• Tidak ada hasil yang ditemukan

Scott (2008) membangun konsep institusi yang terdiri dari elemen-elemen regulatif, normatif dan kognitif yang secara bersama-sama dikaitkan dengan kegiatan dan sumberdaya, serta menjadikan kehidupan sosial yang mapan dan bermakna. Dalam pandangan ini institusi dijalankan oleh gabungan dari struktur sosial, aktivitas sosial dan sumberdaya material, sebagaimana tabel 3 berikut ini.

Tabel 3 Tiga Pilar-Pilar Institusi

Dimensi Tiga Pilar

Regulatif Normatif Cultural koqnitif Basis Kepatuhan Kelayakan (expedience) Kewajiban sosial

Terima apa adanya Saling pengertian Basis

Perintah

Aturan hukum Harapan yang mengikat

Skema resmi

Mekanisme Paksaan Normatif Meniru

Logika Instrumentalitas Kepatutan Menurut adat Indikator Aturan, Hukum,

Sanksi

Certifikasi, Akreditasi

Kepercayaan masyarakat, Logika umum untuk berbuat,

isomorphisme

Pengaruh Efek jera / tidak bersalah

Malu / Bangga Kepastian / Kebingungan Basis

Legitimasi

Sanksi Hukum Berlandaskan moral

Kelengkapan, pengakuan, dukungan budaya Sumber : Scott, W Richard. 2008.

Berger dan Luckman (1967) di dalam Scott (2008), institusi itu “mati” jika hanya ditampilkan dalam bentuk penunjukan verbal dan obyek-obyek fisik saja. Semua penampilan tersebut kehilangan realitas subyektifnya, kecuali dihidupkan di dalam tingkah laku nyata manusia. Selanjutnya Scott (2008) dan Sewel (1992) agar institusi dapat hidup, maka harus dikaitkan atau dilekatkan pada sumberdaya : jika tidak diberdayakan atau diwariskan oleh sumberdaya hampir pasti institusi akan dibuang atau dilupakan, seperti halnya sumberdaya yang tanpa pola-pola kultural yang mengatur penggunaannya hampir pasti akan menghilang atau membusuk.

Giddens (1979,1984) dan Sewel (1992) di dalam Scott (2008) menekankan pentingnya menyertakan sumberdaya (material dan manusia) ke dalam setiap konsep struktur sosial sedemikian rupa sehingga dapat memperhitungkan kekuasaan yang tidak simetrik. Agar aturan dan norma menjadi efektif maka harus didukung dengan kekuatan sanksi. Sebaliknya mereka yang memegang kekuasaan atas sumberdaya memerlukan wewenang dan legitimasi untuk menggunakannya.

Menurut Scott (2008), pilar regulatif berupa konsep regulasi yang meliputi kapasitas untuk membuat aturan, memeriksa kepatuhan pihak lain terhadap aturan, dan jika diperlukan memberikan sanksi – penghargaan atau hukuman - dalam rangka mempengaruhi perilaku kedepan selanjutnya. Pemaksaan, sanksi dan respon yang layak adalah inti pilar regulatif, tetapi mereka sering terhalang oleh aturan yang ada, baik formal maupun informal. Oleh sebab itu North (1990) menekankan perlunya penegakan aturan dijalankan oleh “pihak ketiga” yang bukan pelaku itu sendiri. Hal ini pula yang menjadi perhatian Skocpol (1985) di dalam Van den Berg (2001), bahwa negara sebagai pihak yang membuat aturan membangun kepentingannya

sendiri dan menjalankannya secara otonomi dan terpisah dari aktor-aktor sosial lainnya. Disini letak penting aspek regulatif institusi membangun kembali batasan peran negara sebagai : pembuat aturan, wasit dan penegak peraturan.

Van den Berg (2001), menengarai bahwa negara atau pemerintah sebagai “pihak ketiga” disatu sisi diperlukan untuk memfasilitasi transaksi yang semakin kompleks untuk menggapai kesejahteraan yang lebih tinggi bagi setiap anggota masyarakatnya, namun di sisi lain ada bahaya atas kekuasaan yang terpusat pada pemerintah yang akan mengarah kepada “perversi kekuasaan” (perversion of power) untuk memberikan keuntungan kepada sekelompok orang-orang atas beban pihak-pihak yang lain. Sejalan dengan kekhawatiran atas terjadinya perversi kekuasaan, North (1987), menengarai bahwa dalam sejarah, sistem politik cenderung tidak membuat institusi yang efisien, karena alasan bahwa membatasi transaksi (fokus, previliledge), akan memudahkan memungut pajak atau mengeksploitasi para pihak untuk kepentingannya, disamping itu institusi yang efisien tidak menguntungkan kelompok tertentu yang penting bagi keberlangsungan penguasa atau oligarchi. Keberadaan perversi kekuasaan perlu mendapatkan perhatian, terutama kecenderungan birokrasi untuk memperversi kekuasaannya sebagaimana dinyatakan oleh Osborn dan Plastrik, (2001) bahwa birokrasi cenderung memperkuat kekuasaannya, dan mengingat bahwa salah satu peran pemerintah adalah membuat peraturan, maka peraturan menjadi salah satu bentuk alat yang diciptakan untuk memperkuat kekuasaan.

Bila terdapat aturan yang mengandung perversi, akan sulit mengharapkan pemerintah menghapuskannya secara sukarela karena menurut Jepperson, (1991) di dalam Scott, (2008) sebagai tatanan social, institusi secara relatif resisten terhadap

perubahan, cenderung diwariskan antar generasi, dipelihara dan direproduksi. Demikian pula dalam pandangan Scott (2008), kesulitan birokrasi dapat pula terjadi akibat mereka juga terhalang oleh aturan-aturan formal maupun informal.

