• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN

C. SARAN

3. Bagi Institusi

Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan pengetahuan pada institusi, terkhusus pada dosen pembimbing akademik, mengenai penyesuaian diri di perguruan tinggi pada mahasiswa yang merantau serta peran penting pemisahan psikologis dalam penyesuaian diri di perguruan tinggi.

12

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PENYESUAIAN DIRI DI PERGURUAN TINGGI

1.Pengertian Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi

Sebelum membahas mengenai pengertian penyesuaian diri di perguruan tinggi, perlu diketahui pengertian penyesuaian diri secara umum terlebih dahulu. Schneiders (1960) menyatakan bahwa penyesuaian diri adalah respon mental dan tingkah laku individu dalam memenuhi kebutuhan serta mengatasi ketegangan, frustrasi, dan konflik agar tercapai keselarasan dan keharmonisan antara tuntutan yang berasal dari dalam diri individu dan tuntutan yang berasal dari lingkungan. Eshun (2006) menjelaskan bahwa penyesuaian diri adalah respon individu terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungan sekitar, serta membantu individu mengatasi tantangan-tantangan dalam kehidupan sehari-hari. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa penyesuaian diri adalah respon individu dalam mengatasi berbagai tuntutan yang menyertai perubahan di lingkungannya guna mencapai keselarasan antara diri dan lingkungan.

Dalam konteks perguruan tinggi, Baker dan Siryk (1984 & 1986) menyatakan bahwa penyesuaian diri di perguruan tinggi adalah respon individu dalam menghadapi tuntutan yang terdiri dari dimensi akademik, sosial, personal-emosional, dan kelekatan pada institusi.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pengertian penyesuaian diri di perguruan tinggi menurut Baker dan Siryk (1984 & 1986). Pengertian tersebut sesuai dengan penelitian ini yang hendak mengukur penyesuaian diri dalam konteks perguruan tinggi.

2. Dimensi dan Indikator Dimensi Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi

Baker dan Siryk (1984 & 1986) membagi penyesuaian diri di perguruan tinggi menjadi empat dimensi:

2.1Penyesuaian Diri Akademik (Academic Adjustment)

Penyesuaian diri akademik adalah kemampuan mahasiswa untuk mengelola dan mengatasi berbagai tuntutan akademik di perguruan tinggi. Indikator dari dimensi ini adalah mampu mengaplikasikan motivasi akademik, memiliki prestasi akademik yang baik, serta mampu mengatasi tuntutan akademik.

2.2Penyesuaian Diri Sosial (Social Adjustment)

Penyesuaian diri sosial adalah kemampuan mahasiswa untuk mengelola dan mengatasi berbagai tuntutan sosial-interpesonal di perguruan tinggi. Indikator dari dimensi ini adalah terlibat dalam kegiatan di perguruan tinggi, mampu menjalin hubungan dengan orang lain di lingkungan perguruan tinggi, serta mampu mengatasi perubahan lingkungan sosial.

2.3Penyesuaian Diri Personal-Emosional (Personal-Emotional

Adjustment)

Penyesuaian diri personal-emosional adalah respon fisik dan psikologis mahasiswa terhadap berbagai tuntutan di perguruan tinggi (dalam Credé & Niehorster, 2012). Indikator dari dimensi ini adalah mampu mengontrol emosi dengan baik, memiliki persepsi yang positif terhadap tuntutan di perguruan tinggi, serta memiliki kondisi fisik yang baik.

2.4Kelekatan pada Institusi (Institutional Attachment)

Kelekatan pada institusi adalah perasaan mahasiswa mengenai keberadaan mereka di institusi (perguruan tinggi), terutama pada kualitas hubungan atau ikatan yang terbentuk antara mahasiswa dan institusi. Indikator dari dimensi ini adalah kepuasan terhadap fakultas atau program studi, kepuasan terhadap universitas, serta kepuasan terhadap status mahasiswa.

