• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kisah suami istri yang menjadi korban banjir dan sedang mengungsi di sebuah rumah ibadat milik umat beragama lain. Di tempat peribadatan itu berkumpul semua orang dari wilayah sekitar rumah ibadat yang besar tersebut. Di sana, para istri terlibat di dapur umum, sementara para laki-laki membantu di posko bencana. Saat bantuan datang, para lelaki segera berkumpul menuju posko bencana banjir.

Masalah terjadi saat seorang lelaki menanyakan kepada pemimpin rapat, apakah orang yang beragama lain harus kita bantu atau dibiarkan saja. Hal ini sontak melukai perasaan tokoh suami. Ia pun segera mendatangi istrinya, menceritakan kejadian yang terjadi. Istrinya menjadi teman curhat suami. Meski tidak turut menyaksikan kejadian tersebut, istrinya turut merasakan bagaimana mereka yang berbeda keyakinan mengalami diskrimasi di tengah bencana banjir.

83 5.9.2. Interpretasi Cerpen “Korban Banjir”

Cerita pendek ini mengisahkan sepasang suami istri yang sedang menjadi korban banjir, mengalami diskriminasi agama. Suaminya adalah orang pertama yang mengalami hal ini, karena kejadian itu terjadi disaat pembagian bahan pangan di posko, dimana para lelaki berkumpul dan bertugas di tempat itu.

Yang menarik dalam penceritaan ini adalah pengarang memainkan perannya sebagai sosok istri. Penyebutan kata ganti ‘kami’ untuk kaum wanita memberikan gambaran yang jelas kecenderungan cerpen ini terhadap tokoh istri.

Dalam cerpen ini yang pertama terlihat bagaimana istri ditempatkan sebagai subjek. Dari awal pengarang menampilkan narasi yang mengacu pada sosok istri ini melalui gambaran pembagian tugas di pengungsian banjir. Seperti yang diuraikan di atas, pengarang menggunakan kata ganti ‘kami’ yang mengacu pada kaum wanita, menandakan bahwa pencerita dalam cerpen ini adalah perempuan. Selain itu, bukti lain dapat dilihat pada cuplikan berikut.

Tokoh suami memang yang mengetahui dan mengalami lebih dulu diskriminasi tersebut. Akan tetapi, bagaimana diskrimasi ditemukan oleh

Dapur umum telah didirikan. Posko bencana banjir berdiri di depan rumah ibadat. Segera kami berbagi tugas. Para laki- laki membantu di posko-posko itu, sedangkan kami kaum wanita terlibat di dapur umum. Sisanya duduk di alas tidur masing-masing bersama anak-anak yang masih kecil.

"Bu… kepalaku pusing," keluhnya

"Ini digosok dengan minyak angin, Pak. Lapar ya, Pak ? Kedinginan…?"

"Lebih dari itu, bu" "Kenapa?"

"Perasaanku yang terluka." "Ada apa?"

"Pada saat kondisi banjir seperti ini.. Masih ada diskriminasi."

Aku terdiam.

Kami berharap, diskriminasi itu hanya sebatas kata tanya tanpa pikiran serius. Sebagai sesama umat manusia, kami korban banjir dari agama lain yang ikut mengungsi di rumah ibadah yang bukan rumah ibadah agama kami, pun butuh penerimaan bukan setengah hati.

84

suaminya dan mengena pada pasangan suami istri tersebut, diceritakan oleh tokoh istri kepada pembaca. Bagaimana pembaca mengetahui bahwa hal pembagian sembako itu ternyata melukai perasaan juga diungkapkan oleh tokoh istri sebagai pencerita. Apa akibatnya? Teks ini memberikan gambaran yang berbeda mengenai sosok perempuan. Perempuan dalam cerpen ini tidak lagi tampil sebagai kanca wingking, tapi sebagai partner suami dan penolong dalam perjuangan hidup. Dia juga perempuan yang cerdas dan kritis. Melalui suaranya, dia menyentil nurani pembaca akan diskrimasi agama, agar tidak terjadi lagi diskriminasi terhadap mereka yang minoritas. Tidak disebutkannya salah satu agama juga merupakan cara bijak untuk tidak melakukan generalisasi tindak diskriminasi pada salah satu agama atau penghakiman terhadap agama tertentu.

Dalam pembacaan dominan, pembaca diposisikan sebagai tokoh istri. Dengan diposisikan sebagai tokoh istri, harapannya pembaca pun menjadi kritis saat menghadapi masalah sejenis.

5.9.3. Feminis Liberal

Memang masih terdapat dikotomi pekerjaan antara laki-laki dan perempuan, hal ini digambarkan sebagai cerminan yang terjadi dalam masyarakat kita saat banjir. Laki-laki berada di posko bantuan, sementara para perempuan sibuk di dapur umum.

Meski demikian, seperti diungkapkan di atas, tokoh perempuan dalam istri ini ditampilkan berbeda. Karena dia tampil sebagai teman sekaligus penolong bagi suaminya. Saat mendengar cerita dari suaminya, ia tidak kian memanas-manasi permasalahan itu. Perempuan ini justru terdiam. Ibarat minyak yang dipanasi, perempuan ini tidak memasukan bongkahan es ke dalam api, hingga tidak menyulut percikan panas. Dirinya berusaha memadamkan api itu melalui pertanyaan kritis yang diajukan.

Di akhir cerita kita dapat mengetahui bagaimana perempuan ini mengatasnamakan dirinya dan suaminya menyampaikan pikiran kritisnya mengenai diskriminasi yang menimpa mereka. Hal ini menunjukan bahwa perempuan pun memiliki kapasitas untuk berpikir rasional dan kritis, seperti poin

85

perjuangan dari feminis liberal. Feminis liberal sangat menitikberatkan perjuangannya pada ide keunikan manusia yang otonom yang mampu membuat pilihan-pilihan bebas karena rasionalitasnya. Penempatan perempuan sebagai pencerita kian mencerminkan ideologi feminisme liberal.

Tabel 5.9.3

Representasi Feminis dalam Cerpen ‘Korban Banjir’ Pertama Realitas

Sepasang suami istri yang sedang menjadi korban banjir, mengalami diskriminasi agama di tempat pengungsian, yaitu rumah ibadat umat agama lain.

Kedua Representasi

Realitas ini ditandakan melalui penceritaan yang dilakukan oleh tokoh istri. Sebagai seorang yang tidak mengalami diskrimasi tersebut, hal ini menghilangkan gagasan dari tokoh suami sebagai tokoh yang menyaksikan langsung bagaimana dirinya dikucilkan. Karakter perempuan yang diam dan tidak memanas- manasi masalah juga menciptakan realitas diskrimasi yang berbeda, karena didefinisikan dan ditampilkan dengan cara yang berbeda.

Ketiga Ideologi

Hal tersebut mengandung ideologis tertentu. Teks ini memberikan gambaran yang berbeda mengenai sosok perempuan. Perempuan dalam cerpen ini tidak lagi tampil sebagai kanca wingking, tapi sebagai partner suami dan penolong dalam perjuangan hidup. Dia juga perempuan yang cerdas dan bijak, dengan sikapnya yang ia tidak kian memanas-manasi permasalahan itu, tetapi justru terdiam. Pemikiran tentang diskriminasi yang disampaikan di akhir cerita mencerminka n poin

86

perjuangan feminis liberal, bahwa perempuan ternyata juga mampu berpikir rasional dan kritis.

5.10.CERPEN 10

Dokumen terkait