• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Peresepan Obat Berdasarkan Resep Yang Masuk Ke Apotek Di Kotamadya Medan Tahun 2013

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Gambaran Peresepan Obat Berdasarkan Resep Yang Masuk Ke Apotek Di Kotamadya Medan Tahun 2013"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh:

IRSAN THERMANTO

110100230

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

KARYA TULIS ILMIAH

“Karya Tulis Ilmiah ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk

memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran”

Oleh:

IRSAN THERMANTO

110100230

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

GAMBARAN PERESEPAN OBAT BERDASARKAN RESEP YANG MASUK KE APOTEK DI KOTAMADYA MEDAN TAHUN 2013

Nama : Irsan Thermanto NIM : 110100230

Pembimbing Penguji I

(dr. Datten Bangun, M.Sc, Sp.FK) (Nenni Dwi Aprianti Lubis, SP, M.Si)

NIP. 130349092 NIP. 1976.0410.2003122.022

Penguji II

(dr. Dina Aprillia A., M.Ked (PD), Sp.PD) NIP. 1981.0411.2006042.001

Medan, 5 Januari 2015 Dekan

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

NIP. 1954.02.20.1980.11.1.001

(4)

ABSTRAK

Latar Belakang: Meresepkan obat secara rasional kepada pasien merupakan salah satu kompetensi seorang dokter dan berperan penting dalam keberhasilan pengobatan suatu penyakit. Bila terjadi kesalahan dalam peresepan obat maka pengobatan akan gagal dan bahkan dapat merugikan pasien. Beberapa penelitan belakangan ini menunjukkan bahwa terjadinya kesalahan dalam peresepan obat dan interaksi obat masih tinggi.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran peresepan obat berdasarkan resep yang masuk ke apotek di kotamadya Medan pada tahun 2013. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang bersifat deskriptif dengan desain studi cross sectional yang dilaksanakan pada Agustus hingga September 2014 di kotamadya Medan. Sampel penelitian adalah resep dokter periode tahun 2013 yang dikumpulkan dari tiga apotek. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode acak klaster bertingkat yang bersifat probabilitas. Data diberi kode secara manual dan dianalisis secara statistik deskriptif.

Hasil: Data dari total 180 lembar resep dikumpulkan dan diperoleh 477 nama obat. Golongan obat yang paling banyak diresepkan adalah golongan antibakteri (16,6%). Rata-rata jumlah item obat pada tiap resep adalah sebesar 2,65 (Interval Kepercayaan (IK) 99% 2,44 - 2,86). Bentuk sediaan obat yang paling banyak diresepkan adalah bentuk sediaan padat (61%). Interaksi obat ditemukan pada 16 lembar resep (8,9%). Terdapat sebanyak 37 lembar resep (20,6%) yang pola peresepannya tidak lengkap.

Kesimpulan: Frekuensi peresepan obat dengan pola yang tidak lengkap dan interaksi obat masih tinggi. Usaha untuk mengurangi terjadinya interaksi obat dan kesalahan dalam peresepan obat diperlukan dan peningkatan perhatian dibutuhkan dari para dokter dan apoteker.

(5)

ABSTRACT

Background: Prescribing drugs rationally to patients is one of the physician competencies and plays an important role in the success of treatment of the patients. If there is an error in prescribing drugs, the treatment will be failed and can even harm the patients. Some recent studies had reported that occurence of prescribing errors and drug interactions was still high.

Objectives: This study aims to find out the description of drug prescribing in the prescriptions which were prescribed to pharmacies in Medan city during the year of 2013.

Methods: This study was an observational research, a descriptive study, with cross sectional design which was conducted from August to September 2014 in Medan city. The samples were doctor’s prescriptions in the period of 2013 which were collected from three pharmacies. Samples were selected by using multistage cluster sampling method, a probability sampling. Data were coded manually and analyzed in descriptive statistics.

Results: Data from a total of 180 drug prescriptions were collected and 477 names of drugs were obtained. The most prescribed class of drugs was antibacterial drugs (16.6%). The average number of drug prescribed in each drug prescription was 2.65 (99% Confidence Interval (CI) 2.44 to 2.86). The most prescribed dosage form of drugs was solid form (61%). Drug interactions were found in 16 drug prescriptions (8.9%). There were 37 drug prescriptions (20.6%) which had incomplete pattern.

Conclusions: Frequency of drug prescriptions with incomplete pattern and drug interactions is still high. Attempt to reduce the occurence of drug interactions and prescribing errors is required and an increased level of attention is necessary among doctors and pharmacists.

(6)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas berkat, rahmat, dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini tepat pada waktunya. Karya tulis ilmiah ini yang berjudul “Gambaran Peresepan Obat berdasarkan Resep yang Masuk ke Apotek di kotamadya Medan Tahun 2013”, disusun penulis dalam rangka memenuhi syarat untuk memperoleh kelulusan Sarjana Kedokteran program studi Pendidikan Dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

Dalam proses penyusunan karya tulis ilmiah ini, penulis mendapatkan kesulitan dan hambatan namun penulis memperoleh bimbingan, pengarahan, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp.PD-KGEH.

2. Dosen Pembimbing, dr. Datten Bangun, M.Sc, Sp.FK yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya di tengah kesibukan beliau untuk memberikan arahan, dukungan, dan bimbingan kepada penulis selama penyusunan karya tulis ilmiah ini.

3. Dosen Penguji I, Nenni Dwi Aprianti Lubis, SP, M.Si dan Dosen Penguji II, dr. Dina Aprillia Ariestine, Sp.PD untuk setiap kritik dan saran yang membangun.

4. Dosen pembimbing Akademik, dr. M. Surya Husada, Sp.KJ yang telah membimbing selama menempuh pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

(7)

6. Semua pihak Dinas Kesehatan dan Apotek di kotamadya Medan yang telah membantu kelancaran dan terlaksananya penelitian ini.

7. Keluarga tercinta yang telah membesarkan, mengasihi, mendoakan, dan senantiasa memberikan semangat kepada penulis sehingga karya tulis ilmiah ini dapat selesai.

8. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara angkatan 2011 yang selalu mendukung penulis selama penyusunan karya tulis ilmiah ini.

9. Semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu yang ikut membantu penulis dalam proses penulisan karya tulis ilmiah ini.

Usaha dan kerja keras telah dilakukan penulis selama proses penyusunan karya tulis ilmiah ini, namun penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih memiliki kekurangan dan ketidaksempurnaan. Oleh karena itu, penulis meminta maaf dan mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari semua pihak agar penulis dapat memperbaiki kesalahan dan kekurangan karya tulis ilmiah ini.

Akhir kata, semoga karya tulis ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua dan dapat menjadi rujukan bagi penulisan karya tulis ilmiah berikutnya di masa yang akan datang.

Medan, 5 Januari 2015

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR PENGESAHAN ... i

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... ix

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

DAFTAR SINGKATAN ... xii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 3

1.3. Tujuan Penelitian ... 3

1.3.1. Tujuan Umum ... 3

1.3.2. Tujuan Khusus ... 3

1.4. Manfaat Penelitian ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1. Resep ... 5

2.1.1. Definisi Resep ... 5

2.1.2. Komponen Resep ... 5

2.1.3. Rasionalitas Resep ... 6

2.1.4. Kesalahan dalam Peresepan Obat ... 8

2.2. Apotek dan Apoteker ... 9

2.2.1. Definisi Apotek ... 9

2.2.2. Definisi Apoteker ... 9

(9)

2.3. Obat ... 10

2.3.1. Definisi Obat ... 10

2.3.2. Klasifikasi Obat ... 11

2.3.3. Bentuk Sediaan Obat ... 13

2.4. Interaksi Obat ... 15

2.4.1. Interaksi Farmakokinetik... 16

2.4.1.1. Interaksi pada Proses Absorbsi ... 16

2.4.1.2. Interaksi pada Proses Distribusi ... 17

2.4.1.3. Interaksi pada Proses Metabolisme ... 18

2.4.1.4. Interaksi pada Proses Ekskresi ... 19

2.4.2. Interaksi Farmakodinamik... 20

BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 21

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 21

3.2. Definisi Operasional ... 21

3.2.1. Definisi Variabel ... 21

3.2.2. Cara Ukur Variabel ... 21

3.2.3. Alat Ukur Variabel ... 22

3.2.4. Hasil Ukur Variabel ... 24

3.2.5. Skala Ukur Variabel ... 25

BAB 4 METODE PENELITIAN ... 26

4.1. Jenis Penelitian ... 26

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian ... 26

4.2.1. Waktu Penelitian ... 26

4.2.2. Tempat Penelitian ... 26

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian ... 26

4.3.1. Populasi Penelitian ... 26

4.3.2. Sampel Penelitian ... 27

4.4. Teknik Pengumpulan Data ... 31

(10)

BAB 5 HASIL PENELITIAN ... 32

5.1. Hasil Penelitian ... 32

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian ... 32

5.1.2. Hasil Analisa Data Penelitian ... 33

5.2. Pembahasan ... 38

5.2.1. Jenis / Golongan Obat ... 38

5.2.2. Bentuk Sediaan Obat ... 40

5.2.3. Jumlah Item Obat ... 40

5.2.4. Interaksi Obat ... 41

5.2.5. Pola Peresepan ... 45

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ... 46

6.1. Kesimpulan ... 46

6.2. Saran ... 47

DAFTAR PUSTAKA ... 48

(11)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1. Alat Ukur Variabel Jenis/Golongan Obat ... 23

