5.3 Interaksi Komponen Usaha Perikanan Terhadap Kesejahteraan
5.3.3 Interaksi pada level kewenangan
Interaksi pada level kewenangan ini dibangun oleh interaksi yang dilakukan oleh pemerintah baik Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Otonomi terkait usaha perikanan. Hal ini terjadi karena pelaksanaan usaha perikanan di lokasi tidak lepas dari campur tangan pemerintah baik dalam penyediaan infrastruktur, perijinan, maupun pengaturan hubungan dan interaksi dari kelembagaan yang ada. Ini dibutuhkan untuk memberikan penyamanan, jaminan/legalisasi usaha, dan perlindungan hukum sehingga usaha perikanan dapat berjalan baik untuk peningkatan kesejahteraan nelayan dan masyarakat sekitar secara umum.
Tabel 54 Pengaruh koefisien pengaruh langsung, tidak langsung, dan pengaruh total dalam interaksi KP pada model peran usaha perikanan dalam kesejahteraan nelayan di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau
Konstruk/ Dimensi Konstruk PL PTL PT
LU 0 0 0 KOT 0,073 0 0,073 TKP 0,268 0 0,269 BDY 0 0 0 X22 0 0 0 PROS 0 0,01 0.01 X41 0 0 0 X83 1 0 1 KN -0694 0,232 -0,462 X61 0 0 0 X63 0 0,001 0,001 X81 -0,069 0 -0,069 X82 2,122 0 2,122 X53 0 0,973 0,973 X52 0 2,153 2,153 X51 0 0,269 0,269 X34 0 0 0 X33 0 0 0 X23 0 0 0
124
Tabel 54 lanjutan
Konstruk/ Dimensi Konstruk PL PTL PT
X13 0 0 0 X73 0 0,002 0,002 Y11 0 -0,462 -0,462 Y14 0 -0,469 -0,469 Y12 0 -0,092 -0,092 X71 0 0,01 0,01 X91 0 -0,151 -0,151 X92 0 0,073 0,073 X31 0 0,969 0,969 X42 0 0 0 X21 0 0 0 X12 0 0 0
Pada model yang dikembangkan, interkasi pada level kewenangan dibangun oleh dua konstruk yaitu Kewenangan Pemerintah Pusat (KP) dan Kewenangan Pemerintah Daerah atau Pemerintah Otonom (KOT). Pada pengembangan parsial model, konstruk Kewenangan Pemerintah Pusat (KP) kemudian berinteraksi dengan tiga komponen yang terdiri dari Infrastruktur yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat (X81), Perijinan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat (X82), dan Kelembagaan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat (X83). Sedangkan konstruk Kewenangan Pemerintah Otonomi (KOT) berinteraksi dengan dua komponen/dimensi konstruk yaitu Perijinan yang menjadi kewenangan Pemerintah Otonomi (X91) dan Kelembagaan yang menjadi kewenangan Pemerintah Otonomi (X92).
Jumlah komponen yang berinteraksi tersebut kemudian dikembangkan lebih banyak untuk menjadi model tersebut fit. Pada dunia nyata hal ini sering terjadi karena interaksi bisa terbentuk secara bebas berdasarkan kesesuaian dan kepentingan komponen dalam interaksi meskipun interaksi tersebut tidak disukai atau tidak diproyeksikan sebelumnya. Untuk memulai pembahasan ini, Tabel 54 menyajikan pengaruh langsung (PL), pengaruh tidak langsung (PTL), dan pengaruh total (PT) dari interaksi komponen Kewenangan Pemerintah Pusat (KP).
Pada Tabel 54 terlihat pengaruh Kewenangan Pemerintah Pusat (KP) yang bersifat langsung dalam interaksi dengan komponen lain ada enam (lebih dari tiga). Pengaruh langsung tersebut adalah pengaruh terhadap Kewenangan Pemerintah Otonomi (KOT), kegiatan perikanan tangkap (TKP), Kelembagaan
125 yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat (X83), kesejahteraan nelayan (KN), infrastruktur yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat (X81), dan perijinan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat (X82) masing-masing dengan koefisien 0,073, 0,268, 1,000, -0,694, -0,069, dan 2,122.
