain gak ada.” Penghasilan yang didapatkan dari hasil mengamen cukup lumayan, kali ini penghasilan Bayu lebih besar dibandingkan Rizky. Penghasilan yang pernah Bayu dapatkan dalam sehari pernah mecapai 500 ribu. Dan itu pun Bayu hanya mengamen dari jam 5 sore sampai jam 10 malam.

“aku jarang kak ngamen di jalanan aku lebih suka ngamen di cafe–cafe lebih banyak dia. Mulai dari jam 5 sore sampai jam 10 malam lah. Nanti rame–rame

93

sama orang ini kawan–kawanku. Kadang pernah penghasilan yang aku dapat terbanyak selama ngamen sampe 500 ribu tapi itukan kami bagi rata sama kawanku karena kalau kami ngamen di cafe ber group dia 2–3 orang tapi kalau sendiri biasa standart cepek, dua ratus gitu–gitulah kak.”

Bayu yang kerap kali mendapatkan perlakukan buruk dari masyarakat ketika sedang mengamen, hal itu baginya sudah seperti makanan sehari–hari yang sudah ia maklumi. Salah satu perlakukannya seperti dihina, diludahi, diusir dan lainnya. Ketika peneliti menanyakan bagaimana respon keluarga tentang dirinya yang sudah menjadi anak jalanan Bayu pun menuturkan, “orang tua udah tau kak aku tinggal dijalanan. Cuma orang itu gak mau datang jemput aku. Nanti orang lain disuruhnya tengokkan aku dibujuk–bujuk aku suruh pulang aku mana mau. Aku mau orang itu dua–dua yang datang samaku ngajak aku pulang. Sebelum orang itu ngajak aku pulang gak mau aku pulang. Cuma cemana bapak aku kerja di luar kota kapan dia pulang pun aku gak tau. Orang itu lebih milih pekerjaannya”

Bayu yang sebelum turun ke jalanan dia pernah beberapa kali tinggal mencoba melamar pekerjaan dibeberapa tempat. Salah satunya jadi sales, buruh kasar atau kuli. Hal dikarenakan pendidikan terakhirnya adalah SMK sampai tamat. Tetapi karena kejenuhan dan kebosannya dalam dunia pekerjaan seperti itu ditambah lagi dengan suasana keluarga yang kurang harmonis akhirnya Bayu memutuskan keluar dari rumah dan hidup bebas di jalanan. Bayu mengatakan,”kalau kerja udah capeklah kak semua pernah ku kerjakan, pernah kerja dipengeboran Pertamina yang di Binjai terus di perternakan Pekan Baru. Tapi aku bukan kerja di kantornya tpi di lapangan jadi kuli angkut. Akhirnya

94

memutuskan berhenti berat kali kerjanya capek, gajinya gak sebessar hasil keringat awak.”

Pada saat ditanyakan soal identitas diri seperti KTP atau kartu pelajar Bayu mengtakan tidak punya dikarenakan saat dia memutuskan untuk pergi dari rumah dia tidak membawa apapun. Sehingga peneliti menanyakan apakah kamu pernah merasakan bantuan dari pemerintah atau pelayanan publik? bagaimana ketika Bayu sedang sakit? Apakah pernah dibawa ke puskesmas gratis? Bayu menambahkan, “Alhamdulillah nya aku belum pernah sakit parah kak. Sakit pun aku jarang. Kalau untuk bantuan gak pernah juga. Aku tau sih kak kalau kami yang dampingan KKSP sakit bisa dibawa ke puskesmas gratis tapi harus ada identitas sedangkan aku gak punya. Tapi bisa di bantu sama orang KKSP juga katanya.”

Kembali lagi mengenai kehidupan Bayu di jalanan, Bayu mengatakan aku jarang kena razia kak kaerana aku gak terlalu liar dan bandal aku ke jalanan paling Cuma ngamen. Aku pun narkoba enggak. Ngelem-ngelem juga enggak. terus kalau malam kan ngamen ngamen di kafe-kafe jarang ada razia. Karena aku dijalan cuma mau bebas aja cari duit nikmati hidup ngumpul-ngumpul sama kawan. Tapi kalau untuk narkoba aku gak mau karena ada keluarga aku jugakan disini aku masih jaga itu.”

Peneliti kemudian menanyakan apakah Bayu merasa berbeda dan termarginalkan dengan anak lainnya? Bayu mengatakan, “gak sih kak biasa aja cuma paling kasih sayang lah yang gak kurasakan.”

Setelah memaparkan semua cerita pengalaman hidup Bayu di jalanan peneliti menyakan apa harapan Bayu kepada masyarakat dan pemerintah? Bayu

95

menuturkan,”harapannya kami mendapat perhatianlah dari pemerintah kasih kami bantuan–bantuan sama untuk masyarakat jangan kucilkan kami jadi pandang kami negatif jangan takut sama kami, kami hanya cari makan untuk bertahan hidup aja. Toh kami tidak mengganggu mereka kami hanya mengamen untuk dapat duit.”

