• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Interaksi Obat

2.4.1. Interaksi Farmakokinetik

Proses farmakokinetik merupakan proses dimana tubuh bekerja pada obat yang masuk ke dalam tubuh (Brunton et al., 2006). Mekanisme interaksi farmakokinetik dapat terjadi pada proses absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat (Rang et al., 2007).

2.4.1.1. Interaksi pada Proses Absorbsi

Ketika suatu obat diberikan kepada pasien secara ektravaskuler, misalnya secara peroral atau transdermal, obat akan diabsorbsi/diserap melewati membran biologis, seperti dinding saluran pencernaan dan kulit, untuk mencapai sirkulasi sistemik. Efek farmakologis obat umumnya tertunda apabila diberikan secara ekstravaskuler karena obat perlu waktu untuk diabsorbsi ke sistem sirkulasi darah (Dipiro et al., 2005).

Penyerapan obat pada saluran pencernaan dapat dipengaruhi oleh obat lain yang mempunyai luar permukaan luas, berikatan atau kelasi, mengubah pH lambung, mengubah pergerakan saluran pencernaan, atau mempengaruhi protein transpor seperti glikoprotein-P dan transporter anion organik (Katzung et al., 2009).

Penyerapan suatu obat pada saluran cerna dapat diperlambat oleh obat lain yang dapat menghambat proses pengosongan lambung, misalnya atropin atau opiat, atau dipercepat oleh obat lain yang dapat mempercepat proses pengosongan lambung, misalnya metoklopramide (Rang et al., 2007).

Menurut Rang et al. (2007), interaksi farmasetik juga dapat terjadi ketika obat pertama berinteraksi dengan obat kedua dalam usus sedemikian rupa sehingga penyerapan obat kedua terhambat. Beberapa contoh obat yang berinteraksi secara farmasetik yaitu:

1. Ion kalsium dan zat besi dapat membentuk suatu kompleks yang tidak dapat larut (insoluble complex) dengan tetrasiklin sehingga menghambat penyerapan tetrasiklin (Rang et al., 2007).

2. Kolestiramin, suatu resin yang mengikat empedu, dapat mencegah penyerapan beberapa obat, misalnya warfarin dan digoksin dengan cara

berikatan dengan obat tersebut jika diberikan secara bersamaan (Rang et al., 2007).

3. Penambahan adrenalin/epinephrine pada suntikan anestesi lokal menyebabkan vasokonstriksi yang dapat memperlambat penyerapan obat anastesi tersebut sehingga efek lokal semakin panjang (Rang et al., 2007).

Menurut Stockley (2008), mekanisme interaksi obat pada proses absorbsi dapat dibagi menjadi lima, yaitu:

1. Efek perubahan pada pH saluran cerna.

2. Adsorbsi, kelasi dan mekanisme pembentukan kompleks lainnya. 3. Perubahan pada pergerakan saluran cerna.

4. Induksi atau inhibisi pada protein transporter obat. 5. Malabsorbsi akibat obat.

2.4.1.2. Interaksi pada Proses Distribusi

Sistem sirkulasi darah berperan sebagai sarana transportasi bagi obat untuk mencapai tempatnya bekerja (Dipiro et al., 2005). Setelah obat diabsorbsi atau telah mencapai sirkulasi darah, obat akan berdistribusi ke cairan interstisial dan intraseluler. Laju pengiriman dan jumlah obat yang terdistribusi ke jaringan dipengaruhi oleh curah jantung, aliran darah setempat, permeabilitas kapiler, dan volume jaringan (Brunton et al., 2006).

Sebagian obat juga ada yang tetap berada dalam sirkulasi darah dan berikatan dengan protein endogen seperti albumin atau glikoprotein. Ikatan ini bersifat reversibel sehingga terbentuk keseimbangan antara obat yang berikatan dengan protein dan obat yang tidak berikatan dengan protein (Dipiro et al., 2005). Menurut Katzung et al. (2009), interaksi pada proses distribusi obat yang dapat terjadi yaitu kompetisi untuk berikatan dengan protein plasma, perpindahan dari tempat ikatan pada jaringan, dan perubahan pada sawar jaringan lokal seperti hambatan glikoprotein-P pada sawar darah otak.

