• Tidak ada hasil yang ditemukan

Instrumen kebijakan KKP di tingkat nasional

BAB II MATERI MODUL MENJELASKAN PRINSIP-PRINSIP DASAR PENGELOLAAN

1.5 Sikap Kerja: Setelah mendapat pengetahuan dan pengalaman singkat untuk

1.6.3 Instrumen kebijakan KKP di tingkat nasional

“Konstitusi” – Pembukaan secara umum menyebut pentingnya adat dan pengetahuan tradisional serta menetapkan penerapan dan pelaksanaan hukum adat, sepanjang tidak menimbulkan konflik dengan Konstitusi atau hukum tertulis atau tidak memiliki efek merendahkan prinsip kemanusiaan. “Undang-Undang Fauna (Perlindungan & Pengendalian) dan Undang-undang Konservasi” – di bawah kedua UU, pembentukan atau pengaturan kawasan dilindungi menjadi tanggung jawab Menteri, serta dikonsultasikan dengan pemilik (kawasan) yang terkena dampak dan pemerintah tingkat di bawahnya. Undang-undang Taman Nasional membolehkan tidak adanya konsultasi publik. “Organic law tentang Pemerintahan Propinsi dan Pemerintahan Tingkat Lokal” – menyerahkan kewenangan penggunaan sumberdaya alam dan pembangunan berkelanjutan ke propinsi dan pemerintah daerah lebih rendah. Pengaturan lain adalah Undang-Undang Administrasi Propinsi (1997) dan Undang-Undang Administrasi Pemerintah Tingkat Lokal (1997). Pemerintah Propinsi dan

Modul Pelatihan Berbasis Kompetensi

Dasar-Dasar Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan KKP.KP.01.002.01Kode Modul

Judul Modul: Menjelaskan prinsip-prinsip dasar pengelolaan kawasan konservasi perairan

Buku Informasi Versi: Agustus 2011 Halaman: 27 dari 47

Lokal memiliki wewenang untuk membentuk dan mengelola kawasan dilindungi serta melakukan pengelolaan berbasis masyarakat untuk kawasan laut dan perikanan dalam hak adat.

B Indonesia

Sumberdaya pesisir sebelumnya dikelola secara sektoral tanpa sebuah peraturan perundang -undangan yang secara khusus berhubungan dengan sumberdaya pesisir serta tidak ada definisi baku kawasan pesisir atau sumberdaya pesisir (Patlis 2005). Sebuah kemajuan dilakukan sejak tahun 1999 (melalui UU No 22/1999 dan No 25/1999, UU No 31/2004 tentang Perikanan, dan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah) untuk desentralisasi pengelolaan ke daerah untuk memberikan peran lebih besar masyarakat lokal dalam pengelolaan sumberdaya pesisir

Ada pula Keputusan No 10/2002 Departeman Kelautan dan Perikanan. Terdapat 22 peraturan berkenaan dengan sumberdaya pesisir, termasuk UU No 31/2004. Peraturan tersebut diringkaskan dalam Ginting (2002) dan DKP (2002) yang diacu oleh Patlis (2005).

Undang-undang No 32/2004 menetapkan kawasan pesisir yang didesentralisasi kepada pemerintah propinsi hingga 12 mil laut dari garis pantai dan kepada pemerintah kabupaten hingga satu pertiga perairan propinsi ke arah laut dari garis pantai. Melalui UU ini, pemerintah pusat memiliki kewenangan dan jurisdiksi untuk melakukan eksplorasi, konservasi, mengolah dan eksploitasi sumberdaya dari 12 hingga 200 mil laut, khususnya dalam ZEE. Pemerintah Pusat juga memiliki hak untuk mengimplementasi peraturan perundangan jalur pelayaran. UU itu secara tegas mencatat bahwa hak penangkapan ikan secara tradisional tidak boleh dibatasi oleh batas-batas desentralisasi. Ini berarti nelayan tradisional memiliki akses menangkap ikan lebih jauh dari wilayah pesisir yan g didesentralisasi. Berdasar UU ini, pemerintah propinsi dan kabupaten memiliki enam tugas dalam mengelola wilayah mereka (Pasal 18), yaitu (i) mengeksplorasi, mengeksploitasi, mengkonservasi, dan mengelola sumberdaya pesisir; (ii) urusan administratif; (i ii) urusan penzonasian dan tata ruang; (iv) menegakkan hukum yang dibuat oleh kedua daerah atau yang didelegasikan oleh pusat; (v) berpartisipasi dalam menjaga keamanan, serta (vi) berpartisipasi dalam mempertahanankan kedaulatan negara (Siry 2006)