Tabel 55 Probabilitas pengaruh interaksi KP pada model peran usaha perikanan dalam kesejahteraan nelayan di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau
Estimate S.E C.R. P Label KOT KP 0,073 0,056 1,298 0,194 par-12 TKP KP 0,268 0,087 3,087 0,002 par-21 X83 KP 1,000 Fix KN KP -0,694 0,327 -2,125 0034 par-15 X81 KP -0,069 0,051 -1,345 0,179 par-9 X82 KP 2,122 0,374 5,673 0,000 par-10
Bila melihat koefisien pengaruh ini, maka kewenangan Pemerintah Pusat terkait perijinan merupakan pengaruh positif yang paling tinggi, dan pengaruh terhadap kesejahteraan nelayan merupakan pengaruh negatif tertinggi. Kondisi ini menunjukkan bahwa Pemerintah Pusat mempunyai konsentrasi yang sangat tinggi dalam hal perijinan usaha perikanan yang ada di Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau. Hal ini mungkin karena perairan sekitar merupakan perbatasan sehingga rawan dari penangkapan ikan ilegal dan bila terjadi pelanggaran perbatasan, maka Pemerintah Pusat kesulitan memberikan pembelaan bila surat atau berkas perijinan tidak lengkap. Namun di sisi lain, sikap proaktif dan tegas Pemerintah Pusat ini justru berdampak kurang baik terhadap kesejahteraan nelayan, karena nelayan merasa direpotkan dengan perijinan dan lainnya sehingga tidak berani melaut pada areal yang lebih luas dan jauh. Akibatnya, hasil tangkapan yang didapat menjadi terbatas. Namun demikian, apakah pengaruh langsung yang positif maupun negatif tersebut berdampak serius atau tidak dapat ditunjukkan oleh probabilitas pengaruh dari interaksi Kewenangan Pemerintah Pusat dengan komponen lainnya seperti disajikan pada Tabel 55.
126
Berdasarkan Tabel 55, pengaruh Kewenangan Pemerintah Pusat (KP) terhadap kesejahteraan nelayan (KN) dan perijinan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pusat (X82) bersifat signifikan yang ditandai oleh prababilitas pengaruhnya di bawah 0,005, yaitu masing-masing 0,034 dan 0. Dengan demikian, maka kedua komponen tersebut menjadi indikator Kewenangan Pemerintah Pusat (KP) dan kekhawatiran dari pengaruh kewenangan ini terhadap kesejahteraan dan perijinan seperti dinyatakan sebelumnya memang wajar karena dapat berpengaruh serius dan nyata di lokasi. Selain terhadap dua komponen tersebut, Kewenangan Pemerintah Pusat (KP) juga berpengaruh signifikan terhadap kegiatan perikanan tangkap (P = 0,003). Oleh karena itu, kegiatan perikanan tangkap juga secara serius harus diperhatikan dalam pelaksanaan Kewenangan Pemerintah Pusat.
Disamping berpengaruh secara langsung, Kewenangan Pemerintah Pusat juga mempengaruhi 10 komponen lainnya secara tidak langsung (Tabel 54). Dari pengaruh tidak langsung tersebut, pengaruh terhadap penyerapan tenaga kerja pada kegiatan perikanan tangkap (X52) merupakan pengaruh positif paling tinggi (koefisien pengaruh = 2,153), dan pengaruh terhadap dimensi kesejahteraan berupa kesempatan kerja (Y14) merupakan pengaruh negatif yang tinggi (koefisien pengaruh = -0,469). Terkait dengan ini, maka pelaksanaan kewenangan Pemerintah Pusat juga harus melihat dampak lanjutannya.
