• Tidak ada hasil yang ditemukan

Latar Belakang

Tanaman melon (Cucumis melo L.) termasuk dalam suku labu-labuan atau Cucurbitaceae. Tanaman melon berasal dari daerah Mediterania yang merupakan perbatasan antara Asia Barat dengan Eropa dan Afrika. Tanaman ini kemudian menyebar secara luas ke Timur Tengah dan Eropa. Buah melon mulai masuk di Indonesia pada tahun 1980 dan dikenal sebagai buah impor yang dikonsumsi oleh kalangan atas terutama tenaga ahli asing yang tinggal di Indonesia (Prajnanta, 2002). Buah melon biasanya dimakan segar sebagai buah meja atau diiris-iris sebagai campuran es buah. Bagian yang dimakan adalah daging buah (mesokarp). Teksturnya lunak, berwarna putih sampai merah, bergantung pada kultivarnya. Melon juga dikenal sebagai buah yang mengandung vitamin C yang diperlukan tubuh manusia. Buah melon saat ini tidak hanya dikonsumsi sebagai hidangan pencuci mulut, tetapi digunakan sebagai buah untuk terapi kesehatan oleh para ahli gizi karena memiliki khasiat. Khasiat dari buah melon antara lain yaitu untuk membantu sistem pembuangan, antikanker, menurunkan resiko stroke dan penyakit jantung serta mencegah penggumpalan darah. Melon mengandung zat adenosin, yaitu suatu zat antikoagulan yang berfungsi menghentikan penggumpalan keping sel darah.

Kebutuhan dan permintaan buah melon terus meningkat sejalan dengan berkembangnya pola gaya hidup sehat dan kesadaran masyarakat akan pemenuhan gizi yang seimbang. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) konsumsi buah melon pada tahun 2005-2008 mencapai 1.34-1.40 kg/kapita/tahun. Peningkatan konsumsi masyarakat harus diimbangi dengan ketersediaan buah melon yang berarti dilakukannya peningkatan produksi. Produksi buah melon meningkat pada kurun waktu 2004-2007, masing-masing 47 664, 58 440, 55 370, dan 59 814 ton (Departemen Pertanian, 2008). Peningkatan produksi melon dari tahun ke tahun harus diimbangi dengan penyediaan benih melon baik kuantitas maupun kualitasnya agar produktivitas melon dapat optimal.

2   

Perbanyakan tanaman melon secara konvensional dikembangkan dengan menggunakan benih (Setiadi dan Parimin, 2001). Namun perbanyakan secara konvensional ini menghadapi kendala yaitu kurangnya ketersediaan benih melon varietas unggul di Indonesia. Umumnya, benih melon yang beredar bukanlah asli Indonesia (benih impor). Para pemulia tanaman saat ini telah berhasil melakukan hibridisasi melon sehingga diperoleh varietas tanaman melon yang memiliki mutu baik (melon hibrida). Varietas melon hibrida memiliki tingkat keseragaman dan kualitas buah yang lebih tinggi, umur genjah, tahan dalam penyimpanan, lebih tahan terhadap hama dan penyakit serta memiliki adaptasi yang luas dengan lingkungan (Bayuardi, 2006). Melon hibrida dihasilkan dengan cara dilakukan persilangan antara tetua jantan dan betina yang memiliki karakter yang baik sehingga diperoleh benih melon yang memiliki sifat unggul. Produksi benih melon hibrida saat ini masih menghadapi kendala yaitu harus dilakukan persilangan untuk mendapatkan benih melon tersebut. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk membantu permasalahan ini adalah melalui teknik kultur jaringan (in vitro).

Perbanyakan tanaman melalui teknik in vitro diharapkan dapat membantu penyediaan bibit melon dalam jumlah banyak, bebas patogen berbahaya, dan seragam untuk penanaman skala luas tanpa meninggalkan jaminan kualitasnya. Salah satu teknik yang paling banyak digunakan dalam perbanyakan tanaman secara in vitro adalah embriogenesis. Menurut Gunawan (1992), embriogenesis merupakan proses terbentuknya embrio somatik yaitu embrio yang berasal bukan dari zigot, tetapi yang berasal dari sel biasa tubuh tanaman (sel somatik).

