• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 5 HASIL PENELITIAN

5.2. Pembahasan

5.2.3. Jumlah Item Obat

Dalam penatalaksanaan suatu penyakit, seorang dokter dapat meresepkan satu obat tunggal atau beberapa obat kombinasi ke apotek. Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.4., dari 180 lembar resep dokter yang masuk ke apotek terdapat sebanyak 60 lembar resep yang memiliki 2 item obat per resep (33,3%) dan sebanyak 60 lembar resep yang memiliki 3 item obat per resep (33,3%). Hal

ini menunjukkan bahwa dua pertiga dari resep dokter yang masuk ke apotek memiliki 2 atau 3 item obat per resepnya. Kemudian dari sisanya sebanyak 60 lembar resep atau sepertiga dari 180 lembar resep dokter yang masuk ke apotek terdapat sebanyak 26 lembar resep yang memiliki 4 item obat per resep (14,4%), sebanyak 25 lembar resep yang memiliki 1 item obat per resep (13,9%), sebanyak 6 lembar resep yang memiliki 5 item obat per resep (3,3%), dan sebanyak 3 lembar resep yang memiliki 6 item obat per resep (1,7%).

Menurut Gu et al. (2010), di Amerika persentase pasien yang mendapatkan resep dengan paling sedikit satu obat adalah sebesar 48%, resep dengan dua obat atau lebih adalah sebesar 31%, dan resep dengan lima obat atau lebih adalah sebesar 11% selama tahun 2007 sampai tahun 2008. Lebih dari 76% orang tua (usia 60 tahun keatas) mendapatkan resep dengan dua obat atau lebih dan sebanyak 37% mendapatkan resep dengan lima obat atau lebih.

5.2.4. Interaksi Obat

Interaksi obat yang merugikan merupakan hal yang tidak diharapkan dalam penatalaksanaan farmakologi terhadap suatu penyakit. Menurut Stockley (2008), interaksi obat dapat dikatakan telah terjadi ketika efek dari suatu obat berubah oleh karena adanya obat lain. Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.5., dari 180 lembar resep dokter yang diresepkan ke apotek terdapat sebanyak 16 lembar resep dokter (8,9%) yang memiliki interaksi obat. Pada 16 lembar resep dokter tersebut terdapat sebanyak 12 pasangan obat yang berinteraksi.

Berdasarkan hasil penelitian pada tabel 5.6., pasangan obat yang paling banyak berinteraksi diantara 12 pasangan obat yang berinteraksi adalah pasangan obat corticosteroid dengan diclofenac. Pasangan obat yang berinteraksi tersebut ditemukan pada 3 lembar resep (18,8%) dari 16 lembar resep yang mengandung interaksi obat.

Dalam penelitian ini, interaksi obat yang terjadi pada pasangan-pasangan obat (Tabel 5.6.) dianalisis berdasarkan mekanisme terjadinya interaksi obat baik secara farmakokinetik, farmakodinamik, ataupun kombinasi (farmakokinetik dan farmakodinamik).

Pasangan obat yang berinteraksi secara farmakokinetik adalah pasangan obat carbamazepine dengan risperidone (6,3%). Koadministrasi dengan

carbamazepine dapat menurunkan konsentrasi plasma dari risperidone dan metabolit aktifnya, 9-hydroxyrisperidone. Mekanisme yang diduga adalah induksi metabolisme carbamazepine yang dimediasi oleh CYP450 3A4 (Drugs.com, 2014).

Pasangan-pasangan obat yang berinteraksi secara farmakodinamik adalah pasangan obat glimepiride dengan sitagliptin (6,3%), trihexyphenidyl dengan

risperidone (6,3%), ciprofloxacin dengan mefenamic acid (6,3%), corticosteroid

dengan diclofenac (18,8%), phenytoin dengan pregabalin (6,3%), dan mefenamic acid dengan diclofenac (12,5%).

Pada pasangan obat glimepiride dengan sitagliptin, koadministrasi

dipeptidyl peptidase-4 inhibitor (sitagliptin) dengan insulin secretagogue

(misalnya sulfonylurea, meglitinide) atau insulin dapat menyebabkan resiko terjadinya hipoglikemia (Drugs.com, 2014).

Pada pasangan obat trihexyphenidyl dengan risperidone, agen antikolinergik yang bekerja sentral (trihexyphenidyl) dapat menjadi antagonis dengan efek terapetik agen neuroleptik (risperidone). Meskipun obat-obat ini sudah digunakan secara klinis, kemungkinan terjadinya peningkatan resiko efek samping seperti depresi sistem saraf pusat dan tardive dyskinesia sebaiknya dipertimbangkan. Selain itu, efek antikolinergik yang berlebihan dapat muncul bila dikombinasikan yang dapat menimbulkan ileus paralitik, hipertermia, heat stroke, dan sindrom intoksikasi antikolinergik (Drugs.com, 2014).

