• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam membentuk identitasnya tersebut, Jovi Adhiguna mengkonstruksikan image bahwa ia seorang aktivis isu sosial, menutupi identitas orientasi seksual dan dapat mendobrak batasan yang sudah ada. Dyer (2004) menyebut hal tersebut sebagai sebuah star image yang dikonstruksi di berbagai kategori teks, tidak hanya penampilan dalam film, tapi juga bentuk publisitas dan promosi. Bintang dimediasi identitas, konstruksi tekstual, agar publik tidak mengetahui seperti apa orang aslinya melainkan image yang ditunjukkan (dalam McDonald, 2000).

Dalam hal sebagai aktivis isu sosial yakni pro LGBT , Jovi mendukung LGBT, dimana LGBT di Indonesia masih dipandang secara negatif. Ia berusaha memperjuangkan kehadiran LGBT dapat diterima melalui pengalaman tidak menyenangkan yang pernah ia rasakan. Jovi mengkonstruksi bahwa LGBT bukanlah hal yang salah, karena kaum LGBT tidak pernah menganggu orang lain. Jovi juga menonjolkan bahwa LGBT adalah pilihan hidup orang masing-masing. Jovi ingin para penontonnya menerima mereka melalui simbol-simbol yang ia sukai. Jovi Adhiguna sebagai seorang bintang adalah sebuah identitas yang dikonstruksi oleh media. Seperti yang dikatakan oleh McDonald (2000), seorang bintang merupakan identitas yang dibentuk melalui media, konstruksi tekstual melalui gambar, media, dan suara untuk mengenal bintang tersebut (Mcdonald, 2000, p. 6-8). Jovi mengkonstruksi dirinya sebagai aktivis pro LGBT.

Jovi menyukai unicorn yang ternyata rambutnya yang berwarna-warni memiliki arti warna pelangi. Warna pelangi sendiri memiliki arti sebagai bendera LGBT yakni bermakna keberagaman. Jovi ingin menciptakan konstruksi bahwa semua orang sama, baik heteroseksual maupun homoseksual. Baik yang LGBT maupun tidak LGBT. Kecintaannya terhadap unicorn membuat dia juga ingin menjadi unicorn. Ia ingin menjadi ikon LGBT yang memperjuangkan haknya di tengah masyarakat yang menolak LGBT.

Jovi juga menyukai burung flamingo berwarna pink. Sehingga saat diajak untuk penggalangan dana bagi pemeliharaan hewan di Indonesia, Jovi memilih burung flamingo. Burung flamingo juga merupakan simbol LGBT. Sehingga, apa yang dilakukan Jovi hanyalah pencitraan, bahwa ia tidak sepenuhnya ingin menyumbang namun juga menyuarakan hak LGBT. Karena burung flamingo sebenarnya berwarna peach, namun dalam penggalangan dana burung flamingo tersebut diberi warna Pink. Padahal, warna pink justru menunjukkan bahwa ia lebih menyuarakan hak LGBT, dalam hal ini komunitasnya.

Di Singapura, komunitas gay menggunakan simbol ―Pink Dot‖ yang berwarna pink atau merah muda. Di sini, Jovi berhasil menyuarakan hak kaum LGBT sehingga membuat kaum LGBT merasa memiliki teman pejuang yang berasal dari publik figur.

Hal lain yang peneliti temukan adalah, saat ditanya tentang LGBT, Jovi cenderung sensitif. Menurut hasil wawancara peneliti dengan Rafael, Ketua Komunitas Gaya Nusantara, semakin sensitif seseorang ditanya tentang LGBT, semakin terlihat bahwa sebenarnya orang tersebut adalah bagian dari kaum LGBT. Di Indonesia, banyak kaum LGBT yang masih dilabel secara negatif, sehingga tidak bisa untuk menyuarakan haknya. LGBT dianggap sebagai penyimpangan sosial di Indonesia. Mereka dianggap sebagai patologi sosial atau ―pesakitan‖ dalam masyarakat dan dianggap berpotensi mengganggu ketertiban sosial. Publik figur dalam hal ini, YouTuber, harus berhati-hati dalam menyuarakan hak kaum LGBT, karena mereka adalah kaum minoritas.