Embriogenesis somatik merupakan suatu proses pembentukan embrio dengan sel-sel somatik (baik haploid maupun diploid) yang berkembang membentuk tumbuhan baru melalui tahapan perkembangan embrio yang spesifik tanpa melalui fusi gamet (William dan Maheswara, 1986). Proses embriogenesis dapat berlangsung secara langsung atau tidak langsung. Proses embriogenesis secara langsung terjadi pembentukan proembrio atau embrioid pada potongan eksplan, sedangkan embriogenesis secara tidak langsung diawali dengan pembentukan kalus terlebih dahulu (Wattimena et al., 1992). Regenerasi melalui embriogenesis somatik memberikan banyak keuntungan antara lain: waktu

perbanyakan lebih cepat, pencapaian hasil dalam mendukung program perbaikkan tanaman lebih cepat, dan jumlah bibit yang dihasilkan tidak terbatas jumlahnya (Mariska, 1996).

Penelitian induksi embrio somatik pada melon telah dilakukan sebelumnya di Jepang. Menurut hasil penelitian Kageyama di Jepang (1991) perkembangan embrio somatik melon terbaik dikulturkan pada media Murashige and Skoog (MS) ditambah hormon 2,4-dichlorophenoxyacetic acid (2,4-D) 1 mg/l, 2- napthaleneacetic acid (NAA) 4 mg/l dan 6-benzylaminopurine (BA) 0,1 mg/l. Penelitian ini menunjukkan bahwa media MS ditambah hormon 2,4-D memberikan pengaruh perkembangan embrio somatik yang normal secara morfogenesis (Kageyama, et al, 1991). Tabei (1991) berhasil melakukan induksi embrio somatik melon pada media MS yang ditambahkan auksin 2,4-D pada konsentrasi yang tinggi yaitu 1.0 – 2.0 mg/l.

Penelitian ini menginduksi embrio somatik melon dengan menggunakan berbagai media (MS, B5 dan Wood Plant Medium (WPM)) dan ZPT (2,4-D, Picloram, NAA dan BAP) pada tingkat konsentrasi yang berbeda- beda.

Tujuan

Percobaan 1 dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis media kultur dan konsentrasi 2,4-D yang tepat untuk menginduksi embrio somatik melon. Tujuan dari percobaan 2 yaitu untuk mengetahui jenis serta konsentrasi auksin dan sitokinin yang tepat untuk menginduksi embrio somatik melon dalam kultur in vitro.

Hipotesis

Hipotesis percobaan 1 :

1. Terdapat jenis media yang optimum untuk induksi embrio somatik melon. 2. Terdapat konsentrasi 2,4-D yang optimum untuk induksi embrio somatik

4   

3. Terdapat interaksi antara jenis media dan konsentrasi 2,4-D untuk induksi embrio somatik melon.

Hipotesis percobaan 2 :

1. Terdapat jenis dan konsentrasi auksin yang optimum untuk induksi embrio somatik melon.

2. Terdapat konsentrasi BAP yang optimum untuk induksi embrio somatik melon.

3. Terdapat interaksi antara auksin (2,4-D, picloram, dan NAA) dan BAP untuk induksi embrio somatik melon.

Botani Melon

Klasifikasi botani tanaman melon adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantarum

Divisi : Spermatophyta Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledonae Sub-kelas : Sympetalae Ordo : Cucurbitales Keluarga : Cucurbitaceae Genus : Cucumis

Spesies : Cucumis melo L.

Tanaman melon (Cucumis melo L.) merupakan famili cucurbitaceae. Melon termasuk tanaman yang menghasilkan biji sehingga dimasukkan dalam tumbuhan berbiji (Spermatophyta). Biji melon tertutup oleh bakal buah sehingga dimasukkan ke dalam golongan tumbuhan berbiji tertutup (Angiospermae). Tanaman melon terdiri dari dua daun lembaga sehingga dimasukkan dalam kelas tumbuhan berbiji belah (dikotil) dan tergolong dalam genera Cucumis.