Ulasan di atas memberi gambaran tentang pentingnya kewenangan Pemerintah Pusat bagi peningkatan kesejahteraan nelayan, pelaksanaan kewenangan daerah (otonomi), kegiatan teknis perikanan tangkap, serta interaksi lainnya yang secara tidak langsung mendukung kegiatan perikanan dan perbaikan kesejahteraan nelayan di Kabupaten Rokan Hilir. Pada Gambar 12, tidak ada interaksi yang mengilustrasikan ketergantungan kewenangan Pemerintah Pusat terhadap komponen utama perikanan lainnya. Hal ini cukup wajar karena dalam tatanan kebijakan, kewenangan Pemerintah Pusat ini berada di level paling atas, sehingga dalam interaksinya lebih banyak memberi pengaruh dan tidak sebalikya. Berdasarkan Gambar 12, interaksi ketergantungan terjadi untuk kewenangan Pemerintah Otonomi terhadap kewenangan Pemerintah Pusat (KP), lingkup usaha perikanan (LU), dan industri non usaha perikanan (LIN). Interaksi terkait
127 ketergantungan kewenangan Pemerintah Otonomi (KOT) terhadap komponen utama lainnya dirumuskan dengan persamaan :
KOT = 0,070 KP – 0,250 LU – 4,450 KP - 0,010
Berdasarkan rumusan tersebut, kewenangan Pemerintah Pusat berpengaruh positif atau selalu menjadi rujukan bagi pengembangan kebijakan/kewenangan Pemerintah Otonomi (PEMDA Rokan Hilir) terkait bidang perikanan termasuk dalam upaya peningkatan kesejahteraan nelayan. Namun lingkup usaha perikanan dan indutri non perikanan cenderung menjadi pembatas (koefisien negatif) dalam implementasi kewenangan PEMDA Rokan Hilir di bidang perikanan. Namun demikian, rumusan tersebut dan ilustrasi model Gambar 12 memberi informasi tentang pola/respon nyata yang terjadi dalam interaksi kewenangan Pemerintah Otonomi dengan kewenangan Pemerintah Pusat (KP), lingkup usaha perikanan (LU), dan industri non usaha perikanan (LIN). Informasi ini tentu sangat bermanfaat bagi pengembangan kegiatan perikanan tangkap dalam upaya perbaikan kesejahteraan nelayan di Kabupaten Rokan Hilir, dimana interaksi dengan pengaruh positif dipertahankan, sedangkan yang pengaruhnya cenderung negatif dapat diantisipasi secara dini.
Interaksi pada level kewenangan ini, Kewenangan Pemerintah Otonomi juga merupakan penggerak interaksi yang khusus pada lingkup wilayah administrasi Kabupaten Rokan Hilir Provinsi Riau. Tabel 56 menyajikan pengaruh langsung (PL), pengaruh tidak langsung (PTL), dan pengaruh total (PT) dari interaksi komponen Kewenangan Pemerintah Otonomi (KOT).
Tabel 56 Pengaruh koefisien pengaruh langsung, tidak langsung, dan pengaruh total dalam interaksi KOT pada model peran usaha perikanan dalam kesejahteraan nelayan di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau
Konstruk/ Dimensi konstruk PL PTL PT
LU 0 0 0 KOT 0 0 0 TKP 0,007 0 0,007 BDY 0,005 0 0,005 X22 0 0 0 PROS 0,134 0 0,134 X41 0 0 0 X83 0 0 0 KN -0,159 -0,069 -0,229
128
Tabel 56 lanjutan
Konstruk/ Dimensi konstruk PL PTL PT
X63 0 0,013 0,013 X81 0 0 0 X82 0 0 0 X53 0 0,018 0,018 X52 0 0,054 0,054 X51 0 0,007 0,007 X34 0 0 0 X33 0 0 0 X23 0 0 0 X11 0 0 0 X13 0 0 0 X73 0 0,024 0,024 Y11 0 -0,229 -0,229 Y14 0 -0,232 -0,232 Y12 0 -0,046 -0,046 X71 0 0,134 0,134 X91 0,279 0 0,279 X92 1 0 1 X31 0 0 0 X42 0 0 0 X21 0 0 0 X12 0 0 0
Berdasarkan Tabel 56, kewenangan Pemerintah Otonomi berpengaruh secara langsung terhadap enam komponen lainnya, yaitu kegiatan perikanan tangkap (TKP), kegiatan perikanan budidaya (BDY), kegiatan
processing/pengolahan hasil perikanan (PROS), kesejahteraan nelayan (KN), perijinan yang menjadi kewenangan Pemerintah Otonomi (X91), dan kelembagaan yang menjadi kewenangan Pemerintah Otonomi (X92) masing- masing dengan koefisien 0,007, 0,005, 0,113, -0,159, 0,279, dan 1,000. Bila melihat pengaruhnya terhadap teknis operasional usaha perikanan, maka kewenangan Pemerintah Otonomi (KOT) berpengaruh dan berinteraksi lebih banyak daripada kewenangan Pemerintah Pusat (KP). Kewenangan Pemerintah Otonomi (KOT) berinteraksi dengan ketiga kegiatan operasional yang ada (perikanan tangkap, perikanan budidaya, dan pengolahan hasil), sedangkan kewenangan Pemerintah Pusat (KP) hanya berinteraksi dengan kegiatan dominan yang ada di lokasi (kegiatan perikanan tangkap). Jumlah interaksi ini sekaligus menunjukkan kesesuaian model (fitting) bahwa kewenangan Pemerintah Otonomi berinteraksi pada tataran lebih teknis daripada kewenangan Pemerintah Pusat.