Penggunaan keempat dimensi tersebut untuk mengukur penyesuaian diri di perguruan tinggi masih menjadi pro-kontra. Beberapa penelitian menganggap bahwa penyesuaian diri di perguruan tinggi merupakan multidimensional, sehingga diukur dari masing-masing dimensi secara terpisah (Aspelmeier, Love, McGrill, Elliott, & Pierce, 2012; Bernier, Larose, Boivin, & Soucy, 2004; Salmain, Azar, & Salmani, 2014). Di sisi lain, banyak penelitian yang menganggap penyesuaian diri di perguruan tinggi sebagai unidimensional, sehingga diukur dari keseluruhan dimensi

(Beyers & Goossens, 2003; Caplan, Henderson, Henderson, & Fleming, 2002; Choi, 2002; Marmarosh & Markin, 2007; Ramos-Sánchez & Nichols, 2007). Berdasarkan temuan tersebut, peneliti memutuskan untuk mengukur penyesuaian diri di perguruan tinggi sebagai unidimensional karena keempat dimensi tersebut tidak dapat dipisahkan satu sama lain.

Di lingkungan perguruan tinggi, mahasiswa dituntut untuk menyesuaikan diri dalam hal akademik serta berinteraksi dengan lingkungan sosial yang baru. Ketika mahasiswa mampu menyesuaikan diri dengan tuntutan akademik dan sosial, maka mereka juga memiliki kesejahteraan fisik dan psikologis. Dengan demikian, mahasiswa memiliki kepuasan terhadap status sebagai mahasiswa serta memiliki kelekatan pada perguruan tinggi di mana mereka menuntut ilmu.

3. Faktor yang Memengaruhi Penyesuaian Diri di Perguruan Tinggi

Berdasarkan hasil ulasan terhadap berbagai temuan mengenai penyesuaian diri di perguruan tinggi (Aspelmeier, Love, McGrill, Elliott, & Pierce, 2012; Bernier, Larose, Boivin, & Soucy, 2004; Beyers & Goossens, 2003; Credé & Niehorster, 2012; Hertel, 2002; Hickman, Bartholomae, & McKenry, 2000; Marmarosh & Markin, 2007; Parker, Summerfeklt, Hogan, & Majeski, 2004; Ramos-Sánchez & Nichols, 2007; Rice, Vergara, & Aldea, 2006; Schneider & Ward, 2003), peneliti menyimpulkan faktor-faktor yang memengaruhi penyesuaian diri di perguruan tinggi sebagai berikut:

3.1Karakteristik Demografi

Karakteristik demografi adalah ciri yang menggambarkan perbedaan masyarakat berdasarkan etnis dan status generasi. Mahasiswa yang mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari etnis minoritas memiliki penyesuaian diri di perguruan tinggi yang kurang baik karena mereka kurang mendapatkan dukungan dari lingkungan (Schneider & Ward, 2003).

Status generasi memengaruhi penyesuaian diri di perguruan tinggi, terutama pada dimensi penyesuaian diri sosial (Hertel, 2002). Status generasi menunjukkan ada atau tidak generasi sebelumnya dalam suatu keluarga yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Mahasiswa generasi pertama cenderung tidak terlalu terlibat dalam aktivitas sosial di kampus serta mencari teman dan pengalaman di luar kampus. Teman dari luar kampus cenderung kurang memberikan dukungan sosial yang sangat dibutuhkan oleh mahasiswa, sehingga mereka kurang mampu menyesuaikan diri di perguruan tinggi.

Mahasiswa generasi kedua cenderung memiliki lebih banyak pengetahuan tentang kehidupan perkuliahan, menerima lebih banyak dukungan sosial, memiliki fokus yang lebih besar pada aktivitas di perguruan tinggi, dan memiliki sumber finansial yang lebih banyak, sehingga membantu mereka menyesuaikan diri di perguruan tinggi.

3.2Persepsi Dukungan Sosial

Persepsi dukungan sosial adalah keyakinan individu bahwa ia diperhatikan, dicintai, dihargai, dan ditolong oleh jaringan sosial dalam mengatasi tekanan. Dukungan sosial yang diberikan oleh teman kampus membuat mahasiswa merasa lebih terlibat dalam kehidupan perguruan tinggi, tidak merasa stres, dan memiliki pengetahuan yang lebih luas tentang perguruan tinggi, sehingga mereka mampu menyesuaikan diri di perguruan tinggi (Hertel, 2002).

