• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAHAN DAN METODE

Percobaan 1 Kondisi Umum

Bahan tanam pada percobaan pertama dalam penelitian ini menggunakan biji melon yang berasal dari buah melon muda berumur 15 hari setelah penyerbukan. Penanaman biji melon muda dilakukan pada tanggal 28, 29 dan 30 April 2009. Biji yang sudah ditanam disimpan dalam ruang gelap dan diamati selama 10 minggu. Tahap sterilisasi pada percobaan satu diduga kurang memadai karena tingkat kontaminasi kultur yang terjadi cukup tinggi yaitu sebesar 34%. Pada umumnya kontaminasi yang terjadi pada percobaan 1 disebabkan oleh cendawan (Gambar 4 dan 5) yang tumbuh pada media maupun eksplan.

Gambar 4. Eksplan yang Terkontaminasi Gambar 5. Media yang Terkontaminasi Oleh Cendawan Oleh Cendawan

Pada percobaan 1 respon yang diberikan eksplan muncul pada minggu kedua setelah tanam yaitu biji berkecambah. Perkembangan yang terjadi selanjutnya setelah biji berkecambah yaitu mulai terbentuknya kalus pada bagian pangkal hipokotil pada minggu kelima setelah tanam. Kalus berwarna putih dan ditumbuhi bulu-bulu halus pada permukaannya. Biji berkecambah diduga karena biji muda hampir membentuk biji sempurna dan ditanam secara utuh. Biji melon yang tidak berkecambah menunjukkan respon yang berbeda. Kulit biji membelah kemudian membentuk kalus pada bagian kotiledon biji yang terkena media. Kalus yang terbentuk merupakan kalus embriogenik karena strukturnya remah, berwarna bening kekuningan dan mudah terpisah bila terkena sedikit sentuhan. Kalus embriogenik yang terbentuk tidak menghasilkan embrio somatik. Pada tahap awal, kalus embriogenik yang terbentuk mengalami pembesaran. Pembesaran kalus

embriogenik mulai terhenti, ditandai dengan perubahan warna dari bening kekuningan menjadi coklat. Perubahan warna ini juga sebagai indikator bahwa perkembangan kalus embriogenik sudah berhenti.

Persentase Biji Berkecambah

Biji berkecambah mulai terjadi pada minggu ke-2 setelah tanam (Gambar 6). Hasil uji F pada Tabel 1 memperlihatkan bahwa perlakuan jenis media dan taraf konsentrasi 2,4-D berpengaruh nyata terhadap rata-rata persentase biji berkecambah. Tidak terdapat interaksi antara perlakuan jenis media dan konsentrasi 2,4-D terhadap persentase biji berkecambah.

Gambar 6. Biji Berkecambah pada 2 MST

Tabel 1. Rekapitulasi Sidik Ragam Persentase Biji Berkecambah Minggu Setelah Tanam (MST) Media Konsentrasi 2,4-D Interaksi KK (%) 2 t tn * tn 40.70 3 t tn ** tn 32.27 4 tn * tn 25.90 5 * * tn 25.18 6 * tn tn 27.08 7 ** * tn 17.51 8 ** * tn 17.53 9 ** * tn 17.53 10 ** * tn 17.53

Ket : tn tidak berbeda nyata pada taraf 5% *, ** berbeda nyata pada taraf 5% dan 1%

t

data ditransformasi dengan rumus √x 0.5

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa jenis media memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap rata-rata persentase biji berkecambah dimulai dari 7 MST. Perlakuan media B5 memberikan hasil biji berkecambah lebih banyak dari

22   

perlakuan media WPM dan MS. Perlakuan media MS dan WPM memberikan hasil tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5% (Tabel 2).

Tabel 2. Pengaruh Jenis Media Terhadap Rata-rata Persentase Biji Berkecambah Jenis Media Waktu Pengamatan Minggu Setelah Tanam (MST)

5 6 7 8 9 10 MS 35.7 b 45.1 b 51.1 b 51.1 b 51.1 b 51.1 b B5 44.4 a 60.7 a 79.8 a 79.8 a 79.8 a 79.8 a WPM 34.7 b 47.6 b 59.1 b 59.6 b 59.6 b 59.6 b

Ket : Tanda huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) 5 %

Berdasarkan hasil yang diperoleh, disajikan pada Tabel 2, dapat dikatakan bahwa media B5 kurang tepat bila digunakan untuk menginduksi embrio somatik karena memacu perkecambahan biji. Biji berkecambah tidak diharapkan dalam induksi embrio somatik. Jika biji berkecambah maka akan menghambat terbentuknya embrio somatik.

