• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektifitas Produktif

5.2. Respon Perusahaan

5.2.1. Integritas Perusahaan

Pada bab sebelumnya telah dapat dipahami bahwa kedudukan pelaku usaha pemilik IUPHHK adalah pengguna sedangkan yang bertindak sebagai pengelola adalah penanggung jawab KPHP atau pemerintah. Rancang bangun institusi yang ada mengarahkan pengguna untuk berperilaku sebagai pengelola hutan. Bagaimana perusahaan merespon rancangan institusi itu, maka dapat dilihat dari hasil penilaian yang berupa nilai akhir kinerja dari 40 perusahaan contoh yang dibandingkan juga nilai pada hasil penelitian terdahulu sebagai Tabel 33.

Hasil penilaian tahun 2008 dan 2009, menunjukkan bahwa sebanyak 15% dari perusahaan contoh dapat menempatkan secara baik prioritas kegiatannya untuk mencapai pengelolaan hutan lestari, 45 % ragu-ragu dan 40 % tidak menempatkan pengelolaan hutan lestari sebagai prioritas kegiatan. Mengingat bahwa berbagai

peraturan yang diberlakukan kepada perusahaan merupakan kewajiban untuk mendukung kepentingan pemerintah menjalankan misi pengelolaan hutan lestari, dan berlakunya rational behaviour maka pada keadaan tertentu, nilai kinerja sedang tersebut cenderung akan mengarah kepada kinerja buruk. Dengan demikian sebanyak 85 % perusahaan tidak menjadikan pengelolaan hutan lestari sebagai prioritas yang perlu mendapat perhatian. Dengan kata lain 85% perusahaan IUPHHK-HA tergolong sebagai perusahaan dengan perilaku tidak baik.

Tabel 33. Nilai Akhir Kinerja Perusahaan HPH/ IUPHHK

pada Unit Manajemen Tahun 1989-1996, dan 2008-2009

Tahun Nilai Akhir (%) Jumlah

Baik Sedang Buruk

1989/1990 4.20 39.50 56.30 100 1990/1991 20.70 56.00 23.30 100 1991/1992 18.5 57.80 23.70 100 1992/1993 19.20 61.60 19.20 100 1993/1994 4.00 61.90 34.10 100 1994/1995 10.55 71.11 18.34 100 1995/1996 21.35 69.19 9.46 100 2008-2009 15.00 45.00 40.00 100

Sumber : 1) Data tahun 1989-1996, Kartodihardjo, 1998

2) Data tahun 2008-2009, diolah dari Departemen Kehutanan, 2008 dan 2009

Dibandingkan dengan hasil penilaian 10 tahun yang lalu tidak terdapat perbedaan perilaku, perusahaan yang memperoleh nilai baik merupakan kelompok minoritas. Ini mengindikasikan bahwa populasi perusahaan baik tidak berubah meskipun telah dilakukan berbagai perubahan peraturan. Usaha kehutanan lebih banyak dilakukan oleh perusahaan yang tidak masuk dalam kategori baik. Tidak terdapat perbedaan nilai menurut kelas umur, luas konsesi dan dukungan modal perusahaan induknya.

Tabel 34. Jumlah Perusahaan menurut Klasifikasi Nilai Kinerja, Kelompok Umur, Luas Konsesi dan Dukungan Modal dari Perusahaan Induk

No Pengelompokan Nilai Akhir Kinerja Jumlah

Baik Sedang Buruk I Kelas Umur

1 Kurang dari 10 tahun 2 4 4 10 2 Antara 10 tahun-20 tahun 2 11 6 20 3 Lebih dari 30 tahun 2 3 6 11

Jumlah 6 18 16 40

II Kelas Luas Lahan Konsesi

1 Kurang dari 50.000 Ha 2 4 10 16 2 Antara 50.000 Ha – 100.000 Ha 2 10 5 17 3 Lebih dari 100.000 Ha 2 4 1 7

Jumlah 6 18 16 40

III Kelas Dukungan Modal

1 Kuat 3 6 4 13

2 Sedang 1 6 3 10

3 Lemah 2 6 9 17

Jumlah 6 18 16 40

Berdasarkan data pada Tabel 34 tersebut diatas kemudian dilakukan pengujian korelasi antara umur, luas dan modal terhadap nilai akhir capaian kinerja dengan menggunakan uji Chi Square, dengan hasil sebagai Tabel 35.