3.3Persepsi Hubungan dengan Orangtua

Persepsi hubungan dengan orangtua adalah penilaian individu mengenai hubungan mereka dengan orangtua. Faktor ini meliputi pola asuh, kelekatan, dan pemisahan psikologis. Pola asuh autoritatif mempermudah mahasiswa menyesuaikan diri dengan lingkungan perguruan tinggi karena keluarga yang hangat, peduli, serta memiliki komunikasi yang terbuka membantu mahasiswa untuk mencapai penguasaan (prestasi) yang lebih besar dan regulasi diri yang baik (Hickman, Bartholomae, & McKenry, 2000).

Kelekatan preokupasi kurang membantu mahasiswa dalam menyesuaikan diri di perguruan tinggi. Mahasiswa dengan kelekatan jenis ini mengalami kesulitan mengembangkan identitas otonom, kurang memiliki keterampilan sosial, merasa takut terhadap penolakan, dan isolasi karena perilaku orangtua cenderung menginduksi rasa bersalah dan keraguan diri. Keterlibatan orangtua

yang berlebihan menyebabkan mahasiswa hanya memiliki sedikit sumber daya pribadi untuk menangani masalah-masalah akademik dan sosial (Bernier, Larose, Boivin, & Soucy, 2004; Marmarosh & Markin, 2007).

Pemisahan psikologis membantu mahasiswa menyesuaikan diri di perguruan tinggi karena pemisahan psikologis membantu mahasiswa mencapai kemandirian dari orangtua serta memiliki perasaan positif terhadap perubahan dalam hubungan dengan orangtua (Beyers & Goossens, 2003).

3.4Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional adalah kemampuan individu untuk memproses informasi emosional dan menggunakannya dalam penalaran dan aktivitas kognitif lain. Kecerdasan emosional memfasilitasi mahasiswa menyesuaikan diri di perguruan tinggi karena mahasiswa mampu menggunakan informasi tentang perasaan mereka untuk memahami dan memandu perilaku serta mampu mengidentifikasi potensi masalah. Kecerdasan emosional juga menunjukkan bahwa mahasiswa mampu menggunakan strategi koping yang efektif dan mampu mengelola situasi yang penuh tekanan dengan cara yang tenang dan proaktif sehingga mampu bekerja dengan baik di bawah tekanan (Parker, Summerfeklt, Hogan, & Majeski, 2004).

3.5Trait

Trait adalah dimensi kepribadian yang memengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku individu dengan cara tertentu. Faktor ini meliputi ekstraversi, keramahan, keterbukaan, dan perfeksionisme. Ekstraversi, keramahan, dan keterbukaan membantu mahasiswa menyesuaikan diri di perguruan tinggi karena mahasiswa lebih cepat menjalin pertemanan baru dan lebih siap untuk mengeksplor lingkungan baru (Credé & Niehorster, 2012).

Mahasiswa dengan perfeksionisme maladaptif kurang mampu menyesuaikan diri di perguruan tinggi karena mahasiswa cenderung lebih stres serta memiliki pandangan yang lebih kaku mengenai diri sendiri dan orang lain. Mereka juga kurang memiliki solusi yang efektif dalam mengatasi masalah yang dihadapi (Rice, Vergara, & Aldea, 2006).

3.6Core Self-Evaluation

Core self-evaluation adalah penilaian mendasar mengenai kompetensi dan kemampuan individu yang terdiri dari efikasi diri, harga diri, dan locus of control (Judge, Bono, & Durham, 1997 dalam Judge, Erez, Bono, & Locke, 2005). Efikasi diri membantu mahasiswa menyesuaikan diri di perguruan tinggi karena efikasi diri berdampak pada pemilihan tindakan, pengerahan usaha, serta ketekunan dan ketahanan dalam menghadapi berbagai situasi, terutama dalam situasi yang sulit (Feist & Feist, 2010; Ramos-Sánchez & Nichols, 2007).

Harga diri memfasilitasi penyesuaian diri di perguruan tinggi karena harga diri menjadi sumber daya psikologis dan berfungsi sebagai mekanisme koping yang membantu mahasiswa menghadapi situasi baru dan tidak pasti seperti transisi ke perguruan tinggi (Hickman, Bartholomae, & McKenry, 2000).

