• Tidak ada hasil yang ditemukan

Intelek berasal dari bahasa Latin Intelligere yang berarti memahami. Intelligere sendiri berasal dari kata “inter” yang artinya diantara dan “legre” yang berarti mengumpulkan, membaca, memilih. Kemampuan intelek inilah yang harus dimiliki jurnalis sebagai seorang agen pemberitaan, dimana mereka harus mampu mengetahui, merasakan, dan menghubungkan atas peristiwa apa yang dilihat dan dirasakan. Seseorang dapat dikatakan berpikir secara intelektual tatkala ia mampu menerapkan kejelasan (Clarity), ketepatan (Accuracy), ketelitian (Precision),

59 Relevansi (Relevance), konsistensi (Consistency), logika (Logic), kelengkapan (Completeness), dan keadilan (Fairness).

Dalam melakukan setiap peliputan, jurnalis dituntut untuk memberikan informasi yang jelas. Tak hanya kejelasan saja, sebuah berita yang dipublikasikan juga harus tepat dan mengharuskan jurnalis tersebut untuk teliti dalam menyajikan beritanya. Bekerja sebagai seorang jurnalis bukanlah hal yang sederhana, karena dibutuhkan keterampilan dan ketekunan yang mendalam saat bekerja. Tak hanya itu saja, kemampuan menulis juga harus dimiliki para jurnalis, informasi apa yang didapat dari narasumber harus dengan cepat disajikan dalam bentuk berita dengan keutamaan basic menulis 5W + 1H. Tujuan utama jurnalis adalah bekerja untuk publik, maka jurnalis berhak meminta segala informasi yang berkenaan dengan ruang publik. Sebuah peristiwa dapat dimaknai dan dikontruksikan secara berbeda-beda oleh setiap orang, begitu juga dengan jurnalis. Cara pandang dan berpikir intelek yang dilakukan jurnalis berpengaruh terhadap setiap berita yang ia tulis.

Konstruksi para jurnalis memandang realitas tidak bisa lepas dari asosiasi. Asosiasi menurut KBBI berarti sekumpulan orang yang memiliki kepentingan bersama. Pengertian lain tentang asosiasi adalah kehidupan bersama yang dilakukan antar individu dalam suatu ikatan. Sekelompok individu dikatakan telah berasosiasi tatkala memiliki kesadaran akan kondisi yang sama, terdapat relasi sosial didalamnya, dan berorientasi pada tujuan yang telah ditentukan. Para jurnalis yang saya teliti yaitu tergabung dalam asosiasi Aliansi Jurnalis Independen dimana mereka memiliki visi, misi, serta motto tersendiri dalam melakukan liputan. Tentunya, segala aturan yang telah ditetapkan mendapat kesepakatan bersama oleh seluruh anggota AJI. Misalnya saja terdapat kasus korupsi yang dilakukan salah

60 satu pejabat negara, maka konstruksi memandang kasus tersebut antara anggota asosiasi yang satu dengan lainnya pasti berbeda. Karena mereka memiliki cara pandang tersendiri atas apa yang mereka lihat dan rasakan. Hasil dari konstruksi itulah yang nantinya akan menjadi sebuah berita, bagaimana pemikiran jurnalis dapat dilihat dari segi gaya pemberitaan tersebut.

Media merupakan platform untuk mengapresiasikan pemikiran yang lahir dari seluruh lapisan masyarakat, oleh karenanya kebebasan pers sangat diperlukan di setiap negara agar aspirasi masyarakat dapat tersampaikan tanpa khawatir lagi akan kecaman. Untuk melihat sejauh mana para wartawan paham akan profesinya, maka setiap wartawan diharuskan mengikuti uji kompetensi wartawan. Untuk melaksanakan uji kompetensi tersebut, dewan pers bekerjasama dengan lembaga kewartawanan dan lembaga keilmuan jurnalistik (komunikasi sebagai penguji), dengan adanya uji kompetensi ini diharapkan mampu mencerdaskan kerja intelek para jurnalis. Setidaknya ada empat yang harus dimiliki jurnalis sebagai pelaku jurnalistik yaitu:

1. Kompetensi jurnalistik

2. Kompentensi ilmu dan teknologi jurnalistik atau komunikasi 3. Kompetensi dalam bidang ilmu atau pengetahuan obyek berita 4. Kompetensi manajemen jurnalistik atau manajemen pada umumnya

Ilmu dan teknologi merupakan dua bagian yang tidak bisa terpisah dari kegiatan manusia. Salah satu bukti adanya perkembangan ilmu teknologi ada di bidang komunikasi, baik software maupun hardware. Jurnalis diwajibkan berpikir secara intelek agar terhindar dari kesalahan karena kesalahan itu bisa timbul dikala kurang

61 mengetahui dan memahami substansi suatu obyek berita. Kualitas hasil kerja wartawan dapat dilihat dari subtansi berita, kecapatan, akurasi, kelengkapan berita, dan kedalaman isi berita (indept). Berada di lingkungan asosiasi yang positif dapat memberikan efek yang positif pula kepada para anggotanya. Wujud dari kebebasan pers saat ini adalah kebebasan berkomunikasi. Sejak reformasi, pers mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri atau otonom.