Tabel 35. Hasil Uji Korelasi antara Umur, Luas dan Dukungan Modal terhadap Nilai Akhir Kinerja IUPHHK pada Unit Manajemen

X2 Hitung X2 Tabel (5%) Kesimpulan Umur IUPHHK- HA

3.4388 < 9.49 Tidak ada hubungan Luas Konsesi 7.0769 < 9.49 Tidak ada hubungan Dukungan Modal 2.9491 < 9.49 Tidak ada hubungan

Umur perusahaan tidak mempengaruhi perolehan nilai akhir kinerja, demikian pula dengan luas konsesi yang dimiliki maupun dukungan modal yang diberikan oleh perusahaan induknya. Tidak adanya hubungan antara nilai kinerja menjelaskan

bahwa baik dan buruknya nilai yang diperoleh tidak dipengaruhi oleh umur, dengan kata lain bahwa tidak terdapat proses belajar dalam membentuk perilaku perusahaan dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan lestari. Data tentang sanksi-sanksi yang diberikan oleh pemerintah kepada perusahaan pada tabel 30, menunjukkan bahwa pencabutan ijin terjadi pada semua kelas umur kepemilikan ijin. Perusahaan- perusahaan yang telah berpengalaman dan yang belum berpengalaman dapat mempunyai nilai baik maupun buruk dengan peluang yang tidak dapat dibedakan.

Luas konsesi juga tidak mempengaruhi nilai akhir kinerja, berdasarkan data diatas semua perusahaan dengan luas konsesi yang besar maupun yang kecil cenderung memiliki nilai tidak baik, ini mengindikasikan bahwa luas konsesi tidak menjadi dasar timbulnya motivasi untuk mengelola hutan dengan cara-cara yang benar. Mengapa luas konsesi yang seharusnya dapat menjadi jaminan kepastian produksi tidak menjadi insentif bagi pengelolaan hutan lestari ? Kembali ke pembahasan pada bagian 4.2 bab IV terdahulu, bahwa IUPHHK adalah izin untuk memanfaatkan hasil produksi pengelolaan hutan, dan kedudukannya sebagai pengguna (pemanfaat) mempunyai kepentingan utama untuk mendapatkan hasil hutan yang diperoleh melalui transaksi dengan pengelola hutan yang memproduksi produk yang diperlukannya. Pihak yang paling berkepentingan terhadap luas hutan adalah pihak pengelola yang mempunyai misi menghasilkan hutan berkualitas tinggi, sedangkan pengguna (pemanfaat) akan merespon jumlah produksi yang ditawarkan oleh pengelola. Pembebanan kewajiban-kewajiban untuk melakukan tindakan-tindakan pengelolaan kepada pengguna (pemanfaat) tidak sesuai dengan motivasi dan misi dari entitas pemanfaat, oleh sebab itu kewajiban-kewajiban tersebut lebih tepat

diposisikan sebagai beban biaya bukan sebagai investasi. Sebagai entitas yang berorientasi memaksimumkan keuntungan, maka sesuai dengan pendapat Hampton (1989) perusahaan akan melakukan minimisasi biaya dan dalam kondisi kemampuan penegakan aturan yang lemah, sejalan dengan pendapat Van den Berg (2001), pilihan yang rasional bagi perusahaan adalah tidak melaksanakan kewajiban sepenuhnya.