3.2. Alat Ukur Variabel Bentuk Sediaan Obat ... 23

5.1. Distribusi Jumlah Apotek berdasarkan Kecamatan di Kotamadya Medan ... 32

5.2. Distribusi Frekuensi Obat berdasarkan Jenis/Golongan Obat ... 33

5.3. Distribusi Frekuensi Obat berdasarkan Bentuk Sediaan Obat... 35

5.4. Distribusi Frekuensi Resep berdasarkan Jumlah Item Obat ... 36

5.5. Distribusi Frekuensi Resep berdasarkan Interaksi Obat ... 36

5.6. Distribusi Frekuensi Resep berdasarkan Pasangan Obat yang Berinteraksi ... 37

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Tanda Khusus Obat Bebas ... 11

2.2. Tanda Khusus Obat Bebas Terbatas ... 12

2.3. Tanda Khusus Obat Keras ... 12

2.4. Tanda Khusus Obat Narkotika ... 13

3.1. Kerangka Konsep Penelitian ... 21

4.1. Kerangka Pengambilan Sampel Tahap Pertama ... 29

4.2. Kerangka Pengambilan Sampel Tahap Kedua ... 30

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup ... 52

Lampiran 2 Surat Izin Survei Awal Penelitian ... 54

Lampiran 3 Surat Persetujuan Komisi Etik ... 55

Lampiran 4 Surat Izin Penelitian ... 56

Lampiran 5 Data Induk Penelitian ... 58

(14)

DAFTAR SINGKATAN

DOEN Daftar Obat Esensial Nasional

FORNAS Formularium Nasional

GABA Gamma-Aminobutyric Acid

IK Interval Kepercayaan

KBBI Kamus Besar Bahasa Indonesia KEPMENKES Keputusan Menteri Kesehatan OAINS Obat Antiinflamasi Nonsteroid

RI Republik Indonesia

RSUP Rumah Sakit Umum Pusat

SIP Surat Izin Praktek

SK Surat Keputusan

SPSS Statistical Product and Service Solution

(15)

ABSTRAK

Latar Belakang: Meresepkan obat secara rasional kepada pasien merupakan salah satu kompetensi seorang dokter dan berperan penting dalam keberhasilan pengobatan suatu penyakit. Bila terjadi kesalahan dalam peresepan obat maka pengobatan akan gagal dan bahkan dapat merugikan pasien. Beberapa penelitan belakangan ini menunjukkan bahwa terjadinya kesalahan dalam peresepan obat dan interaksi obat masih tinggi.

Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran peresepan obat berdasarkan resep yang masuk ke apotek di kotamadya Medan pada tahun 2013. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang bersifat deskriptif dengan desain studi cross sectional yang dilaksanakan pada Agustus hingga September 2014 di kotamadya Medan. Sampel penelitian adalah resep dokter periode tahun 2013 yang dikumpulkan dari tiga apotek. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode acak klaster bertingkat yang bersifat probabilitas. Data diberi kode secara manual dan dianalisis secara statistik deskriptif.

Hasil: Data dari total 180 lembar resep dikumpulkan dan diperoleh 477 nama obat. Golongan obat yang paling banyak diresepkan adalah golongan antibakteri (16,6%). Rata-rata jumlah item obat pada tiap resep adalah sebesar 2,65 (Interval Kepercayaan (IK) 99% 2,44 - 2,86). Bentuk sediaan obat yang paling banyak diresepkan adalah bentuk sediaan padat (61%). Interaksi obat ditemukan pada 16 lembar resep (8,9%). Terdapat sebanyak 37 lembar resep (20,6%) yang pola peresepannya tidak lengkap.

Kesimpulan: Frekuensi peresepan obat dengan pola yang tidak lengkap dan interaksi obat masih tinggi. Usaha untuk mengurangi terjadinya interaksi obat dan kesalahan dalam peresepan obat diperlukan dan peningkatan perhatian dibutuhkan dari para dokter dan apoteker.

(16)

ABSTRACT

Background: Prescribing drugs rationally to patients is one of the physician competencies and plays an important role in the success of treatment of the patients. If there is an error in prescribing drugs, the treatment will be failed and can even harm the patients. Some recent studies had reported that occurence of prescribing errors and drug interactions was still high.

Objectives: This study aims to find out the description of drug prescribing in the prescriptions which were prescribed to pharmacies in Medan city during the year of 2013.

Methods: This study was an observational research, a descriptive study, with cross sectional design which was conducted from August to September 2014 in Medan city. The samples were doctor’s prescriptions in the period of 2013 which were collected from three pharmacies. Samples were selected by using multistage cluster sampling method, a probability sampling. Data were coded manually and analyzed in descriptive statistics.

Results: Data from a total of 180 drug prescriptions were collected and 477 names of drugs were obtained. The most prescribed class of drugs was antibacterial drugs (16.6%). The average number of drug prescribed in each drug prescription was 2.65 (99% Confidence Interval (CI) 2.44 to 2.86). The most prescribed dosage form of drugs was solid form (61%). Drug interactions were found in 16 drug prescriptions (8.9%). There were 37 drug prescriptions (20.6%) which had incomplete pattern.

Conclusions: Frequency of drug prescriptions with incomplete pattern and drug interactions is still high. Attempt to reduce the occurence of drug interactions and prescribing errors is required and an increased level of attention is necessary among doctors and pharmacists.

(17)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Salah satu kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang lulusan dokter dalam melakukan penatalaksanaan masalah kesehatan adalah mampu menulis resep obat secara bijak, rasional, jelas, lengkap, dan dapat dibaca. Peresepan obat tersebut dikategorikan bijak dan rasional bila sudah tepat indikasi, tepat obat, tepat dosis, tepat frekuensi dan cara pemberian, serta sesuai dengan kondisi pasien (Konsil Kedokteran Indonesia, 2012).

Dokter memberikan pengobatan secara tidak langsung kepada pasien dengan cara menuliskan resep atau permintaan tertulis yang akan diserahkan pasien kepada apoteker untuk mendapatkan obat di apotek. Di dalam resep tersebut tidak hanya tercantum nama obat, identitas dokter dan identitas pasien saja tetapi juga jumlah, dosis, bentuk sediaan, cara pemakaian, rute dan interval waktu pemberian obat (Jas, 2008).

Pengobatan yang diterima oleh pasien diharapkan dapat memberikan manfaat terapi, namun jika terjadi kesalahan dalam prosesnya, pengobatan tersebut malah akan menimbulkan dampak buruk terhadap pasien. Sampai saat ini masalah dalam pengobatan pasien masih ditemukan khususnya kesalahan dalam meresepkan obat dan kesalahan ini menurut Velo dan Minuz (2009) sebenarnya dapat dicegah. Kesalahan ini dapat dibedakan menjadi dua, yaitu kesalahan dalam proses memutuskan pengobatan dan kesalahan dalam proses penulisan resep (Aronson, 2009).

(18)

Calligaris et al. (2009) melakukan suatu survei prevalensi titik pada 756 orang pasien di suatu rumah sakit di Italia. Dari penelitian tersebut ditemukan sebanyak 408 peresepan antibiotik pada 298 orang pasien. Dari resep antibiotik tersebut ditemukan resep yang tidak jelas atau sulit dibaca sebanyak 23.9% dan resep yang tidak lengkap sebanyak 29.9%.

Suatu penelitian prospektif dilakukan oleh Caruba et al. (2010) di suatu rumah sakit di Perancis selama 18 hari. Sebanyak 12533 lembar resep diteliti dan ditemukan kesalahan sebesar 0.9% yaitu sebanyak 117 lembar resep dan 51% dari kesalahan itu terjadi saat hari pertama pasien masuk ke rumah sakit.

Di Indonesia, Amira (2011) melakukan suatu penelitian cross sectional di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Haji Adam Malik Medan yang melibatkan 165 lembar resep askes periode Mei 2011. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa terdapat kesalahan dalam penulisan resep sebesar 74%. Kesalahan tersebut paling banyak dijumpai pada penulisan wadah obat.

Tragni et al. (2013) melakukan suatu penelitian cross sectional di Italia dengan menganalisis secara retrospektif data resep dari bulan Januari 2004 sampai Agustus 2005 dan menemukan sebanyak 27 pasangan obat yang berinteraksi pada 45,3% populasi penelitian. Di India, Kulkarni et al. (2013) melakukan penelitian observasional secara prospektif dengan menganalisis total 204 resep dokter dan pada 186 resep (91%) diantaranya terdapat sebanyak 856 obat yang berinteraksi.

(19)

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut:

Bagaimana gambaran peresepan obat berdasarkan resep yang masuk ke apotek di Kotamadya Medantahun 2013?

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana gambaran peresepan obat berdasarkan resep yang masuk ke apotek di Kotamadya Medan tahun 2013.

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Mengetahui jenis-jenis obat yang dituliskan pada resep yang masuk ke apotek di Kotamadya Medan tahun 2013.

2. Mengetahui jenis penyakit pasien yang berhubungan dengan jenis obat yang diresepkan oleh dokter ke apotek di Kotamadya Medan tahun 2013.