Paradigma yang saya gunakan dalam penelitian ini adalah konstruktivisme, dan teori yang saya gunakan yaitu kontruksi realitas sosial. Dimana pada teori ini menganggap bahwa realitas adalah hasil dari konstruksi. Realitas sosial dapat dimaknai berbeda-beda oleh setiap orang. Fokus pada teori ini yaitu media dan teks berita yang dhasilkan. Bagaimana cara wartawan mengkontruksikan peristiwa dapat dilihat dari bagaimana wartawan tersebut membuat teks berita. Perwujudan dari berita ada karena wartawan memikirkan dan melihat peristiwa. Dalam hal ini media memiliki peranan yang penting dalam membentuk persepsi masyarakat, karena kemasan media menjadi aspek utama dalam membentuk realitas yang ada. Dalam mengemas sebuah berita, wartawan harusnya tak hanya menjadi pelapor sebuah peristiwa melainkan juga sebagai partisipan yang menjembatani informasi. Tidak semua informasi harus diberikan kepada masyarakat, melainkan harus dipilah-pilah dengan kata-kata yang sesuai dengan kode etik jurnalistik. Terlebih jika berita yang ditulis mengenai isu-isu yang kontroversial, maka pemilihan bahasa juga penting untuk diperhitungkan dalam menulis berita.

Realitas sosial sebagai Hasil Konstruksi Sosial melalui tindakan dan interaksi individu dalam proses sosial, realitas diciptakan secara terus menerus secara subjektif. Sebagai manusia bebas, individu melihat realitas sosial sebagai

62 hasil konstruksi sosial. Teori Konstruksi Realitas Sosial yang dicetus oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann ini memiliki dua asumsi utama sebagai teori komunikasi yakni pengalaman dan bahasa. Pengalaman yang dirasakan oleh manusia dibentuk melalui dunia sosial beserta cara kerjanya, sedangkan bahasa sebagai alat komunikasi merupakan hal yang penting dalam membentuk realitas.

Konsep dari teori konstruksi realitas sosial sebagai berikut :

1. Sisi pengetahuan sosial, tak hanya pengetahuan ilmiah dan teoriteis saja yang penting, tetapi pengetahuan sosial seperti penafsiran umum, intitusi, dan lain-lain merupakan pengetahuan yang lebih besar yang ada dalam masyarakat.

2. Bidang semantik, distribusi pengetahuan umum dilakukan secara sosial dan dikelompokkan dalam bidang semantik.

3. Bahasa dan tanda, seseorang memberikan penafsiran yang relevan terhadap sesuatu menggunakan bahasa, Berger dan Luckmann mengacu pada interaksi simbolis terkait dengan kemampuan bahasa. 4. Realitas sosial sehari-hari, ditandai dengan intersubyektifitas.

Menurut Berger dan Luckman, terdapat tiga bentuk realitas sosial:

1. Realitas sosial objektif, sebagai seorang individu, tindakan dan tingkah laku yang terjadi di dalam kehidupan sehari-hari dianggap sebagai sebuah fakta

2. Realitas sosial simbolik, realitas ditunjukkan sebagai bentuk-bentuk simbolik seperti karya seni, fiksi, berita-berita di media.

63 3. Realitas sosial subjektif, masing-masing individu memiliki realitas sosial subjektif dalam melakukan interaksi sosial dengan individu lain dalam sebuah struktur sosial.

Masyarakat adalah proses dialektis yang sedang berlangsung dimana pengalaman individu tidak dapat terpisahkan dengan masyarakat. Sehingga muncullah tiga tahapan proses manusia sebagai dialektis yaitu :

1. Eksternalisasi, usaha untuk mengekspresikan diri manusia kepada

dunia guna menguatkan eksistensi individu dalam masyarakat. Dalam hal ini masyarakat dilihat sebagai Society is a human

product(produk manusia).

2. Objektivasi, hasil yang dicapai baik mental maupun fisik dari

kegiatan eksternalisasi manusia. Dalam hal ini manusia dilihat sebagai realitas yang objektif (Society is an objective reality).

3. Internalisasi, unsur dari dunia yang telah terobjektifikasi akan

diterima sebagai gejala realitas diluar kesadarannya sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui internalisasi manusia menjadi hasil dari masyarakat (Man is a social product).

Dalam memandang sebuah realita, interpretasi orang akan berbeda-beda dengan yang lainnya. Inilah yang dilakukan para praktisi jurnalis dimana mereka memandang sebuah fenomena berdasarkan apa yang dilihat dan dirasakan, lalu mengapresiasikannya dalam bentuk tulisan berita. Seorang jurnalis yang tidak dibekali ilmu dan dasar jurnalistik, hanya “bondo nekad” saja, makan dalam melakukan interpretasi memandang peristiwa akan dilakukan secara asal-asalan.

64 Berbeda dengan jurnalis yang didasari ilmu dan dasar jurnalis yang mumpuni, maka dalam melakukan interpretasipun tidak tawur-tawuran dan berdasrkan fakta.

Interpretasi para jurnalis dalam melihat suatu fenomena dapat dilihat dari gaya pemberitaan yang ia tulis. Hal ini juga berpengaruh pada sistem pers yang digunakan saat itu. Apakah dari segi bahasanya yang vulgar/ tidak, kasar atau halus itu semua berdasarkan pada ilmu dan dasar jurnalistik yang dimiliki para jurnalis. Mengingat bahwa sistem teori libertarian dan tanggung jawab sosial saat ini cenderung mengarah pada praktik jurnalistik di Indonesia, maka para jurnalis dalam memandang suatu fenomena dan memberitakannya harus sesuai dengan nilai dan norma yang dianut masyarakat. Boleh memiliki kebebasan, tetapi harus ingat dengan tanggung jawab. Apalagi jika memberitakan tentang hal-hal sensitif yang menyangkut gender, interpretasi jurnalis diperlukan dalam memandang peristiwa-peristiwa yang terjadi. dalam memandang suatu realita, jurnalis harus bisa sensitif gender dan tidak membela salah satu pihak saja, berita tentang gender yang diterbitkan jurnalis bisa dilihat cara penginterpretasiannya melalui tata bahasa yang digunakan.

Dokumen terkait