• Tidak ada hasil yang ditemukan

International Ship and Port Security Code (ISPS Code)

Dalam dokumen BAB II STUDI PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI (Halaman 40-49)

ISPS Code merupakan kode pengamanan kapal dan pelabuhan yang diatur secara internasional. Pada tanggal 12 Desember 2002, IMO telah menyetujui amandemen SOLAS dalam meningkatkan sistem keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan. Amandemen tersebut adalah Chapter baru dari SOLAS yaitu XI-2 "Special Measure to Enhance Maritime Security". IMO juga menyetujui pemberlakuan International Ship Security and Port Facility Code (ISPS Code). Pemenuhan Part A dari ISPS Code adalah mandatory bagi kapal-kapal yang terkena lingkup penerapan serta fasilitas pelabuhan yang melayani jasa kepelabuhan terhadap kapal yang beroperasi secara internasional. Tujuan dari ISPS Code adalah:

a. Membentuk kerangka kerjasama internasional antar negara-negara anggota (Contracting Government), Badan-badan pemerintah, Pemerintah setempat, Industri Pelayaran, dan Pelabuhan, untuk mendeteksi ancaman keamanan dan mencegah insiden keamanan yang berpengaruh terhadap kapal-kapal atau fasilitas pelabuhan yang dipergunakan untuk perdagangan internasional;

b. Menetapkan peran dan tanggungjawab setiap negara anggota (Contracting Government), Badan-badan pemerintah, Pemerintah setempat, Industri Pelayaran, dan Pelabuhan, baik di tingkat nasional maupun internasional, untuk menjamin keamanan di laut (maritim);

c. Menjamin pengumpulan dan saling tukar informasi keamanan yang dini dan efisien;

d. Menyediakan suatu metodologi untuk penilaian keamanan yang dipergunakan untuk membuat rencana keamanan dan prosedur-prosedur untuk tindakan aksi terhadap perubahan setiap level keamanan;

e. Menjamin kepercayaan diri bahwa tindakan keamanan maritim telah mencukupi dan sesuai dengan proporsinya.

ISPS Code ini diberlakukan secara internasional mulai 1 Juli 2004, untuk tipe-tipe kapal yang melayari perairan internasional, meliputi Kapal Penumpang termasuk High Speed Passenger Craft, Cargo Ship termasuk High Speed Craft dengan tonase lebih dari GT500 dan Mobile Offshore Drilling Unit (MODU), serta fasilitas Pelabuhan yang memberi layanan terhadap kapal-kapal yang melayari perairan internasional.

Sesuai dengan persyaratan ISPS Code, semua kapal yang terkena peraturan ini harus menetapkan Sistem Manajemen Keamanan kapal yang didokumentasikan dalam manual Ship Security Plan (SSP) dalam rangka menjamin operasional kapal dengan aman. Persyaratan tersebut, meliputi mendokumentasikan Ship Security Assessment (SSA) & Ship Security Plan (SSP), menerapkan dan mempertahankan Sistem Manajemen Keamanan yang pada akhirnya akan diverifikasi oleh Pemerintah atau organisasi yang diakui (Recognized Security Organization / RSO) dalam rangka penerbitan sertifikat International Ship Security Certificate (ISSC) setelah dipenuhinya semua persyaratan ISPS Code. Masa berlaku sertifikat ISSC adalah 5 tahun. Kapal yang tidak dapat memenuhi persyaratan ISPS Code akan menghadapi kesulitan dalam operasionalnya, khususnya diperairan internasional.

