• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

B. Mie Instan

Mie instan adalah produk makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan atau tanpa penambahan bahan makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas mie dan siap dihidangkan setelah dimasak atau diseduh dengan air mendidih paling lama 4 menit. Mie instan dibuat dengan penambahan beberapa proses setelah diperoleh mie segar. Tahap – tahap tersebut yaitu pengukusan (steaming), penggorengan (frying), dan pendinginan (cooling). Pada proses pembuatan mie instan diperlukan bahan utama dan bahan tambahan. Masing – masing bahan memiliki peranan tertentu seperti menambah bobot, menambah volume, atau memperbaiki mutu cita rasa

maupun warna. Salah satu bahan yang diperlukan adalah tepung terigu yang merupakan bahan dasar pembuatan mie ( Astawan, 2003).

2. Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan dalam memproduksi mie instan yaitu tepung terigu. Tepung terigu diperoleh dari biji gandum (Triticum vulgare) yang digiling. Tepung terigu berfungsi membentuk struktur mie, sumber protein dan karbohidrat. Kandungan protein utama tepung terigu yang berperan dalam pembuatan mie adalah gluten (Anonima, 2010 ).

Berdasarkan kandungan gluten ( protein ) tepung terigu dapat dibedakan 3 macam sebagai berikut :

a. Hard flour, tepung ini berkualitas baik kandungan proteinnya 12 – 13 %. Sifat elastisnya baik dan tidak mudah putus. Tepung ini biasanya digunakan untuk pembuatan : roti, pasta, mie berkualitas tinggi.

b. Medium hard flour, tepung terigu ini mengandung protein 9,5 – 11 %. Tepung ini banyak digunakan untuk pembuatan roti, mie, macam – macam kue, serta biskuit.

c. Soft flour, tepung terigu ini mengandung protein sebesar 7 – 8,5 %. Terigu ini cocok sebagai bahan pembuatan kue dan biskuit ( Anonima, 2010 ).

Kualitas tepung terigu dipengaruhi oleh moisture ( kadar air ), ash ( kadar abu) dan beberapa parameter fisik lainnya seperti water absortion, development time, stability dan lain – lain. Moisture adalah jumlah kadar air pada tepung terigu yang memperngaruhi kualitas tepung. Jika jumlah moisture melebihi standar maksimal maka kemungkinan terjadi penurunan daya simpan tepung terigu karena akan semakin cepat rusak, berjamur dan bau apek. Ash adalah kadar abu yang ada pada tepung terigu yang mempengaruhi proses dan hasil akhir produk antara lain : warna produk ( warna crumb pada roti ) dan tingkat kestabilan adonan. Semakin tinggi kadar ash semakin jelek kualitas tepung dan sebaliknya semakin rendah kadar ash semakin baik kualitas tepung. Hal ini tidak berhubungan dengan jumlah dan kualitas protein (Anonimb, 2010 ).

Parameter fisik yang mempengaruhi kualitas tepung terigu antara lain water absorbtion. Water absorbtion merupakan kemampuan tepung terigu menyerap air. Kemampuan daya serap air tepung terigu berkurang bila kadar air dalam tepung (moisture) terlalu tinggi atau tempat penyimpanan yang lembab. Water absorbtion sangat bergantung dari produk yang akan dihasilkan, dalam pembuatan roti pada umumnya diperlukan water absorbtion yang lebih tinggi daripada pembuatan mie dan biskuit. Kecepatan tepung terigu dalam pencapaian keadaan develop (kalis ) disebut developing time. Bila waktu pengadukan kurang disebut under mixing berakibat adonan menjadi kurang elastis. Sedangkan bila kelebihan pengadukan disebut over mixing berakibat merusak gluten, adonan akan menjadi lembek. Parameter yang lain adalah stability. Stability yaitu kemampuan untuk menahan stabilitas adonan agar tetap sempurna meskipun telah melewati waktu develop (kalis). Stabilitas tepung pada adonan dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain jumlah

protein, kualitas protein, dan zat additive atau tambahan (Anonimb, 2010 ).

