• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interpretasi Data

Dalam dokumen 4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN (Halaman 34-40)

Dalam penelitian ini, menggunakan 3 film layar lebar yaitu Meraih Mimpi, Obama Anak Menteng dan Lima Elang. Film Meraih Mimpi, Obama Anak Menteng dan Lima Elang merupakan film cerita panjang (Feature-Length Films), yaitu film dengan durasi lebih dari 60 menit pada umumnya berdurasi 90-100 menit. Film yang diputar di bioskop umumnya termasuk dalam kelompok ini (Effendy, 2002, p. 11). Film Meraih Mimpi memiliki durasi 78 menit, Obama Anak Menteng memiliki durasi 96 menit, sedangkan film Lima Elang memiliki durasi 87 menit. Ketiga film tersebut sesuai dengan kriteria film cerita panjang dan ketiga film ini tergolong film teatrikal yang diproduksi secara khusus untuk dipertunjukkan di gedung-gedung pertunjukkan atau bioskop (cinema). Film ini dibuat secara mekanik (Effendi, 2003, p. 201).

Dari hasil dan temuan data, ditemukan bahwa jenis-jenis kekerasan yang terdapat dalam 3 film Indonesia anak, yaitu Meraih Mimpi, Obama Anak Menteng dan Lima Elang adalah kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, kekerasan finansial dam kekerasan relasional sesuai dengan teori kekerasan yang dikemukakan Santoso (Santoso, 2002, p. 11). Dari banyaknya jenis kekerasan yang ada, terdapat jenis kekerasan yang sering ditunjukkan atau jenis kekerasan yang dominan dibanding jenis kekerasan yang lain. Jenis kekerasan yang dominan tersebut dari keseluruhan film adalah kekerasan psikologis yaitu dengan mendapatkan persentase sebesar 63 persen. Berdasarkan data yang diperoleh, film-film Indonesia untuk anak-anak dengan sutradara yang berbeda, setting yang berbeda dan cerita yang berbeda lebih mengacu pada hal-hal atau masalah-masalah yang berhubungan dengan psikologis penontonnya yaitu anak-anak. Sedangkan jenis kekerasan yang paling jarang ditunjukkan dalam ketiga film tersebut yaitu jenis kekerasan finansial, karena masalah finansial atau hal yang berhubungan dengan materi bukan merupakan permasalahan anak-anak, melainkan permasalahan orang dewasa maka dari itu dalam film-film untuk anak jarang ditemukan kekerasan finansial. Walaupun ditemukan kekerasan finansial dan kekerasan seksual di dalam film, hanya mendapat persentase paling kecil dibanding jenis kekerasan lainnya.

72

Universitas Kristen Petra

Jika dilihat secara rinci, kekerasan psikologis memiliki beberapa sub-indikator, diantaranya adalah membentak, menyumpah, mengancam, merendahkan/menghina, memerintah, melecehkan, menguntit dan memata-matai (Santoso, 2002, p. 11). Dari beberapa sub-indikator tersebut, sub-indikator yang sering ditunjukkan dalam keseluruhan film adalah sub-indikator membentak yang mendapat perolehan persentase sebesar 31 persen. Hal ini berarti bahwa sub-indikator membentak merupakan sub-sub-indikator yang mendominasi dalam 3 film ini. sedangkan sub-indikator yang jarang ditunjukkan adalah sub-indikator menguntit dengan mendapat persentase sebesar 2 persen. Adanya hasil tersebut, dapat diketahui bahwa film-film layar lebar dengan kategori anak, dibuat untuk anak-anak dan sebagian besar diperankan oleh anak-anak ternyata juga mengandung kekerasan yang di dominasi kekerasan psikologis dan yang berikutnya kekerasan fisik. Sedangkan jenis kekerasan yang jarang ditunjukkan dari keseluruhan film adalah jenis kekerasan finansial tetapi di dalam film Meraih Mimpi peneliti menemukan kekerasan finansial dalam bentuk korupsi. Peneliti tidak memasukkan dalam lembar koding karena keterbatasan teori kekerasan Santoso.