Tanaman melon bersifat polimorfik, spesiesnya ada yang berbunga jantan, berbunga betina, dan berbunga hemafrodit atau sempurna. Melon yang berada di Amerika biasanya berbunga andromonoecious, yaitu pada satu tanaman menghasilkan bunga jantan dan hemafrodit. Bunga jantan muncul secara berkelompok pada ketiak daun yang berjarak cukup jauh dari bunga hemafrodit. Bunga melon membuka sesudah matahari terbit, yang sangat bergantung pada temperatur serta kelembaban. Bila temperatur rendah, kelembaban tinggi, dan berawan, biasanya membukanya daun akan tertunda. Bunga mekar pada siang hari dan pada hari itu juga tertutup kembali (Ashari, 1995). Bunga jantan terdiri dari mahkota bunga dan benang sari serta tidak memiliki bakal buah. Bunga jantan ditopang oleh tangkai bunga yang pipih panjang. Bunga jantan akan gugur setelah 1-2 hari mekar. Bunga betina umumnya terdapat pada ketiak daun ke-1 atau ke-2

6   

pada setiap ruas percabangan. Bunga betina memiliki putik, mahkota bunga, dan bakal buah. Bakal buah yang berbentuk bulat lonjong ditopang oleh tangkai buah yang pendek dan tebal. Bunga betina akan gugur apabila 2-3 hari setelah mekar tidak diserbuki.

Biji melon terdapat di antara rongga buah dan terbalut oleh plasenta berwarna putih. Biji melon pada umumnya berwarna cokelat muda, panjang rata- rata 0.9 mm dan diameter 0.4 mm. Dalam satu buah melon terdapat sekitar 500- 600 biji. Buah melon memiliki bentuk yang bermacam-macam yaitu bulat, oval dan lonjong. Bentuk buah melon bergantung pada varietasnya. Bentuk buah melon yang bulat terdapat pada varietas Sky Rocket, Jade Dew, Action, Aroma, Sweet Star dan Emerald Sweet. Melon dengan bentuk buah oval terdapat pada varietas Ten Me. Buah melon yang berbentuk lonjong terdapat pada varietas New Century dan Super Salmon. Buah melon memiliki warna kulit buah yang beragam dan bergantung pada varietas. Umumnya melon yang dibudidayakan di Indonesia berwarna hijau muda pada saat masih muda dan berubah menjadi hijau tua ketika matang (Prajnanta, 2002).

Kultur Jaringan

Kultur jaringan adalah suatu metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, kelompok sel, jaringan dan organ serta menumbuhkannya dalam lingkungan yang aseptik, sehingga bagian-bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman yang utuh (Gunawan, 1992). Menurut Wattimena et al. (1992), teknik kultur jaringan adalah teknik bagaimana mengisolasi bagian-bagian tanaman (sel, protoplasma, tepung sari, ovari, dan sebagainya), ditumbuhkan secara tersendiri, dipacu untuk untuk memperbanyak diri, akhirnya diregenerasikan kembali menjadi tanaman lengkap dalam suatu lingkungan yang aseptik dan terkendali. Salah satu penerapan kultur jaringan adalah perbanyakan mikro. Tujuan utama penerapan perbanyakan dengan menggunakan teknik kultur jaringan adalah produksi tanaman dalam jumlah besar dalam waktu yang singkat terutama untuk varietas-varietas unggulan serta memperoleh tanaman yang terbebas dari serangan

patogen. Torres (1989) menyatakan tujuan utama dari perbanyakan secara in vitro tanaman sayuran meliputi produksi planlet dari tanaman yang sulit diperbanyak dari biji, produksi bahan tanaman bebas virus dan perbaikan tanaman melalui modifikasi genetika.

