• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. KENDALA DAN SOLUSI PARA GURU

3.4 Interaksi Antara Guru dan Orangtua

Guru dan orangtua adalah dua pihak yang secara intensif terlibat dalam pembinaan anak. Namun orangtua terlebih dahulu melakukannya di lingkungan keluarga. Guru dan orangtua murid akan mengetahui tentang apa yang harus

mereka lakukan terhadap anak. Tentu yang diharapkan bahwa masing-masing mengetahui secara pasti tentang apa yang akan dilakukan terhadap anak, namun juga bisa saja yang terjadi malah masing-masing mempunyai harapan yang berbeda dan sulit terjadinya komunikasi yang lancar antar keduanya. Pihak sekolah SMPN 10 Medan berusaha untuk mencegah terjadinya miss communication antara guru dan orangtua murid dengan cara memberikan uang pulsa kepada para Wali Kelas, yakni sebesar Rp.15.000/bulan. Kebijakan uang pulsa ini dibuat oleh Kepsek dan hal ini bertujuan agar Wali Kelas bisa mengontak para orangtua murid terkait tindak-tanduk anaknya di sekolah. Tidak hanya guru, sebaliknya orangtua juga bisa menghubungi si guru. Walaupun dilakukan berbagai upaya untuk menghindari terjadinya kesalahpahaman antara orangtua dengan guru terutama dengan Wali Kelas, tetap saja konflik kecil tidak dapat dihindari. Orangtua berusaha untuk menggencarkan intervensinya dalam kegiatan bersekolah, yang berdampak dalam pembentukan pola mengajar para guru di SMPN 10 Medan.

Sewaktu saya sedang duduk-duduk di ruang guru, salah seorang guru menceritakan peristiwa yang hampir tiap tahunnya terjadi. Ibu itu curhat pada saya dan mengatakan:

Kadang ada juga orangtua murid ini agak payah dek.

Dulu pernah ada orangtua murid yang datang ke sekolah, terus marah-marah sama sekolah karena anaknya dimasukkan ke kelas VII-i, terus dibilangnya sama kami gini “bu, anak saya ini

dulu waktu SD juara, juara 2 lagi. Waktu SD pun dia ikut pelatihan olimpiade dari sekolah. Pintar anak saya ini! Terus

kenapa dimasukkan ke kelas i? kelas paling akhir?” lalu kami

jelaskanlah baik-baik. “Bu, anak ibu mungkin memang pintar

(Nilai Ujian Nasional) tertinggi. Lalu yang diterima tadikan, dites lagi untuk penempatan kelasnya. Berdasarkan hasil itulah,

anak ibu dimasukkan ke kelas i”, gitu kami bilang dek. Eh, ibu

itu tetap bersikeras kalo anaknya harus masuk di kelas pintar.

Yasudahlah, akhirnya si anak dipindah.”

Bukan hanya itu, peristiwa orangtua minta anaknya dipindah-kelaskan pun terjadi dalam versi lain. Ibu itu melanjutkan ceritanya:

Ada lagi dek, orangtua yang minta anaknya dipindahkan dari kelas pintar ke kelas lain. Sampai ada 2 wali kelas yang berdebat tentang masalah ini. Si wali kelas anak merasa penting untuk mempertahankan muridnya tadi di kelasnya, tapi satu sisi, si orangtua meminta tolong sama wali kelas lain agar anaknya bisa dibantu pindah. Si anak bilang kalau dia nggak merasa nyaman di kelas itu, sehingga minta sama orangtuanya biar ngomong ke guru supaya dia dipindah. Kalo saya pikir, dia pindah karena kawan-kawan kompaknya waktu kelas VII ada di kelas lain, jadi dia mau sekelas sama kawan-kawan csnya itu.”

Memang orangtua bermaksud memberikan yang baik dan yang diinginkan anaknya, sekalipun itu harus ikut campur terhadap sistem yang dibuat oleh sekolah. Tetapi, ada beberapa dampak yang terjadi karena hal-hal seperti itu. (masih berdasarkan penuturan beliau) Sering sekali terjadi ketika si orangtua meminta agar anaknya dimasukkan ke kelas pintar sementara diperkirakan anaknya kurang bisa bersaing di kelas itu, akibatnya pada akhir semester si anak malah menjadi pemegang rangking akhir di kelas pintar itu tadi. Saat menjadi rangking akhir, si anak malah merasa jatuh, tidak semangat dan

merasa dirinya bodoh, apalagi jika ia membandingkan dirinya saat juara dulu dan dirinya sebagai ranking akhir sekarang. Dan ada orangtua yang kembali datang ke sekolah untuk komplain tentang hal itu, karena membandingkan anaknya waktu juara dulu dengan yang sekarang. Padahal sebelumnya sudah

diingatkan oleh pihak sekolah bahwa kelas pintar tadi itu bukan tempatnya.

Kalau sudah begitu, pihak sekolah terutama guru hanya menerima saja pelampiasan kemarahan orangtua.

Para orangtua biasanya juga datang ke sekolah kalau menerima laporan

dari si anak bahwa ia dihukum ―misalnya dengan dijewer, dicubit atau dipukul― oleh gurunya. Orangtua biasanya akan langsung datang marah-marah dan dengan bernada keras membentak-bentak guru sambil berkata, ―Aku saja bapaknya, nggak pernah ku pukul dia. Kenapa pulak kau pukul dia. Kalau

anakmu digitukan orang, gimana?”. Kira-kira begitulah yang diungkapkan seorang bapak guru kepada saya, saat menceritakan pengalamannya dulu. Kalau sudah ada orangtua yang komplain datang ke sekolah, baik itu karena anaknya sekedar dimarahin atau yang lainnya, maka guru-guru mulai enggan untuk ―memperingatkan‖ si anak dengan cara yang sama atau bahkan tidak ―diperingatkan‖ lagi.