Sementara itu dukungan modal yang tidak berkorelasi dengan nilai akhir kinerja, mengkonfirmasi bahwa praktek-praktek pengelolaan hutan bukan merupakan pilihan rasional bagi perusahaan penerima IUPHHK yang berkedudukan sebagai pengguna (pemanfaat). Dukungan modal (capital) adalah dukungan dana yang diperlukan untuk melakukan investasi jangka panjang, apakah usaha pemanfaatan hasil hutan kayu memerlukan investasi ? Kembali ke pembahasan bagian 4.3.2, pengeluaran- pengeluaran jangka panjang di hutan alam seperti biaya-biaya pembinaan hutan dan biaya-biaya yang berhubungan dengan pengelolaan hutan lestari tidak diakumulasikan sebagai investasi yang dapat dibukukan sebagai asset, melainkan sebagai biaya produksi. Perusahaan tidak sedang membangun asset melalui investasi jangka panjang, melainkan sedang melakukan kegiatan produksi, oleh sebab itu perusahaan IUPHHK hanya memerlukan biaya produksi bukan biaya investasi. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa perusahaan akan meminimumkan biaya, perusahaan induk akan menekankan penggunaan dana internal perusahaan IUPHHK dan hanya akan memberikan dukungan dana untuk hal-hal yang sangat selektif. Dengan demikian dukungan modal perusahaan induk tidak akan diberikan untuk membangun hutan, melainkan hanya diberikan untuk kepentingan produksi. Selain itu perusahaan tidak akan menyimpan modalnya di perusahaan IUPHHK, karena

mempertahankan modal berada di perusahaan ini berarti membiarkan adanya asset menganggur, setiap kelebihan modal akan dimanfaatkan untuk keperluan lain.

Untuk mendapatkan pengetahuan lebih lanjut tentang respon perusahaan maka dapat diperhatikan responnya terhadap 24 indikator penilaian yang dikelompokkan kedalam indikator prasyarat, produksi, ekologi dan indikator sosial. Berdasarkan nilai penting masing-masing, kemudian ditentukan satu atau lebih indikator fokus sebagai penentu klasifikasi baik, sedang dan buruk. Sebagai acuan penilaian ini adalah peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No.42/Kpts/IV-PHP/2003 dan Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan No. P.03/BPHA/2007.

Hasil penilaian terhadap kelompok indikator prasyarat disajikan pada Table 36 yang menunjukkan bahwa sebagian besar perusahaan tidak mampu memenuhi aturan atau standar prasyarat yang ditentukan. Di dalam standard prasyarat ini juga terdapat ketentuan-ketentuan yang memiliki sanksi administratif, misalnya pada indikator S.1.5 yang berupa kecukupan tenaga profesional, ketidak sanggupan memenuhi persyaratan ini diancam sanksi administratif berupa penghentian kegiatan di lapangan. Hasil penilaian menunjukkan bahwa hanya terdapat satu perusahaan (2.5%) yang mampu memenuhi persyaratan, lebih dari 90% perusahaan tidak dapat memenuhi indikator persyaratan yang seharusnya dapat dikenakan sanksi.

Pada Tabel 36 ditunjukkan bahwa sangat sedikit perusahaan IUPHHK yang memberikan perhatian pada indikator-indikator fokus yang berperan dominan dalam mencapai pengelolaan hutan lestari. Sebagian besar perusahaan bersikap mendua (ragu-ragu). Sikap mendua ini dapat dimaknai sebagai perilaku oportunis, pilihan tindakan yang menguntungkan dirinya disesuaikan dengan situasi yang berkembang.

Apabila “situasi” menghendaki perhatian mereka akan memberi prioritas, tetapi bila terjadi “situasi” sebaliknya seperti penegakan aturan yang lemah, maka cenderung bergeser kepada pengabaian. Prasyarat yang paling kurang mendapat perhatian adalah jumlah tenaga perofesional yang harus dipekerjakan, hanya ada satu perusahaan (2.5%) diantara 40 perusahaan contoh yang mampu memenuhi ketentuan ini.