Werbrounds dan Debergh (1993) menyebutkan bahwa secara umum terdapat lima tahapan dalam kultur jaringan yaitu: tahap persiapan, tahap inisiasi, tahap kultur, tahap pemanjangan tunas, inisiasi akar, dan perkembangan akar serta aklimatisasi. Tujuan utama dari penerapan metode kultur jaringan adalah produksi bibit dalam jumlah besar dan waktu singkat, terutama untuk kultivar-kultivar unggul yang baru dihasilkan.

Eksplan

Eksplan adalah bagian tanaman yang dijadikan bahan perbanyakan awal yang ditanam dalam media, yang akan menunjukkan pertumbuhan dan perkembangan tertentu. Arah pertumbuhan dan perkembangan atau regenerasi ditentukan oleh komposisi media, zat pengatur tumbuh yang digunakan, bagian tanaman yang dijadikan eksplan, genotipe, umur eksplan, letak pada cabang, serta lingkungan tumbuh (Gunawan, 1992). Eksplan dapat berasal dari daun, peduncles,

bulb scales, petal, anther dan sisik umbi dari umbi-umbi yang tumbuh dalam kultur (Conger, 1980). Gunawan (1992) menambahkan bahwa eksplan yang diusahakan untuk kultur jaringan harus dalam keadaan aseptik, sehingga dapat diperoleh kultur yang asenik yaitu kultur dengan hanya satu macam organisme yang diinginkan. Pada umumnya semua bagian tanaman dapat dijadikan eksplan tetapi sel-sel yang telah mengalami diferensiasi lebih lanjut sulit ditumbuhkan dibandingkan sel-sel meristematik. Tidak semua jaringan tanaman memiliki kemampuan yang sama untuk berdiferensiasi. Eksplan yang berukuran sangat kecil memiliki daya tahan yang rendah untuk dikulturkan. Banyak sedikitnya tunas yang dihasilkan dipengaruhi oleh ukuran dari suatu eksplan. Eksplan yang berukuran 0.5-1.55 mm mampu memproduksi tunas yang lebih banyak (Conger, 1980).

8   

Embrio somatik dapat diinisiasi dari jaringan juvenil atau jaringan meristematik. Eksplan yang dapat digunakan dapat berupa daun muda, ujung tunas, kotiledon, dan hipokotil, tetapi respon eksplan sangat bergantung dari genotipe tanaman. Pada beberapa spesies tanaman hanya jaringan tertentu yang dapat digunakan untuk inisiasi embrio somatik (Gray, 2000).

Penggunaan eksplan yang bersifat meristematik umumnya memberikan keberhasilan pembentukan embrio somatik yang lebih tinggi (Purnamaningsih, 2002). Oridate dan Oosawa (1986) melaporkan embrio somatik berhasil diinduksi dari eksplan yang berasal dari kotiledon pada tanaman melon. Hal yang sama juga dilaporkan oleh Tabei et al. (1991) yang berhasil menginduksi embrio somatik melon dengan menggunakan eksplan yang berasal dari kotiledon biji tua, kotiledon dan hipokotil dari biji yang dikecambahkan, dan daun serta petiol dari planlet muda. Pada tanaman yang segenus yaitu mentimun (Cucumis sativus L.) penelitian mengenai organogenesis dan embriogenesis telah berhasil dilakukan. Sumber eksplan yang digunakan dalam menginduksi embrio somatik yaitu kotiledon dan hipokotil dari biji yang dikecambahkan secara in vitro (Chee, 1990). Hal yang sama juga dilaporkan oleh Ladyman dan Girard (1992), yang berhasil menginduksi embrio somatik dengan menggunakan eksplan kotiledon dari biji yang dikecambahkan secara in vitro. Hasil penelitian Kuijpers et al. (1996) di Belanda, berhasil menginduksi embrio somatik pada tanaman mentimun dengan menggunakan eksplan daun muda dari biji yang dikecambahkan secara in vitro.