Mahasiswa dengan locus of control internal lebih mampu melakukan penyesuaian diri di perguruan tinggi daripada mahasiswa dengan locus of control eksternal. Mahasiswa dengan locus of control internal menyadari bahwa hanya diri mereka sendiri yang mampu mengontrol lingkungan, dan bukan lingkungan yang mengontrol diri mereka, sehingga mereka berusaha mencari cara untuk mampu menyesuaikan diri di lingkungan (Aspelmeier, Love, McGrill, Elliott, & Pierce, 2012).

Dalam penelitian ini, peneliti hendak mengkaji pemisahan psikologis dalam faktor persepsi hubungan dengan orangtua.

B. PEMISAHAN PSIKOLOGIS

1. Pengertian Pemisahan Psikologis

Istilah pemisahan psikologis pertama kali dicetuskan oleh Mahler (1968 & 1975 dalam Lapsley, Aalsma, & Varshney, 2001; Thorlakson, 1998). Mahler (1968 & 1975) menyatakan bahwa pemisahan psikologis adalah proses perkembangan ego yang terjadi pada 3 tahun pertama kehidupan (dalam Lapsley, Aalsma, & Varshney, 2001). Proses ini berkaitan dengan

hubungan emosional antara anak dengan ibu (dalam Hoffman, 1984). Pada masa ini, seorang anak mulai mampu membedakan diri mereka dengan ibu, membentuk batasan antara diri mereka dengan ibu, serta melepaskan diri dari ketergantungan pada sosok ibu (dalam Hoffman, 1984; Kroger, 2004; Rakipi, 2015).

Blos (1979) mengembangkan proses pemisahan psikologis dari tahap awal remaja hingga pasca remaja (dalam Kroger, 2004; Rakipi, 2015). Blos (1979) menjelaskan bahwa pemisahan psikologis adalah upaya seseorang untuk melepaskan diri dari sosok orangtua yang telah terinternalisasi, membangun hubungan yang lebih dewasa dengan orangtua, serta membentuk rasa diri guna mencapai kemandirian (dalam Årseth, Kroger, Martinussen & Bakken, 2009; Gnaulati & Heine, 2001; Lapsley, 2009; Rakipi, 2015).

Pengertian mengenai pemisahan psikologis terus berkembang hingga saat ini. Hoffman (1984) memaparkan bahwa pemisahan psikologis adalah kemampuan seseorang untuk terpisah secara psikologis dengan orangtua serta mendapatkan rasa identitas (sense of identity) sebagai individu yang terpisah, dengan tetap mempertahankan hubungan positif dengan orangtua. Komidar, Zupančič, Sočan, dan Levpušček (2014) menyatakan bahwa pemisahan psikologis adalah kemampuan seseorang untuk membedakan diri mereka dari orangtua serta menyeimbangkan antara pemerintahan diri (self-governance) dan hubungan yang saling menghormati dengan orangtua.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pengertian pemisahan psikologis menurut Hoffman (1984) serta Komidar, Zupančič, Sočan, dan Levpušček (2014) karena kedua pengertian tersebut lebih baru dan jelas. Dari pengertian tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa pemisahan psikologis adalah kemampuan seseorang untuk memiliki rasa diri sebagai individu yang berbeda dan terlepas dari orangtua, dengan tetap menjalin hubungan baik dengan orangtua.

2. Aspek dan Indikator Aspek Pemisahan Psikologis

Hoffman (1984) membagi pemisahan psikologis menjadi empat aspek, yaitu aspek kebebasan konfliktual, kebebasan emosional, kebebasan fungsional, dan kebebasan sikap. Keempat aspek tersebut telah banyak digunakan untuk mengukur pemisahan psikologis (Beyers & Goossens, 2003; Choi, 2002; Hilmawati & Susiati, 2015; Lapsley & Edgerton, 2002). Meskipun demikian, keempat aspek tersebut kurang menunjukkan aspek hubungan baik dengan orangtua. Peneliti menambahkan satu aspek yang dijelaskan oleh Komidar, Zupančič, Sočan, dan Levpušček (2014) sebagai aspek keterhubungan. Dengan demikian, kelima aspek pemisahan psikologis adalah sebagai berikut (Hoffman, 1984; Komidar, Zupančič, Sočan, dan Levpušček, 2014):