Tabel 36. Hasil Penilaian Indikator Prasyarat pada 40 Perusahaan Contoh

No Indikator Baik Sedang Buruk

Frek % Frek % Frek %

1 Kepastian kawasan unit manajemen IUPHHK pada hutan alam (S 1.1)

4 10 28 80 8 10

2 Komitmen pemegang IUPHHK pada hutan alam(S.1.2)

4 10 20 50 16 40

3 Kesehatan Perusahaan /holding company (S.1.3)

4 10 23 57.5 13 32.5

4 Kesesuaian dengan kerangka hukum, potensi tegakan minimal, kebijakan dan peraturan dalam rangka PHL (S.1.4)

5 12.5 33 82.5 2 5

5 Jumlah dan kecukupan tenaga

professional (S.1.5)

1 2.5 34 85 5 12.5

6 Kapasitas dan mekanisme

perencanaan, pelaksanaan, monev dan umpan balik (S.1.6)

2 5.0 23 57.5 15 37.5

Jumlah 20 8.3 161 67.1 59 24.6

Dengan gambaran perilaku seperti tersebut diatas, dimana prasyarat-prasyarat penting yang diperlukan untuk mencapai PHL tidak mendapat perhatian yang cukup dari sebagian besar perusahaan IUPHHK, maka tidak dapat diharapkan bahwa dalam waktu dekat prasyarat (necessary conditions) tersebut dapat dipenuhi. Apabila syarat perlu tersebut tidak dapat dipenuhi, maka tidak dapat diharapkan bahwa dalam waktu dekat akan terwujud pengelolaan hutan yang menghasilkan hutan berkualitas dan lestari seperti yang diharapkan oleh Undang-undang Kehutanan. Selanjutnya

bagaimana perilaku perusahaan dalam menyikapi indikator-indikator fokus dalam menjalankan aktivitas produksinya, dapat diperhatikan pada Table 37.

Tabel 37. Hasil Penilaian Indikator Produksi pada 40 Perusahaan Contoh

No Indikator Baik Sedang Buruk

Frek % Frek % Frek % 1 Presentase hutan produksi yg

dicakup dalam rencana pemanfaatan lestari dan blok/petak yang dipanen menurut rencana operasional (P.2.1)

3 7.5 29 72.5 8 20

2 Tingkat pemanenan setiap jenis pada setiap tipe ekosistem (P 2.2)

3 7.5 16 40 21 52.5

3 Ketersediaan prosedur

implementasi penilaian kerusakan tegakan dan ITSP (P 2.3)

2 5.0 30 75.0 8 20

4 Ketersediaan teknologi tepat guna untuk PHL dan penerapan RIL (P 2.4)

3 7.5 26 55.0 11 27.5

5 Kesehatan financial pemegang ijin (P.2.5)

6 15.0 17 42.5 17 42.5 6 Volume yang dipanen pertahun

pertipe hutan (P.2.6)

5 12.5 25 62.5 10 25.0 7 Tingkat investasi dan reinvestasi

untuk memenuhi kebutuhan pemanfaatan, administrasi, litbang dan pengembangan SDM (P 2.7)

3 7.5 24 60.0 13 32.5

Jumlah 25 8.92 167 59.64 88 31.42

Terlalu sedikit perusahaan-perusahaan penerima IUPHHK yang memberi perhatian pada praktek-praktek produksi yang mendukung pengelolaan hutan lestari. Sebagian besar perusahaan tidak melaksanakan sepenuhnya aturan main yang telah ditetapkan. Sejalan dengan penjelasan terdahulu hal-hal yang diatur dalam bentuk kewajiban perusahaan penerima IUPHHK dan peraturan lainnya, berimplikasi pada aktivitas-aktivitas yang tidak melayani kepentingan langsung perusahaan, melalinkan

kepentingan pengelola hutan. Sebagaimana telah dibahas pada bagian 4.3.4 bab IV, bahwa pemerintah telah memindahkan beban pengelolaan hutan kepada IUPHHK yang tidak mempunyai kepentingan langsung dengan hasil akhir atas kegiatan tersebut. Produksi (output) yang dihasilkan oleh aktivitas yang diwajibkan tersebut adalah untuk mendukung misi pengelola hutan. Model pengaturan yang mengandung perversi kekuasaan seperti ini memerlukan kemampuan pengawasan dan pengendalian yang kuat dari pemerintah. Sebagaimana dikemukakan oleh Pindyck dan Rubenfeld (2001), bahwa dalam kondisi pemberi kewajiban tidak mampu mengawasi pelaksanaan kewajiban oleh pihak lain, maka peluang terjadinya moral hazard menjadi besar.