3. Bahan Pembantu

Bahan pembantu yang digunakan dalam memproduksi mie instan yaitu:

a. Tapioka

Tepung tapioka adalah pati yang diperoleh dari ekstrak ubi kayu melalui proses pemarutan, pemerasan, penyaringan, pengendapan pati dan pengeringan. Penambahan tepung tapioka digunakan sebagai pensubstitusi ( mengurangi penggunaan ) tepung terigu dalam pembuatan mie. Tepung tapioka mempunyai banyak kegunaan, antara lain sebagai bahan pembantu dalam berbagai industri ( Astawan, 2003). Adapun syarat mutu tepung tapioka berdasarkan SNI 01 – 2905 – 1992 dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Syarat Mutu Tepung Tapioka berdasarkan SNI 01-2905-1992

NO Kriteria mutu satuan Persyaratan

1 Warna - Putih ( khas tepung tapioka)

2 Bentuk - Serbuk

3 Bau - Normal

4 Benda asing - Tidak ada

5 Kadar air % 17,5

6 Kadar lemak dan

kotoran maksimum % 0,1

Sumber : Dewan Standarisasi Nasional (1992)

Pada umumnya masyarakat kita mengenal dua jenis tapioka, yaitu tapioka kasar dan tapioka halus. Tapioka kasar masih mengandung gumpalan dan butiran ubi kayu yang masih kasar, sedangkan tapioka halus merupakan hasil pengolahan lebih lanjut dan tidak mengandung gumpalan lagi. Kualitas tepung tapioka sangat ditentukan beberapa faktor antara lain :

 Warna tepung : tepung tapioka yang baik berwarna putih

 Kandungan air : tepung harus dijemur sampai kering benar sehingga kandungan airnya rendah

 Banyaknya serat dan kotoran : usahakan supaya banyaknya serat dan zat kayunya masih sedikit dan zat patinya masih banyak.  Tingkat kekentalan : usahakan daya rekat tapioka tetap tinggi.

Untuk ini dihindari penggunaan air yang berlebihan dalam proses produksi

( Radiyanti dan Agusto, 1990 ). b. Garam

Garam merupakan bumbu utama dalam setiap masakan yang berfungsi sebagai penyedap rasa, antara lain memberikan rasa asin, memberikan efek gurih pada masakan dan sebagai penguat rasa. Garam juga berperan dalam memperkuat tekstur mie, meningkatkan fleksibilitas dan elastisitas mie serta mengikat air. Garam dapat menghambat aktivitas enzim protease dan amilase sehingga pasta tidak bersifat lengket dan tidak mengembang secara berlebihan.

Garam juga berfungsi sebagai sumber mineral untuk tubuh dan sebagai pengawet makanan (Anonimc, 2010).

Standar mutu garam antara lain penampakan bersih, berwarna putih, tidak berbau, tingkat kelembaban rendah, dan tidak terkontaminasi dengan timbal/bahan logam lainnya. Kandungan NaCl untuk garam konsumsi manusia tidak boleh lebih rendah dari 97 % untuk garam kelas satu, dan tidak kurang dari 94 % untuk garam kelas dua. Tingkat kelembaban disyaratkan berkisar 0,5 % dan senyawa SO4 tidak melebihi batas 2,0 %. Kadar iodium berkisar 30 - 80 ppm (Anonimc, 2010 ).

c. Air

Air adalah substansi kimia dengan rumus kimia H2O: satu molekul air tersusun atas dua atom hidrogen yang terikat secara kovalen pada satu atom oksigen. Air bersifat tidak berwarna, tidak berasa dan tidak berbau pada kondisi standard, yaitu pada tekanan 100 kPa ( 1 bar ) dan temperatur 273,15 K (0ºC). Air merupakan suatu pelarut yang penting, yang memiliki kemampuan untuk melarutkan banyak zat , seperti garam, gula, dan asam ( Anonimd, 2010 ).

Air dalam pembuatan mie berfungsi untuk mengikat protein, membentuk sifat kenyal gluten, mengikat pati ( karbohidrat ), sebagai pelarut garam, gula. Air yang digunakan memiliki pH antara 6 – 9, karena semakin tinggi pH air maka mie yang dihasilkan tidak mudah patah karena absorbsi air meningkat dengan meningkatnya pH ( Anonimd,2010 ).