Diantara media MS, B5 dan WPM kandungan KNO3- paling tinggi

terdapat pada media B5. Pemberian unsur nitrogen dalam bentuk KNO3-

cenderung mempengaruhi pertumbuhan eksplan. Hal ini diduga mempengaruhi persentase perkecambahan biji. Menurut Purnamaningsih (2002), nitrogen merupakan faktor utama dalam memacu morfogenesis secara in vitro. Ketersediaan unsur nitrogen di dalam media disediakan dalam bentuk NO3- dan

NH4+ (Beyl, 2005).

Berdasarkan Gambar 7, dapat dilihat bahwa konsentrasi 2,4-D sebesar 1.5 mg/l dapat menekan perkecambahan biji dibandingkan taraf konsentrasi 2,4-D sebesar 0, 0.5 dan 1.0 mg/l. Hal ini berarti dosis 2,4-D yang tinggi mampu menekan perkecambahan. Perkecambahan biji dalam percobaan 1 ini tidak diharapkan karena biji yang berkecambah akan sulit untuk membentuk embrio somatik. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat dikatakan bahwa penambahan auksin kedalam media dengan konsentrasi yang tinggi diperlukan untuk menginduksi embrio somatik. Menurut Gunawan (1992), penambahan auksin dan sitokinin eksogen mengubah level zat pengatur tumbuh endogen, yang kemudian merupakan trigering faktor untuk proses tumbuh dan morfogenesis.

Gambar 7. Grafik Pengaruh Konsentrasi 2,4-D Terhadap Rata-rata Persentase Biji Berkecambah

Persentase Biji Berkalus

Berdasarkan hasil uji F yang disajikan pada Tabel 3, perlakuan jenis media dan taraf konsentrasi 2,4-D berpengaruh nyata terhadap persentase biji berkalus mulai 7 MST sampai akhir pengamatan. Tidak ada interaksi antara perlakuan jenis media dan konsentrasi 2,4-D terhadap persentase biji berkalus. Biji yang berkalus ditunjukkan pada Gambar 8.

Gambar 8. Biji Berkalus pada Media B5 + 1.0 mg/l 2,4-D pada 7 MST

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST 9 MST 10 MST Peser n ta se   Biji   Berkecambah Minggu Setelah Tanam 0 mg/L 0.5 mg/L 1.0 mg/L 1.5 mg/L

24   

Tabel 3. Rekapitulasi Sidik Ragam Persentase Biji Berkalus Minggu Setelah Tanam (MST) Media Konsentrasi 2,4-D Interaksi KK (%) 4 t tn tn tn 24.76 5 t * tn tn 32.06 6 t tn tn tn 49.84 7 * ** tn 42.01 8 * ** tn 38.11 9 * ** tn 38.62 10 * ** tn 38.62

Ket : tn tidak berbeda nyata pada taraf 5% *, ** berbeda nyata pada taraf 5% dan 1%

t

data ditransformasi dengan rumus √x 0.5

Berdasarkan hasil uji lanjut Duncan yang disajikan dalam Tabel 4 dapat dilihat bahwa media B5 dan MS memberikan hasil tidak berbeda nyata terhadap rata-rata persentase biji berkalus pada minggu terakhir pengamatan (10 MST), masing-masing sebesar 40.1 dan 30.2%. Sejak pengamatan 8 MST, perlakuan jenis media B5 memberikan hasil yang lebih tinggi terhadap rata-rata persentase biji berkalus dibandingkan dengan perlakuan media WPM yang memberikan persentase biji berkalus terkecil sebesar 24.8%.

Tabel 4. Pengaruh Jenis Media Terhadap Rata-rata Persentase Biji Berkalus Jenis Media Waktu Pengamatan Minggu Setelah Tanam (MST)

7 8 9 10 MS 27.3 b 28.9 b 30.2 ab 30.2 ab

B5 38.4 a 40.1 a 40.1 a 40.1 a WPM 23.5 b 24.8 b 24.8 b 24.8 b

Ket : Tanda huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) 5 %

Berdasarkan hasil yang diperoleh (Tabel 4), dapat dikatakan bahwa media MS dan B5 dapat digunakan untuk menginduksi kalus embriogenik. Bila dihubungkan dengan hasil yang diperoleh pada Tabel 2, maka media MS merupakan media yang baik untuk menginduksi kalus embriogenik dibandingkan media B5.