3. Mengetahui bentuk-bentuk sediaan obat yang dituliskan pada resep yang masuk ke apotek di Kotamadya Medan tahun 2013.

4. Mengetahui rata-rata jumlah item obat per resep yang diresepkan oleh dokter ke apotek di Kotamadya Medan tahun 2013.

5. Mengetahui kemungkinan terjadinya interaksi obat pada resep yang masuk ke apotek di Kotamadya Medan tahun 2013.

6. Mengetahui kemungkinan terjadinya kesalahan dalam penulisan resep yang masuk ke apotek di Kotamadya Medan tahun 2013.

(20)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan informasi tentang jenis-jenis obat yang paling banyak diresepkan oleh dokter ke apotek di Kotamadya Medan tahun 2013.

2. Memberikan informasi tentang jenis penyakit pasien yang berhubungan dengan jenis obat yang diresepkan oleh dokter ke apotek di Kotamadya Medan tahun 2013.

3. Memberikan informasi tentang rata-rata jumlah item obat per resep yang diresepkan oleh dokter ke apotek di Kotamadya Medan tahun 2013.

4. Memberikan informasi kepada pihak farmasis/apoteker tentang jumlah item dan jenis/golongan serta bentuk sediaan obat yang paling banyak diresepkan oleh dokter ke apotek untuk pengelolaan ketersediaan obat di apotek di Kotamadya Medan.

(21)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Resep

2.1.1. Definisi Resep

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, resep dokter didefinisikan sebagai suatu keterangan dokter tentang obat serta dosisnya yang harus digunakan oleh pasien dan dapat ditukarkan dengan obat di apotek. Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004 tentang standar pelayanan kefarmasian di apotek, resep merupakan suatu permintaan tertulis dari seorang dokter, dokter gigi atau dokter hewan kepada seorang apoteker untuk menyediakan dan memberikan obat kepada pasien sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Menurut Jas (2008), resep merupakan suatu permintaan tertulis dari seorang dokter kepada seorang apoteker atau farmasis yang mengelola apotek untuk memberikan obat jadi atau obat racikan kepada pasien.

2.1.2. Komponen Resep

Menurut World Health Organization (WHO) dalam de Vries et al. (1994), setiap negara memiliki standar tersendiri tentang informasi minimum apa yang harus ditulis di dalam resep. Obat apa yang memerlukan resep dan siapa yang boleh meresepkan obat diatur oleh peraturan dan hukum di tiap negara tersebut. Namun, di dalam resep sebaiknya tercantum:

1. Nama, alamat, dan nomor telepon dokter. 2. Tanggal.

3. Nama dan kekuatan obat. 4. Dosis dan jumlah total obat. 5. Label: instruksi dan peringatan. 6. Nama, alamat, dan umur pasien. 7. Tanda tangan dokter.

(22)

subscriptio dan pro. Identitas dokter dicantumkan di dalam bagian inscriptio

sedangkan identitas pasien di dalam bagian pro. Di bagian invocatio dicantumkan singkatan latin resipe (R/). Nama, jumlah, dan bentuk sediaan obat dituliskan pada bagian prescriptio/ordonantio. Cara pakai, dosis, rute, dan interval pemberian terdapat pada bagian signatura. Resep tersebut legal bila telah ditandatangani oleh dokter pada bagian subscriptio.

Di dalam resep, nama obat ditulis menurut suatu pola tertentu yaitu diawali dengan penulisan nama obat untuk terapi utama (remedium cardinal), kemudian obat penunjang obat utama (remedium adjuvantia), dan terakhir robansia yaitu obat yang dapat memicu metabolisme (Jas, 2008).

2.1.3. Rasionalitas Resep

Resep telah ditulis secara rasional bila memenuhi kriteria tepat, aman dan logis. Pertama, peresepan harus tepat indikasi, tepat obat, tepat bentuk sediaan, tepat dosis, tepat interval pemberian, dan tepat pasien. Kedua, peresepan juga harus aman atau tidak berbahaya bagi pasien. Efek samping dan kontraindikasi pemberian obat juga harus diwaspadai. Ketiga, resep tersebut harus logis dalam susunan dan komposisi obat. Bentuk sediaan harus sesuai dengan rute pemberian obat. Beberapa obat dapat berinteraksi secara adisi, potensiasi, sinergis, dan antagonis (Jas, 2008).

Menurut Katzung et al. (2009), menulis resep harus mengikuti langkah-langkah yang rasional yaitu:

1. Buat diagnosis yang spesifik,

2. Pertimbangkan implikasi patofisiologi dari diagnosis tersebut, 3. Pilih tujuan terapi yang spesifik,

4. Pilih pengobatan,

5. Tentukan regimen dosis,

(23)

Menurut Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional Depkes RI tahun 2008 tentang Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat bagi Tenaga Kesehatan, ada beberapa kriteria yang harus dipenuhi agar penggunaan obat disebut rasional, yaitu:

1. Tepat Diagnosis: Pilihan obat yang diberikan harus sesuai dengan diagnosis. Pemilihan obat akan salah apabila diagnosis tidak ditetapkan dengan benar. 2. Tepat Indikasi Penyakit: Pilihan obat yang diberikan harus tepat untuk suatu

penyakit tertentu.

3. Tepat Pemilihan Obat: Pilihan obat yang diberikan harus memiliki efek terapi sesuai dengan penyakit.

4. Tepat Dosis, Jumlah, Cara, Waktu dan Lama Pemberian Obat:

a. Tepat Dosis dan Jumlah: Dosis dan jumlah obat yang diberikan harus cukup.

b. Tepat Cara Pemberian: Misalnya pada pemberian obat antasida, obat seharusnya dikunyah terlebih dahulu baru boleh ditelan dan pada pemberian antibiotik, obat tidak boleh dicampur dengan susu karena akan membentuk ikatan yang tidak dapat diabsorpsi sehingga efektifitasnya menurun.

c. Tepat Interval Waktu Pemberian: Cara pemberian obat sebaiknya sederhana dan praktis agar mudah dipatuhi oleh pasien. Frekuensi pemberian obat yang terlalu sering akan menurunkan tingkat kepatuhan minum obat. Pemberian obat 3 kali sehari seharusnya diberikan dengan interval pemberian obat setiap 8 jam.

d. Tepat Lama Pemberian: Lama pemberian obat harus sesuai dengan penyakitnya. Misalnya, lama pemberian obat untuk penyakit tuberkulosis minimal adalah 6 bulan dan lama pemberian kloramfenikol untuk demam tifoid adalah 10-14 hari.

(24)

6. Waspada terhadap Efek Samping: Setiap obat dapat menimbulkan efek samping pada dosis terapi, seperti timbul rasa mual, muntah, gatal-gatal, dan lain lain.

7. Efektif, Aman, Mutu Terjamin, Tersedia Setiap Saat, dan Harga Terjangkau. 8. Tepat Tindak Lanjut (follow up): Apabila sakit berlanjut setelah pengobatan

sendiri telah dilakukan, pasien harus berkonsultasi ke dokter.

9. Tepat Penyerahan Obat (dispensing): Penyerahan obat kepada pasien harus disertai dengan informasi yang tepat.

10. Pasien Patuh terhadap Perintah Pengobatan: Ketidakpatuhan pasien terjadi pada keadaan-keadaan berikut ini:

a. Jenis sediaan obat yang beragam, b. Jumlah obat yang terlalu banyak,

c. Frekuensi pemberian obat per hari yang terlalu sering,

d. Pemberian obat dalam jangka panjang tanpa adanya informasi,

e. Pasien tidak memperoleh informasi yang cukup tentang cara menggunakan obat,

f. Timbul suatu efek samping.

2.1.4. Kesalahan dalam Peresepan Obat

Menurut Carruthers et al. (2000), kesalahan yang dilakukan oleh dokter dalam meresepkan obat umumnya berhubungan dengan:

1. Penulisan nama obat yang salah.

2. Penggunaan bentuk sediaan obat yang salah. 3. Penggunaan singkatan yang salah.

4. Kesalahan dalam menghitung dosis.

Beberapa tipe kesalahan dalam persepan obat yang umum ditemukan menurut Katzung et al. (2009) yaitu kurangnya keterangan atau informasi di dalam resep, penulisan yang buruk tentang dosis dan interval pemakaian obat, serta peresepan obat tertentu yang tidak sesuai dengan keadaan pasien.

(25)

pasien. Tipe kesalahan ini dapat berupa peresepan irasional, peresepan berlebih atau peresepan kurang. Kedua, kesalahan dalam proses menulis resep. Tipe kesalahan yang terjadi berupa salah menulis nama obat, dosis, rute, interval pemberian, dan nama pasien (Aronson, 2009).

Menurut Tully et al. (2009), kesalahan dalam peresepan obat paling sering terjadi karena kurangnya pengetahuan dokter tentang obat yang diresepkan atau pasien yang akan menerima resep obat. Selain itu, kesalahan juga dapat terjadi akibat kurangnya pengalaman, kelelahan, stress, tingginya beban kerja dokter yang meresepkan obat dan kurangnya komunikasi antara profesional kesehatan.

2.2. Apotek dan Apoteker 2.2.1. Definisi Apotek

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, apotek adalah toko tempat meramu dan menjual obat berdasarkan resep dokter. Menurut Kepmenkes RI Nomor 1027/MENKES/SK/IX/2004, apotek merupakan suatu tempat tertentu dimana dilakukan pekerjaan kefarmasian, penyaluran sediaan farmasi, dan perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat.

2.2.2. Definisi Apoteker

Apotek dikelola oleh seorang apoteker, yaitu sarjana yang sudah lulus pendidikan profesi dan telah mengucapkan sumpah berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Kepmenkes RI, 2004). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, apoteker adalah seorang ahli dalam ilmu obat-obatan yang memiliki wewenang untuk meracik dan menjual obat.