Tetapi tidak semua orangtua murid berlaku demikian. Masih lebih banyak orangtua murid yang mempercayakan anaknya untuk dididik versi si guru maupun versi sekolah. Sewaktu saya dan sebagian murid kelas VIII-J sedang duduk-duduk di depan ruangan, kami sempat membicarakan hal dengan topik ini. Salah seorang siswi mengatakan pada saya:

Kalo aku enggak gitu sih kak. Kalo dimarahin guru atau apalah, ya diam ajalah. Memang aku ceritakan kak kalo aku dimarahin di sekolah, tapi kalo ku anggap si gurunya yang salah. Tapi sebatas curhat gitu aja kak, buat

ngilangin-ngilangin gondok. Paling ku bilang kek gini kak, “iss mak, palak

kali aku liat ibu apa itulah, cak la mamak pikir..masa aku

ya enggak ku ceritainlah. Kena marah pulak aku nanti sama mamak ku. Tapi biarpun ku ceritain kek gitu ke mamak ku, ya enggak lantaslah mamak ku langsung datang-datang ke sekolah

kak. Aku pun malu kalo mamak ku gitu.”

Kemudian saya menanyakan pendapat dari temannya yang lain. Salah satu siswa kembali memberikan tanggapannya. Siswa itu berkata:

Aku sama juga kak, ku ceritain sama ibuku kalo ada yang enggak ku suka atau apalah yang terjadi sama ku di sekolah. Tapi sebatas disitu aja kak, gausah dipanjangin sampe datang-datang pulak ke sekolahlah. Malu jugalah kak, semua nanti satu

sekolah ini tahu, “orangtua siapa itu, orangtua siapa itu”,

dibilang orang. Lagian nanti nggak enak sama gurunya kan kak. Jadi kalo uda dimarahi atau gimana gitu, terus curhat sama

orangtua, sudah habis disitu aja.”

Saat saya pulang bersama beberapa siswa lain, saya juga menanyakan hal demikian. Jawaban mereka juga kurang lebih sama dengan siswa-siswa yang saya tanyai sebelumnya. Siswa bernama Cindy mengatakan:

Ngapainlah kak ngadu-ngadu sama orangtua. Aku kalo enggak suka sama guru ku, ya ku tahankan ajalah. Nggak usah pala dimasukkan hati. Kalo mau cerita, sama kawan-kawan aja. Kalo

ku ceritain pun “mak, aku tadi kena marahin sama guru ku, karena gini gini gini..”, eh, bukan dibela awak, malah makin

dimarahin. Apalagi kalo uda bagi rapotlah kak. Biasanya yang disuruh ambil rapot itu orangtua, berartikan Wali Kelas bakal ngomong-ngomong sama orangtua, misalnya kek gini kak, “Bu,

anak ibu ini di kelas suka cerita-cerita, kadang main-main hp..

blablabla..”, langsung dibilang mamak awak kak, “Oh, gitu bu. Sama. Di rumah pun gitu dia ini, asik pegang hp aja, nggak bisa

lepas. Kalo disuruh nyapu rumah, “nantilah mak, nantilah mak”. Kan malu kalo digituin kak. Makanya kalo ngelapor -ngelapor sama orangtua, bukan malah dibela eh, makin kena

awak jadinya.”

Saya juga menanyai beberapa orangtua dari murid SMPN 10 Medan yang kebetulan adalah tetangga-tetangga saya. Ibu Br. Barasa menceritakan pada saya bagaimana tanggapannya tentang hal tersebut. Beliau mengatakan:

Baiknya guru-gurunya disana dek. Kadang kalo si derson ini dimarahin kan tujuannya bagus. Langsungnya dikasih tau sama nantulamg kalo misalnya si Anderson ini ada masalah di sekolah, entah misalnya enggak ngerjain PR, terus dikasih tahu gurunya juga kalo dia dihukum. Kadang kalo nantulang jalan, terus ketemu gurunya, ya nantulang tanya juga kekmana si derson ini di sekolah bu? Bandal nggak? Nanti diceritakan gurunyalah kekmana si derson ini. Kalo udah tau nantulang ada masalahnya di sekolah, di rumah nantulang marahin juga dia, cuma enggaklah pulak di depan gurunya. Nanti malu dia.”

Pada umumnya, orangtua mengetahui bagaimana anaknya di sekolah, baik itu dari pengakuan anak sendiri atau pun cerita dari si guru. Masih banyak orangtua yang bersikap lebih bijak dan adil dalam menanggapi cerita dari anaknya. Tidak selalu cerita dari sisi si anak diakui benar oleh orangtua, tetapi orangtua mempertimbangkan apa yang dikatakan si guru tentang si anak. Umumnya orangtua percaya pada gurunya, jika memang pendapat si guru tentang si anak sesuai dengan apa yang dipikirkan orangtua tentang si anak. Misalnya, kalau orangtua memang menyadari bahwa benar anaknya nakal, bandel, susah dikontrol di rumah, mereka akan sepakat bahwa tidak heran jika di sekolah pun si anak berlaku demikian. Ada orangtua yang setuju anaknya dihukum versi sekolah atau pun versi si guru. Bagi orangtua —yang mendukung penghukuman itu versi si guru dan versi sekolah— tujuan guru menghukum itu sebenarnya baik, yakni untuk merubah perilaku yang dianggap buruk oleh si guru dan orangtua. Karena rasa percaya pada guru itu, bahkan ada orangtua yang semakin marah pada anaknya, jika mereka mengetahui bahwa anaknya sampai kena hukuman, bukan malah memarahi si guru yang menghukum anaknya.

Dokumen terkait