Berdasarkan Gambar 9, dapat dilihat bahwa konsentrasi 2,4-D sebesar 0.5, 1.0, dan 1.5 mg/l, memberikan hasil tidak berbeda nyata, rata-rata persentase biji berkalus, masing-masing sebesar 33.6, 44.3, dan 34.3% pada 10 MST. Ketiga taraf konsentrasi 2,4-D tersebut memberikan hasil rata-rata persentase biji

berkalus yang lebih tinggi dibandingkan dengan taraf konsentrasi 0 mg/l 2,4-D. Hal ini berarti penambahan auksin 2,4-D dengan konsentrasi rendah sudah mampu untuk menginduksi kalus embriogenik.

Gambar 9. Grafik Pengaruh Konsentrasi 2,4-D Terhadap Rata-rata Persentase Biji Berkalus

Auksin berfungsi untuk pertumbuhan kalus, suspensi sel dan pertumbuhan akar. Jenis auksin 2,4-D merupakan jenis auksin yang banyak digunakan untuk induksi kalus, selain itu sering digunakan untuk mendorong pembentukan embrio somatik (Wattimena et al., 1992). Pemberian 2,4-D pada dosis rendah mampu untuk menginduksi kalus sehingga penggunaan dosis yang tinggi tidak diperlukan untuk menginduksi kalus.

Tabei et al. (1991) melaporkan bahwa pemberian 2,4-D secara tunggal pada konsentrasi 1.0 sampai 2.0 mg/l dapat menginduksi embrio somatik pada tanaman melon. Gonsalves et al. (1995) juga melaporkan embrio somatik dapat diinduksi pada media MS yang ditambahkan 2,4-D sebesar 5.0 mg/l pada tanaman

Cucurbita pepo L. Namun, pada percobaan 1 ini embrio somatik tidak terbentuk. Sebagian besar eksplan hanya membentuk kalus embriogenik dan kalus embriogenik tersebut tidak mengalami perkembangan lagi. Hanya terdapat satu kalus yang mengalami organogenesis, membentuk hipokotil dan akar (Gambar 10), yaitu pada perlakuan media MS ditambahkan 1.0 mg/l 2,4-D. Hal ini diduga

14,58 44,3 34,3 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST 9 MST 10 MST Per e sent ase   Biji   Berkalus Minggu Setelah Tanam 0 mg/L 0.5 mg/L 1.0 mg/L 1.5 mg/L

26   

karena eksplan yang dikulturkan memiliki sel atau jaringan yang mampu melakukan morfogenesis atau sel tersebut kompeten untuk beregenerasi menjadi tanaman baru.

Gambar 10. Kalus yang Mengalami Organogenesis Perlakuan Media MS + 1.0 mg/l 2,4-D Pada 10 MST

Percobaan 2 Kondisi Umum

Bahan tanam yang digunakan pada percobaan kedua yaitu kotiledon yang berasal dari biji melon tua. Biji melon tua dikupas kulit bijinya dan sebelum dilakukan penanaman bagian aksis biji dipotong sehingga diperoleh kotiledon. Penanaman dilakukan pada tanggal 25, 26 dan 27 Juni 2009. Eksplan yang sudah ditanam disimpan dalam ruang gelap dan diamati selama 6 minggu. Tingkat kontaminasi yang terjadi pada percobaan 2 cukup tinggi yaitu sebesar 45%. Kontaminasi banyak terjadi pada minggu kelima pengamatan. Pada umumnya sebagian besar kontaminasi kultur yang terjadi di percobaan 2 diakibatkan oleh cendawan (Gambar 11) dan sebagian kecil disebabkan oleh bakteri (Gambar 12).