Jika terlalu ditunjukkan, maka haters Jovi pun akan bertambah banyak. Oleh karena itu, ia menjaga namanya sebagai tuntutan profesi, tidak menyuarakan hak kaum LGBT secara ekplisit. Jovi berani secara eksplisit pada saat awal-awal

menjadi YouTuber, karena ia belum belajar bagaimana membuat citra sebagai publik figur. Karena publik figur adalah panutan dan juga sebuah profesi, jika tidak diatur dengan baik, maka karir Jovi akan turun. Setelah ia sudah berkecimpung sebagai YouTuber dengan berbagai pelatihan seperti YouTube Space dan yang lainnya, maka sebagai aktivis isu sosial yang pro LGBT, ia hanya menyampaikan melalui simbol-simbol saja.

Oleh karena itu, hal ini juga berhubungan dengan orientasi seksual Jovi. Dalam video YouTube-nya bersama Ronald, foto-foto instagram bersama Ronald menunjukkan kedekatan yang lebih dari sekedar teman. Melalui gesture dan ekspresi yang diperlihatkan Jovi saat dengan Ronald, itu berbeda. Saat melihat Ronald, Jovi melihatnya dengan tatapan teduh. Dapat dilihat juga bagaimana effort yang dilakukan oleh Jovi untuk menyiapkan ulang tahun Ronald. Melalui gesture dan ekspresi Jovi dan Ronald, menunjukkan mereka memiliki hubungan. Namun, Jovi justru cenderung menutupi bila ditanya langsung oleh para fans maupun subscriber-nya perihal siapa pacarnya. Ia selalu gerah dengan pertanyaan tentang pacar, sampai keluar statement bahwa pertanyaan tentang pacar adalah pertanyaan yang paling ia tidak sukai. Namun, Jovi sepertinya tidak bisa menata pesan yang ingin ia sampaikan kepada audiens secara konsisten.

Menurut jurnal yang ditulis Jandy Luik (2012, p. 2), ketika pengguna hendak melakukan pembaharuan status atau menulis di akun media sosial, maka pengguna pun mengalami proses selayaknya ingin mengungkapkan sesuatu kepada lawan bicara yang sedang ada di depan kita. Apalagi, bagi pengguna yang menyadari bahwa audiens (atau pengguna lainnya) tidak hanya satu atau dua orang melainkan berpotensi sangat banyak (selayaknya sekumpulan massa). Penataan media sosial akan menjadi sebuah tindakan yang tidak serta merta spontan, tetapi melalui sebuah ‗meja editorial‘ di dalam dirinya sendiri.

Jovi justru mengunggah foto bunga saat hari Valentine dengan foto bunga yang sama dengan Ronald. Ia juga menulis caption ―happy anniversary‖. Dan netizen banyak yang mengucapkan selamat hari jadi serta hari valentine kepada Jovi maupun Ronald. Dan, anehnya, Jovi tidak membalas dna tidak marah pad akomen-komen tersebut. Jika ia disebut banci, waria, ladyboy, ia marah dan membalas komen orang yang menyebutnya seperti itu dengan sinis. Namun saat

diucapkan selamat hari jadi, Jovi tidak marah. Hal itu menunjukkan bahwa ia memang benar-benar memiliki hubungan dengan Ronald. Karena, sebagai publik figur, jika hal tersebut salah, pasti ia akan mengklarifikasi.

Hal ini juga sama dialami oleh YouTuber Indonesia lainnya, yang bernama Rani Ramadhany. Rani adalah seorang vlogger dengan konten seputar drum dan travel. Rani memiliki seorang sahabat perempuan bernama Gloria. Keduanya sering travel bareng, selalu dekat sehingga mereka dianggap oleh netizen sebagai pasangan lesbian. Akhirnya, karena merasa hal itu salah Rani dan Gloria melakukan klarifikasi bahwa keduanya hanya bersahabat, tidak memiliki hubungan lebih, dan mereka menunjukkan bahwa mantan mereka berdua adalah laki-laki. Seharusnya, Jovi pun melakukan hal tersebut jika Ronald bukanlah pacarnya.