Pentingnya memperhatikan keberadaan perversi kekuasaan di dalam institusi karena peran institusi yang penting dalam sebuah sistem. Schmid, (1987) dalam Kartodiharjo (1998) berpendapat bahwa bentuk institusi mempunyai implikasi terhadap inisiatif dan kemampuan suatu organisasi untuk menjalankan penegakan peraturan (law enforcement) guna mengatasi permasalahan free rider2

2

Free rider adalah individu atau kelompok masyarakat yang ikut menikmati atau memanfaatkan barang dan atau jasa tetapi tidak ikut menanggung biaya produksi atau pengadaannya.

, dan permasalahan lainnya. Sebagaimana disampaikan terdahulu bahwa keberadaan perversi kekuasaan sejalan dengan memfasilitasi terjadinya free riding. Dengan demikian keberadaan perversi kekuasaan menjadi sumber terjadinya transaksi biaya tinggi dan kesulitan dalam menegakkan aturan. Dalam pandangan North (1990) ketidakmampuan masyarakat untuk membangun efektivitas dan menurunkan ongkos penegakan adalah faktor kunci yang mempengaruhi kinerja ekonomi suatu negara. Hal yang senada dikemukakan juga oleh Costanza, et al (2001) bahwa kegagalan pengelolaan sumberdaya alam berhubungan dengan ketidakmampuan sistem manusia membangun kontrol yang efektif terhadap persediaan (tegakan hutan) dan aliran (produksi). Williamson (1985) menekankan bahwa bila kesepakatan dicapai, muncul kendala-kendala ex post yang tak terduga yang akan membuka peluang perilaku opportunistik, membuat penegakan (enforcement) sulit dilakukan dan mendorong para mitra untuk membuat penyesuaian atau menjadikan konflik.

Dari berbagai pandangan tersebut, tergambar bahwa perversi kekuasaan dapat berbentuk pemberian hak-hak monopoli maupun berupa peraturan-peraturan yang memberikan legitimasi kewenangan pemerintah untuk mengatur dan mengurusi berbagai hal hingga ke tingkat detail yang kadang kala menjadi domain privat. Hirakuri (2003), meneliti implementasi hukum kehutanan di Brazil dan Finlandia. Ia mempelajari penegakan dan kepatuhan terhadap hukum pengelolaan hutan, melalui analisa penegakan instrumen-instrumen seperti peraturan-peraturan dan pendekatan orientasi pasar, serta faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan. Dijelaskan bahwa sebagian besar peraturan kehutanan di Brazil berupa peraturan administratif (administrative acts) yang kurang stabil karena mudah diubah tanpa persetujuan konggres. Kepatuhan yang penuh hampir dipastikan tidak pernah terjadi. Meskipun sertifikasi dapat membawa perkembangan positif, namun sejarah kelangkaan kontrol yang efisien dan monitoring yang efektif terhadap praktek logging menyebabkan terjadinya “predatory logging”.

Sementara di Findlandia keadaan berbalikan dengan Brazil. Pemerintah hanya mengatur hal-hal pokok yang berhubungan dengan pengelolaan hutan, tetapi tingkat kepatuhannya amat sangat tinggi. Terdapat enam faktor yang dianggap punya pengaruh besar atas keberhasilan tersebut, yaitu : insentif ekonomi, bimbingan kehutanan, kelembagaan manajemen dan kerjasama, hutan-hutan skala kecil, rencana pengelolaan hutan dan sertifikasi.

Di Indonesia, Kartodihardjo (1998) mendapatkan bahwa institusi pengusahaan hutan alam belum mampu mengarahkan perilaku perusahaan untuk mewujudkan pengelolaan hutan lestari. Perusahaan yang memiliki kinerja baik kurang dari 20 %,

sebagian terbesar berkinerja buruk. Kinerja yang buruk mengindikasikan bahwa terdapat pelanggaran atas peraturan yang berlaku. Diketahui pula bahwa pemerintah daerah tidak mampu mengendalikan perilaku perusahaan. Kelemahan dalam penegakan aturan diindikasikan dengan adanya produksi illegal dan ekspor log illegal. Dikemukakan pula bahwa kegagalan penegakan tersebut juga disebabkan oleh konsesi yang terlalu luas, di luar kapasitas perusahaan untuk mengamankannya.

Sebagaimana telah dikemukakan oleh Costanza et al, (2008) bahwa salah satu faktor penyebab kegagalan pengelolaan sumberdaya alam adalah mismatch of scale, yaitu pengambilan keputusan yang didasarkan pada informasi yang bersumber dari skala yang berbeda. Anggapan bahwa skala besar (luas) adalah kumpulan dari skala kecil yang digabungkan adalah menafikan adanya faktor-faktor lain yang timbul akibat penggabungan tersebut. Thiele (1994) menyatakan bahwa unit pengusahaan hutan yang terlalu luas menyebabkan berkurangnya insentif bagi pemegang HPH untuk mencegah kegiatan perladangan dan pencurian kayu serta menyebabkan sumberdaya hutan mengalami idle. Institusi yang berlaku di bidang pengusahaan hutan di Indonesia sebelum reformasi memberikan insentif penguasaan areal hutan yang sangat luas. Kartidihardjo (1998) mendapati bahwa selain unit-unit pengelolaan yang luas juga terjadi konglomerasi, sehingga melampaui kapasitas perusahaan untuk melakukan kontrol terhadap konsesinya.