Dengan respon perilaku seperti tergambar pada table diatas, tidak berlebihan jika diperkirakan kondisi hutan dalam tahun-tahun kedepan masih akan menurun kualitasnya, tindakan-tindakan yang dilakukan oleh perusahaan tidak cukup memadai sebagai tindakan yang mempraktekkan prinsip-prinsip pengelolaan hutan lestari.

Selanjutnya hasil penilaian pada indikator ekologi sebagaimana disajikan pada Tabel 38, menunjukkan respon yang tidak berbeda dari indikator-indikator sebelumnya, dimana populasi perusahaan yang mematuhi aturan ekologi masih sangat kecil.

Perusahaan tidak memiliki perhatian terhadap kelestarian keaneka-ragaman hayati, indikator yang berkaitan dengan perlindungan flora dan fauna menjadi penting bila dikaitkan dengan perubahan orientasi dari kayu kepada sumberdaya hutan untuk dapat dilakukan tindakan-tindakan dalam rangka optimasi manfaat hutan. Tingkat kepatuhan rata-rata pada indikator ekologi hanya sebesar 3.75 % saja, suatu kondisi

yang pantas dipertimbangkan sebagai penanda perlunya kewaspadaan yang lebih tinggi tentang kemungkinan terjadinya tingkat kerusakan hutan yang tinggi.

Tabel 38. Hasil Penilaian atas Indikator Ekologi pada 40 Perusahaan Contoh

No Indikator Baik Sedang Buruk

Frek % Frek % Frek % 1 Data kawasan dilindungi pada

setiap tipe hutan (E 3.1)

2 5.0 28 70.0 10 25.0 2 Ketersediaan prosedur dan

implementasi perambahan, kebakaran, penggembalaan dan pembalakan liar (E 3.2)

5 12.5 25 62.5 10 25.0

3 Pengelolaan dan pemantauan dampak terhadap tanah dan air (E 3.3)

1 2.5 30 75.0 9 22.5

4 Ketersediaan prosedur dan

implementasi untuk mengidentifikasi spesies flora dan

fauna langka, dilindungi, endemic (E3.4)

0 0 21 52.5 19 47.5

5 Pengelolaan flora langka, dilindungi dan endemic (E 3.5)

0 23 57.5 17 42.5 6 Pengelolaan Fauna langka,

dilindungi, endemic (E3.6)

1 2.5 22 55.0 17 42.5

Jumlah 9 3.75 149 62.08 82 34.16

Beban yang dikeluarkan untuk membiayai kegiatan yang terkait dengan indikator ekologi akan menghasilkan output berupa barang publik atau manfaat eksternalitas. Melaksanakan peraturan dengan sepenuhnya berarti mengeluarkan biaya yang lebih besar, sementara manfaat yang akan dihasilkan tidak dapat dinikmati sendiri dan tidak mempunyai prestasi terhadap peningkatan keuntungan perusahaan secara langsung. Perilaku bisnis yang rasional akan menekan biaya ekologi serendah- rendahnya sampai batas yang masih dapat ditoleransi oleh pengawas atau pemberi kewajiban. Seperti pada indikator lainnya, sistem ini memerlukan pengawasan ketat.

Tabel 39. Hasil Penilaian atas Indikator Sosial pada 40 Perusahaan Contoh

No Indikator Baik Sedang Buruk

Frek % Frek % Frek % 1 Luas dan batas UM dengan

kawasan adat dan masyarakat setempat dan telah mendapat persetujuan para pihak (SS 4.1)

4 10.0 34 85.0 2 5.0

2 Kesetaraan hak, tanggung jawab, dan kewajiban dalam pengelolaan hutan secara bersama dan diakui para pihak. (SS 4.2)

4 10.0 33 82.5 3 7.5

3 Ketersediaan mekanisme dan pendistribusian insentif yang efektif serta pembagian biaya dan manfaat yang adil antara para pihak (SS 4.3)