2.2.3. Pelayanan Apotek

(26)

Pelayanan resep yang dilakukan berupa skrining resep dan penyiapan obat. Skrining tersebut meliputi tiga hal yaitu persyaratan administratif, kesesuaian farmasetik, dan pertimbangan klinis. Pertama, persyaratan administratif yaitu: 1. Nama, Surat Izin Praktek (SIP), dan alamat dokter.

2. Tanggal penulisan resep.

3. Tanda tangan/paraf dokter penulis resep.

4. Nama, alamat, umur, jenis kelamin, dan berat badan pasien. 5. Nama obat , potensi, dosis, jumlah yang diminta.

6. Cara pemakaian yang jelas. 7. Informasi lainnya.

Kedua, aspek kesesuaian farmasetik yaitu berupa bentuk sediaan, dosis, potensi, stabilitas, inkompatibilitas, cara dan lama pemberian. Dan yang terakhir adalah pertimbangan klinis yaitu ada tidaknya alergi, efek samping, interaksi, serta kesesuaian dalam dosis, durasi, jumlah obat dan lain-lain. Dalam promosi dan edukasi, apoteker ikut membantu menyebarkan informasi berupa brosur/leaflet, poster, penyuluhan dan lain-lain kepada masyarakat. Pelayanan residensial juga dilakukan oleh apoteker dengan melakukan kunjungan ke rumah khususnya untuk kelompok pasien lansia atau pasien dengan penyakit kronis (Kepmenkes RI, 2004).

2.3. Obat

2.3.1. Definisi Obat

Definisi obat menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu bahan untuk mengurangi, menghilangkan atau menyembuhkan penyakit. Menurut Rang

et al. (2007), obat adalah suatu zat kimia yang strukturnya telah diketahui dan bukan merupakan suatu nutrien atau bahan makanan esensial yang bila diberikan pada makhluk hidup akan menimbulkan efek biologis.

(27)

luka atau kelainan badaniah dan rohaniah pada manusia atau hewan dan untuk memperelok atau memperindah badan atau bagian badan manusia.

Menurut Kepmenkes RI Nomor 1121/MENKES/SK/XII/2008 tentang pedoman teknis pengadaan obat publik dan perbekalan kesehatan untuk pelayanan kesehatan dasar, obat adalah bahan atau paduan bahan-bahan yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologis dalam rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan kesehatan, dan kontrasepsi termasuk produk biologi.

2.3.2. Klasifikasi Obat

Menurut Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional Depkes RI tahun 2008 tentang Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat bagi Tenaga Kesehatan, obat dapat dibagi menjadi lima golongan yaitu: 1. Obat bebas

Obat bebas adalah obat yang dijual bebas di pasaran dan dapat dibeli tanpa resep dokter. Tanda khusus berupa lingkaran hijau dengan garis tepi berwarna hitam terdapat pada kemasan dan etiket obat (Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional, 2008).

Gambar 2.1. Tanda Khusus Obat Bebas

(28)

2. Obat bebas terbatas

Obat bebas terbatas adalah obat yang sebenarnya termasuk obat keras tetapi masih dapat dijual atau dibeli secara bebas tanpa resep dokter, namun penggunaannya harus memperhatikan informasi yang menyertai obat di dalam kemasan. Tanda khusus berupa lingkaran biru dengan garis tepi berwarna hitam terdapat pada kemasan dan etiket obat (Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional, 2008).

Gambar 2.2. Tanda Khusus Obat Bebas Terbatas

Sumber: Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional. 2008. Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta: Depkes RI

3. Obat keras

Obat keras adalah obat yang hanya dapat dibeli di apotek dengan resep dokter. Tanda khusus berupa lingkatan bulat merah dengan garis tepi berwarna hitam dan huruf K ditengah yang menyentuh garis tepi terdapat pada kemasan dan etiket obat (Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional, 2008).

Gambar 2.3. Tanda Khusus Obat Keras

(29)

4. Obat psikotropika

Obat psikotropika adalah obat bukan golongan narkotik yang berkhasiat mempengaruhi susunan syaraf pusat dan dapat menimbulkan perubahan yang khas pada aktivitas mental dan perilaku. Obat golongan ini hanya diperbolehkan untuk dijual melalui resep dokter. Tanda khusus berupa huruf K dalam lingkaran merah dengan garis tepi berwarna hitam terdapat pada kemasan dan etiket obat (Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional, 2008).

5. Obat narkotika

Obat narkotika adalah obat yang berasal dari turunan tanaman atau bahan kimia yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, menghilangkan rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan menimbulkan ketergantungan. Obat golongan ini hanya dapat diperoleh dengan resep dari dokter (Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional, 2008).

Gambar 2.4. Tanda Khusus Obat Narkotika

Sumber: Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional. 2008. Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat bagi Tenaga Kesehatan. Jakarta: Depkes RI

2.3.3. Bentuk Sediaan Obat

Menurut Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional Depkes RI tahun 2008 tentang Materi Pelatihan Peningkatan Pengetahuan dan Keterampilan Memilih Obat bagi Tenaga Kesehatan, ada empat bentuk sediaan obat yaitu:

1. Sediaan Padat

(30)

i. Tablet Bersalut: tablet yang bersalut/berlapis dengan tujuan untuk melindungi zat aktif dari udara, kelembaban, dan cahaya, menutupi rasa dan bau, serta agar memiliki penampilan yang lebih baik.

ii. Tablet Effervescent: tablet yang dilarutkan dalam air terlebih dahulu sebelum diminum. Tablet ini mengeluarkan gas CO2.

iii. Tablet Kunyah: tablet yang penggunaannya dikunyah dengan tujuan memberikan rasa enak dan mudah ditelan.

iv. Tablet Hisap: tablet yang penggunaannya dihisap, tidak langsung ditelan.

b. Kapsul: sediaan padat yang terdiri dari obat dalam cangkang keras atau lunak yang dapat larut dalam air dan terbuat dari gelatin atau bahan lain yang sesuai.

c. Pulvis/Puyer/Talk: campuran kering bahan obat yang dihaluskan untuk digunakan sebagai obat dalam atau obat luar.

2. Sediaan Cair

a. Syrup: sediaan cair yang digunakan sebagai obat dalam (diminum).

b. Larutan obat luar: larutan yang digunakan hanya untuk penggunaan luar (tidak diminum).

i. Cairan Tetes Hidung. ii. Cairan Tetes Telinga. iii. Cairan Tetes Mata. iv. Cairan Obat Kumur.

v. Cairan Shampo. vi. Lotion.

3. Sediaan Inhalasi: sediaan obat luar yang digunakan dengan cara dihisap melalui hidung.

4. Sediaan Setengah Padat

(31)

b. Krim:sediaan setengah padat yang digunakan untuk kulit dan kosmetik. c. Gel:sediaan setengah padat yang digunakan untuk kulit, anus dan vagina. d. Aeorsol:sediaan setengah padat yang digunakan dengan cara semprot pada

hidung atau mulut.

e. Suppositoria: sediaan setengah padat berbentuk peluru digunakan untuk anus.

f. Ovula: sediaan setengah padat berbentuk bulat telur digunakan untuk vagina.

2.4. Interaksi Obat

Ketika efek dari suatu obat berubah oleh karena adanya obat lain, maka interaksi dapat dikatakan telah terjadi (Stockley, 2008). Interaksi tidak hanya dapat terjadi antara obat dengan obat, tetapi juga dapat terjadi antara obat dengan bahan makanan seperti susu, jus, alkohol, kafein dan sebagainya (Bushra et al., 2010), serta antara obat dengan herba/tumbuh-tumbuhan (Fasinu et al., 2012).

Interaksi yang terjadi pada pemberian beberapa obat secara bersamaan kepada pasien dapat mengubah efek farmakologis dari salah satu obat misalnya seperti meningkatkan efek obat tersebut sampai menjadi efek toksik atau sebaliknya menurunkan efek obat tersebut sehingga menghilangkan manfaat terapinya pada pasien (Brunton et al., 2006).

(32)

2.4.1. Interaksi Farmakokinetik

Proses farmakokinetik merupakan proses dimana tubuh bekerja pada obat yang masuk ke dalam tubuh (Brunton et al., 2006). Mekanisme interaksi farmakokinetik dapat terjadi pada proses absorbsi, distribusi, metabolisme, dan ekskresi obat (Rang et al., 2007).

2.4.1.1. Interaksi pada Proses Absorbsi

Ketika suatu obat diberikan kepada pasien secara ektravaskuler, misalnya secara peroral atau transdermal, obat akan diabsorbsi/diserap melewati membran biologis, seperti dinding saluran pencernaan dan kulit, untuk mencapai sirkulasi sistemik. Efek farmakologis obat umumnya tertunda apabila diberikan secara ekstravaskuler karena obat perlu waktu untuk diabsorbsi ke sistem sirkulasi darah (Dipiro et al., 2005).

Penyerapan obat pada saluran pencernaan dapat dipengaruhi oleh obat lain yang mempunyai luar permukaan luas, berikatan atau kelasi, mengubah pH lambung, mengubah pergerakan saluran pencernaan, atau mempengaruhi protein transpor seperti glikoprotein-P dan transporter anion organik (Katzung et al., 2009).

Penyerapan suatu obat pada saluran cerna dapat diperlambat oleh obat lain yang dapat menghambat proses pengosongan lambung, misalnya atropin atau opiat, atau dipercepat oleh obat lain yang dapat mempercepat proses pengosongan lambung, misalnya metoklopramide (Rang et al., 2007).