Pergeseran obat dari tempat ikatannya (binding sites) dalam plasma atau jaringan akan meningkatkan konsentrasi obat yang bebas/tidak terikat secara transien, namun proses ini juga diikuti oleh peningkatan eliminasi obat, sehingga

terbentuk suatu keadaan tetap (steady state) yang baru dimana konsentrasi obat total dalam plasma berkurang tetapi konsentrasi obat yang bebas tetap sama dengan konsentrasi awalnya sebelum berinteraksi dengan obat kedua. Jadi interaksi obat pada proses distribusi jarang sekali penting secara klinis (Rang et al., 2007).

Namun menurut Rang et al. (2007), ada beberapa konsekuensi interaksi ini yang berpotensial penting secara klinis yaitu:

1. Toksisitas terjadi dari peningkatan transien konsentrasi obat yang bebas sebelum kondisi tetap (steady state) yang baru tercapai.

2. Jika dosis diatur berdasarkan pengukuran konsentrasi plasma total, maka harus diingat bahwa rentang konsentrasi terapetik target akan diubah oleh pemberian yang bersamaan dengan obat penggeser (displacing drug).

3. Ketika obat penggeser (displacing drug) mengurangi eliminasi obat pertama sehingga konsentrasi obat yang bebas meningkat tidak hanya secara akut tetapi juga secara kronis pada kondisi tetap (steady state) yang baru dan toksisitas yang berat mungkin terjadi.

Menurut Stockley (2008), mekanisme interaksi obat pada proses distribusi dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Interaksi pada ikatan protein.

2. Induksi atau inhibisi pada protein transporter obat.

2.4.1.3. Interaksi pada Proses Metabolisme

Metabolisme obat atau disebut juga reaksi biotransformasi obat dibagi menjadi dua yaitu reaksi fungsionalisasi (fase I) dan reaksi biosintesis atau konjugasi (fase II). Pada reaksi fase I, obat mengalami proses hidrolisis yang dapat menyebabkan hilangnya aktivitas farmakologis obat tersebut atau sebaliknya meningkatkan aktivitas farmakologis seperti pada prodrug. Pada reaksi fase II, obat yang telah mengalami reaksi fase I akan dikonjugasikan dengan asam glukoronat, sulfat, glutation, asam amino atau asetat untuk membentuk senyawa kovalen yang polar sehingga dapat dengan cepat diekskresikan melalui urin atau feses (Brunton et al., 2006).

Beberapa organ seperti hati, dinding saluran pencernaan, dan paru-paru memiliki enzim untuk melakukan proses metabolisme obat, namun pada umunya metabolisme terjadi di organ hati. Proses ini dapat menghasilkan metabolit yang inaktif atau sebaliknya memiliki efek farmakologis. Selain itu, pembuluh darah juga memiliki enzim esterase yang dapat memutuskan ikatan ester pada molekul obat sehingga obat menjadi inaktif (Dipiro et al., 2005).

Metabolisme suatu obat dapat distimulasi atau sebaliknya dihambat oleh obat lain (Katzung et al., 2009). Menurut Stockley (2008), mekanisme interaksi obat pada proses metabolisme dapat dibagi menjadi lima, yaitu:

1. Perubahan pada first-pass metabolism.

2. Induksi enzim. 3. Inhibisi enzim. 4. Faktor genetik.

5. Isoenzim sitokrom P450.

2.4.1.4. Interaksi pada Proses Ekskresi

Menurut Brunton et al. (2006), obat dapat dieliminasi dalam bentuk yang tidak berubah dari bentuk semulanya atau dalam bentuk metabolit yang telah dikonversi. Organ-organ ekskresi lebih efisien mengeliminasi senyawa polar (larut dalam air) daripada senyawa yang memiliki kelarutan dalam lemak yang tinggi, kecuali organ paru-paru. Senyawa yang larut dalam lemak akan dikonversikan menjadi senyawa polar agar dapat dieksresi.

Organ ginjal dapat mengekskresi obat melalui filtrasi glomerulus atau dengan proses aktif melalui sekresi tubulus proksimal. Selain itu, obat juga dieliminasi melalui empedu yang dihasilkan oleh organ hati atau diekspirasikan melalui organ paru-paru. (Dipiro et al., 2005)

Menurut Katzung et al. (2009), ekskresi suatu obat dapat dipengaruhi oleh obat lain yang dapat mengubah pH urin atau yang dapat menghambat transporter pada tubulus ginjal. Mekanisme interaksi obat pada proses ekskresi, menurut Stockley (2008), dapat dibagi menjadi empat, yaitu:

2. Perubahan pada ekskresi aktif tubulus ginjal. 3. Perubahan pada aliran darah ginjal.

4. Ekskresi bilier dan entero-hepatic shunt.

Dokumen terkait