Gambar 11. Kontaminasi Kultur Oleh Gambar 12. Kontaminasi Kultur Oleh Cendawan Bakteri

Pada percobaan 2 respon awal yang muncul yaitu kotiledon membelah menjadi dua kemudian mengalami pembesaran (Gambar 12.A). Pembesaran kotiledon ini terjadi pada hari kedua sampai hari keenam setelah tanam. Perkembangan kotiledon sangat bervariasi bergantung pada perlakuan yang diberikan. Eksplan kotiledon pada media tanpa penambahan auksin tidak membentuk kalus, perkembangan yang terjadi yaitu pertumbuhan hipokotil dan akar (Gambar 12.B). Eksplan yang ditanam pada media kultur yang ditambahkan dengan jenis auksin picloram pada umumnya mengalami pertumbuhan akar dalam jumlah yang banyak (Gambar 12.C), sedangkan eksplan yang ditanam pada media yang ditambahkan jenis auksin 2,4-D dan NAA sebagian besar mampu membentuk kalus embriogenik (Gambar 12.D). Sebagian kalus embriogenik mampu menghasilkan embrio somatik (Gambar 13). Embrio somatik terbentuk pada 42 hari setelah tanam (HST).

Gambar 12. Perkembangan Eksplan Kotiledon yang Bervariasi: (A) Kotiledon Membelah dan Membesar pada 6 HST, (B) Kotiledon Berakar dan Tumbuh Hipokotil pada Perlakuan Media tanpa ZPT pada 15

HST, (C) Kotiledon Berakar Perlakuan 1 mg/l Picloram Tanpa BAP pada 15 HST, (D) Kotiledon Membentuk Kalus Embriogenik Pada Perlakuan 1 mg/l NAA Tanpa BAP.

A B

28   

Gambar 13. Embrio Somatik yang Terbentuk Pada 42 HST

Kalus Embriogenik

Perlakuan taraf konsentrasi auksin (2,4-D, Picloram dan NAA) dengan taraf konsentrasi sitokinin (BAP) memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase eksplan yang menghasilkan kalus embriogenik (Gambar 14). Hasil uji F yang disajikan pada Tabel 6 menunjukkan bahwa terdapat interaksi antara perlakuan taraf konsentrasi auksin dengan taraf konsentrasi sitokinin terhadap pembentukkan kalus embriogenik. Tabel 6 menunjukkan bahwa interaksi mulai terjadi sejak 18 HST (hari setelah tanam) sampai dengan pada hari terakhir pengamatan yaitu 45 HST.

Tabel 6. Rekapitulasi Sidik Ragam Persentase Eksplan yang Menghasilkan Kalus Embriogenik

Hari Pengamatan Auksin BAP Interaksi KK (%)

9 HSTt tn tn tn 11.52 12 HST ** tn ** 28.71 15 HST ** tn tn 25.92 18 HST ** ** * 24.58 21 HST ** ** * 38.97 24 HST ** ** ** 32.86 27 HST ** ** ** 28.25 30 HST ** ** ** 22.00 33 HST ** ** ** 23.49 36 HST ** ** ** 24.02 39 HST ** ** ** 16.34 42 HST ** ** ** 15.87 45 HST ** ** ** 14.12

Keterangan : tn tidak berbeda nyata pada taraf 5% *, ** berbeda nyata pada taraf 5% dan 1%

t

Eksplan yang ditanam pada media kultur yang tidak ditambahkan auksin tidak menghasikan kalus embriogenik. Perlakuan media kultur yang ditambahkan auksin tunggal maupun yang dikombinasikan dengan BAP mampu menghasilkan kalus embriogenik dengan persentase bervariasi bergantung dari jenis auksin.

Berdasarkan hasil uji lanjut yang disajikan pada Tabel 7, hasil pembentukan kalus embriogenik terbanyak pada 45 HST terjadi pada perlakuan 2.0 mg/l NAA + 0.1 mg/l BAP sebesar 73.3%, namun hasil ini tidak berbeda nyata dengan perlakuan 2.0 mg/l NAA tanpa BAP yang memberikan hasil sebesar 66.6%.

Menurut Wattimena et al. (1992) pada umumnya untuk menginduksi kalus embriogenik diperlukan auksin dan sitokinin. Perbandingan kedua zat pengatur tumbuh tersebut (nisbah auksin dan sitokinin) yaitu konsentrasi auksin dalam media harus lebih tinggi dibandingkan konsentrasi sitokinin. Pada penelitian ini kalus embriogenik dapat dihasilkan dengan pemberian auksin secara tunggal maupun dikombinasikan dengan sitokinin.