Menurut Rang et al. (2007), interaksi farmasetik juga dapat terjadi ketika obat pertama berinteraksi dengan obat kedua dalam usus sedemikian rupa sehingga penyerapan obat kedua terhambat. Beberapa contoh obat yang berinteraksi secara farmasetik yaitu:

1. Ion kalsium dan zat besi dapat membentuk suatu kompleks yang tidak dapat larut (insoluble complex) dengan tetrasiklin sehingga menghambat penyerapan tetrasiklin (Rang et al., 2007).

(33)

berikatan dengan obat tersebut jika diberikan secara bersamaan (Rang et al., 2007).

3. Penambahan adrenalin/epinephrine pada suntikan anestesi lokal menyebabkan vasokonstriksi yang dapat memperlambat penyerapan obat anastesi tersebut sehingga efek lokal semakin panjang (Rang et al., 2007).

Menurut Stockley (2008), mekanisme interaksi obat pada proses absorbsi dapat dibagi menjadi lima, yaitu:

1. Efek perubahan pada pH saluran cerna.

2. Adsorbsi, kelasi dan mekanisme pembentukan kompleks lainnya. 3. Perubahan pada pergerakan saluran cerna.

4. Induksi atau inhibisi pada protein transporter obat. 5. Malabsorbsi akibat obat.

2.4.1.2. Interaksi pada Proses Distribusi

Sistem sirkulasi darah berperan sebagai sarana transportasi bagi obat untuk mencapai tempatnya bekerja (Dipiro et al., 2005). Setelah obat diabsorbsi atau telah mencapai sirkulasi darah, obat akan berdistribusi ke cairan interstisial dan intraseluler. Laju pengiriman dan jumlah obat yang terdistribusi ke jaringan dipengaruhi oleh curah jantung, aliran darah setempat, permeabilitas kapiler, dan volume jaringan (Brunton et al., 2006).

Sebagian obat juga ada yang tetap berada dalam sirkulasi darah dan berikatan dengan protein endogen seperti albumin atau glikoprotein. Ikatan ini bersifat reversibel sehingga terbentuk keseimbangan antara obat yang berikatan dengan protein dan obat yang tidak berikatan dengan protein (Dipiro et al., 2005). Menurut Katzung et al. (2009), interaksi pada proses distribusi obat yang dapat terjadi yaitu kompetisi untuk berikatan dengan protein plasma, perpindahan dari tempat ikatan pada jaringan, dan perubahan pada sawar jaringan lokal seperti hambatan glikoprotein-P pada sawar darah otak.

(34)

terbentuk suatu keadaan tetap (steady state) yang baru dimana konsentrasi obat total dalam plasma berkurang tetapi konsentrasi obat yang bebas tetap sama dengan konsentrasi awalnya sebelum berinteraksi dengan obat kedua. Jadi interaksi obat pada proses distribusi jarang sekali penting secara klinis (Rang et al., 2007).

Namun menurut Rang et al. (2007), ada beberapa konsekuensi interaksi ini yang berpotensial penting secara klinis yaitu:

1. Toksisitas terjadi dari peningkatan transien konsentrasi obat yang bebas sebelum kondisi tetap (steady state) yang baru tercapai.

2. Jika dosis diatur berdasarkan pengukuran konsentrasi plasma total, maka harus diingat bahwa rentang konsentrasi terapetik target akan diubah oleh pemberian yang bersamaan dengan obat penggeser (displacing drug).

3. Ketika obat penggeser (displacing drug) mengurangi eliminasi obat pertama sehingga konsentrasi obat yang bebas meningkat tidak hanya secara akut tetapi juga secara kronis pada kondisi tetap (steady state) yang baru dan toksisitas yang berat mungkin terjadi.

Menurut Stockley (2008), mekanisme interaksi obat pada proses distribusi dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Interaksi pada ikatan protein.

2. Induksi atau inhibisi pada protein transporter obat.

2.4.1.3. Interaksi pada Proses Metabolisme

(35)

Beberapa organ seperti hati, dinding saluran pencernaan, dan paru-paru memiliki enzim untuk melakukan proses metabolisme obat, namun pada umunya metabolisme terjadi di organ hati. Proses ini dapat menghasilkan metabolit yang inaktif atau sebaliknya memiliki efek farmakologis. Selain itu, pembuluh darah juga memiliki enzim esterase yang dapat memutuskan ikatan ester pada molekul obat sehingga obat menjadi inaktif (Dipiro et al., 2005).

Metabolisme suatu obat dapat distimulasi atau sebaliknya dihambat oleh obat lain (Katzung et al., 2009). Menurut Stockley (2008), mekanisme interaksi obat pada proses metabolisme dapat dibagi menjadi lima, yaitu:

1. Perubahan pada first-pass metabolism.

2. Induksi enzim. 3. Inhibisi enzim. 4. Faktor genetik.

5. Isoenzim sitokrom P450.

2.4.1.4. Interaksi pada Proses Ekskresi

Menurut Brunton et al. (2006), obat dapat dieliminasi dalam bentuk yang tidak berubah dari bentuk semulanya atau dalam bentuk metabolit yang telah dikonversi. Organ-organ ekskresi lebih efisien mengeliminasi senyawa polar (larut dalam air) daripada senyawa yang memiliki kelarutan dalam lemak yang tinggi, kecuali organ paru-paru. Senyawa yang larut dalam lemak akan dikonversikan menjadi senyawa polar agar dapat dieksresi.

Organ ginjal dapat mengekskresi obat melalui filtrasi glomerulus atau dengan proses aktif melalui sekresi tubulus proksimal. Selain itu, obat juga dieliminasi melalui empedu yang dihasilkan oleh organ hati atau diekspirasikan melalui organ paru-paru. (Dipiro et al., 2005)

Menurut Katzung et al. (2009), ekskresi suatu obat dapat dipengaruhi oleh obat lain yang dapat mengubah pH urin atau yang dapat menghambat transporter pada tubulus ginjal. Mekanisme interaksi obat pada proses ekskresi, menurut Stockley (2008), dapat dibagi menjadi empat, yaitu:

(36)

2. Perubahan pada ekskresi aktif tubulus ginjal. 3. Perubahan pada aliran darah ginjal.

4. Ekskresi bilier dan entero-hepatic shunt.

2.4.2. Interaksi Farmakodinamik

Proses farmakodinamik merupakan proses dimana obat yang masuk bekerja pada tubuh (Brunton et al., 2006). Menurut Dipiro et al. (2005), dalam farmakodinamik dibahas hubungan antara konsentrasi obat dengan respon yang diterima oleh pasien. Obat dapat menimbulkan efek langsung maupun reversibel pada tingkat reseptor. Ketika molekul obat bertemu dengan reseptornya di jaringan atau organ target, suatu kompleks obat-reseptor akan terbentuk dan respon farmakologis akan terjadi. Obat dan reseptor tersebut berada dalam kesetimbangan yang dinamis dengan kompleks obat-reseptor.

Ketika obat-obat yang memiliki efek farmakologis yang sama diberikan secara bersamaan, respon aditif atau sinergis akan muncul namun bila obat-obat tersebut memiliki efek farmakologis yang berlawanan maka respon salah satu obat tersebut akan berkurang (Katzung et al., 2009). Menurut Stockley (2008), mekanisme interaksi obat pada proses farmakodinamik dapat dibagi menjadi tiga, yaitu:

1. Interaksi aditif atau sinergis.

2. Interaksi antagonis atau berlawanan.

(37)

BAB 3

KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL

3.1. Kerangka Konsep Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui gambaran peresepan obat berdasarkan resep yang masuk ke apotek. Konsep penelitian ini dapat digambarkan dengan kerangka konsep penelitian di bawah ini.

Gambar 3.1. Kerangka Konsep Penelitian

3.2. Definisi Operasional 3.2.1. Definisi Variabel

Resep dokter adalah permintaan tertulis dari seorang dokter kepada seorang apoteker untuk memberikan obat kepada pasien. Gambaran peresepan obat adalah gambaran jumlah obat, jenis/golongan obat, bentuk sediaan obat, interaksi obat, dan pola penulisan resep dokter. Jumlah obat adalah banyaknya item obat dalam resep dokter. Jenis/golongan obat adalah pembagian obat berdasarkan kelas terapinya. Bentuk sediaan obat adalah wujud obat dalam kemasan. Interaksi obat adalah interaksi farmakokinetik atau farmakodinamik yang terjadi antara beberapa obat yang diberikan secara bersamaan. Pola penulisan resep adalah penulisan invocatio, prescriptio/ordonantio, dan

signatura pada resep dokter.

3.2.2. Cara Ukur Variabel

Cara pengukuran variabel gambaran peresepan obat adalah dengan cara menganalisis tiap komponen resep dokter. Jumlah item obat diukur dengan cara menghitung banyaknya item obat dalam setiap resep dokter. Jenis/golongan dan

(38)

bentuk sediaan obat diukur dengan cara mengidentifikasi nama dan bentuk sediaan obat dalam resep dokter. Interaksi obat diukur dengan cara menganalisis farmakokinetik dan farmakodinamik obat dalam resep dokter. Pola penulisan diukur dengan cara menganalisis kelengkapan bagian invocatio,

prescriptio/ordonantio, dan signatura pada resep dokter.