2.1Kebebasan Konfliktual (Conflictual Independence)

Kebebasan konfliktual adalah kebebasan seseorang dari perasaan negatif yang berlebihan terhadap orangtua (dalam Komidar, Zupančič,

Sočan, & Levpušček, 2014). Aspek ini ditunjukkan oleh kebebasan seseorang dari rasa bersalah, cemas, terkekang, marah, tanggung jawab, dan tidak suka yang berlebihan terhadap orangtua (Hoffman, 1984).

Indikator dari aspek ini adalah bebas dari perasaan bersalah yang berlebihan terhadap orangtua, bebas dari perasaan cemas yang berlebihan terhadap orangtua, bebas dari perasaan terkekang yang berlebihan oleh orangtua, bebas dari perasaan marah yang berlebihan terhadap orangtua, bebas dari perasaan tanggung jawab yang berlebihan terhadap orangtua, dan bebas dari perasaan tidak suka yang berlebihan terhadap orangtua.

2.2Kebebasan Emosional (Emotional Independence)

Kebebasan emosional adalah kebebasan seseorang dari kebutuhan akan persetujuan, kedekatan, dan dukungan emosional yang berlebihan dari orangtua (Hoffman, 1984). Indikator dari aspek ini adalah bebas dari kebutuhan akan persetujuan yang berlebihan dari orangtua, bebas dari kebutuhan akan kedekatan yang berlebihan dengan orangtua, dan bebas dari kebutuhan akan dukungan emosional yang berlebihan dari orangtua.

2.3 Kebebasan Fungsional (Functional Independence)

Kebebasan fungsional adalah kemampuan seseorang untuk mengelola urusan pribadi tanpa bantuan orangtua (Hoffman, 1984). Indikator dari aspek ini adalah mampu mengatasi permasalahan tanpa

bantuan orangtua, mampu mengambil keputusan tanpa bantuan orangtua, dan mampu memenuhi kebutuhan tanpa bantuan orangtua.

2.4Kebebasan Sikap (Attitudinal Independence)

Kebebasan sikap adalah kemampuan seseorang untuk memiliki gambaran diri sebagai seseorang yang unik. Gambaran diri yang unik ini ditandai oleh kemampuan seseorang untuk memiliki sikap, nilai, dan keyakinan yang berbeda dari orangtua (Hoffman, 1984). Indikator dari aspek ini adalah memiliki sikap yang berbeda dari orangtua terhadap suatu hal, memiliki nilai yang berbeda dari orangtua, dan memiliki keyakinan yang berbeda dari orangtua mengenai suatu hal.

2.5Keterhubungan (Connectedness)

Keterhubungan adalah persepsi seseorang bahwa orangtua adalah rekan yang baik. Keterhubungan ditunjukkan oleh hubungan yang saling memahami, menghormati, dan percaya antara seseorang dengan orangtua. Keterhubungan juga meliputi kesediaan untuk berkomunikasi secara terbuka (dalam Komidar, Zupančič, Levpušček, & Bjornsen, 2016).

Indikator dari aspek ini adalah seseorang menilai bahwa orangtua memahami mereka, menilai bahwa orangtua menghormati mereka, menilai bahwa orangtua mempercayai mereka, menilai bahwa orangtua bersedia untuk berkomunikasi secara terbuka, mampu memahami orangtua, mampu menghormati orangtua, mampu

mempercayai orangtua, dan bersedia untuk berkomunikasi secara terbuka dengan orangtua.

