• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cerpen ini nampak seperti sekuel dari cerpen sebelumnya yaitu ‘Cermin Peninggalan’. Diletakkan pada halaman setelah cerpen ‘Cermin Peninggalan’, membuat pembaca tetap terjaga pada kasus dan situasi yang hampir sama. Hanya saja, pada cerpen ‘Rumah Warisan’ ini, pengarang telah menamai anak

66

perempuan, dengan nama Ragil. ‘Rumah Warisan’ berkisah mengenai kakak beradik yang baru saja ditinggal mati ibunya memperdebatkan rumah warisan milik orang tua mereka.

Masa duka dipandang sebagai waktu tidak tepat untuk membahas pembagian rumah warisan, sebuah ketidaketisan dalam cerpen ini, adalah poin yang ingin dimaksudkan oleh pengarang. Hal ini disampaikan melalui sosok Ragil yang menentang kakak-kakaknya. Dapat diketahui bahwa subjek pencerita dalam cerpen ini adalah Ragil. Sementara objeknya adalah kakak-kakak lelaki Ragil.

Dalam cerpen ini, subjek dan objek diberikan porsi yang sama untuk menyatakan pandangannya mengenai rumah warisan. Yang menjadi berbeda adalah pendapat dan pandangan siapa yang menang dalam cerita ini dan siapa yang dikucilkan

Sebagai subjek, kehadiran dan pendapat Ragil tidak mendapat perhatian saudara-saudaranya. Ragil dikucilkan dalam diskusi keluarga itu. Pendapat Ragil yang dikatakan lebih bijaksana, karena ia memahami nilai-nilai sosial dalam masyarakatnya, sebenarnya bukan hendak memuji Ragil, tapi justru

"Sudah!Sudah! Ngaco, kalian semua! Ngomong tidak berperasaan!" Isak tangis dari Ragil, adik perempuan mereka, menampar setiap mulut sehingga langsung terdiam.

"Ragil, aku tahu kamu tidak memikirkan soal duniawi ini, karena kamu memang menjadi pemimpin umat bersama suamimu. Begitu juga aku. Selain berhasil menjalankan ibadah tertinggi dalam agamaku, aku tetap mengimbangi dengan sukses duniawi seperti usahaku jadi jadal sapi yang sukses bersama mbakyumu, istriku! Tapi kakak-kakakmu? Lihat, bisa apa mereka? Mencari nafkah saja dengan membesarkan betis... " “Rumah ini adalah rumah Emak dan Bapak, cermin kehadiran beliau berdua. Pasti beliau berdua pun membagi rumah ini bagi kita berenam,” tiba-tiba Tri, anak nomor tiga, berkata dengan suara keras.

“Apa maksudmu Tri?”

“Kita masih dalam suasana duka” ……..

“Karena aku yang paling mampu, maka aku yang akan membeli rumah ini.”

67

menyindir Ragil untuk tidak terlalu ketat terhadap nilai-nilai tersebut. Hal ini terbukti dari pendapat kakak-kakaknya.

Tidak hanya dikucilkan, dari awal penceritaan, sebelum perdebatan mengenai rumah warisan, pengarang memperlihatkan kepada pembaca bagaimana kakak-kakak Ragil memperlakukan Ragil secara berbeda.

Selain tidak jujur pada Ragil, mereka juga menguburkan ibunya berdasar atas adat kebiasaan yang mereka anut, bukan iman keyakinan mereka. Tampak diabaikannya posisi Ragil sebagai pemimpin agama. Dasar dari perlakuan yang dialami Ragil ini adalah karena dia anak bungsu, perempuan pula.

Walaupun dikucilkan, Ragil bukanlah seorang yang kalah. Objek yang diceritakan, mereka lelaki kuat dan kakak-kakak yang penuh kuasa, namun di akhir cerita mereka mengalami kekalahan. Suatu kekalahan besar, bukan kalah karena harta, tapi kehilangan reputasi baik di mata masyarakat. Hal ini karena dalam berpikir logis, seringkali mereka mengabaikan nilai-nilai sosial yang berlaku dalam masyarakat.

"Catur sebentar lagi tiba."