3.2.3. Alat Ukur Variabel

(39)

Tabel 3.1. Alat Ukur Variabel Jenis/Golongan Obat Kode Kelas Obat

1 Analgesik, Antipiretik, Antiinflamasi Nonsteroid, Antipirai 2 Anestetik

3 Antialergi dan Obat untuk Anafilaksis 4 Antidot dan Obat lain untuk Keracunan 5 Antiepilepsi-Antikonvulsi

6 Antiinfeksi 7 Antimigren

8 Antineoplastik, Imunosupresan dan Obat untuk Terapi Paliatif 9 Antiparkinson

10 Obat yang mempengaruhi Darah

11 Pengganti Plasma dan Plasma Ekspander 12 Obat untuk Diagnostik

13 Antiseptik dan Disinfektan

14 Obat dan Bahan untuk Gigi dan Mulut 15 Diuretik

16 Hormon, Obat Endokrin lain dan Kontraseptik 17 Obat Kardiovaskuler

18 Obat Topikal untuk Kulit 19 Larutan Dialysis Peritoneal

20 Larutan Elektrolit, Nutrisi dan lain-lain 21 Obat untuk Mata

22 Oksitosik 23 Psikofarmaka

24 Relaksan Otot Perifer dan Penghambat Kolinesterase 25 Obat untuk Saluran Cerna

26 Obat untuk Saluran Napas

27 Obat yang mempengaruhi Sistem Imun 28 Obat untuk Telinga, Hidung dan Tenggorokan 29 Vitamin dan Mineral

Tabel 3.2. Alat Ukur Variabel Bentuk Sediaan Obat Kode Bentuk Sediaan Obat

1 Sediaan Padat

2 Sediaan Cair

3 Sediaan Inhalasi

(40)

3.2.4. Hasil Ukur Variabel

Hasil ukur untuk variabel jenis/golongan obat adalah: 1. Analgesik, Antipiretik, Antiinflamasi Nonsteroid, Antipirai. 2. Anestetik.

3. Antialergi dan Obat untuk Anafilaksis. 4. Antidot dan Obat lain untuk Keracunan. 5. Antiepilepsi-Antikonvulsi.

6. Antiinfeksi. 7. Antimigren.

8. Antineoplastik, Imunosupresan dan Obat untuk Terapi Paliatif. 9. Antiparkinson.

10. Obat yang mempengaruhi Darah.

11. Pengganti Plasma dan Plasma Ekspander. 12. Obat untuk Diagnostik.

13. Antiseptik dan Disinfektan.

14. Obat dan Bahan untuk Gigi dan Mulut. 15. Diuretik.

16. Hormon, Obat Endokrin lain dan Kontraseptik. 17. Obat Kardiovaskuler.

18. Obat Topikal untuk Kulit. 19. Larutan Dialysis Peritoneal.

20. Larutan Elektrolit, Nutrisi dan lain-lain. 21. Obat untuk Mata.

22. Oksitosik. 23. Psikofarmaka.

24. Relaksan Otot Perifer dan Penghambat Kolinesterase. 25. Obat untuk Saluran Cerna.

26. Obat untuk Saluran Napas.

27. Obat yang mempengaruhi Sistem Imun.

(41)

Hasil ukur untuk variabel bentuk sediaan obat adalah: 5. Sediaan Padat.

6. Sediaan Cair. 7. Sediaan Inhalasi.

8. Sediaan Setengah Padat.

Hasil ukur untuk variabel interaksi obat adalah: 1. Ada Interaksi.

2. Tidak Ada Interaksi.

Hasil ukur untuk variabel pola penulisan resep adalah: 1. Resep Lengkap.

2. Resep Tidak Lengkap.

3.2.5. Skala Ukur Variabel

(42)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang bersifat deskriptif. Dalam penelitian ini dilakukan pengamatan pada variabel tanpa adanya intervensi. Penelitian ini memberikan suatu gambaran dan bukan suatu hubungan sebab akibat. Desain penelitian merupakan cross-sectional yang berarti pengukuran variabel dilakukan hanya sekali dan dinilai secara simultan pada suatu saat (Sastroasmoro, 2011).

4.2. Waktu dan Tempat Penelitian 4.2.1. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan selama dua bulan mulai dari bulan Agustus sampai bulan September 2014. Pengambilan data dilakukan pada saat jam istirahat atau saat tidak ada pengunjung yang datang ke apotek.

4.2.2. Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di beberapa apotek di Kotamadya Medan. Pemilihan tempat penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa apotek melayani resep dokter dan dari sana peneliti dapat memperoleh sampel resep dokter.

4.3. Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1. Populasi Penelitian

(43)

ini adalah resep dokter yang masuk ke apotek di Kotamadya Medan pada tahun 2013.

4.3.2. Sampel Penelitian

Menurut Sastroasmoro (2011), sampel penelitian merupakan bagian dari populasi yang dapat mewakili populasinya tersebut yang dipilih dengan suatu cara tertentu. Sampel dari penelitian ini adalah resep dokter yang memenuhi kriteria tertentu. Kriteria tersebut antara lain:

1. Kriteria Inklusi

a. Resep berasal dari apotek di Kotamadya Medan. b. Resep ditulis oleh dokter.

c. Tanggal resep dokter adalah antara 1 Januari sampai dengan 31 Desember 2013.

2. Kriteria Eksklusi

a. Apotek yang bersangkutan tidak bersedia ikut dalam penelitian. b. Resep ditulis oleh dokter gigi atau dokter hewan.

c. Tidak tercantum tanggal pada resep dokter.

Untuk menghitung perkiraan besar sampel minimum yang diperlukan dalam penelitian ini sehingga dapat mewakili populasi, maka digunakan rumus perhitungan besar sampel untuk populasi infinit (tidak terbatas). Menurut Wahyuni (2007), besar sampel dapat dihitung berdasarkan rumus dibawah ini:

(

)

n : besar sampel minimum

2 1−α

z : nilai distribusi normal baku pada α tertentu

(44)

d : kesalahan absolut yang dapat ditolerir

Dalam penelitian ini, tingkat kepercayaan ditetapkan sebesar 99% sehingga nilai

2 1−α

z adalah sebesar 2,581. Kesalahan absolut yang dapat ditolerir

ditetapkan sebesar 5% sehingga nilai d adalah sebesar 0,05. Besar proporsi di populasi diambil dari penelitian sebelumnya yaitu sebesar 7% sehingga nilai p adalah 0,07 (Lewis et al., 2009).

Berdasarkan keterangan dan rumus diatas, maka besar sampel minimum penelitian ini adalah:

Dari hasil perhitungan diatas, maka besar sampel minimum yang diperlukan adalah 173,46 lembar resep dokter. Besar sampel tersebut kemudian dibulatkan menjadi 174 lembar resep dokter. Namun, pada penelitian ini besar sampel yang digunakan adalah sebanyak 180 lembar resep dokter untuk mempermudah metode pemilihan sampel.

Sampel penelitian ini dipilih dengan metode pemilihan sampel berdasarkan peluang (probability sampling) yaitu dengan cara acak klaster bertingkat/bertahap atau multistage cluster random sampling.

(45)

luas sehingga tidak memungkinkan untuk membuat daftar seluruh populasi tersebut (Sastroasmoro, 2011).

Dalam penelitian ini, sampling yang dilakukan dibagi menjadi beberapa tingkat/tahap (multistage). Pemilihan sampel dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling) dan acak sistematis (systematic random sampling).

Pada tahap pertama, sampling dilakukan pada populasi kecamatan di Kotamadya Medan. Dari total 21 kecamatan di Kotamadya Medan (Pemerintah Kota Medan, 2013) dipilih secara acak sederhana (simple random sampling) sebanyak 3 kecamatan sehingga diperoleh sebanyak 3 klaster kecamatan. Dengan kata lain, setiap kecamatan tersebut memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih menjadi klaster. Pengambilan sampel pada tahap pertama ini dapat digambarkan dengan kerangka di bawah ini.

Simple random sampling

Gambar 4.1. Kerangka Pengambilan Sampel Tahap Pertama

Pada tahap kedua, sampling dilakukan pada ketiga klaster kecamatan yang terpilih tersebut. Dari setiap klaster kecamatan tersebut dipilih secara acak (simple random sampling) sebanyak 1 apotek sehingga diperoleh 3 klaster apotek yang berasal dari 3 klaster kecamatan yang berbeda. Populasi apotek bersifat homogen sehingga apotek yang terpilih tersebut dapat mewakili populasi apotek di dalam setiap klaster kecamatan tersebut. Dengan kata lain, setiap apotek tersebut memiliki kesempatan yang sama untuk terpilih menjadi klaster. Pengambilan sampel pada tahap kedua ini dapat digambarkan dengan kerangka di bawah ini.

Kumpulan Kecamatan di

Kotamadya Medan

(46)

Simple random sampling

Gambar 4.2. Kerangka Pengambilan Sampel Tahap Kedua

Pada tahap ketiga, sampling dilakukan pada ketiga apotek yang terpilih tersebut. Dari setiap klaster apotek tersebut dipilih secara acak sistematis (systematic random sampling) sebanyak 60 lembar resep dokter dari seluruh resep dokter yang masuk ke apotek pada tahun 2013 sehingga diperoleh total sampel sebanyak 180 lembar resep dokter yang berasal dari 3 apotek yang berbeda. Karena dalam setahun terdapat 12 bulan maka untuk setiap bulannya dipilih secara acak sistematis sebanyak 5 lembar resep dokter. Resep dokter yang dipilih adalah resep yang memiliki tanggal 3, 9, 15, 21, dan 27. Angka awal 3 ini dipilih secara acak dan kemudian dilanjutkan dengan angka berikutnya dengan kelipatan enam. Sistem ini dapat dilakukan karena dalam satu bulan terdapat rata-rata 30 hari sehingga tanggal yang dipilih tersebut tersedia pada setiap bulannya walaupun bulan Februari 2013 hanya memiliki 28 hari. Pengambilan sampel pada tahap ketiga ini dapat digambarkan dengan kerangka di bawah ini.