3 Kematangan Pemisahan Psikologis

Pemisahan psikologis semakin matang seiring dengan perkembangan individu (Blos, 1979; Mahler, 1968 dalam Hoffman, 1984; Kroger, 2004; Rakipi, 2015). Individu telah mencapai kematangan kognitif, psikososial, dan emosional pada usia 17 tahun (Koepke & Denissen, 2012; Kroger, 2004; Rakipi, 2015). Individu mampu melihat orangtua dari sudut pandang yang berbeda melalui apresiasi peran orangtua dalam hidup mereka sekaligus identifikasi orangtua sebagai orang dewasa pada umumnya yang memiliki kelebihan, kekurangan, serta kehidupan pribadi (Koepke & Denissen, 2012; Levy-Warren, 1999; Rakipi, 2015). Individu juga telah mampu menerima tanggung jawab pribadi, membuat keputusan secara mandiri, serta memiliki kejelasan tentang siapa diri mereka, apa yang mereka inginkan, bagaimana mereka menyesuaikan diri dengan masyarakat, dan dengan siapa mereka berhubungan (Arnett, 2000; Levy- Warren, 1999).

C. MAHASISWA TAHUN PERTAMA YANG MERANTAU

1. Pengertian Mahasiswa Tahun Pertama yang Merantau

Departemen Pendidikan Nasional (2008) menyatakan bahwa mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi. Departemen

Pendidikan Nasional (2008) menjelaskan bahwa merantau adalah pergi ke negeri lain untuk mencari penghidupan, ilmu, dan sebagainya. Dengan demikian, peneliti menyimpulkan bahwa mahasiswa tahun pertama yang merantau adalah individu yang meninggalkan daerah asalnya untuk mencari ilmu dengan menjalani pendidikan pada tahun pertama di suatu perguruan tinggi.

2. Tahap Perkembangan dan Karakteristik Mahasiswa Tahun Pertama

Sarwono (1978) menyatakan bahwa mahasiswa memiliki rentang usia antara 18 hingga 30 tahun. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa tahun pertama berada pada usia sekitar 18 tahun. Arnett (2000) menjelaskan bahwa individu yang berada dalam rentang usia antara 18 hingga 25 tahun berada pada tahap perkembangan emerging adulthood. Arnett (2015) memaparkan lima karakteristik tahap perkembangan emerging adulthood sebagai berikut:

2.1Eksplorasi Identitas (Identity Explorations)

Emerging adult mengeksplorasi identitas diri, terutama dalam dimensi percintaan dan karir. Mereka belajar untuk lebih memahami diri sendiri serta mengetahui apa yang mereka inginkan dalam hidup. Mereka lebih mandiri dibandingkan saat remaja, tetapi belum memasuki kehidupan dewasa yang stabil seperti pekerjaan jangka panjang, pernikahan, dan menjadi orangtua.

2.2Ketidakstabilan (Instability)

Emerging adult mengalami periode kehidupan yang penuh tekanan dan tidak stabil karena rencana mereka untuk menjalani kehidupan mengalami berbagai perbaikan. Periode kehidupan ini membuat mereka belajar sesuatu mengenai diri mereka sendiri, sehingga mampu mengambil langkah untuk memperjelas masa depan seperti apa yang mereka inginkan.

2.3Memfokuskan Perhatian pada Diri Sendiri (Self-Focus)

Individu pada masa ini memiliki paling sedikit kewajiban terhadap orang lain, sehingga mereka mampu memfokuskan perhatian pada diri sendiri. Dengan memfokuskan perhatian pada diri sendiri, emerging adult mengembangkan berbagai kemampuan untuk kehidupan sehari- hari serta mendapatkan pemahaman yang lebih baik mengenai siapa diri mereka dan apa yang mereka inginkan dari kehidupan mereka. Mereka mulai membangun suatu fondasi untuk kehidupan di masa dewasa kelak.

2.4Merasa Berada di antara Remaja Menuju Dewasa (Feeling In-

Between)

Emerging adult tidak lagi merasa bahwa diri mereka adalah seorang remaja, namun mereka juga belum merasa sebagai seseorang yang telah dewasa.

2.5Kemungkinan/Optimisme (Possibilities/Optimism)

Emerging adult memiliki kesempatan luas untuk melakukan perubahan pada hidup mereka dengan kemungkinan-kemungkinan yang positif untuk masa depannya.

3. Dinamika Mahasiswa yang Merantau

Nasution (1997) menjelaskan bahwa mahasiswa yang merantau mengalami perubahan dalam lingkungan fisik, biologis, budaya, psikologis, dan ekonomi. Perubahan lingkungan fisik terlihat pada mahasiswa perantau yang kini tidak lagi tinggal bersama orangtua. Bagi mahasiswa perantau yang kini tinggal di daerah padat penghuni seperti kos atau asrama, mereka harus menggunakan sarana secara bergiliran serta harus bertoleransi dengan penghuni lain.