Media Kultur

Pertumbuhan kultur dan laju pembentukan tunas dipengaruhi oleh keadaan fisik dari media tanam. Komposisi media adalah salah satu faktor yang memiliki peranan penting untuk pertumbuhan dan morfogenesis jaringan tanaman dalam proses perbanyakan (Conger, 1980). Media yang memenuhi syarat adalah media yang mengandung nutrisi makro dan mikro dalam kadar dan perbandingan tertentu serta sumber energi yang pada umumnya menggunaakan sukrosa (Wetherel, 1982). Selanjutnya Gunawan (1992) menambahkan bahwa penambahan sukrosa sebagai sumber energi pada media kultur dapat membantu

pertumbuhan eksplan. Sukrosa yang pada umumya dalam media kultur berupa gula merupakan sumber karbohidrat untuk menggantikan karbon yang biasanya didapat dari atmosfer melalui proses fotosintesis.

Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan sangat bergantung pada media yang digunakan. (Gunawan, 1992). Menurut George dan Sherrington (1984), jenis media kultur jaringan dibedakan berdasarkan bentuk fisiknya, yaitu media padat dan media cair yang mempunyai kelebihan dan kekurangan masing- masing. Pemilihan jenis media disesuaikan dengan jenis eksplan dan tujuan yang diinginkan. Keuntungan penggunaan media padat antara lain dapat menghasilkan pertumbuhan tunas yang cepat, morfogenesis dari kalus lebih baik, tunas serta akar dapat tumbuh dengan teratur. Kekurangannya yaitu kontak eksplan dengan media sedikit karena potensial air yang rendah.

Media MS (Murashige dan Skoog) merupakan media yang umum digunakan untuk perbanyakan sejumlah besar spesies tanaman. Media MS banyak mengandung unsur nitrogen (KNO3 dan NH4NO3; Tabel Lampiran 1) yang mampu menstimulasi terjadinya inisiasi embriogenesis (Torres, 1989).

Media B5 dikembangkan oleh Gamborg dan Grupnya pada tahun 1968 untuk kultur suspensi kedelai. Pada masa ini media B5 digunakan untuk kultur- kultur lain. Media ini menggunakan konsentrasi NH4+ yang rendah (Tabel

Lampiran 2). Fosfat yang diberikan adalah 1 mM, Ca2+ antara 1 – 4 mM,

sedangkan Mg2+ antara 0,5 – 3 mM (Gunawan, 1992).

Media WPM (Woody Plant Medium) dikembangkan oleh Llyod dan Mc Cown pada tahun 1981, merupakan media dengan konsentrasi ion yang rendah pada jaman sesudah penemuan media MS. Media ini konsisten dengan media untuk tanaman berkayu yang dikembangkan oleh ahli lain, tetapi sulfat yang digunakan lebih tinggi dari sulfat pada media tanaman berkayu lain (Gunawan, 1992).

Embriogenesis Somatik

Embriogenesis somatik adalah proses pembentukan embrio yang berasal dari sel atau jaringan vegetatif tanaman yang membentuk struktur embrioid karena

10   

menyerupai embrio yang berasal dari sel zigot. Tahap pertama dalam terbentuknya embrio somatik yaitu pembelahan sel tunggal secara terus-menerus sehingga terbentuk kumpulan sel, kemudian kumpulan sel tersebut berkembang ke tahap pembentukan proembrio globular lalu tahap jantung, dan terakhir tahap torpedo. Embrio somatik pada tahap torpedo akan berkembang menjadi tanaman muda (Dodds dan Roberts, 2002).

Embrio somatik dapat terbentuk secara langsung atau tidak langsung. Embriogenesis somatik secara tidak langsung dimulai dengan pembelahan sel secara terus-menerus menjadi kalus. Kalus adalah suatu kumpulan sel amorphous yang terjadi dari sel-sel jaringan yang membelah secara terus-menerus (Gunawan, 1992). Kalus biasanya terbentuk setelah eksplan dikulturkan dalam media yang mengandung auksin. Banyak faktor yang mempengaruhi embriogenesis antara lain auksin eksogen, sumber eksplan, komposisi nitrogen yang ditambahkan dalam media dan korbohidrat (sukrosa). Selanjutnya sel membelah terus hingga memasuki tahap globular. Pada tahap globular sel aktif membelah ke segala arah dan membentuk lapisan terluar yang akan menjadi protoderm (bakal epidermis). Kelompok sel yang merupakan prekursor jaringan dasar dan jaringan pembuluh pun mulai terbentuk. Pembelahan sel ke segala arah akan terhenti ketika primordia kotiledon terbentuk, yaitu pada saat embrio matang sudah autotrof. Embrio matang akan berkecambah dan tumbuh menjadi tumbuhan baru pada kondisi yang cocok (Bajaj, 1994; Dodeman et al., 1997; Litz, 1985). Proses pembentukan dan perkembangan embrio (embriogenesis) menentukan pola pertumbuhan, yaitu meristem pucuk ke atas, meristem akar ke bawah, dan pola-pola dasar jaringan lainnya berkembang pada aksis pucuk akar ini, namun terdapat variasi proses embriogenesis pada setiap tumbuhan.

Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik kompleks alami yang disintesis oleh tanaman tingkat tinggi, yang berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Terdapat lima kelompok zat pengatur tumbuh yang terdapat di dalam tanaman yaitu auksin, sitokinin, giberelin, asam absisik dan

etilen yang masing-masing memiliki ciri khas dan pengaruh yang berlainan terhadap proses fisiologi (Abidin, 1983). Kelima zat pengatur tumbuh ini terdapat di dalam tanaman dalam berbagai bentuk, sehingga sulit untuk mengerti cara kerja masing-masing dengan baik (Wattimena, 1988).

Menurut Wattimena (1988), zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik bukan nutrisi yang aktif dalam jumlah kecil (10-6 – 10-5 mM) yang disintesis pada bagian tertentu dari tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis dan morfologis.

Dalam kultur jaringan, ada dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting adalah sitokinin dan auksin. Zat pengatur tumbuh ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis dalam kultur sel, jaringan dan organ. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen, menentukan arah perkembangan suatu kultur. Penambahan auksin atau sitokinin eksogen mengubah level ZPT endogen sel (Gunawan, 1992).

Zat pengatur tumbuh auksin banyak dipergunakan secara luas dalam kultur jaringan tanaman, memiliki peran dalam mendorong perpanjangan sel, pembelahan sel, menginduksi pembentukan kalus, differensiasi jaringan xilem dan floem, pembentukan akar, pembungaan, pembentukan buah-buah paternokarpi, pembentukan bunga betina pada tanaman dioecious, dominasi apikal, respon tropisme serta menghambat pengguguran buah dan bunga (George dan Sherington, 1984). Abidin (1983) dan Wattimena (1988) menyatakan bahwa sitokinin adalah salah satu zat pengatur tumbuh yang memiliki peranan dalam proses pembelahan sel. Selanjutnya Wattimena (1988) menambahkan bahwa beberapa efek fisiologis dari sitokinin adalah mendorong pembelahan sel, mempengaruhi perkembangan embrio, memperlambat proses penghancuran butir- butir klorofil, memperlambat proses senesen pada daun, buah dan organ-organ lainnya. Menurut Hennen (1983), sitokinin yang biasanya digunakan dalam kultur jaringan tanaman dalam konsentrasi yang bervariasi yaitu kinetin, zeatin, BAP/BA, 2ip dan Thidiazuron.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Pelaksanaan

Kegiatan penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini dilaksanakan selama 5 bulan yang terhitung dari bulan Mei sampai dengan bulan September 2009.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan sebagai eksplan dalam penelitian ini adalah biji melon muda dan biji melon tua H-7 koleksi Pusat Kajian Buah-buahan Tropika IPB. Media kultur MS (Murashige and Skoog), media B5, dan media WPM (Woody Plant Medium), agar-agar sebagai bahan pemadat, sukrosa (gula), zat pengatur tumbuh (2,4-D, picloram, NAA, dan BAP), klorox, alkohol 70%, bakterisida (streptomycin sulfat), fungisida (mankozeb), detergen, betadhine dan air steril.

Alat yang digunakan terdiri dari botol kultur, gelas ukur, gelas piala besar, cawan petri, corong plastik, kompor, autoclave, laminar airflow cabinet, pH meter, lampu spiritus, botol sprayer, rak kultur, plastik gulung dan karet gelang serta peralatan diseksi seperti sudip, pinset, pisau, dan scalpel.