Kekerasan fisik merupakan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban dengan berbagai cara, contoh memukul, menampar, mencekik, menendang, melempar barang ke tubuh, menginjak, melukai dengan tangan/senjata, menganiaya, membunuh. Kekerasan psikologis merupakan kekerasan yang dilakukan oleh pelaku terhadap mental korban, contoh dengan cara membentak, menyumpah, mengancam, merendahkan, memerintah, menguntit, dan memata-matai. Kekerasan seksual merupakan tindakan yang mengarah pada desakan seksual, seperti menyentuh, meraba, mencium, ucapan pelecehan seksual, memaksa berhubungan seks. Kekerasan finansial diantaranya mencuri uang korban, menahan atau tidak memberi pemenuhan kebutuhan finansial korban, mengendalikan dan mengawasi pengeluaran uang sampai sekecil-kecilnya. Sedangkan kekerasan relasional merupakan kekerasan yang berakibat negatif pada hubungan antar personal atau hubungan sosial di tengah masyarakat, seperti menggunjingkan, mempermalukan, menggencet (bullying), memusuhi, melalaikan tanggung jawab, dan mengutamakan kepentingan diri

73

Universitas Kristen Petra

sendiri (Santoso, 2002, p. 11). Dalam ketiga film, kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan psikologis dan cenderung menampilkan komunikasi verbal seperti membentak, menyumpah, mengancam, merendahkan/menghina, memerintah, melecehkan yang digunakan sebagai sub-indikator. Dari beberapa sub-indikator tersebut, jenis kekerasan membentak yang paling dominan. Reaksi-reaksi emosional seperti membentak atau marah, menanggapi orang lain dengan kasar dan perilaku agresif lain yang diobservasi oleh anak dalam sebuah tayangan cenderung disimpan anak dalam bentuk cognitive form dan waktu anak berada dalam situasi yang sama, cognitive form tersebut akan aktif mempengaruhi anak untuk memberikan reaksi emosional yang sama (Gunarsa, 2004, p. 182).

Pada tahun 2006, Etsa Dwiningrum, mahasiswa Universitas Kristen Petra Surabaya, melakukan penelitian mengenai kekerasan yang terdapat dalam film kartun Tom and Jerry. Film kartun Tom and Jerry merupakan film kartun buatan MGM Hollywood pada tahun 1940. Temuannya menunjukkan bahwa film kartun Tom and Jerry merupakan film yang mengandung kekerasan. Jenis kekerasan yang terdapat dalam film Tom and Jerry antara lain jenis kekerasan fisik, kekerasan terbuka, kekerasan tertutup, kekerasan agresif, kekerasan defensif, dan kekerasan kolektif. Jenis kekerasan yang dominan dalam film Tom and Jerry adalah jenis kekerasan terbuka. Jenis kekerasan terbuka adalah jenis kekerasan yang dapat dilihat secara langsung, seperti perkelahian (http://dewey.petra.ac.id/jiunkpe_dg_8194.html).

Pada tahun 2007, Fransisca Mariantje, mahasiswa Universitas Kristen Petra Surabaya, melakukan penelitian mengenai kekerasan yang terdapat dalam film South Park. South Park adalah film animasi Amerika yang disiarkan oleh Comedy Central sejak tahun 1997 di salah satu stasiun televisi Amerika. Temuannya menunjukkan bahwa film South Park merupakan film yang mengandung kekerasan. Jenis kekerasan yang terdapat dalam film South Park antara lain kekerasan verbal, kekerasan fisik dan kekerasan simbolik. Jenis kekerasan yang dominan dalam film South Park adalah kekerasan simbolik. Kekerasan simbolik merupakan kekerasan yang menggunakan alat, misalnya

74

Universitas Kristen Petra

batang pohon, tombak, traktor, kursi, pisau sekop dan besi penyetrum (http://dewey.petra.ac.id/jiunkpe_dg_5251.html).

Pada tahun 2012, Rony Gunawan, mahasiswa Universitas Kristen Petra Surabaya, melakukan penelitian mengenai kekerasan yang terdapat dalam film animasi pendek. Film animasi pendek yang diteliti adalah film Shaun the sheep, Larva, Oscar’s Oasis, The Owl, Glumpers. Kelima film kartun tersebut ditayangkan di media televise Indonesia dan mengandung kekerasan. Jenis kekerasan yang terdapat di dalam 5 film tersebut antara lain: kekerasan kartun, kekerasan fantasi, kekerasan fisik, melibatkan objek, kebakaran, tersirat, kekerasan verbal. Film Shaun the sheep mengandung kekerasan yang dominasi kekerasan fantasi. Jenis kekerasan fantasi adalah kekerasan yang melibatkan hal-hal fantasi seperti robot, alien, hantu, ciptaan-ciptaan yang lainnya. Film Larva didominasi kekerasan kartun. Jenis kekerasan kartun adalah kekerasan yang tidak ada di dunia nyata dan hanya ada pada kartun, contohnya pada kartun Tom and Jerry, dimana Jerry memukul Tom dan memasukkan Tom ke dalam botol, sehingga tubuh Tom berbentuk seperti botol. Film Oscar’s Oasis dan The Owl mengandung kekerasan yang didominasi kekerasan fisik, dan film Glumpers didominasi oleh kekerasan kartun.