Sehingga, jika disatukan, Jovi tidak suka ditanya tentang pacar karena ia takut dengan label gay yang ―negatif‖ tersebut. Ia masih takut mengakui bahwa dirinya adalah gay. Jika ia mengaku, Jovi akan lebih banyak memiliki haters. Jovi akan memiliki image yang buruk, karena masyarakat Indonesia sendirilah yang membuat image LGBT hal yang buruk. Dan hal tersebut tentu akan mempengaruhi profesi yang dimilikinya saat ini. Seseorang yang diketahui gay misalnya, sudah pasti terancam karirnya dalam satu lembaga pekerjaan formal. Mereka akan mudah sekali menjadi sasaran putus hubungan kerja (PHK) secara sepihak. Gay dianggap melanggar norma, sehingga Jovi cenderung menutupi hubungannya. Dan terlihat bahwa Jovi belum menata media sosialnya secara matang dan dpaat dinilai ia tidak menyadari dan dilakukan secara spontan (gaya nusantara.or.id).

Jovi sebagai seorang publik figur adalah figur yang dapat mewakili pendapat, kemauan atau keinginan, perasaan dan arah tujuan dari publik (khalayak umum) yang diwakilinya. Khalayak umum ingin konten yang positif sehingga Jovi membuat citra positif pada dirinya. Ia melakukan beberapa hal seperti menutui identitas orientasi seksualnya, yakni homoseksual. Ia tidak mau menciptakan image buruk bagi penggemarnya sehingga menutupi orientasi seksual sebenarnya. Dari segi penilaian pribadinya, seorang publik figur seharusnya orang yang terlihat "bersih" dari hal yang dianggap melanggar atau

menciderai norma-norma kesusilaan, agama, hukum dalam kehidupan bermasyarakat. Oleh karena itu, Jovi tidak mau memperlihatkan orientasi seksualnya karena homoseksual dianggap melanggar norma asusila dan agama (dalam jurnal website GAYa Nusantara, 2016, hal 37).

Selain hal tersebut di atas, seorang publik figur harus mampu menunjukkan kemampuan kinerjanya dalam bidang yang dibawakan, sehingga publik mengenalnya bukan karena sering muncul di media, tetapi dari karya nyata dan pengabdian dalam bidangnya. Hal ini ia buktikan saat ia memenangkan award dari BeautyFest Asia dengan kategori Breakout Content Creator of The Year. Melalui awardnya, ia membuat citra bahwa kaum yang dianggap sebelah mata dan suaranya tidak pernah didengar alias kaum LGBT juga bisa berkarya. Ia membuat citra bahwa LGBT juga memiliki hak yang sama, salah satunya hak untuk berkarya dan menerima penghargaan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa yang paling mempengaruhi citra diri publik figur adalah orang-orang sekitar yang berinteraksi dengan dirinya, karena interaksi tersebutlah yang akan menjadi realita. Realita tersebut harus mampu dibingkai publik figur menjadi bagian dari citra dirinya. Sebelum berhadapan dengan kamera, publik figur melakukan beberapa persiapan untuk menampilkan citra diri yang positif di hadapan masyarakat. Publik figur memahami sepenuhnya makna popularitas bagi dirinya. Citra diri yang ditampilkan ke publik, jika dia membingkai citra nya dengan baik dan positif dalam berita maupun karyanya di media massa, maka akan memberi kesan positif juga oleh publik. Jika sebaliknya, maka publik juga yang akan menolaknya (Pattipeilohy, 2015, p.22).

Oleh karena itu, Jovi tidak menyebutkan kaum LGBT secara eksplisit, namun diganti dengan kata kaum ―weirdo‖. Kaum ―weirdo‖ tidak memiliki hak kebebasan mengemukakan pendapat dan berserikat, hak atas layanan kesehatan, hak atas pendidikan, hak atas partisipasi publik, masalah-masalah keimigrasian dan pengungsi, serta berbagai hak dasar lainnya. Mereka dianggap sebagai patologi sosial atau ―pesakitan‖ dalam masyarakat dan dianggap berpotensi mengganggu ketertiban sosial. Jovi ingin membangun dua citra yang baik yang

pertama tidak ingin dianggap sebagai kaum LGBT karena tidak menyebutkan kaum tersebut secara eksplisit. Jovi mengatur apa yang akan ia bicarakan kepada penontonnya, sehingga ia hanya berani menggunakan istilah lain. Ia takut akan dibenci karena ia adalah salah satu kaum LGBT, yang seperti penjelasan diatas, masih dipandang sebagai kaum yang negatif. Jovi ingin dibingkai secara positif oleh masyarakat.