Tabel 7. Pengaruh Interaksi Taraf Auksin (2,4-D, Picloram dan NAA) dengan BAP Terhadap Persentase Eksplan yang Menghasilkan Kalus Embriogenik

Auksin BAP Waktu Pengamatan HST (Hari Setelah Tanam)

……….mg/L………. 21 27 33 39 45

Tanpa auksin 0 0 0d 0d 0e 0f 0f

0 0.1 0d 0d 0e 0f 0f

2,4-D 1 0 26.6ab 30ab 33.3abc 43.3bc 45bc

1 0.1 28.3ab 31.6ab 35abc 38.3cd 40cd

2 0 21.6abc 25b 28.3c 31.6d 33.3d

2 0.1 30a 31.6ab 30bc 33.3d 33.3d

Picloram 1 0 0d 0d 1.6e 1.6f 1.6f

1 0.1 10cd 11.6c 13.3d 13.3e 13.3e

2 0 0d 0d 5de 8.3ef 16.6e

2 0.1 28.3ab 31.6ab 35abc 36.6cd 41.6cd

NAA 1 0 26.6ab 30ab 35abc 43.3bc 45c

1 0.1 30a 36.6a 40ab 48.3b 55b

2 0 16.6bc 21.6b 43.3a 58.3a 66.6a

2 0.1 16.6bc 31.6ab 43.3a 61.6a 73.3a

Ket : Tanda huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) 5 %.

30   

Gambar 14. Kotiledon yang Membentuk Kalus Embriogenik Pada 39 HST

Jumlah Eksplan yang Menghasilkan Embrio dan Jumlah Embrio

Hasil uji F menunjukkan bahwa perlakuan jenis dan taraf konsentrasi auksin berpengaruh nyata terhadap jumlah eksplan yang menghasilkan embrio dan jumlah embrio per eksplan. Perlakuan kombinasi antara jenis dan taraf konsentrasi auksin dengan taraf konsentrasi BAP saling berinteraksi dan interaksi tersebut memberikan pengaruh terhadap jumlah eksplan yang menghasilkan embrio (Tabel 8). Eksplan menghasilkan embrio pada hari ke-39 setelah tanam (Gambar 15).

Gambar 15. Eksplan yang Menghasilkan Embrio Somatik (Fase Globular) Perlakuan 1.0 mg/l NAA Tanpa BAP Pada 39 HST

Tabel 8. Rekapitulasi Sidik Ragam Jumlah Eksplan yang Menghasilkan Embrio dan Jumlah Embrio per Eksplan Pada 42 HST.

Ket : tn tidak berbeda nyata pada taraf 5 ** berbeda nyata pada taraf 1%

t

data ditransformasi dengan rumus √x 0.5

Peubah Auksin BAP Interaksi KK (%)

Jumlah Eksplan yang

menghasilkan embriot ** tn ** 2.18

Perlakuan kombinasi jenis dan konsentrasi auksin dengan konsentrasi BAP berinteraksi kemudian memberikan pengaruh terhadap jumlah eksplan yang menghasilkan kalus embriogenik. Berdasarkan hasil uji lanjut yang disajikan pada Tabel 9, embrio somatik berhasil diinduksi pada perlakuan 1.0 dan 2.0 mg/l NAA baik secara tunggal maupun dikombinasikan dengan 0.1 mg/l BAP, 2.0 mg/l picloram + 0.1 mg/l BAP, dan 1.0 mg/l 2,4-D + 0.1 mg/l BAP. Penggunaan jenis auksin NAA dengan konsentrasi 1.0 dan 2.0 mg/l memberikan respon tertinggi terhadap jumlah eksplan yang menghasilkan embrio dibandingkan dengan penggunaan jenis auksin 2,4-D dan picloram. Eksplan yang menghasilkan embrio pada perlakuan 1.0 dan 2.0 mg/l NAA tanpa BAP yaitu sebesar 12 eksplan. Perlakuan 1.0 mg/l 2,4-D + 0.1 mg/l BAP menghasilkan jumlah yang terkecil yaitu 1 eksplan. Embrio somatik yang terbentuk ditunjukkan pada gambar 16 dan 17. Data yang disajikan pada Tabel 9 membuktikan bahwa jenis auksin NAA mampu untuk menginduksi terbentuknya embrio somatik tetapi jumlah embrio somatik yang terbentuk masih sangat rendah. Tingkat keberhasilan embrio somatik yang terbentuk pada perlakuan jenis auksin NAA hanya sebesar 7%. Hal ini diduga karena taraf konsentrasi NAA yang digunakan kurang tinggi sehingga embrio somatik yang terbentuk masih sangat sedikit. Menurut Tabei et al. (1991), embrio somatik dapat diinduksi pada tingkat konsentrasi auksin yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitiannya embrio somatik dapat terbentuk dari eksplan kotiledon dengan menggunakan 1.0 - 2.0 mg/l 2,4-D, 3.0 - 10.0 mg/l NAA dan 30.0 – 100.0 mg/l IAA.