BKI, sebagai Organisasi keamanan yang diakui (RSO) oleh Pemerintah Indonesia, telah ditunjuk atas nama Pemerintah untuk melaksanakan approval, verifikasi, dan menerbitkan sertifikat ISSC Interim atau short term. Sedangkan sertifikat ISSC permanen akan diterbitkan oleh

Pemerintah cq Direktorat Jenderal Perhubungan Laut. Data perusahaan dan kapal yang telah disertifikasi akan didaftarkan dan dipublikasikan dalam Buku Register ISPS Code oleh BKI. Beberapa hal yang diatur dalam ISPS Code:

a. Penetapan tingkat keamanan dan menjamin tersedianya informasi tingkat keamanan kapal;

b. Prosedur keamanan fasilitas pelabuhan;

c. Prosedur penanganan ancaman, gangguan keamanan;

d. Prosedur untuk merespon setiap instruksi keamanan oleh Negara peserta;

e. Prosedur evakuasi dalam hal ancaman keamanan;

f. Prosedur untuk mempertemukan dengan aktivasi keamanan kapal; g. Prosedur untuk tinjau ulang secara periodik terhadap rancangan

dan pembaharuan keamanan;

h. Prosedur untuk auditing rancangan keamanan fasilitas pelabuhan; i. Prosedur untuk sistem siaga kapal.

19. Konvensi PBB UNCLOS ’82; (UU No. 17 tahun 1985 )

20. SOLAS (Safety of Life At Sea) 1974

Dengan rinciannya tiap Bab sebagai berikut: Bab I : Ketentuan Umum

Bab II-1 : Konstruksi-Subdivisi dan Stabilitas, Instalasi Mesin dan Instalasi Listrik.

Bab II-2 : Perlindungan, Pendeteksian dan Pemadaman Kebakaran.

Bab III : Alat-alat keselamatan (life saving appliance) Bab IV : Radio Komunikasi

Bab V : Keselamatan Pelayaran

Bab VII : Pengangkutan muatan berbahaya Bab VIII : Kapal Nuklir

Bab IX : Manajemen keselamatan pengoperasian kapal

Bab X : Keselamatan untuk kapal kecepatan tinggi

Bab XI : Ketentuan khusus untuk keselamatan dan keamanan kapal dan pelabuhan.

Bab XII : Ketentuan atau persyaratan untuk keselamatan kapal curah (bulk carrier).

21. Marpol (Maritime Pollution)

Beberapa ketentuan internasional (konvensi) yang berkaitan dengan perlindungan lingkungan maritim adalah sebagai berikut :

a. Deklarasi Stockholm, 1972, dapat dikatakan sebagai payung timbulnya konsep pengaturan hukum lingkungan laut (berdasarkan prinsip ekologi) di tingkat global.

b. Konvensi hukum Laut 1982, merupakan ketentuan hukum internasional yang mengatur zona-zona laut termasuk kegiatan negara di laut yang bersifat menyeluruh, termasuk didalamnya mengenai perlindungan hukum di laut

c. Konvensi IMCO-1954, yang telah diamandemenkan pada tahun 1962, 1969 dan tahun 1971 merupakan ketentuan hukum internasional yang mengatur pencegahan dan pengawasan pencemaran lingkungan laut oleh minyak dari kapal.

d. International Convention for The Prevention of Pollution from Ships, 1973, merupakan penyempurnaan terhadap konvensi IMCO 1954-1971, memuat ketentuan tentang pencegahan pencemaran lingkungan laut oleh minyak bumi dan bahan berbahaya lainnya.

e. Di Inggris pada tahun 1954 telah diadakan konvensi internasional tentang pencegahan pencemaran laut oleh minyak “Oil Pollution Convention” yang diundangkan pada tanggal 26 Juli 1958, disponsori oleh IMCO (Inter-governmental Maritime Consultative Organization) yaitu suatu badan internasional PBB yang khusus menangani masalah-masalah kemaritiman yang baru diakui secara internasional tahun 1958 (1948-1958) yang kemudian berubah nama menjadi IMO pada tanggal 22 Mei 1982 . Konvensi ini berisi persyaratan-persyaratan operasi dari kapal dan perlengkapannya. pembuangan minyak/air campuran minyak dilarang pada tempat, waktu dan keadaan-keadaan tertentu, serta diisyaratkan adanya Oil Record book.