Menurut Buckle et all ( 1985 ) standar mutu air antara lain: bebas dari colifrom, bebas dari cemaran polusi, bebas dari rasa dan bau yang disebabkan oleh mikroorganisme yang mengeluarkan bahan dan menghilangkan rasa dan bau. Hal ini dapat dicegah dengan penanggulangan polusi air. Adapun standar mutu air berdasarkan SNI-01-3553-1994 meliputi kriteria mutu bau, rasa, pH, dan kekeruhan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Standar Mutu Air berdasarkan SNI – 01- 3553 – 1994 NO Kriteria Mutu Persyaratan

1. 2. 3. 4. Bau Rasa Ph Kekeruhan Tidak berbau Normal 6,5 – 9 Maks NTU Sumber : Dewan Standarisasi Nasional (1994) d. Alkali

Alkali dalam pembuatan mie berfungsi untuk menguatkan adonan supaya mengembang dengan baik, mempercepat proses gelatinisasi pati dan meningkatkan viskositas adonan yang akan memperbaiki kekenyalan mie. Jenis alkali yang digunakan dalam pembuatan mie terutama sodium atau kalium karbonat dan biasanya di pasaran dikenal dengan nama air abu ( Anonime, 2010 ).

e. Minyak goreng

Lemak atau minyak adalah senyawa trigliserida yang dapat larut pada pelarut lemak atau minyak seperti khlorofrom, eter, benzena. Pengujian sifat kimia lemak dan minyak pada umumnya meliputi jenis, kemurnian terutama terhadap pelarut organik, sifat penyabunan, jumlah ikatan rangkap atau derajat ketidak jenuhan, ketengikan dan lain-lain ( Sudarmadji, 1999).

Dalam pembuatan mie, minyak digunakan dalam proses penggorengan (frying). Dalam penggorengan minyak berfungsi sebagai medium penghantar panas, menambah rasa gurih, dan kalori dalam bahan pangan. Ada beberapa faktor yang menentukan standar mutu yaitu kandungan asam lemak bebas, warna dan bilangan oksidasi. Faktor lain yang mempengaruhi standar mutu minyak adalah pada titik cair, kandungan gliserida, kejernihan kandungan logam berat dan bilangan penyabunan ( Ketaren,1986). Adapun standar mutu minyak berdasarkan SNI 01-3741-2002 dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel. 3 Standar Mutu Minyak Goreng berdasarkan SNI 01-3741- 2002

No Kriteria Uji Persyaratan

Satuan Mutu I Mutu II

1 Keadaan

1.1 Bau Normal Normal

1.2 Rasa Warna Normal Normal

1.3 Warna Putih, kuning pucat -kuning

2 Kadar air % b/b mg Maks 0,1 Maks 0,3

3 Bilangan Asam KOH/gr Maks 0,6 Maks 2

Asam Linoleat :

4 Asam Lemak Minyak % Maks 2 Maks 2

5 Cemaran Logam :

5.1 Timbal (pb) Mg/kg Maks 0,1 Maks 0,1

5.2 Timah (sn) Mg/kg maks

40,0*/250

maks 40,0*/250

5.3 Raksa (Hg) Mg/kg maks 0,05 maks 0,05

5.4 Tembaga (Cu) Mg/kg maks 0,1 maks 0,1

6. Cemaran Arsen (As) Mg/kg maks 0,1 maks 0,1

7. Minyak pelikan** negatif negatif

Sumber : Dewan Standarisasi Nasional (2002) 4. Proses Produksi

Dalam proses produksi mie instan melalui beberapa tahap antara lain: pencampuran ( mixing ), pembentukan lembaran ( shetting dan slitting ), pengukusan ( steaming ), pemotongan ( forming cutting dan shaping folding ), penggorengan (frying ), pendinginan ( cooling ), pengisian seasoning, packing, dan kartoning ( Anonimf, 2010 ).

Mixing adalah proses pencampuran tepung terigu dan air alkali (campuran air dan garam-garam alkali) yang bertujuan untuk mengembangkan partikel terigu sampai titik optimum untuk mempermudah pembentukan jaringan gluten pada proses selanjutnya (pressing). Waktu, temperatur, dan jumlah air alkali yang ditambahkan harus benar-benar diperhatikan. Di samping penambahan air alkali, perlu dilakukan penambahan air yang jumlahnya disesuaikan dengan kondisi adonan. Temperatur mixer yang tinggi dan umur terigu yang terlalu muda menyebabkan rendahnya daya serap air, sehingga partikel terigu belum mengembang optimal, dan kondisi adonan menjadi lembek. Pengaturan

temperatur mixer dapat dilakukan dengan dua hal, yang pertama menurunkan temperatur ruangan dan yang kedua adalah memasang chiller pada tanki air alkali. Temperatur mixer yang diharapkan adalah tidak melebihi 30ºC ( Anonimf, 2010 ).