Peraturan Pemerintah No 60/2007 sebagai turunan UU No 31/2004, adalah sebuah panduan mengidentifikasi KKP baru bagi Indonesia. Panduan itu bertujuan membangun pemahaman dan aksi bersama di antara pelaksana, pembuat kebijakan, dan para pihak dalam melakukan identi fikasi dan inventarisasi kawasan kritis untuk diusulkan sebagai KKP. Panduan itu membantu menambah KKP di Indonesia bagian timur melalui proses (1) identifikasi dan zonasi kawasan yang penting secara ekologi; (2) konsultasi publik dan (3) menyelenggarakan proses hukum untuk membangun KKP di tingkat kabupaten dengan dukungan masyarakat (http://www.wcsmarine-indonesia.org)

Undang-Undang Nomor 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (UU Pesisir)diundangkan disahkan oleh Presiden Republik Indonesia pada tanggal 17 Juli 2007. Isi undang-undang tersebut secara singkat adalah sebagai berikut:

Bab I. Ketentuan Umum, Bab II. Azas dan Tujuan, Bab III. Proses Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Bab V. Pemanfaatan, Bab VI. Pengawasan dan Pengendalian, Bab VII. Penelitian dan Pengembangan, Bab VII. Pendidikan, Pelatihan dan Penyuluhan, Bab IX. Kewenangan, Bab X. Mitigasi dan Bencana, Bab XI. Hak, Kewajiban dan Peran Serta Masyarakat, Bab XII. Pemberdayaan Masyarakat, Bab XIII. Penyelesaian Sengketa, Bab XIV. Gugatan Perwakilan, Bab XV. Penyidikan, Bab XVI. Sanksi Administratif, Bab XVII. Ketentuan Pidana, Bab XVIII. Ketentuan Peralihan, Bab XIX. Ketentuan Penutup.

Dalam undang-undang di atas, konservasi secara umum tercakup dalam Bab V (Pemanfaatan), namun secara eksplisit dinyatakan dalam dua bagian, yaitu:

Modul Pelatihan Berbasis Kompetensi

Dasar-Dasar Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan KKP.KP.01.002.01Kode Modul

Judul Modul: Menjelaskan prinsip-prinsip dasar pengelolaan kawasan konservasi perairan

Buku Informasi Versi: Agustus 2011 Halaman: 28 dari 47

1) Bagian Kedua (Pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil dan Perairan di Sekitarnya), Pasal 23 ayat 2, yaitu konservasi sebagai salah satu prioritas pemanfaatan pulau-pulau kecil dan perairan di sekitarnya.

2) Bagian Ketiga (Konservasi), Pasal 28 dan Pasal 29

Bagian Keempat (Rehabilitasi) dan Keenam (Larangan) pada prinsipnya juga memuat pesan -pesan konservasi.

Selanjutnya, ada sejumlah peraturan turunan yang secara khusus mengatur konservasi perairan, yaitu:

Permen KP Nomor PER.17/MEN/2008 tentang Kawasan Konservasi di Wilayah Pesisir dan Pulau -Pulau Kecil.

Permen KP Nomor PER.02/MEN/2009 tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan. Permen KP Nomor PER.03/MEN/2010 tentang Tata Cara Penetapan Status Perlindungan Jenis Ikan. Permen KP Nomor PER.04/MEN/2010 tentang Tata Cara Pemanfaatan Jenis Ikan dan Genetik Ikan

C Kepulauan Solomon

“Konstitusi” – mengakui bahwa rakyat Kepulauan Solomon akan ‘menghargai dan mengangkat tradisi budaya yang berbeda-beda” dan bahwa Parlemen akan membuat aturan untuk melaksanakan hukum tradisionoal yang secara khusus menghargai adat, nilai-nilai, dan aspirasi rakyat Kepulauan Solomon.

