• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interaksi Sosial Anak-anak Pemulung dengan Orang tua

BAB IV DESKRIPSI DAN HASIL INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.2 Profil Informan

4.3.2 Interaksi Sosial Anak-anak Pemulung dengan Orang tua

Anak-anak pemulung yang bekerja di TPA Terjun mengaku bekerja karena keinginan sendiri. Berdasarkan penelitian, tidak ada dari mereka yang merasa terpaksa untuk bekerja atau berada di bawah tekanan untuk bekerja. Seperti yang dituturkan oleh salah seorang informan berikut ini.

Aku kerja ya kar’na mau ku sendiri kak. Dulu Bapak sakit, jadi aku gantiin. Bapak dah sembuh ya aku tetep kerja. Lumayan la buat ‘ngangsur honda”(wawancara dengan Nanang, Oktober 2013)

Selain itu, berikut juga merupakan penuturan oleh seorang informan.

“Sari kan kerja kar’na kemauan Sari sendiri. Sari bosen di rumah aja diam-diam ‘ga ada kerjaan. Malah dulu memang dilarang kak sama orang tua. Tapi Sari ‘ga mau. ‘Ga peduli Sari tetep aja kerja.” (wawancara dengan Sari, Oktober 2013)

Berikut penuturan informan lainnya.

“Aku suka kerja aja kak daripada sekolah. Kan enak kerja punya duit. Sekolah capek kali belajar. ‘Ku tengok pun enak kali kawan-kawan yang banyak jajannya. Eeh taunya malah dijatahi mamak juganya jajanku. Cuma dua puluh ribu sehari. Sikit itu kan kak?”(Wawancara dengan Galut Simbolon, Oktober 2013)

Anak-anak pemulung merasa mampu bekerja dan menghasilkan uang sendiri. Hal ini yang membuat mereka memilih untuk bekerja atas dasar kemauan dari diri sendiri. Pada umumnya orang tua mereka tidak memaksa mereka untuk bekerja

dengan alasan ekonomi. Para orang tua memang tidak memaksa anak-anak mereka bekerja, tetapi kebanyakan dari orang tua anak-anak pemulung tersebut juga tidak melarang mereka untuk bekerja sebagai pemulung di TPA Terjun. Salah satunya adalah penuturun dari seorang informan berikut.

Ga ada Mamak sama Bapak larang-larang aku kerja. Malah senang pun, jadi belajar mandiri aku kata Bapak” (wawancara dengan Dika, Agustus 2013)

Selain itu, penuturan berikut juga mengatakan hal yang sama.

“Orang tua ga ada larang aku kerja kak. Orang aku kok yang mau sendiri. Yang penting kan aku tetap sekolah. Kata bapak ku sih gitu kak. Lagian kan lumayan kak aku ‘ga usah mintak-mintak jajan lagi dari Mamak..”(wawancara dengan Vita, Oktober 2013)

Orang tua anak-anak pemulung memiliki alasan sendiri untuk tidak melarang anak-anak mereka bekerja di usia dini. Seperti penuturan salah satu orang tua berikut.

“Pas awal-awal orang ini kerja ya was-was juga aku. Takut juga kan kenapa-kenapa. Tapi ku biarin aja. Biar ga mintak-mintak jajan aja orang ini sama mamaknya.”(wawancara dengan Pak Daeli, Oktober 2013)

sekarang.”(Wawancara dengan Ibu Siti Aminah, Agustus 2013)

Selain itu, penuturan yang sama juga disampaikan oleh informan lain. Bahkan Ia yang menyarankan anaknya untuk bekerja.

“Si Panji ini orangnya pendiam. Diajak ‘ngomong susah. Otaknya pun ga sanggup belajar. Makanya ‘ga lanjut sekolahnya. Daripada buang-buang uang kan, dek. Klo ‘ga sekolah kan jadi diam diam aja di rumah. Ya Bapak suruh dia kerja aja. Siapa tahu kalok ketemu orang banyak dia jadi sukak ‘ngomong kan. Dan dianya pun mau aja. Ya udah kerja la dia sampek sekarang.” (wawancara dengan Pak Tugio, Oktober 2013)

Dari seluruh informan yang penulis wawancara, hanya seorang informan yang mengaku bahwa pada awalnya, orang tua informan melarangnya untuk bekerja. Berikut penuturan informan tersebut.

“Dulu memang dilarang kak sama orang tua. Tapi Sari ‘ga mau. ‘Ga peduli Sari tetep aja kerja. Sari ‘ga peduli. Daripada Sari diam-diam di rumah kan, mending Sari di sini dapat duit kan. Tapi lama-lama ya dibiarin aja Sari kerja.”(wawancara dengan Sari, Oktober 2013)

Kebanyakan dari orang tua anak-anak pemulung juga berprofesi sebagai pemulung di lokasi TPA. Pada saat-saat tertentu mereka bekerja bersama-sama dalam mengumpulkan barang bekas. Namun, anak-anak lebih sering bekerja bersama teman-teman sebayanya. Seperti penuturan seorang informan berikut ini.