Citra yang baik yang diciptakan oleh Jovi adalah ia sebenarnya membela kaum LGBT dengan memperjuangkan haknya. Sebagai contoh kasus, di Indonesia masih banyak regulasi yang sangat berpotensi merenggut hak-hak dasar kelompok LGBTI, misalnya, UU No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi dan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Kedua UU tersebut tidak memberikan ruang bagi penikmatan hak-hak dasar kelompok LGBTI, dan justru mereka menjadi sasaran pemidanaan berdasarkan orientasi seksual Nah, karena ada kasus seperti inilah, Jovi mulai menyuarakan aspirasinya dan mengeluarkan statement bahwa LGBT dan waria berhak untuk berekspresi dan menjalani hidupnya seperti kaum heteroseksual. Ia juga menjadikan Tyler Oakley sebagai role model untuk membuat konten YouTube. Jovi membuat dirinya bisa diterima oleh kaum LGBT agar mereka mau mengonsumsinya sebagai komoditas. Dalam hal ini hanya menjadi komoditas bagi kaum LGBT.

Jovi sebagai aktor juga membuat pertunjukkan bahwa yang ia tampilkan adalah pro LGBT di wilayah depan, namun ia tetap menjaga wilayah belakangnya tentang hubungannya dengan Ronald. Meski kadang menampilkan kebersamaan di wilayah depan, sebagai salah satu cara untuk mencari sensasi dan membuat suatu konsep pertunjukkan. Namun tetap ia tidak membawa khalayak masuk ke wilayah belakangnya. Karena suatu pertunjukan akan sulit dilakukan bila aktor membiarkan khalayak berada di panggung belakang. Selain membawakan peran dan karakter secara individu, aktor-aktor sosial juga berusaha mengelola kesan orang lain terhadap kelompoknya, baik itu keluarga tempat bekerja, partai politik, atau organisasi lainnya yang mereka wakili. Semua anggota itu adalah apa yang Goffman sebut ―tim pertunjukan‖ (performance team) yang mendramatisasikan suatu aktivitas. Mereka harus mempersiapkan perlengkapan pertunjukan dengan matang dan jalannya pertunjukan, memilih pemain inti yang

layak (siapa melakukan apa), dan melakukan pertunjukan secermat dan seefisien mungkin dan kalau perlu juga memilih khalayak yang sesuai (dalam Mulyana, 2001, p. 114).

Dengan membentuk image bahwa ia mendukung kebebasan, menjadi diri sendiri, pro LGBT, dan lain-lain, Jovi Adhiguna berhasil membangun karisma dan membuat penggemarnya merasa kagum. Jovi membuat dirinya sebagai panutan yang selalu memberikan kata-kata positif dan memotivasi untuk melakukan apapun agar tetap menjadi diri sendiri. Namun, sebenarnya tidak ada publik figur yang menjadi dirinya sendiri. Ia menyembunyikan identitas orientasi seksualnya untuk dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini kontradiktif dengan apa yang selalu ia tunjukkan untuk menjadi diri sendiri. Padahal, ia sendiri juga menyembunyikan sesuatu untuk dapat diterima dan itu lepas dari konsep menjadi diri sendiri. Ia mengikuti stigma yang ada pada masyarakat, sehingga ia berusaha menutupi orientasi seksualnya. Merujuk pada Goffman (2001) seorang aktor menciptakan karisma dengan cara yang disebut teknik mistifikasi yaitu sebuah teknik dimana seseorang menonjolkan hal-hal tertentu dan menyembunyikan hal lain.