Tabel 9. Pengaruh Interaksi Taraf Konsentrasi Auksin dan BAP Terhadap Jumlah Eksplan yang Menghasilkan Embrio Pada 42 HST

Auksin BAP (mg/l) 0 0.1 Tanpa auksin 0.70 d (0) 0.70 d (0) 2.4-D 1.0 mg/L 0.70 d (0) 0.71 cd (1/60 eksplan) 2,4-D 2.0 mg/L 0.70 d (0) 0.70 d (0) Picloram 1.0 mg/L 0.70 d (0) 0.70 d (0) Picloram 2.0 mg/L 0.70 d (0) 0.74 bc (3/60 eksplan) NAA 1.0 mg/L 0.77 a (6/60 eksplan) 0.75 ab (3/52 eksplan) NAA 2.0 mg/L 0.77 a (6/60 eksplan) 0.73 ab (2/60 eksplan)

Ket : tanda huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata berdasarkan uji lanjut DMRT 5%. Angka pada tabel merupakan hasil transformasi dengan menggunakan rumus √x 0.5. Angka dalam kurung merupakan jumlah eksplan yang menghasilkan embrio/total eksplan yang ditanam dan tidak terkontaminasi.

32   

Gambar 16. Embrio Somatik Pada Fase Globular (A), Fase Jantung (B). Garis pada gambar = 1.00 mm

Gambar 17. Embrio Somatik Pada Fase Torpedo dengan Pengamatan Secara Mikroskopis dengan Menggunakan Mikroskop Cahaya dan Pembesaran 40x. Garis pada gambar = 1.00 mm

Menurut Wattimena et al. (1992), zat pengatur tumbuh auksin maupun sitokinin sangat diperlukan dalam embriogenesis. Perbandingan nisbah auksin dengan sitokinin yaitu konsentrasi auksin dalam media harus lebih tinggi dibandingkan konsentrasi sitokinin. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Oridate

et al. (1986) yang melaporkan bahwa 1.0 mg/l 2,4-D yang dikombinasikan dengan 0.1 mg/l BAP berhasil menginduksi embrio somatik melon dari biji tua. Pada percobaan 2 ini diperoleh hasil yang berbeda dari penelitian yang dilakukan sebelumnya, perlakuan jenis auksin NAA tanpa dikombinasikan dengan sitokinin (BAP) mampu untuk menginduksi embrio somatik. Hal ini diduga bahwa terdapat sitokinin endogen pada eksplan sehingga embrio somatik dapat terbentuk, meskipun media hanya ditambahkan NAA secara tunggal.

Perlakuan jenis auksin (2,4-D, picloram dan NAA) serta taraf konsentrasi auksin berpengaruh nyata terhadap pembentukan embrio somatik. Hal ini di tunjukkan oleh hasil uji lanjut Duncan yang disajikan pada Tabel 10. Pada Tabel 10 dapat dilihat bahwa embrio somatik dapat diinduksi pada perlakuan jenis auksin 2,4-D dengan konsentrasi 1.0 mg/l, jenis auksin picloram dengan konsentrsi 2.0 mg/l dan jenis auksin NAA dengan konsentrasi 1.0 dan 2.0 mg/l. Penggunaan NAA dengan konsentrasi 2.0 mg/l menghasilkan jumlah embrio per eksplan tertinggi dibandingkan penggunaan auksin 2,4-D dan picloram yaitu sebesar 1.47 embrio/8 eksplan. Jumlah embrio terkecil dihasilkan oleh perlakuan 1 mg/l 2,4-D yaitu hanya sebesar 1 embrio/eksplan.