"Apa Ragil sudah dalam perjalanan?" tanya anak lelaki ketiga yang paling percaya diri menjadi pemimpin perkabungan. "Sudah. Namun, ia hanya dikabari bahwa Emak dalam kondisi kritis."

"Itu bukan kemauanku, anakku. Saudara-saudaramu yang menginginkan jasad Emakmu ini segera dimakamkan sebelum petang."

"Bukankah Emak masih bisa disemayamkan malamnya diiringi doa-doa penghiburan dan baru dimakamkan esok ahrinya, ketika aku sudah pasti tiba?"

"Ragil, Emak tak kuasa menahan kakak-kakakmu. Sedang mereka bersiteguh dengan adat kebiasaan yang mereka kenal.

Sejak saat itu, sekembalinya ke kota tempat tinggalnya, Ragil tidak pernah lagi berkunjung ke rumah yang baru saja ditinggalkan emaknya. Sedang kakak-kakaknya, Eko, Tri, Catur tersekat tenggorokannya. Tri yang mengumbar hasrat sebelum waktunya itu, meneguk ludah sendiri wajahnya merah, menanggung cibiran dan sorotan mata menghina dari siapapun yang terhitung keluarga dan para tetangga.

68

Hasil akhir ini ditampilkan oleh pengarang, agar pembaca menilai sendiri seperti apa sebenarnya kakak-kakaknya yang laki-laki ini memperlakukan adik bungsunya, yang adalah perempuan beserta akibat yang diterima. Pengarang menempatkan pembaca sebagai pihak yang pro dengan Ragil.

Selain itu, cuplikan narasi ini semakin memperkuat pemosisian pembaca sebagai Ragil. Posisi pengarang sebagai narator memperlihatkan posisinya yang cenderung mendukung Ragil. Pembaca tidak hanya diajak untuk merasakan perlakuan yang tidak adil yang dialami Ragil, tetapi pengarang sebagai narrator juga mengajak pembaca untuk tidak ragu mendukung Ragil lewat apa yang disampaikan narrator.

5.6.3. Feminis Liberal

Gambaran perempuan ditampilkan kontras dalam cerpen ini. Ragil, sebagai perempuan pemimpin umat, tidak mendapat tempat dalam keluarganya. Dia tidak diberi kesempatan oleh saudara-saudaranya untuk mengantarkan pengkuburan ibunya.

Tidak hanya itu, dalam perdebatan mengenai rumah warisan pun, pendapat Ragil diabaikan. Posisinya sebagai pendeta, justru dijadikan alasan oleh kakak- kakaknya untuk menyangkal pendapat Ragil dalam pembicaraan rumah warisan. Menjadi bungsu dan seorang perempuan memang membuat pendapat Ragil tidak dihargai dan dikucilkan. Di Asia, perempuan umumnya dilihat sebagai pelengkap laki-laki dan dihormati sebagai ibu. Perempuan kurang berhak atas warisan dan kedudukan sangat lemah (Frommel, 2006:19).

Mereka merasa masih melihat kehadiran kedua orangtua terkasih di antara wajah-wajah mereka dalam cermin. Darah yang mengalir dalam tubuh mereka adalah darah orang tua yang sama. Tapi mengapa harus ada perasaan aneh itu?

"Ragil, aku tahu kamu tidak memikirkan soal duniawi ini, karena kamu memang menjadi pemimpin umat bersama suamimu. Begitu juga aku. Selain berhasil menjalankan ibadah tertinggi dalam agamaku, aku tetap mengimbangi dengan sukses duniawi seperti usahaku jadi jadal sapi yang sukses bersama mbakyumu, istriku! Tapi kakak-kakakmu? Lihat, bisa apa mereka? Mencari nafkah saja dengan membesarkan betis... "

69

Pengarang ingin menyampaikan kepada pembaca bahwa laki-laki dalam cerpen ini adalah sosok yang ‘mau gampangnya’ yang selalu mengandalkan pikiran logis. Berkumpulnya semua keluarga adalah pilihan waktu yang masuk akal untuk membicarakan rumah warisan, faktanya kedua orang tua pun telah meninggal, siapa yang akan menempati dan memilikinya. Sementara Ragil ditampilkan sebagai anak yang sayang orang tuanya. Bagi Ragil persaudaraan harus tetap dipertahankan tanpa berebut soal warisan. Bahwa di sini kembali diungkapan bahwa perempuan lebih memakai perasan dan menghayati suatu kehidupan, menghayati mengenai bagaimana hubungan mereka dengan yang lain.