Sistematic random sampling

(47)

4.4. Teknik Pengumpulan Data

Data dalam penelitian ini diperoleh dari resep dokter yang masuk ke apotek di Kotamadya Medan tahun 2013. Data dikumpulkan dengan teknik observasi, yaitu mengumpulkan data dengan cara melakukan pengamatan secara langsung (Wahyuni, 2007).

Data yang dikumpulkan berupa jumlah obat, jenis/golongan obat, bentuk sediaan obat, kemungkinan interaksi obat, dan kemungkinan kesalahan penulisan pada resep dokter.

4.5. Pengolahan dan Analisis Data

Menurut Wahyuni (2007), pengolahan data adalah suatu proses memperoleh data/angka ringkasan dengan menggunakan cara-cara tertentu yaitu

editing, coding, entri, cleaning, dan saving.

(48)

BAB 5

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Hasil Penelitian

5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data dari resep dokter yang masuk ke tiga apotek dari tiga kecamatan di Kotamadya Medan. Berdasarkan hasil survei awal penelitian ini, di Kotamadya Medan yang terdiri dari 21 kecamatan (Pemerintah Kota Medan, 2013) terdapat sebanyak 582 apotek (Dinas Kesehatan Kota Medan, 2014). Adapun distribusi jumlah apotek untuk setiap kecamatan di Kotamadya Medan berdasarkan hasil survei awal penelitian ini adalah sebagai berikut.

Tabel 5.1. Distribusi Jumlah Apotek berdasarkan Kecamatan di Kotamadya Medan

No Nama Kecamatan Jumlah Apotek (n) Persentase (%)

(49)

Berdasarkan tabel 5.1. diatas, jumlah apotek yang paling banyak di Kotamadya Medan terdapat pada kecamatan Medan Timur yaitu sebanyak 53 apotek (9,1%) sedangkan jumlah apotek yang paling sedikit di Kotamadya Medan terdapat pada kecamatan Medan Belawan yaitu sebanyak 4 apotek (0,7%).

5.1.2. Hasil Analisis Data 5.1.2.1. Jenis / Golongan Obat

Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada 180 lembar resep dokter yang masuk ke apotek diperoleh sebanyak 477 nama obat (Lampiran 5). Dalam penelitian ini obat-obat tersebut digolongkan secara umum menjadi 29 jenis berdasarkan tabel klasifikasi obat (Tabel 3.1.)yang dibuat menurut Kepmenkes RI Nomor 2500/MENKES/SK/XII/2011 tentang Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) 2011 dan Kepmenkes RI Nomor 328/MENKES/SK/IX/2013 tentang Formularium Nasional (FORNAS) 2013. Adapun distribusi frekuensi obat berdasarkan jenis/golongan obat adalah sebagai berikut.

Tabel 5.2. Distribusi Frekuensi Obat berdasarkan Jenis / Golongan Obat No Jenis / Golongan Obat Frekuensi (n) Persentase (%)

1 Antibakteri 79 16,6

2 Vitamin dan Mineral 60 12,6

3 Antiinflamasi nonsteroid 51 10,7

4 Obat untuk Saluran Napas 42 8,8

13 Antiepilepsi-antikonvulsi 10 2,1

14 Obat untuk Mata 9 1,9

15 Antidiabetes 9 1,9

16 Hormon kelamin 8 1,7

17 Antianemi 7 1,5

(50)

No Jenis / Golongan Obat Frekuensi (n) Persentase (%)

19 Diuretik 6 1,3

20 Antivirus 4 0,8

21 Obat untuk diare 4 0,8

22 Obat yang mempengaruhi Koagulasi 4 0,8

23 Psikofarmaka 4 0,8

Berdasarkan tabel 5.2. diatas, jenis/golongan obat yang paling banyak diresepkan dokter ke apotek adalah golongan antibakteri (16,6%) sedangkan jenis/golongan obat yang paling sedikit diresepkan dokter ke apotek adalah golongan hormon tiroid (0,2%), golongan serum dan imunoglobulin (0,2%), dan golongan antiparkinson (0,2%).

Dalam penelitian ini, jenis/golongan obat yang tidak dijumpai pada 180 lembar resep dokter yang masuk ke apotek adalah golongan anestetik, golongan antineoplastik/imunosupresan/terapi paliatif, golongan obat diagnostik, golongan obat/bahan untuk gigi, golongan larutan dialisis peritoneal, dan golongan oksitosik.

(51)

golongan antasida/antiulkus, golongan antiemetik, golongan antispasmodik, dan golongan obat untuk diare.

5.1.2.2. Bentuk Sediaan Obat

Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada 180 lembar resep dokter yang masuk ke apotek diperoleh sebanyak 477 nama obat (Lampiran 5). Dalam penelitian ini bentuk sediaan obat-obat tersebut digolongkan menjadi 4 jenis berdasarkan tabel bentuk sediaan obat (Tabel 3.2.). Adapun distribusi frekuensi obat berdasarkan bentuk sediaan obat adalah sebagai berikut.

Tabel 5.3. Distribusi Frekuensi Obat berdasarkan Bentuk Sediaan Obat Bentuk Sediaan Obat Frekuensi (n) Persentase (%)

Sediaan Padat 291 61

Sediaan Cair 165 34,6

Sediaan Inhalasi 4 0,8

Sediaan Setengah Padat 17 3,6

Total 477 100

Berdasarkan tabel 5.3. diatas, bentuk sediaan obat yang paling banyak diresepkan dokter ke apotek adalah bentuk sediaan padat (61%). Bentuk sediaan cair terdapat sebanyak 34,6% dan bentuk sediaan setengah padat terdapat sebanyak 3,6%. Bentuk sediaan obat yang paling sedikit diresepkan dokter ke apotek adalah bentuk sediaan inhalasi (0,8%).

5.1.2.3. Jumlah Item Obat

(52)

Tabel 5.4. Distribusi Frekuensi Resep berdasarkan Jumlah Item Obat Jumlah Item Obat Frekuensi (n) Persentase (%)

1 25 13,9

2 60 33,3

3 60 33,3

4 26 14,4

5 6 3,3

6 3 1,7

Total 180 100

Berdasarkan tabel 5.4. diatas, jumlah item obat yang paling banyak diresepkan dokter ke apotek adalah sebanyak 2 item obat per resep (33,3%) dan 3 item obat per resep (33,3%), sedangkan jumlah item obat yang paling sedikit diresepkan dokter ke apotek adalah sebanyak 6 item obat per resep (1,7%). Rata-rata jumlah item obat dalam satu resep dokter adalah sebesar 2,65 (Interval Kepercayaan (IK) 99% 2,44 - 2,86).

5.1.2.4. Interaksi Obat

Dari hasil pengamatan yang dilakukan pada 180 lembar resep dokter yang masuk ke apotek diperoleh sebanyak 477 nama obat (Lampiran 5). Dalam penelitian ini setiap nama obat yang dicantumkan dalam tiap resep tersebut diidentifikasi kemudian dianalisis secara farmakokinetik dan farmakodinamik untuk mengetahui apakah terdapat kemungkinan terjadinya interaksi obat. Resep dikategorikan memiliki interaksi obat apabila salah satu obat berinteraksi dengan obat yang lainnya baik secara farmakokinetik, farmakodinamik, ataupun kombinasi. Adapun distribusi frekuensi resep berdasarkan interaksi obat adalah sebagai berikut.

Tabel 5.5. Distribusi Frekuensi Resep berdasarkan Interaksi Obat

Interaksi Obat Frekuensi (n) Persentase (%)

Ada Interaksi 16 8,9

Tidak Ada Interaksi 164 91,1

(53)

Berdasarkan tabel 5.5. diatas, dari 180 lembar resep dokter yang diresepkan ke apotek ditemukan interaksi obat pada 16 lembar resep dokter (8,9%). Interaksi obat tidak ditemukan pada 164 lembar resep dokter (91,1%).

Dari 16 lembar resep dokter (8,9%) yang memiliki interaksi obat tersebut terdapat sebanyak 12 pasangan obat yang berinteraksi. Adapun distribusi frekuensi resep berdasarkan pasangan obat yang berinteraksi adalah sebagai berikut.

Tabel 5.6. Distribusi Frekuensi Resep berdasarkan Pasangan Obat yang Berinteraksi

No Pasangan Obat yang Berinteraksi Frekuensi (n) Persentase (%)

1 corticosteroid dengan diclofenac 3 18,8

2 mefenamic acid dengan diclofenac 2 12,5

3 amlodipine dengan bisoprolol 2 12,5

4 glimepiride dengan sitagliptin 1 6,3

5 carbamazepine dengan phenylbutazone 1 6,3

6 trihexyphenidyl dengan risperidone 1 6,3

7 ciprofloxacin dengan mefenamic acid 1 6,3

8 itraconazole dengan betamethasone 1 6,3

9 carbamazepine dengan risperidone 1 6,3

10 ciprofloxacin dengan methylprednisolone 1 6,3

11 phenytoin dengan pregabalin 1 6,3

12 erythromycin dengan dexamethasone 1 6,3

Total 16 100

Berdasarkan tabel 5.6. diatas, pasangan obat yang paling banyak berinteraksi diantara 12 pasangan obat yang berinteraksi pada 16 lembar resep yang mengandung interaksi obat adalah pasangan obat corticosteroid dengan

diclofenac yaitu sebanyak 3 lembar resep (18,8%).