Metode Penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan perlakuan dua faktor dengan menggunakan rancangan acak kelompok (RAK).

Pada percobaan 1 faktor pertama adalah jenis media tumbuh dengan 3 taraf yaitu: Media MS, Media WPM, dan Media B5. Faktor kedua adalah konsentrasi zat pengatur tumbuh auksin jenis 2,4-D, dengan 4 taraf yaitu: 0, 0.5, 1.0 dan 1.5 mg/l. Terdapat 12 kombinasi perlakuan dan setiap perlakuan diulang 3

kali berdasarkan hari penanaman sehingga diperoleh 36 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri dari 5 botol dan 1 botol terdiri dari 4 eksplan

Pada percobaan 2 faktor pertama adalah jenis dan konsentrasi auksin yang terdiri dari 7 taraf yaitu: tanpa auksin, 1.0 mg/l 2,4-D, 2.0 mg/l 2,4-D, 1.0 mg/l picloram, 2.0 mg/l picloram, 1.0 mg/l NAA, dan 2.0 mg/l NAA. Faktor kedua adalah konsentrasi BAP yang terdiri dari 2 taraf yaitu: 0 dan 0.1 mg/l. Terdapat 14 kombinasi perlakuan dan setiap perlakuan diulangan 3 kali berdasarkan hasil penanaman sehingga diperoleh 42 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri dari 5 botol dan 1 botol terdiri dari 4 eksplan.

.Uji statistik yang digunakan yaitu analisis sidik ragam. Model rancangan yang digunakan adalah :

Yijk = µ + αi + βj + (αβ)ij + k + ijk

i = perlakuan jenis media (percobaan 1) atau taraf jenis dan taraf konsentrasi

auksin (percobaan 2)

j = perlakuan taraf konsentrasi 2,4-D (perobaan 1) atau taraf konsentrasi BAP (percobaan 2)

k = 1, 2, 3 (ulangan) Yijk = respon perlakuan µ = pengaruh rata-rata umum

αi = pengaruh perlakuan jenis media (percobaan 1) atau jenis dan taraf konsentrasi auksin (percobaan 2) pada taraf ke-i

βj = pengaruh perlakuan konsentrasi 2,4-D (percobaan 1) atau konsentrasi BAP (percobaan 2) pada taraf ke-j

(αβ)ij = pengaruh interaksi antara dua faktor perlakuan k = pengaruh kelompok ke-k

ijk = pengaruh galat percobaan

Pada percobaan 1 : Pada Percobaan 2 :

i = 1,2,3 i = 1,2,3,...,7

j = 1,2,3,4 j = 1,2

14   

Data pengamatan diuji dengan menggunakan analisis ragam, jika terdapat pengaruh yang nyata, maka akan dilanjutkan dengan uji lanjut DMRT (Duncan Multiple Range Test) pada taraf 5%. Pengolahan data dilakukan dengan perangkat lunak Statistical Analysis System (SAS).

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan dan Sterilisasi Alat

Alat-alat yang digunakan untuk kegiatan penanaman harus dalam keadaan steril. Botol kultur, cawan petri, alat tanam (pinset, pisau dan scalpel) dicuci bersih terlebih dahulu kemudian dikeringkan. Peralatan tanam dan cawan petri tersebut dibungkus dengan kertas. Semua peralatan tersebut disterilisasi dengan

autoclave pada temperatur 1210C dengan tekanan 1.1 kgcm2 selama 1 jam. Perhitungan waktu sterilisasi dimulai setelah tekanan mencapai 1.1 kgcm2.

Pembuatan Larutan Stok

Pembuatan larutan stok bahan pembuat media MS, B5 dan WPM bertujuan untuk memudahkan pembuatan media. Larutan stok media dibuat sesuai dengan komposisi media MS, WPM, dan B5 (Tabel Lampiran 1, 2, dan 3) yang

Dokumen terkait