Perubahan biologis tampak pada perubahan gizi karena menu makanan yang dikonsumsi harus disesuaikan dengan kondisi keuangan. Perubahan budaya meliputi perbedaan bahasa serta norma sosial yang berlaku di masyarakat sekitar. Perubahan psikologis terlihat dari mahasiswa perantau yang menjadi lebih mandiri karena dengan hidup terpisah dari orangtua, mereka belajar untuk bertanggung jawab dan bekerja sama dengan orang lain. Perubahan ekonomi tampak dari perubahan biaya hidup seperti harga barang kebutuhan sehari-hari di perantauan yang lebih mahal.

D. HUBUNGAN ANTARA ORANGTUA DAN MAHASISWA TAHUN

PERTAMA

Mahasiswa tahun pertama berada pada tahap perkembangan emerging adulthood (Arnett, 2000). Pada tahap perkembangan ini, mahasiswa belajar untuk berhubungan dengan orangtua sebagai dua orang dewasa yang saling menghormati (Santrock, 2014a). Hubungan antara orangtua dan emerging adulthood tidak lepas dari hubungan pada tahap perkembangan sebelumnya.

Hubungan antara ibu dan anak lebih dahulu terjalin daripada hubungan antara ayah dan anak. Hubungan antara ibu dan anak sudah mulai terjalin sejak anak masih berada di dalam kandungan ibu (Brandon, Pitts, Denton, Stringer, & Evans, 2009 dalam Maas, 2013). Setelah anak lahir, ibu juga lebih banyak berperan dalam mengasuh anak daripada ayah, sehingga anak cenderung lebih terikat kepada ibu (Blakemore, Berenbaum, & Liben, 2009; Parke & Clarke-Stewart, 2011 dalam Santrock, 2014b; Vergara, 2011 dalam Bozhenko, 2011).

Pada masa remaja, anak juga memiliki hubungan yang lebih dekat dengan ibu daripada ayah. Ibu tidak hanya membuat dan menegakkan aturan, tetapi juga mendengarkan masalah remaja, terlibat dalam perasaan dan kebutuhan remaja, berbagi rahasia, serta menunjukkan rasa hormat terhadap cara pandang remaja. Interaksi tersebut berkontribusi terhadap rasa keterhubungan pada remaja. Di sisi lain, remaja cenderung memandang ayah mereka sebagai figur otoriter. Hubungan antara ayah dan anak remaja cenderung kurang intim (Youniss & Smollar, 1994).

Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa anak memiliki hubungan yang lebih dekat dengan ibu daripada ayah. Dengan demikian, lebih tepat apabila penelitian ini mengukur pemisahan psikologis mahasiswa dari sosok ibu.

E. TEMUAN-TEMUAN YANG RELEVAN

Beyers dan Goossens (2003) melakukan penelitian mengenai hubungan antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi pada 969 mahasiswa tahun pertama, ketiga, dan kelima di sebuah universitas di Belgia. Sebagian besar responden tersebut tidak tinggal bersama orangtua. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemisahan psikologis berhubungan positif dengan keseluruhan dimensi penyesuaian diri di perguruan tinggi.

Penelitian Delhaye, Kempenaers, Linkowski, Stroobants, dan Goosens (2012) menyatakan bahwa pemisahan psikologis berhubungan positif signifikan dengan penyesuaian diri emosional pada 350 mahasiswa kedokteran tahun kedua di Belgia. Hasil penelitian Hilmawati dan Susiati (2015) pada 68 mahasiswa psikologi Universitas Padjajaran yang tinggal terpisah dari orangtua menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara pemisahan psikologis dan penyesuaian diri di perguruan tinggi.

Hasil penelitian Choi (2002) menyatakan bahwa kebebasan konfliktual sebagai salah satu aspek pemisahan psikologis berhubungan positif signifikan dengan keseluruhan dimensi penyesuaian diri di perguruan tinggi pada 170

Dokumen terkait