Kontrol terhadap kualitas adonan dapat dilakukan dengan dua hal, yang pertama dengan mengukur kadar air adonan dan yang kedua dilakukan manual dengan cara menggenggam adonan. Adonan yang baik pada saat digenggam terdapat garis telapak tangan dan dapat dipecahkan kembali dengan mudah (gembur) seperti bentuk semula. Kadar air adonan yang baik adalah minimal 32%. Adonan yang terlalu pera (kadar air dibawah 32%) mengakibatkan pembentukan jaringan gluten pada proses pengepresan tidak sempurna, sehingga mie akan mudah patah (rapuh). Sebaliknya, jika terlalu lembek akan menyulitkan proses pengepresan (lembar adonan mudah putus) dan kerapatan gelombang mie menjadi tidak stabil (bentuk tidak standar). Keterampilan operator menjadi sangat penting dalam proses ini, karena banyak melibatkan perasaan (feeling) pada saat penambahan air. Begitu juga dengan pengaturan waktu mixing, pada umumnya 15 menit sudah mencukupi. Kehilangan bahan dalam proses ini hampir tidak terjadi, namun jika kualitas adonan tidak sesuai,

maka akan banyak terjadi reject product pada proses selanjutnya ( Anonimf, 2010 ).

Setelah proses mixing selesai selanjutnya proses pengepresan (pressing) bertujuan untuk membentuk jaringan gluten dengan menggunakan continous roller press secara bertahap. Ketebalan awal lembar adonan dapat diatur, umumnya dimulai dari ukuran 10 mm sampai dengan ketebalan akhir yang diinginkan (0.9 – 1.1 mm) melalui 7 unit roller press. Kondisi permukaan roller press harus mulus untuk mencegah timbulnya serbuk adonan yang jatuh dari lembar adonan yang tertinggal di roller press. Upaya yang dilakukan untuk menjaga roller press tetap mulus adalah dengan mengolesi permukaannya menggunakan minyak goreng pada setiap kali mesin berhenti. Pengaturan ketebalan antar continous juga

mempengaruhi timbulnya serbuk adonan, ketebalan antar roller press harus seimbang yang dapat dilihat dari kelendutan lembar adonan antar roller press. Lembar adonan antar roller press yang terlalu tegang menyebabkan lebar lembar adonan menyempit, akibatnya mengurangi jumlah untaian mie. Hal tersebut meningkatkan potensi produk under weight dan mie hancur, karena bentuk mie tidak kokoh. Sebaliknya jika terlalu kendor, beban roller press tinggi dan akan timbul serbuk adonan meskipun kondisi roller press mulus ( Anonimf, 2010 ).

Setelah proses pressing selesai dilanjutkan proses pengirisan (slitting). Slitting adalah pengirisan lembaran adonan menjadi untaian-untaian mie dengan menggunakan slitter yang terletak di depan roller press. Pada proses ini juga dilakukan pengaturan berat mie dengan mengatur jumlah dan tinggi gelombang mie dalam satu satuan panjang. Semakin tinggi ukuran gelombang dan semakin banyak jumlah gelombang, berat mie semakin tinggi. Lembar adonan diiris sesuai dengan ukuran yang dikehendaki dan dibagi menjadi lima jalur untaian mie. Slitter terdiri dari roll slitter, sisir slitter, dan mangkok pemisah jalur mie. Roll slitter berfungsi untuk membelah lembar adonan dan sisir slitter untuk mengangkat untaian yang telah terpotong agar tidak tertinggal di roller slitter. Sedangkan mangkok berfungsi untuk membagi jalur untaian dan membentuk gelombang mie ( Anonimf, 2010 ).