129 Tabel 57 Probabalitas pengaruh interaksi KOT pada model peran usaha perikanan
dalam kesejahteraan nelayan di Kabupaten Rokan Hilir, Provinsi Riau Estimate S.E C.R. P Label
TKP KOT 0,007 0,003 2,044 0.041 par-35 BDY KOT 0,005 0,025 0,187 0,852 par-36 PROS KOT 0,134 0,113 1,191 0,234 par-37 KN KOT -0,159 0,119 -1,335 0,82 par-13 X91 KOT 0,279 0,062 4,505 0,000 par-8
X92 KOT 1,000 Fix
Bila melihat koefisien pengaruh yang ada, maka kewenangan Pemerintah Otonomi (KOT) dalam hal kelembagaan merupakan pengaruh positif yang paling tinggi, dan pengaruh terhadap kesejahteraan nelayan merupakan pengaruh negatif yang paling tinggi. Data ini menunjukkan bahwa Pemerintah Otonomi selama ini telah melakukan pembenahan pada kelembagaan-kelembagaan yang terkait dengan usaha perikanan. Penyediaan gedung dan pembenahan organisasi bagi Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Rokan Hilir yang dilakukan tiga tahun terakhir ini dapat meningkatkan eksistensi usaha dan kegiatan perikanan yang ada. Sebaliknya upaya yang dilakukan Pemerintah Otonomi selama ini belum dapat meningkatkan kesejahteraan nelayan dan bahkan cenderung berdampak negatif. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa program pemerintah Otonomi yang tidak tepat sasaran, seperti pemberian bantuan perahu kepada nelayan tanpa membantu dalam biaya operasionalnya menyebabkan nelayan jarang bahkan tidak pernah mengoperasikan perahu tersebut, sehingga terpaksa dijual.
Namun demikian, pengaruh kewenangan Pemerintah Otonomi ini terhadap kesejahteraan secara umum dan pembenahan kelembagaan bersifat tidak signifikan yang ditunjukkan oleh nilai probabilitasnya yang di atas 0,05 (Tabel 57), yaitu masing-masing 0,257 dan fix (tidak jelas). Oleh karena itu, maka berbagai kekhawatiran terkait kesejahteraan dan manfaat pembenahan kelembagaan yang dilakukan Pemerintah Otonomi tidak perlu ditanggapi berlebihan karena tidak akan berpengaruh berserius.
130
Diantara enam pengaruh tersebut, pengaruh kewenangan Pemerintah Otonomi dalam perijinan dan secara teknis terhadap kegiatan perikanan tangkap (TKP) bersifat signifikan, karena probabilitasnya <0,5, yaitu masing-masing 0,000 dan 0,041. Hal ini menunjukkan bahwa kewenangan Pemerintah Daerah dapat secara serius mengganggu mekanisme perijinan yang sudah ada bila diselewengkan, dan penyelewengan kewenangan tersebut dapat menurunkan kepercayaan pelaku perikanan tangkap terhadap Pemerintah Daerah yang pada akhirnya mengganggu secara serius operasional kegiatan perikanan tangkap yang ada di Kabupaten Rokan Hilir dapat membawa pengaruh yang serius terhadap kegiatan perikanan tangkap yang ada di lokasi. Dalam kaitan ini, maka Pemerintah Otonomi/Kabupaten Rokan Hilir harus lebih hati-hati dalam merancang dan mengimplementasikan berbagai PERDA yang sensitif dengan operasional perikanan tangkap terutama yang berkaitan biaya perijinan bagi nelayan kecil, sehingga usaha perikanan tetap eksis bahkan lebih berkembang di Kabupaten Rokan Hilir, dan bukan sebaliknya.
5.4 Pengembangan Kebijakan Perikanan Dalam Rangka Peningkatan