“Lebih enak sama kawan-kawan. Bisa sambil main- main. Di sebelah sana banyak kawan.”(wawancara dengan Rizky Indra, Agustus 2013

Penuturan serupa juga disampaikan oleh informan lain, yakni sebagai berikut. “Aku kalok kerja ya sama orang ini aja lah kak. Enakla

bisa sambil becanda-becanda, ‘ngobrol-‘ngobrol, ‘ngomongi cowok hahahaha. Kalok sama mamak kan ‘ga bisa ‘gitu kak” .”(wawancara dengan Lasti, Agustus 2013)

Berdasarkan penuturan informan berikut tampak bahwa walaupun mereka memiliki profesi dan bekerja di tempat yang sama dengan orang tua mereka, namun anak-anak pemulung tersebut merasa lebih nyaman bila bekerja dengan teman- teman sebaya mereka. Anak-anak pemulung bekerja secara santai, seperti dengan saling bercerita hal-hal yang mereka senangi. Maka, pada umumnya mereka akan bercerita dengan orang lain yang memiliki pemikiran yang sama atau hampir sama dengan mereka. Dalam hal ini, anak-anak pemulung beranggapan bahwa teman sebaya merekalah yang memiliki pemikiran seperti mereka sendiri. Sedangkan orang tua dianggap memiliki pemikiran yang jauh berbeda dikarenakan usia yang terpaut jauh lebih tua dari mereka.

Anak-anak pemulung tersebut tidak hanya bekerja paruh waktu di TPA Terjun, bahkan diantara mereka juga ada yang meninggalkan sekolah mereka untuk bekerja sebagai pemulung. Di beberapa keluarga anak-anak pemulung, pendidikan

“Kalo sekolah dia jauh dari sini. Kalo dulu masih di Pancur uang sekolahnya lepasnya dari uang yang dia dapat. Kalo sekarang ya itu lah dulu”(wawancara dengan Ibu R. Sitanggang, Oktober 2013)

Selain itu, memiliki prestasi di sekolah juga bukan menjadi hal yang penting bagi keluarga pemulung. Seperti yang dikatakan oleh salah seorang informan berikut.

“Sari sekarang ranking 2 kadang-kadang rangking 3, tapi kalo ‘ga dapat pun ga apa-apa” (wawancara dengan Sari, Oktober 2013)

Penuturan informan berikut juga menunjukkan hal serupa.

“Anakku ini ‘ga pernah rangking di kelas. Tapi ya udahlah ku pikir. Asal sekolah aja dia terus baek-baek ‘dah senangnya aku.” (wawancara dengan Ibu M, Agustus 2013)

Berikut juga penuturan informan yang menunjukkan hal serupa.

“Si Dika ini ya biasa-biasa aja di sekolah. Ya sukaknya la situ, kalo mau rangking ya rangking, ga mau ya ‘udah. Yang penting aku ga dipanggil aja ke sekolahnya. Itu ajanya, dek (wawancara dengan Ibu Siti, Agustus 2013)

Dalam pandangan Blumer, individu berinteraksi dengan individu lain untuk mengadaptasi makna terhadap sesuatu. Setiap individu perlu mengamati makna interaksi dengan orang lain. Interaksi yang terjadi antara anak-anak pemulung dengan orang tuanya menggambarkan sebuah interaksi yang lazim dialami dalam kehidupan bermasyarakat. Komponen keluarga, dalam hal ini orang tua, menjadi

agen utama dalam memperoleh sosialisasi tentang masyarakat sebelum memperolehnya dari komponen lain, seperti teman bermain.

Berdasarkan penjelasan diatas, bentuk interaksi yang dialami antara orang tua dan anak menggambarkan sebuah interaksi dengan pola seimbang. Pola seimbang yang dimaksud adalah adanya pemberian kebebasan penuh oleh orang tua kepada anak untuk bekerja. Anak yang bekerja sebagai pemulung menjelaskan bahwa mereka bekerja bukan karena dorongan dari orang tua, namun datang dari keinginan diri sendiri disamping kebutuhan ekonomi yang mendesak. Orang tua anak-anak pemulung memberikan otoritas penuh untuk bekerja sebagai pemulung. Dalam pandangan orang tua, anak yang bekerja sebagai pemulung akan mampu memenuhi kebutuhan hidupnya tanpa harus menyusahkan orang tuanya.

Bentuk interaksi lain yang terjadi antara orang tua dengan anak-anak pemulung menunjukkan sebuah kondisi yang kurang tepat bagi perkembangan anak. Dalam hal ini yang dimaksud adalah orang tua dalam interaksinya tidak mengutamakan pendidikan. Bagi orang tua, pendidikan anak merupakan hal yang tidak menjadi sebuah kewajiban , namun tergantung kemauan anak yang bekerja. Hal ini bertentangan dengan Undang-undang Dasar Pasal 31 yang mewajibkan seorang anak mendapatkan pendidikan.

dan ada yang bersifat negatif. Hal ini tergantung kepada pola asuh orang tua yang diterima oleh anak-anak pemulung.

Dokumen terkait