5.1.2.5. Pola Peresepan

(54)

Resep dikategorikan lengkap apabila pada bagian invocatio dicantumkan singkatan latin resipe (R/), pada bagian prescriptio/ordonantio dituliskan nama, jumlah, dan bentuk sediaan obat, serta pada bagian signatura dicantumkan cara pakai, dosis, rute, dan interval pemberian obat.Adapun distribusi frekuensi resep berdasarkan pola peresepan adalah sebagai berikut.

Tabel 5.7. Distribusi Frekuensi Resep berdasarkan Pola Peresepan Pola Peresepan Frekuensi (n) Persentase (%)

Resep Lengkap 143 79,4

Resep Tidak Lengkap 37 20,6

Total 180 100

Berdasarkan tabel 5.7. diatas, dari 180 lembar resep dokter yang diresepkan ke apotek ditemukan resep yang pola peresepannya lengkap sebanyak 143 lembar resep dokter (79,4%). Resep yang pola peresepannya tidak lengkap terdapat sebanyak 37 lembar resep dokter (20,6%).

5.2. Pembahasan

5.2.1. Jenis / Golongan Obat

Obat adalah suatu bahan untuk mengurangi, menghilangkan atau menyembuhkan penyakit (KBBI, 2001) yang dapat diperoleh dari apotek dengan ataupun tanpa resep dokter. Obat tersebut diupayakan tersedia di apotek dan fasilitas kesehatan lainnya serta dipilih mana yang paling dibutuhkan untuk pelayanan kesehatan. Obat-obat yang terpilih tersebut disebut juga obat esensial

(Kepmenkes RI Nomor 2500/MENKES/SK/XII/2011).

(55)

Di Amerika, jenis/golongan obat yang paling banyak diresepkan bervariasi menurut usia pasien. Menurut Gu et al. (2010), jenis/golongan obat yang paling banyak diresepkan pada anak-anak (usia 0-11 tahun) adalah golongan obat bronkodilator untuk mengobati asma, pada anak remaja (usia 12-19 tahun) adalah golongan obat stimulan sistem saraf pusat untuk mengobati attention deficit disorder, pada orang dewasa (usia 20-59 tahun) adalah golongan obat antidepresan, dan pada orang tua (usia 60 tahun keatas) adalah golongan obat penurun kolesterol.

Banyaknya peresepan obat ke apotek yang mengandung obat golongan antiinfeksi yaitu golongan antibakteri (16,6%) menunjukkan bahwa penyakit infeksi akibat bakteri juga banyak di Kotamadya Medan pada tahun 2013. Selain itu, terdapat resep dokter yang juga mengandung obat golongan antiinfeksi lain yaitu golongan antihelmintik (0,6%), golongan antifungal (2,3%), golongan antivirus (0,8%), dan golongan antituberkulosis (3,8%) meskipun tidak sebanyak golongan antibakteri (16,6%). Jadi secara keseluruhan jumlah resep dokter yang masuk ke apotek di Kotamadya Medan pada tahun 2013 yang mengandung obat golongan antiinfeksi adalah sebanyak 24,1%.

Setelah golongan antibakteri, jenis/golongan obat yang merupakan kedua terbanyak diresepkan dokter ke apotek adalah golongan vitamin dan mineral (12,6%) dan berikutnya yang merupakan ketiga terbanyak adalah golongan antiinflamasi nonsteroid (10,7%).

(56)

Selain itu, dalam penelitian ini terdapat jenis/golongan obat yang tidak dijumpai pada 180 lembar resep dokter yang masuk ke apotek yaitu golongan anestetik, golongan antineoplastik/imunosupresan/terapi paliatif, golongan obat diagnostik, golongan obat/bahan untuk gigi, golongan larutan dialisis peritoneal, dan golongan oksitosik. Hal ini menunjukkan bahwa di Kotamadya Medan sangat sedikit atau tidak dijumpai resep dokter yang masuk ke apotek yang mengandung obat golongan tersebut pada tahun 2013.

5.2.2. Bentuk Sediaan Obat

Bentuk sediaan obat adalah wujud obat dalam kemasan. Dalam penelitian ini bentuk sediaan setiap obat pada resep dokter digolongkan menjadi 4 jenis berdasarkan Direktorat Bina Penggunaan Obat Rasional Depkes RI tahun 2008 yaitu bentuk sediaan padat, bentuk sediaan cair, bentuk sediaan setengah padat, dan bentuk sediaan inhalasi.

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.3., dari 477 nama obat yang dikumpulkan dari resep dokter yang masuk ke apotek terdapat sebanyak 291 obat yang memiliki bentuk sediaan padat (61%) berupa kapsul dan tablet. Obat yang memiliki bentuk sediaan cair terdapat sebanyak 165 obat (34,6%) berupa sirup dan larutan obat luar (tetes telinga/mata). Obat yang memiliki bentuk sediaan setengah padat terdapat sebanyak 17 obat (3,6%) berupa salep, krim dan gel. Obat yang memiliki bentuk sediaan inhalasi terdapat sebanyak 4 obat (0,8%). Banyaknya peresepan obat ke apotek di Kotamadya Medan pada tahun 2013 yang mengandung obat dengan bentuk sediaan padat menunjukkan bahwa pasien yang mendapatkan resep tersebut paling banyak merupakan orang dewasa.

5.2.3. Jumlah Item Obat

(57)

ini menunjukkan bahwa dua pertiga dari resep dokter yang masuk ke apotek memiliki 2 atau 3 item obat per resepnya. Kemudian dari sisanya sebanyak 60 lembar resep atau sepertiga dari 180 lembar resep dokter yang masuk ke apotek terdapat sebanyak 26 lembar resep yang memiliki 4 item obat per resep (14,4%), sebanyak 25 lembar resep yang memiliki 1 item obat per resep (13,9%), sebanyak 6 lembar resep yang memiliki 5 item obat per resep (3,3%), dan sebanyak 3 lembar resep yang memiliki 6 item obat per resep (1,7%).

Menurut Gu et al. (2010), di Amerika persentase pasien yang mendapatkan resep dengan paling sedikit satu obat adalah sebesar 48%, resep dengan dua obat atau lebih adalah sebesar 31%, dan resep dengan lima obat atau lebih adalah sebesar 11% selama tahun 2007 sampai tahun 2008. Lebih dari 76% orang tua (usia 60 tahun keatas) mendapatkan resep dengan dua obat atau lebih dan sebanyak 37% mendapatkan resep dengan lima obat atau lebih.

5.2.4. Interaksi Obat

Interaksi obat yang merugikan merupakan hal yang tidak diharapkan dalam penatalaksanaan farmakologi terhadap suatu penyakit. Menurut Stockley (2008), interaksi obat dapat dikatakan telah terjadi ketika efek dari suatu obat berubah oleh karena adanya obat lain. Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.5., dari 180 lembar resep dokter yang diresepkan ke apotek terdapat sebanyak 16 lembar resep dokter (8,9%) yang memiliki interaksi obat. Pada 16 lembar resep dokter tersebut terdapat sebanyak 12 pasangan obat yang berinteraksi.

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.6., pasangan obat yang paling banyak berinteraksi diantara 12 pasangan obat yang berinteraksi adalah pasangan obat corticosteroid dengan diclofenac. Pasangan obat yang berinteraksi tersebut ditemukan pada 3 lembar resep (18,8%) dari 16 lembar resep yang mengandung interaksi obat.

Gambar

Tabel 3.1. Alat Ukur Variabel Jenis/Golongan Obat
Gambar 4.1. Kerangka Pengambilan Sampel Tahap Pertama
Gambar 4.2. Kerangka Pengambilan Sampel Tahap Kedua
Tabel 5.1. Distribusi Jumlah Apotek berdasarkan Kecamatan di Kotamadya
+6

Referensi

Dokumen terkait

selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, yang telah memberikan ilmu, nasihat dan kebijakannya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.. selaku Ketua

Tesis Paten Sebagai Alternatif Collateral .... Poppy

Dalam penelitian ini mengungkapkan pengaruh dari faktor produk, harga, lokasi, promosi, bukti fisik, kelompok referensi baik secara bersama-sama maupun

a) Untuk nilai kontrak tertinggi lebih besar atau sama dengan HPS. b) Untuk nilai kontrak kurang dari HPS.. pada tingkat Kabupaten/Kota tersebut, dijadikan pembanding untuk

Manajer Investasi dapat menghitung sendiri Nilai Pasar Wajar dari Efek tersebut dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab berdasarkan metode yang menggunakan asas konservatif dan

Rencana jangka panjang dari kegiatan pengabdian masyarakat ini melalui kegiatan pelatihan untuk peningkatan rasa ingin tahu kemampuan keterampilan serta semangat belajar

4 Mengidentifikasi letak suatu benda, Siswa bisa melengkapi kalimat dengan Memahami arah preposisi yang benar untuk menyebutkan Hometown letak benda sesuai gambar

.Form data barang digunakan untuk menyimpan informasi mengenai data barang berikut rancangan tampilan data barang. Page Penjualan Form