5 12.5 33 77.5 2 10.0

4 Perencanaan dan implementasi pemanfaatan hutan telah mempertimbangkan hak masyarakat hokum adat dan, atau masyarakat setempat (SS 4.4)

4 10.0 32 80.0 4 10.0

5 Peningkatan peran serta dan aktivitas ekonomi masyarakat hukum adat an masyarakat setempat yang aktivitasnya berbasis hutan (SS 4.5)

1 2.5 30 75.0 9 22.5

Jumlah 18 9.00 162 81.00 20 10.00

Terakhir capaian nilai kinerja sosial (Tabel 39) juga tidak menunjukkan prestasi yang menonjol seperti indikator-indikator sebelumnya hanya sebagian kecil perusahaan yang mendapat nilai baik, sebagian besar tergolong tidak baik.

Salah satu tujuan perubahan undang-undang kehutanan adalah untuk meningkatkan pemanfaatan hutan yang berkeadilan, untuk mencapai tujuan ini diantaranya dilakukan dengan memberikan kewajiban kepada para pihak yang berusaha di bidang kehutanan untuk bekerjasama dengan koperasi masyarakat sekitar

hutan. Tabel 39 mengindikasikan bahwa hanya ada satu perusahaan (2.5%) yang dapat dengan baik meningkatkan peran serta dan aktivitas ekonomi masyarakat. Data ini menunjukan bahwa institusi tidak mampu mengarahkan perilaku perusahaan IUPHHK-HA untuk peduli kepada pemberdayaan masyarakat.

Hasil penilaian terhadap ke 4 kelompok-kelompok indikator menunjukkan bahwa perusahaan yang mempunyai nilai baik rata-rata untuk setiap kelompok indikator seluruhnya berjumlah kurang dari 10 %, data selengkapnya ada pada Tabel 40.

Tabel 40. Nilai Rata-rata untuk Setiap Kelompok Indikator

No Kelompok Indikator Baik Sedang Buruk Frek % Frek % Frek % 1 Prasyarat 20 8.3 161 67.1 59 24.6 2 Produksi 25 8.92 167 59.64 88 31.42 3 Ekologi 9 3.75 149 62.08 82 34.16 4 Sosial 18 9.00 162 81.00 20 10.00 72 7.50 639 66.56 249 25.94

Apabila setiap indikator diberikan bobot yang sama maka jumlah perusahaan yang mempunyai nilai baik hanya 7.50% saja atau setengah dari jumlah perusahaan yang mencapai nilai akhir baik (lihat Tabel 32). Meskipun sebagian besar mempunyai nilai sedang (66.56 %), tidak dapat diharapkan bahwa sebagian dari perusahaan ini akan meningkatkan nilai kinerjanya seiring dengan berjalannya waktu. Hasil uji korelasi pada Tabel 35, menunjukkan bahwa tidak ada korelasi antara umur dengan nilai kinerja, ini menggambarkan bahwa tidak ada proses belajar untuk memperbaiki kinerja, kecuali terdapat keadaan yang memaksa. Perubahan kinerja tidak mungkin dilakukan dengan mempercayakan perusahaan untuk memperbaiki dirinya sendiri, melainkan harus melalui paksaan dalam bentuk penegakan aturan.

IUPHHK diberikan melalui proses seleksi untuk mendapatkan mitra / perusahaan yang berkualitas tinggi yang mempunyai kompetensi untuk mendukung pencapaian pengelolaan hutan lestari. Data hasil penilaian kinerja (Tabel 40) menggambarkan kondisi sebaliknya, yaitu sebagian besar (90%) perusahaan mempunyai nilai tidak baik, hal ini berarti mayoritas perusahaan yang dipilih tidak menempatkan kegiatan yang penting bagi pengelolaan hutan lestari sebagai kegiatan prioritas yang dilaksanakan oleh perusahaan. Pembahasan pada bab IV menjelaskan bahwa terdapat situasi informasi yang tidak simetrik dan terdapat distorsi pada mekanisme seleksi calon penerima IUPHHK.