Nama : Pide Manto Duru Usia : 17 tahun

Alamat : Jalan. Sari Teratai A Dusun 6 Marendal 1 Suku : Nias

Asal : Sipautar

Pendidikan : 5 SD ( Putus Sekolah) Pekerjaan : Pengamen

Agama : Kristen

Pide adalah nama pangilannya. Pada saat mewawancarai Pide, peneliti bertemu dengannya di Yayasan KKSP Medan yang saat itu peneliti sedang mewawancari Pak Syamsul selaku manager operasional yayasan KKSP Medan. Saat mewawancarai Pak Syamsul peneliti bertanya, “Pak siapa anak laki-laki itu?” saat itu Pide yang duduk di halaman bekalang yayasan sambil sedang meminum obat. Lalu Pak Syamsul menjawab, “ dia Pide anak dampingan KKSP yang tinggal disini, dia lagi sakit.” dan peneliti meminta izin untuk mewawancarinya. Pak Syamsul memberikan izin dan dia memperkenalkan peneliti dengan Pije. Pak Syamsul menjelaskan apa tujuan peneliti datang kesini. Dan Pide dengan senang hati bersedia untuk di wawancari. Karena dari belakang Pide sudah melihat dan mendengar wawancara peneliti dengan Pak

96

Syamsul.kemudia Pak Syamsul mempersilahkan kami untuk melakukan wawancara dengan meningglkan peneliti dan Pide agar Pide sebagai informan bebas dan terbuka dalam menceritakan kisah hidupnya.

Wawancara pun dimulai, ketika peneliti menanyakan apa faktor penyebab Pide menjadi anak jalanan dan apakah Pide masih mempunyai keluarga, Pide mengatakan alasannya adalah keluarga. Dulu bapak dan ibu Pide adalah pedagang penjual bumbu masakan didapur. Pide adalah anak pertama dari empat bersaudara. Dari dagangan itu keluarga Pide cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka walaupun pas-pasan. Tapi pada akhirnya ibu dan bapak Pide berpisah. Kemudian bapak Pide menikah untuk kedua kalinya namun pada akhirnya juga bercerai. Dan sampailah kepernikahan ketiga ini. Di tambah lagi adik Pide yang paling kecil hilang. Pide menjelaskan, “Pertama turun di jalan di tingal orang tua pas umur 7 tahun bapak mamak ku cere jadi kami di buangnya di jalanan terlantar. Aku hidup dijalanan udah dari tahun 2004. Jadi aku dijalanan sama adek aku dua orang yang nomor dua sama nomor tiga, adekku cewek yang paling kecil yang nomor ampat hilang tahun 2014 umur 11 tahun. Hilangnya di bawa kawan anak pengemis juga jadi di bawa lari main – main ntah kemana ya gak nampaklah.”

Pide yang sudah tidak bersekolah lagi sejak kelas 5 SD sudah putus sekolah karena ditinggal oleh orang tuanya, Pide menceritakan kepada peneliti saat peneliti menanyakan apakah Pide masih sekolah? Pije menjawab, “aku udah gak sekolah lagi putus sekolah kelas 5 SD bapak mamak cere hancurlah keluarga kami pun di biarkan di lantarkan ke jalanan. Kalau niat untuk sekolah lagi

97

kemaren udah ikut program KKSP yang ngejar paket Cuma gurunya gak enak masa gurunya yang nanya mau belajar apa sama mau di kasih tugas apa”

Setelah itu Peneliti bertanya apakah Pide sering pulang kerumah? Pide menjawab, “aku gak pernah lagi pulang kerumah. Udah lama aku gak pernah pijak rumah itu. Karena cemana lah bapak aku udah sama istri nya yang sekarang. Dia tiga kali nikah, sama mamak ku cere, mamakku orang mandailing boru nasution trus nikah lagi sama istri yang kedua, istri yang kedua ini baik orangnya masih mau peduli sama kami Nias Cuma itulah korupsi dia, korupsi uang belanja semua uang buku sama uang sekolah. Rupanya selama ini uangnya di simpannya sama tetangga ketauanlah di cerekan. Kawin lagi lagi bapak ku adalah cewek di ambilnya tamatan SMA lah gitu macem setan mukanya ini juga orang Nias. Pernah awak datang kerumah gak pernah dibukain pintu gak dikasih makan terpaksa awak turun ke jalanan.”

Pide sering bertemu dengan ayahnya di jalanan tetapi mereka seperti tidak saling mengenal, Pide menuturkan ketika peneliti bertanya bagaimana respon orang tua mengetahui kamu jadi anak jalanan?, “Dia tau aku di jalanan sering kok kami jumpa di Simpang Pos, bapak narik becak. Cuma ya itu kalau jumpa siapa dia siapa awak. Ya sangat sakitlah awak gak di anggapnya anak. Kadang gak di lihatnya awak udah berubah, terakhir kembali lagi kejalan yang sesat.”

Pide menceritakan kegitannya di jalanan hanyalah mengamen saja. Pide memulai mengamen biasanya mulai dari jam 7 malam. Dia jarang mengamen di siang hari. Karena dia pernah mendapatkan pengalaman pada waktu mengamen di siang hari, dia di tangkap oleh satpol PP. “kegiatan aku mengamenlah. Aku ngamen main malam kalau ngamen siang wajib tangkap satpol PP Pamong Praja

98

dari situ aku gak mau lagi. Aku ngamen di simpang Pemda simpah Pos. Kalau malam ngamen dari jam 7 malam sampai jam 3 pagi, main di kape – kape mie aceh. Penghasilanku 15-30 ribu perhari. Aku kalau pagi ya tidurlah di emperan.”

Ketika Peneliti menanyakan kepda Pije pernah atau tidak mendapatkan perlakukan buruk dari masyarakat atau pemerintah, Pije mejelaskan. “ Pernah aku ngamen di tangkap satpol PP pamong praja di pukuli aku. Awalnya aku ngamen dilampu merah simpang ringroad pasar 5. Jadi di tangkap sama satpol PP. Di tangkap di bawa ke kantor baru dipukuli jam jam 12 malam sama proposnya.

Dokumen terkait