Selanjutnya dilanjutkan proses pengukusan. Pengukusan akan memodifikasi pati sehingga dihasilkan tekstur mie kering yang porous dan mudah direhidrasi. Proses pengukusan dilakukan pada suhu ±100ºC selama ±1-5 menit. Pada proses pengukusan ini terjadi perubahan kimia dari tepung menjadi gel (proses gelatinisasi). Semakin tinggi derajat gelatinisasi, mie akan semakin baik dan semakin instan. Untuk mie normal (yang matang dalam tiga menit), derajat gelatinisasi yang dibutuhkan minimal 80% dan untuk mie seduh (cup noodle) dibutuhkan derajat gelatinisasi minimal 90%. Semakin tinggi derajat gelatinisasinya, selain

menjadi lebih instan, mie juga akan menjadi semakin kokoh (tidak mudah patah) ( Anonimf, 2010 ).

Selanjutnya dilanjutkan proses pemotongan ( cutting ). Dalam proses pemotongan yang perlu diperhatikan adalah ketajaman pisau dan timing yang tepat dari plat pelipat yang terletak persis di bawah pisau. Lipatan mie harus tepat di tengah sehingga mempermudah masuknya mie

yang sudah dipotong ke dalam retainer (cetakan) penggorengan (Anonimf, 2010 ).

Setelah proses pemotongan selanjutnya proses penggorengan ( frying ). Dalam proses pembuatan mie instan, penggorengan adalah proses penurunan kadar air dari sekitar 32% (kadar air adonan) menjadi 3%-4%. Pada proses ini terjadi pertukaran antara minyak goreng dengan air. Air yang ada di dalam mie menguap dan meninggalkan pori-pori yang selanjutnya diisi dengan minyak goreng. Dengan kadar air antara 3% - 4%, umur simpan mie dapat mencapai satu tahun dengan penyerapan minyak goreng berkisar antara 16% sampai 19% tergantung dari berat mie yang digoreng dan kadar air adonan serta setting mesin penggorengan. Kadar air mie di bawah 3% sangat tidak disarankan, karena akan menjadi rapuh, dan yang lebih penting lagi adalah hilangnya air akan digantikan oleh minyak goreng ataupun terigu yang harganya jauh lebih mahal dibanding air. Untuk itu pengecekan kadar air menjadi sangat penting pada proses ini. Cara paling mudah untuk melakukan pengecekan kadar air secara manual adalah dengan membelah lipatan mie yang baru keluar dari penggorengan. Jika pada saat dibelah semua untaian mie patah atau putus, bisa dipastikan kadar air mie di bawah 3% dan sebaliknya jika masih ada lebih dari 30% untaian mie yang tidak putus maka kadar air mie tersebut diatas 4% (Anonimf, 2010).

Selanjutnya proses pendinginan ( cooling ) yang dilakukan dengan menghembuskan udara ke dalam produk di dalam cooling box. Pendinginan adalah proses penggangkutan mie panas setelah proses penggorengan ke dalam ruang pendingin mie. Proses pendinginan

bertujuan untuk mendinginkan mie panas yang keluar dari penggorengan hingga diperoleh suhu mendekati suhu ± 30ºC - 32ºC (Anonimf, 2010).

Setelah selesai proses pendinginan dilanjutkan proses pengemasan (packing). Packing merupakan pembungkusan makanan yang dilakukan

untuk melindungi makanan dari bakteri. Packing adalah proses yang paling kritis dalam pengendalian produk reject. Banyak terjadi benturan-benturan antar mie maupun dengan konveyor pembagi sebelum memasuki mesin pengemas. Kekokohan dan kekompakan bentuk mie menjadi faktor penting untuk meminimalkan produk yang reject baik hancur halus maupun hancur patah. Bentuk mie yang baik dan kokoh seharusnya dapat berdiri empat sisi. Hancur halus dan hancur patah tidak dapat dihindari, namun dapat diminimalkan dengan memperhatikan proses dari awal (mixing) dan penanganan di proses packing itu sendiri ( Anonimf, 2010 ).

Setelah selesai proses packing dilanjutkan proses kartoning. Kartoning adalah pembungkusan beberapa pack mie dengan menggunakan kertas karton. Tujuan kartoning adalah merapikan beberapa pack mie, agar mudah dalam penyimpanan dan pendistribusian. Biasanya berisi 40 bungkus mie ( Anonimf, 2010 ).

Dokumen terkait