Auksin mendorong pembentukan sel embriogenik, dengan menginisiasi perubahan aktivitas gen dan juga meningkatkan populasi dari sel embriogenik melalui pembelahan sel secara terus-menerus. Perubahan sel dihentikan secara serentak oleh auksin lalu sel akan berkembang menjadi embrio (Gray, 2000).

Tabel 10. Pengaruh Jenis dan Konsentrasi Auksin Terhadap Jumlah Embrio per Eksplan

Jenis dan taraf Auksin Jumlah embrio per Eksplan Tanpa auksin 0.70 d (0)

2,4-D 1 mg/l 0.79 cd (1 embrio/eksplan) 2,4-D 2 mg/l 0.70 d (0)

Picloram 1 mg/l 0.70 d (0)

Picloram 2 mg/l 1.02 bc (1.33 embrio/3 eksplan) NAA 1 mg/l 1.25 ab (1.33 embrio/9 eksplan) NAA 2 mg/l 1.35 a (1.47embrio/8 eksplan)

Ket : Tanda huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) 5%

( ) angka dalam kurung merupakan rata-rata jumlah embrio somatik/total eksplan yang menghasilkan embrio.

Persentase Kotiledon Berakar

Perlakuan taraf konsentrasi auksin (2,4-D, Picloram dan NAA) dengan taraf konsentrasi sitokinin (BAP) memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase pembentukan kotiledon berakar (Gambar 18). Hasil uji F yang disajikan pada Tabel 11 menunjukan bahwa terdapat interaksi antara perlakuan taraf konsentrasi auksin dengan taraf konsentrasi sitokinin terhadap persentase pembentukkan kotiledon yang berakar.

34   

A B

Gambar 18. Kotiledon Berakar Pada Perlakuan 1.0 mg/l Picloram Secara Tunggal dan Perlakuan 1.0 mg/l Picloram + 0.1 mg/l BAP (B) Pada 18 HST

Tabel 11. Rekapitulasi Sidik Ragam Persentase Kotiledon Berakar

Hari Pengamatan Auksin BAP Interaksi KK (%)

3 HSTt ** ** ** 57.97 6 HSTt ** tn tn 32.51 9 HST ** ** ** 31.24 12 HST ** ** ** 22.69 15 HST ** ** ** 17.80 18 HST ** ** ** 20.61 21 HST ** ** ** 25.55 24 HST ** ** ** 18.74 27 HST ** ** ** 17.60 30 HST ** ** ** 19.54 33 HST ** ** ** 17.72 36 HST ** ** ** 17.52 39 HST ** ** ** 17.11 42 HST ** ** ** 17.20 45 HST ** ** ** 17.11

Ket : tn tidak berbeda nyata pada taraf 5% ** berbeda sangat nyata pada taraf 1%

t

data ditransformasi dengan rumus √x 0.5

Berdasarkan hasil pengamatan, respon kotiledon yang berakar terdapat pada perlakuan tanpa auksin dan perlakuan penggunaan jenis auksin picloram pada taraf konsentrasi 1.0 dan 2.0 mg/l baik secara tunggal maupun dikombinasikan dengan 0.1 mg/l BAP. Pada kedua perlakuan tersebut terdapat perbedaan respon. Pada perlakuan tanpa penambahan auksin, akar tumbuh dari bagian aksis biji tanpa pembentukan kalus terlebih dahulu, sedangkan pada perlakuan jenis auksin picloram, akar tumbuh pada bagian aksis biji dengan didahului oleh pembentukan kalus putih. Perbedaan juga terdapat pada bentuk

akar yang tumbuh, pada media tanpa auksin eksplan hanya memiliki 1 sampai 2 akar, namun pada perlakuan media dengan penambahan picloram akar tumbuh dalam jumlah yang sangat banyak (Gambar 19).

Gambar 19. Perbedaan Pertumbuhan Akar Pada Eksplan: (A) Perlakuan Tanpa Auksin, (B) Perlakuan Jenis Auksin Picloram Tanpa BAP.

Berdasarkan hasil uji lanjut yang disajikan pada Tabel 12, perlakuan 1.0 mg/l picloram tanpa BAP menghasilkan jumlah pembentukkan akar tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Jumlah eksplan yang berakar pada perlakuan 1.0 mg/l picloram tanpa BAP yaitu sebesar 98.3% mulai 33 HST.