Perubahan-perubahan dari konvensi 1954 tersebut diselenggarakan pada tahun 1962, tahun 1969 dan tahun 1971 yang berupa Amandemen. Adapun Amandemen tersebut menyatakan sebagai berikut :

a. Amandemen tahun 1962 :

Mulai diundangkan pada tanggal 18 Mei 1967 mewajibkan tambahan terhadap pembuangan minyak atau campuran minyak serta menetapkan penyediaan sarana penampungan limbah di darat (Shore Reception Facilities) terulama di Loading Terminal.

b. Amandemen tahun 1969 :

Menyatakan untuk mengganti jenis pembatasan terhadap pembuangan minyak yang persistent (kuat ikatan unsur-unsurnya) yang meyakinkan bahwa pembuangan tersebut diijinkan asal berada dibawah batas-batas yang telah ditentukan. Air yang bercampur minyak dari kapal tanker dilarang dibuang ke laut kecuali bila keadaan seperti tersebut di bawah ini dipenuhi:

2) Kecepatan Pembongkaran dari minyak yang tarkandung di dalam campuran

3) tidak boleh lebih dari 60 liter per mil

4) Kapal tanker harus berada pada lokasi laut yang jaraknya dari pantai terdekat lebih dari 50 mil.

5) Jumlah minyak yang boleh dibuang 1/15.000 kapasitas angkut dari kapal tanker.

Maksud dari persyaratan tersebut di atas selain untuk membatasi pembuangan minyak adalah bahwa minyak bisa dengan cepat dicerai-beraikan dan dimusnahkan dalam waklu 2-3 jam saja.

c. Amandemen tahun 1971 :

Membatasi ukuran tangki muatan ke dalam kompartemen-kompartemen dengan maksud untuk memperkecil aliran keluar minyak apabila terjadi kocelakaan di laut.

Selanjutnya konvensi 1954 tersebut berikut amandemen-amandemennya disidangkan yang hasilnya, konvensi internasional tentang Pencegahan Pencemaran Laut dari Kapal (International Convention for the Prevention of Pollution from Ship) tahun 1973 dan yang kemudian disempurnakan dengan TSPP (Tanker Safety and Pollution Prevention) Protokol tahun 1978 biasa disebut dengan MARPOL 1973 protokol 1978 memuat 5 (lima) Annex yang berlaku hingga sekarang .

Di dalam Marpol 73 Protokol 1978 terdapat terdapat 5 ANNEX yang dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2.1 : Annex I-V MARPOL 73/78 Marpol ’73 Protokol 1978

ANNEX I Peraturan pencegahan pencemaran oleh minyak. Mulai berlaku tanggal 2 Oktober 1983

ANNEX II Peraturan bagi pengawasan pencemaran oleh bahan kimia cair yang berbahaya dalam jumlah besar. Mulai berlaku tanggal 6 April 1987

ANNEX III Peraturan untuk pencegahan polusi dari bahan-bahan berbahaya yang dibawa melalui laut dalam

Marpol ’73 Protokol 1978 bentuk kemasan.

Mulai berlaku tanggal 1 Juli 1991

ANNEX IV Peraturan untuk pencegahan pencemaran oleh kotoran buangan dari kapal.

Belum diberlakukan

ANNEX V Peraturan pencemaran oleh sampah dari kapal Mulai berlaku tanggal 31 Desember 1988

MARPOL 73/78 mempersyaratkan kepada setiap Negara yang termasuk dalam konvensi ini untuk menyediakan fasilitas pengelolaan di pelabuhan yang memadai tanpa menyebabkan penundaan pelayaran.

MARPOL 73/78 yang terdiri dari 20 (dua puluh) pasal 2 (dua ) protokol dan 6 (enam) Annex yang berisi peraturan-peraturan tentang pencegahan pencemaran limbah dari kapal. Klasifikasi limbah menurut MARPOL 73/78 adalah sebagai berikut : 1) Annex I : pencegahan pencemaran oleh minyak

Adalah minyak dan campuran minyak yang berupa : - minyak pelumas bekas

- residu bahan bakar - sludge

- oily bilge water

- limbah air balas (dirty ballast water)

- air cucian tangki minyak (oily tank washing) - minyak mentah

- bahan bakar

- oil refuse dan produk turunannya

- campuran yang mengandung minyak (oily mixture) 2) Annex II : pencegahan pencemaran oleh limbah cair

berbahaya.