Berdasarkan temuan-temuan hasil penelitian terdahulu yang membuktikan bahwa di dalam film-film animasi untuk anak baik berdurasi panjang maupun berdurasi pendek, sampai film layar lebar Indonesia untuk anakpun dipenuhi kekerasan yang di dominasi kekerasan psikologis. Temuan-temuan tersebut member bukti bahwa anak-anak sekarang dikepung oleh banyak kekerasan melalui media film. Hal ini dapat memberikan dampak yang negatif pada anak bila anak terus diberi tontonan penuh dengan kekerasan. Menurut hasil studi tentang kekerasan di media di Amerika Serikat pada tahun 1995, ditarik 3 kesimpulan menarik. Pertama, tayangan kekerasan meningkatkan perilaku agresif. Kedua, melihat tayangan kekerasan berulang-ulang menyebabkan ketidakpekaan terhadap kekerasan dan penderitaan korban. Ketiga, tayangan kekerasan dapat menghilangkan rasa takut sehingga akan menciptakan representasi dalam diri pemirsa bahwa betapa berbahayanya dunia (Haryatmoko, 2007, p. 124). Film

75

Universitas Kristen Petra

Meraih Mimpi, Obama Anak Menteng dan Lima Elang menunjukkan berisi banyak kekerasan dan bila film-film tersebut ditonton berulang kali oleh anak, kemungkinan dapat menyebabkan anak menjadi tidak peka kekerasan dan lingkungannya yang mengalami kekerasan, maka akan juga berdampak bagi kehidupan sosial anak. Seharusnya media massa membantu anak masuk dalam kehidupan masyarakat dengan menunjukkan perilaku dan norma dominan kepada mereka, hal ini disebut pembelajaran observasional (Vivian, 2008, p. 484). Justru media massa membuat anak mempelajari perilaku-perilaku menyimpang dari media tersebut dan mempraktekkannya di dunia nyata. Didukung dengan teori yang dikemukakan George Gerbner, ia yang mencemaskan terdapat banyak adegan kekerasan di media maka dari itu ia melakukan penelitian dengan menyusun indeks kekerasan dan menghitung adegan kekerasan di media. Dalam penelitiannya, Gerbner berteori bahwa kekerasan media memberikan efek negatif kepada masyarakatnya, inilah yang disebut “the mean-world syndrome”, yang artinya orang menganggap dunia adalah tempat yang jauh lebih berbahaya dibandingkan yang sebenarnya (Vivian, 2008, p. 494).

Kekerasan sering kali dilekatkan pada efek media, dengan setiap bentuk medium baru menarik kritik bagi kebangkitan perilaku sosial yang tidak diinginkan. Film memiliki konten yang rentan membuat kecemasan publik dan mempunyai efek yang ditimbulkan dari konten kekerasan tersebut (Hartley, 2010, p. 141). Dari temuan-temuan tersebut, dapat diketahui bahwa tontonan untuk anak-anak dipenuhi dengan kekerasan baik dalam film animasi berdurasi panjang, film animasi pendek, bahkan film layar lebar untuk anak pun dipenuhi dengan kekerasan, sehingga anak-anak sedang dikepung oleh tayangan-tayangan kekerasan dan akan menimbulkan efek dari tayangan kekerasan tersebut. Seperti contoh kasus di Manteca, California, dua anak umur 13 tahun memukul ayahnya dengan kayu bakar, lalu menendang dan mencekiknya dengan rantai anjing hingga tewas. Mereka mengaku bahwa dia melihat tindakan itu di film. Contoh lain, kasus di California tahun 1974 dimana dua gadis yang sedang bermain di pantai diperkosa dengan menggunakan botol bir oleh empat remaja. Mereka juga mengaku mendapat ide tersebut dari sebuah film yang mereka tonton empat hari sebelumnya (Vivian, 2008, p. 485).