Walaupun ditemukan stereotip gender bahwa pria cenderung berpikir logis perempuan menggunakan perasaannya. Akan tetapi dalam cerpen ini ditemukan hal yang berbeda, sejurus dengan pandangan feminis liberal, pengarang ingin menunjukan bahwa setiap manusia punya kapasitas untuk berpikir dan bertindak secara rasional, begitu pula pada perempuan. Jika perempuan mendapat pendidikan yang sama maka perempuan juga mampu bersikap seperti lak-laki. Ragil, sebagai pendeta, ia adalah seorang intelektual dan spiritualis, apa yang dilakukan perempuan sebenarnya bukan hanya karena dia menggunakan perasaan, tapi karena kesadarannya akan realita dalam masyarakat, norma yang berlaku yang harus dipatuhi sehingga tidak membuat keluarga ini dikucilkan oleh lingkungan sosial. Karena di akhir cerita, ditunjukan akibat atas ketidakpedulian kakak-kakaknya, yang hanya mengandalkan kelogisan pikiran, tanpa memerhatikan norma sosial.

"Sudah!Sudah! Ngaco, kalian semua! Ngomong tidak berperasaan!" Isak tangis dari Ragil, adik perempuan mereka, menampar setiap mulut sehingga langsung terdiam.

Sedang kakak-kakaknya, Eko, Tri, Catur dan ponco tersekat tenggorokannya. Tri, yang mengumbar hasrat sebelum waktunya itu, meneguk ludah sendiri. Wajahnya merah menanggung cibiran dan sorotan mata menghinda dari siapapun yang terhitung keluarga dan para tetangga.

“Kuburan orang tua masih basah, sudah ribut soal warisan…” celoteh mereka.

70

Perempuan dalam cerpen ini meskipun tidak mendapat tempat dalam keluarganya, namun ia tampil sebagai seorang perempuan yang memiliki kedudukan tinggi sebagai pendeta dan berani berpendapat. Kekesalan terhadap sikap saudara-saudaranya pun membuatnya bertindak tegas dengan tidak pernah kembali ke rumah warisan orang tuanya.

Penempatan Ragil sebagai subjek mengandung muatan ideologis tertentu. Meski ditulis oleh laki-laki, tapi pengarang justru mengangkat realitas ini dengan sudut penceritaan Ragil. Kelelakian pengarang tidak lantas membuatnya sepakat atas dominasi kakak-kakak lelaki Ragil. Karena dominasi kakak-kakak itu tidak menghargai Ragil, sebagai saudara kandungnya. Dan dibalik alasan logis kakak- kakak memperebutkan rumah warisan, pengarang melihat hal ini adalah ketidaketisan. Atas alasan itu, maka pengarang menampilkan dampak dari perbuatan kakak-kakak Ragil.

Tabel 5.6.3

Represetasi Feminis dalam Cerpen ‘Rumah Warisan’ Pertama Realitas

Perdebatan rumah warisan antar saudara ditandakan melalui dialog antar saudara. Realitas ini menampilkan sosok Ragil yang tidak dihargai dan dikucilkan oleh saudaranya yang semua laki-laki. Namun kekalahan justru terjadi di pihak kakak-kakaknya.

Kedua Representasi

Realitas tersebut digambarkan melalui penempatan Ragil sebagai subjek pencerita. Dan kakak-kakak Ragil sebagai objek yang diceritakan

Ketiga Ideologi

Hal tersebut mengandung ideologis tertentu. Kelelakian pengarang tidak lantas membuatnya sepakat atas dominasi kakak-kakak lelaki Ragil. Bukan karena Ragil

71

terlalu berperasaan, tapi kemampuan intelektual dan spiritual Ragil justru lebih jeli melihat norma sosial di masyarakat dibanding kakak-kakaknya. Sehingga dapat diketahui ideologi pengarang mencerminkan pandangan feminis liberal.

5.7. CERPEN 7

Dokumen terkait