“Undang-Undang Perikanan”- memberi tanggung jawab perikanan pesisir dan lautan pada kesembilan propinsi. Parlemen propinsi dapat menetapkan peraturan untuk menjalankan fungsi penting pengelolaan perikanan, termasuk mengambil langkah-langkah untuk pembangunan perikanan; mendaftarkan hak penangkapan ikan secara tradisional, batas-batas dan individu pemilik hak tersebut; menetapkan waktu buka dan tutup untuk penangkapan jenis tertentu atau untuk suatu area dalam perairan propinsi; menetapkan area yang tertutup bagi penangkapan ikan; dan membangun perlindungan laut.

D Fiji

Hukum-hukum tingkat nasional yang paling relevan dengan hukum tradisional dalam pengelolaan qoli-qoli adalah: Amandemen Konstitusi tahun 1997 dan ‘Undang-Undang Perikanan tahun 1991’. Peraturan di atas serta hukum lain yang terkait, adalah sebagai berikut:

“Amandemen Konstitusi tahun 1997” – mengakui dan memasukkan hukum tradisional dan hak tradisional ke wilayah daratan.

“Undang-Undang Perikanan tahun 1991” – potongan pertama dari tanggung jawab legislatif dalam mengelola sumberdaya laut, dengan peran mengelola ada pada bagian Perikanan dari Departemen Perikanan dan Kehutanan. Aturan ini mencakup pembentukan dan pengelolaan KKP, dan menetapkan bahwa masyarakat dapat mengontrol sumberdaya pesisir dan laut mereka. Pengaturan utama dari UU Perikanan yang menunjukkan penggunaan hukum tradisional dan institusi tradisional dalam pengelolaan kawasan pesisir mencakup perijinan, penegakkan aturan, Native Fisheries

Comission, dan perlindungan hak perikanan tradisional.

Bagian 13 UU Perikanan serta Regulasi 4 Peraturan Perikanan mewajibkan pemanfaat memiliki ijin menangkap ikan di suatu terumbu atau di ’shellfish bed’ dalam kawasan qoliqoli yang terdaftar. Bagi penangkap ikan komersil, ijin itu adalah syarat awal untuk mendapat sebuah ijin untuk menangkap ikan di area tersebut. Pengecualian berlaku pada penangkap non komersil yang menggunakan

Modul Pelatihan Berbasis Kompetensi

Dasar-Dasar Pengelolaan Kawasan Konservasi Perairan KKP.KP.01.002.01Kode Modul

Judul Modul: Menjelaskan prinsip-prinsip dasar pengelolaan kawasan konservasi perairan

Buku Informasi Versi: Agustus 2011 Halaman: 29 dari 47

pancing dan jaring, tembakan atau jebakan ikan yang dapat dikerjakan oleh satu orang. Keunikan qoliqoli adalah dilindungi melalui sistem perijinan. Penangkap ikan dari luar masyarakat setempat harus mendapat ijain dari Komisi Kabupaten, atas persetujuan ketua yang berwenang atas qoliqoli. Penetapan KKP di bawah UU Perikanan - UU Perikanan dan sejumlah Regulasi mengijinkan Menteri untuk menetapkan KKP di tempat kegiatan penangkapan ikan dibatasi atau dilarang. The Fifth

Schedule to the Act (Regulasi 11) mengijinkan pembuatan perlindungan laut yang melarang

penangkapan ikan kecuali dengan jaring tangan, ‘wading net’, tembakan atau jala dan pancing. Menteri dapat menetapkan musim-musim yang membatasi atau melarang penangkapan, juga memiliki wewenang penuh untuk mengatur ‘hal lain berhubung dengan konservasi, perlindungan dan perawatan suatu stok ikan yang memang dibutuhkan’. Masyarakat dapat pula menerapkan lokasi tabu dalam area qoliqoli yang mereka tetapkan, dengan menutup akses bagi penangkap ikan melalui sistem perijinan diceritakan di atas.

Berdasar UU Perikanan saat ini, tidak memungkinkan membangun kawasan dilindung di area yang kegiatan perikanan dilarang secara tegas. Sementara penangkap ikan komersial dan tradisional membutuhkan ijin untuk memasuki suatu area qoliqoli, pengecualian berlaku terhadap metode penangkapan tertentu. Ini berarti tidak memungkinkan secara hukum bagi masyarakat untuk menetapkan kawasan yang dilindungi tanpa penetapan Departemen. Kawasan dilindungi yang ditetapkan oleh Menteri juga memiliki pengecualian terhadap metode penangkapan tertentu.

2 Elemen Kompetensi: Menjelaskan cara memilih lokasi KKP

Dokumen terkait