76

Universitas Kristen Petra

Tayangan-tayangan kekerasan dapat berpengaruh negatif terhadap seorang anak. Teori-teori perkembangan psikologis mengasumsikan bahwa anak-anak tidak mampu atau tidak bisa mengatasi kekerasan di media (Burton, 2007, p. 374). Maka dari itu anak-anak merupakan sasaran empuk bagi media. Hal ini terjadi karena anak cenderung meniru berbagai perilaku agresif yang diobservasinya atau dilihatnya. Peniruan ini berlangsung secara spontan dan umumnya tanpa sadar, tanpa pemahaman yang lebih mendalam dan baik-buruknya perilaku yang ditiru. Seperti halnya yang dikemukakan Gunter (1994) dalam bukunya Burton bahwa menonton tayangan kekerasan melahirkan peniruan atas perilaku tersebut yang disebut imitation dan menonton kekerasan khalayak menjadi keras, memikirkan kekerasan atau bersikap keras yang disebut desensitization (Burton, 2007, p. 368). Berdasarkan hasil temuan data yang didapat, kekerasan yang paling dominan ditampilkan dalam film layar lebar Indonesia adalah psikologis yang dapat berdampak jangka panjang seperti merubah sikap anak menjadi keras, membentuk kepribadian atau pola pikir dan kepercayaan anak sesuai dengan apa yang diobservasinya. Sesuai dengan perkembangan kepribadian, anak melakukan identifikasi dengan tokoh yang sering diobservasinya. Bila anak terlalu banyak mengobservasi perilaku kekerasan di media, maka pengaruh negatif tayangan kekerasan tersebut makin berdampak dalam kepribadiannya. Kecuali melalui identifikasi, anak menyerap nilai-nilai, cara pikir, pola rasa dan pola laku tokoh-tokoh tersebut. Bila anak banyak menonton perilaku kekerasan dengan cara pikir para tokoh yang negatif, maka anak melakukan proses identifikasi pada pola pikir, pola rasa dan pola laku yang salah. Dibuktikan dalam studi boneka Bobo yang dilakukan oleh Albert Bandura, yang menunjukkan film kekerasan pada anak dan kemudian mengajak anak bermain boneka yang ukurannya besar. Bandura menyimpulkan bahwa anak yang menonton film kekerasan cenderung memukuli boneka itu ketimbang anak lain yang tidak menonton (Vivian, 2008, p. 487).

Selain kekerasan psikologis dan kekerasan fisik yang menerpa anak-anak, peneliti menemukan kekerasan finansial dalam bentuk korupsi yang dapat berakibat buruk untuk anak karena anak sejak dini diajarkan dan diberi contoh korupsi. Tidak menutup kemungkinan korupsi dapat ditiru oleh anak-anak. Di dalam teori belum menyebutkan bahwa korupsi merupakan kekerasan finansial,

77

Universitas Kristen Petra

sehingga peneliti tidak memasukkan korupsi dalam lembar koding. Temuan ini diharapkan dapat melengkapi keterbatasan teori finansial tersebut karena anak-anak sudah diberi contoh cara korupsi melalui film Meraih Mimpi.

Dalam kesimpulan hasil penelitian, ditemukan adanya kontroversi dalam media yang menciptakan perbedaan antara kekerasan yang ada dalam realitas dan kekerasan virtual atau kekerasan fiksi. Kekerasan virtual atau fiksi apakah sama dan mampu merepresentasikan kekerasan yang ada di realitas sesungguhnya. Peneliti menggunakan kekerasan sosiologis atau kekerasan yang ada di realitas dan tidak menggunakan kekerasan virtual karena kekerasan fiksi atau virtual menjadi berbahaya ketika justru memberi kemungkinan baru yang tidak ada di dunia riil. Kekerasan yang ditunjukkan dalam fiksi bukannya tanpa meninggalkan bekas luka pada pemirsanya atau pembacanya, terutama pada anak bisa meninggalkan traumatisme dan perilaku agresif. Kekerasan yang ada dalam fiksi tersebut dapat dikategorikan sebagai kategori hiperrealistis. Ada kepura-puraan dan simulasi dalam kekerasan tersebut, namun efek bagi penontonnya sama atau bahkan lebih dahsyat daripada pertarungan tinju, karate atau bentuk kontak fisik lainnya. Fiksi mampu memproyeksikan keluar dari yang riil dunia yang mungkin meski tidak ada dalam kenyataan. Biasanya meski jauh dari realitas, fiksi masih memiliki pijakan atau analogi dengan dunia riil. Kekerasan yang ditemukan dalam keseharian menemukan pemenuhan tambahan dan pelengkap di virtual. Lalu berlangsung rasionalisasi dan optimalisasi kekerasan riil melalui pemindahan ke lingkup cyber. Bahkan kekerasan imajiner yang sulit dipercaya atau keterlaluan bisa dipresentasikan dalam layar menjadi suatu tampilan fiksi yang menciptakan ilusi realitas (Haryatmoko, 2007, p. 132).

Dalam dokumen 4. ANALISIS DAN PEMBAHASAN (Halaman 34-40)

Dokumen terkait