Pada pasangan obat ciprofloxacin dengan mefenamic acid, koadministrasi dengan obat antiinflamasi nonsteroid (mefenamic acid) dapat menyebabkan resiko toksisitas sistem saraf pusat yang berhubungan dengan penggunaan

fluoroquinolone (ciprofloxacin). Mekanisme pasti terjadinya interaksi ini belum diketahui, namun diduga bahwa cincin piperazine dari fluoroquinolone dapat menghambat ikatan gamma-aminobutyric acid (GABA) ke reseptor otak dan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) secara sinergis menambah efek tersebut (Drugs.com, 2014).

Pada pasangan obat corticosteroid dengan diclofenac, kombinasi kortikosteroid oral (methylprednisolone, dexamethasone) dengan obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) seperti diclofenac dapat meningkatkan toksisitas gastrointestinal yang serius, seperti inflamasi, perdarahan, ulserasi, dan perforasi (Drugs.com, 2014).

Pada pasangan obat phenytoin dengan pregabalin, efek depresi sistem saraf pusat dan/atau pernapasan dapat meningkat secara aditif atau sinergis pada pasien yang mendapat banyak obat yang menyebabkan efek seperti ini (Drugs.com, 2014).

Pada pasangan obat mefenamic acid dengan diclofenac, kombinasi dua obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) yaitu mefenamic acid dengan diclofenac dapat meningkatkan toksisitas gastrointestinal yang serius (inflamasi, perdarahan, ulserasi, dan perforasi), kejadian trombotik kardiovaskuler, hepatotoksisitas (peningkatan enzim hati), toksisitas ginjal, retensi cairan, edema, hipertensi, dan hambatan agregasi platelet (Drugs.com, 2014).

Pasangan-pasangan obat yang berinteraksi secara kombinasi (farmakokinetik dan farmakodinamik) adalah pasangan obat itraconazole dengan

betamethasone (6,3%), carbamazepine dengan phenylbutazone (6,3%),

amlodipine dengan bisoprolol (12,5%), dan erythromycin dengan dexamethasone

(6,3%).

Pada pasangan obat itraconazole dengan betamethasone, koadministrasi dengan inhibitor CYP450 3A4 (itraconazole) dapat meningkatkan konsentrasi plasma dan efek farmakologi dari kortikosteroid (betamethasone), yang dimetabolisme oleh isoenzim tersebut (Drugs.com, 2014).

Pada pasangan obat carbamazepine dengan phenylbutazone, koadministrasi dengan inducer dari CYP450 3A4 (phenylbutazone) dapat menurunkan konsentrasi plasma dan efek farmakologi dari carbamazepine, yang dimetabolisme oleh isoenzim tersebut (Drugs.com, 2014).

Pada pasangan obat amlodipine dengan bisoprolol, peningkatan dari penurunan denyut jantung, konduksi jantung, dan kontraktilitas otot jantung dapat terjadi ketika calcium channel blockers (amlodipine) digunakan bersama beta

blockers (bisoprolol), khususnya pada pasien dengan gangguan ventrikel atau konduksi. Mekanisme yang diduga yaitu peningkatan perlambatan konduksi atrioventrikuler, berkurangnya kontraktilitas otot jantung akibat blokade beta

secara sekunder, dan penurunan resistensi vaskuler perifer akibat blokade kanal kalsium secara sekunder. Selain itu, beberapa calcium channel blockers dapat menghambat metabolisme CYP450 dari beta blockers sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi dalam serum (Drugs.com, 2014).

Pada pasangan obat erythromycin dengan dexamethasone, koadministrasi dengan inhibitor CYP450 3A4 (erythromycin) dapat meningkatkan konsentrasi plasma dan efek farmakologi dari kortikosteroid (dexamethasone), yang dimetabolisme oleh isoenzim tersebut (Drugs.com, 2014).

Selain itu, diantara pasangan obat yang berinteraksi tersebut terdapat pasangan obat yang berinteraksi dengan mekanisme yang masih belum diketahui yaitu pasangan obat ciprofloxacin dengan methylprednisolone (6,3%). Namun, penggunaan secara bersama dengan kortikosteroid (methylprednisolone) ini dapat menyebabkan resiko terjadinya tendinitis dan ruptur tendon yang berhubungan dengan pengobatan fluoroquinolone seperti ciprofloxacin (Drugs.com, 2014).

Pada penelitian ini ditemukan sebanyak 12 pasangan obat yang berinteraksi pada 16 resep (8,9%) dari total 180 lembar resep dokter. Beberapa penelitian sebelumnya juga menunjukkan bahwa interaksi obat masih banyak terjadi dalam peresepan obat. Di Italia, Tragni et al. (2013) melakukan suatu penelitian cross sectional dengan menganalisis data resep secara retrospektif dari bulan Januari 2004 sampai Agustus 2005 dan menemukan sebanyak 27 pasangan obat yang berinteraksi pada 45,3% populasi penelitian. Kulkarni et al. (2013) melakukan penelitian observasional secara prospektif di India dengan menganalisis 204 resep dokter dan pada 186 resep (91%) terdapat sebanyak 856 obat yang berinteraksi. Interaksi obat ini paling banyak terjadi secara farmakokinetik. Masalah-masalah tersebut masih terjadi mungkin disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dokter yang meresepkan obat tentang kemungkinan terjadinya interaksi obat (Ko et al., 2008).

Dokumen terkait