Adalah limbah cair berbahaya dalam bentuk curah, contohnya bahan-bahan kimia dalam jumlah besar.

Material yang diatur dalam annex II dibagi dalam 4 katagori yaitu :

Katagori A

Material cair berbahaya dan atau beracun yang bila dibuang dari tank cleaning atau kegiatan deballasting ke laut akan menimbulkan bahaya besar pada sumber daya laut atau kesehatan manusia atau menyebabkan kerusakan serius pada fasilitas atau penggunaan laut yang sah.

Kategori B

Seperti katagori A, tetapi menimbulkan bahaya atau menyebabkab kerusakan, untuk itu perlu diterapkan pengaturan baku mutu yang lebih ketat.

Kategori C

Seperti katagori A, tetapi menimbulkan bahaya kecil atau meyebabkan kerusakan kecil, maka perlu diterapkan pengaturan baku mutu yang tidak terlalu ketat.

Kategori D

Seperti katagori A, tetapi menimbulkan bahaya yang dapat dikenali atau menyebabkan kerusakan minimal, maka perlu dibutuhkan perhatian dalam kondisi pengoperasiannya.

3) Annex III : pencegahan pencemaran bahan berbahaya dalam kemasan

Adalah bahan-bahan berbahaya dalam kemasan , walaupun diangkut melalui transportasi laut , namun jika kemasan tersebut rusak dan isinya tumpah maka fasilitas pengumpulan yang dibutuhkan adalah seperti dalam annex V.

4) Annex IV : pencegahan pencemaran limbah cair domestik dari kapal

Adalah limbah cair domestik dari kapal yang terdiri dari : - Drainase dan atau pembuangan lainnya dari toilet,

urinoir dan water closet (wc)

- Drainase dari kegiatan yang berhubungan dengan pengobatan melalui wash basin, wash tub dll

- Drainase dari ruangan/bagasi hewan hidup - Dan lain-lain yang tercampur dengan air drainase. 5) Annex V : pencegahan pencemaran sampah dari

kapal

Adalah sampah dan limbah lainnya yang dihasilkan dari kegiatan pelayaran kapal (cair dan padat)

6) Annex VI : pencegahan pencemaran udara dari kapal Adalah emisi yang dihasilkan dari kapal sandar yang berupa :

- Bahan perusak lapisan ozon - Nitrogen oksida (NO) - Sulfur oksida (SO)

- Senyawa organic volatile (VOC) - Emisi dari inersi di kapal

Annex I dan II adalah wajib dilaksanakan oleh negara-negara yang telah meratifikasi atau menerima MARPOL 73/78, sedangkan annex-annex lainnya bersifat pilihan dan setiap negara dapat memutuskan kapan mereka siap untuk melaksanakan setiap annex tersebut. Pada bulan Juli 1999 annex I, II, III dan V harus segera ditaati.

Pendekatan yang dilakukan IMO untuk mencegah jangan sampai terjadi tumpahan minyak atau pembuangan campuran minyak ke laut yakni melakukan kontrol pada struktur kapal yang dilakukan pada awal tahun 1970-an.

Selanjutnya IMO pada tahun 1984 melakukan beberapa modifikasi yang menitik beratkan pencegahan hanya pada kegiatan operasi tanker pada annex I dan yang terutama adalah keharusan kapal dilengkapi dengan Oily Water Separating Equipment dan Oil Discharge Monitoring Systems.

22. Basel Convention on the Control of Transboundary Movement of

Dalam dokumen BAB II STUDI PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI (Halaman 40-49)

Dokumen terkait