Tabel 12. Interaksi Taraf Konsentrasi Auksin (2,4-D, Picloram dan NAA) dengan Sitokinin (BAP) Terhadap Rata-rata Persentase Kotiledon Berakar Auksin BAP Waktu Pengamatan HST (Hari Setelah Tanam) ……….mg/L………. 9 21 33 45 Tanpa auksin 0 0 48.3 c 73.3 b 73.3 bc 73.3 c 0 0.1 18.3d 65 bc 65 c 65 c 2,4-D 1 0 0 e 1.6 e 10 e 10 e 1 0.1 0 e 0 e 1.6 e 1.6 e 2 0 0 e 0 e 0 e 0 e 2 0.1 0 e 0 e 0 e 0 e Picloram 1 0 85 a 96. 6a 98.3 a 98.3 a 1 0.1 1.6 e 56.6 c 76.6 bc 85 b 2 0 68.3 b 76.6 b 81.6 b 83.3 b 2 0.1 6.6 e 25d 38.3 d 43.3 d NAA 1 0 0 e 0 e 0 e 0 e 1 0.1 0 e 0 e 0 e 0 e 2 0 0 e 0 e 0 e 0 e 2 0.1 0 e 0 e 0 e 0 e

Ket : Tanda huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5%

36   

Penambahan auksin secara tunggal kedalam media kultur mampu menginduksi akar pada eksplan, karena salah satu fungsi utama dari auksin adalah sebagai perangsang pertumbuhan akar (Wattimena et al., 1992). Pada percobaan ini akar banyak terbentuk pada eksplan yang ditanam pada jenis auksin picloram. Diduga taraf konsentrasi sebesar 1.0 dan 2.0 mg/l untuk jenis auksin picloram terlalu rendah untuk menginduksi embrio somatik. Menurut Beyl (2005), pada umumnya konsentrasi auksin yang rendah menyebabkan inisiasi akar, sedangkan konsentrasi auksin yang tinggi dapat menyebabkan terbentuknya kalus. Pertumbuhan akar pada eksplan tidak diharapkan dalam menginduksi embrio somatik karena bila eksplan membentuk akar kemungkinan eksplan akan membentuk kalus embriogenik dan menghasilkan embrio somatik sangat kecil.

Kesimpulan

Pada percobaan 1 kombinasi perlakuan jenis media MS, B5, dan WPM dengan taraf konsentrasi 2,4-D: 0, 0.5, 1.0, dan 1.5 mg/L belum mampu untuk menginduksi embrio somatik dari eksplan biji muda. Respon yang diberikan oleh eksplan adalah biji berkecambah dan berkalus. Kalus yang dihasilkan merupakan kalus embriogenik.

Pada percobaan 2 terdapat interaksi antara auksin (2,4-D, picloram, dan NAA) dengan sitokinin (BAP) yang memberikan pengaruh terhadap eksplan yang membentuk kalus embriogenik dan menghasilkan embrio somatik. Jenis auksin NAA dengan konsentrasi 2.0 mg/L secara tunggal maupun dikombinasikan dengan BAP, menginduksi eksplan membentuk kalus embriogenik tertinggi dengan rata-rata persentase kalus embriogenik masing-masing sebesar 66.6 % dan 73.3%. Perlakuan jenis auksin NAA dengan konsentrasi 1.0 mg/L dan 2.0 mg/L baik secara tunggal maupun dikombinasikan dengan 0.1 mg/L BAP, mampu menginduksi embrio somatik dan memberikan hasil yang tidak berbeda nyata. Jumlah eksplan yang menghasilkan embrio somatik tertinggi yaitu pada perlakuan 1.0 mg/L dan 2.0 mg/L NAA tanpa dikombinasikan dengan BAP masing-masing sebesar 6 eksplan. Jumlah embrio per eksplan tertinggi terbentuk pada perlakuan 2.0 mg/L NAA yaitu sebesar 1.35 embrio.

Saran Berdasarkan hasil yang didapat perlu dilakukan :

Penelitian lanjutan dengan menggunakan konsentrasi auksin yang lebih tinggi sehingga diketahui batas optimum penggunaan jenis auksin NAA untuk menginduksi embrio somatik.

Dokumen terkait