Jovi sering marah jika ditanya tentang pacar adalah salah satu hal ia menyembunyikan orientasi seksualnya. Ia tidak ingin publik tahu bahwa dia dan Ronald memiliki hubungan. Meskipun, beberapa kali ada foto-foto yang cukup menjelaskan mereka memiliki hubungan. Namun saat ditanya dan ia tidak mengakuinya karena ia ingin menciptakan jarak pada pada khalayak.

Aktor sering cenderung memistifikasikan pertunjukan mereka dengan menjauhkan jarak sosial antara diri mereka dengan khalayak. Citra diri yang ingin ia tunjukkan adalah Jovi adalah pria androgini yang heteroseksual, sedangkan identitas sebenarnya bertolak belakang. Dengan membatasi kontak sosial itu, mereka berusaha menciptakan kekaguman atau keterpesonaan pada khalayak (dalam Mulyana, 2001, p. 119). Goffman (2001) menjelaskan dalam usaha untuk mempresentasikan dirinya, terkadang sang aktor menghadapi kesenjangan antara citra-diri yang ia inginkan dilihat orang lain, dan identitas yang sebenarnya, karena ia memiliki stigma fisik (orang buta, orang lumpuh, orang pincang, dan sebagainya) ataupun stigma sosial (mantan pembunuh, mantan perampok, homoseks, lesbian, dan sebagainya) (dalam Mulyana, 2001, p. 121).

Jovi membuat fashion itu sendiri didasarkan pada memproduksi selera baru, style, pakaian, dan praktek. Jovi selalu mencari sesuatu yang baru, modern, dan dikagumi, sementara menghindari apa yang sudah tua dan kuno. Hal ini dibuktikan melalui fashion androgini yang ia gunakan. Ia mendobrak batasan bahwa fashion adalah penanda gender manusia. Ia mendobrak adanya pakaian perempuan dan laki-laki. Ia menciptakan norma sendiri bahwa laki-laki diperbolehkan berdandan dan berpakaian seperti perempuan. Karena, fashion gender, adalah apa yang dibuat manusia sendiri bukan kodrat. Ia juga ingin menghilangkan stigma bahwa laki-laki feminim adalah laki-laki yang ingin jadi perempuan, atau selalu dianggap sebagai banci atau waria. Sehingga, beberapa kali saat ia mendapat hate comments bahwa ia disebut sebagai banci, perempuan, waria, ia selalu marah. Jovi ingin menghapus stigma, bahwa laki-laki berpenampilan feminin bukan berarti ia adalah perempuan ataupun waria.

Jovi membuat norma bahwa laki-laki feminim adalah hal yang wajar dan bisa diterima. Karena, saat ia berdandan dan berpakaian seperti perempuan itu adalah nilai jual bagi dirinya. Karena, saat ia berdandan dan berpakaian seperti perempuan, ia dipuji oleh publik. Hal tersebut menunjukkan bahwa publik suka jika Jovi berpakaian dan berdandan seperti itu karena itu unik. Sehingga Jovi mempertahankan fashion yang ia buat saat ini, karena hal itu yang diinginkan publik.

Fashion androgini digunakan Jovi sebagai nilai jual. Berman (1982) menjelaskan bahwa dalam modernitas, fashion adalah pemilihan penting dari identitas seseorang, membantu menentukan bagaimana seseorang dilihat dan diterima. Fashion menawarkan pilihan pakaian, gaya, dan image melalui mana yang bisa menghasilkan identitas individu. Dalam arti, fashion adalah fitur komponen dari modernitas, ditafsirkan sebagai zaman sejarah ditandai oleh inovasi yang terus-menerus, dengan pembongkaran yang lama dan penciptaan yang baru (dalam Kellner, 1995, p. 264).

Selain itu, Jovi juga menjadikan beberapa artis Hollywood menjadi role model-nya. Yang ia jadikan sebagai role-model adalah Angelina Jolie, Kylie Jenner, Kim Kardashian dan Tyra Banks. Fashion dan make-up yang Jovi gunakan merujuk pada style keempat artis tersebut. Mimicry atau meniru

merupakan langkah seorang bintang untuk meningkatkan penampilan bintang tersebut. Sehingga ia menggunakan image yang berbeda dengan dirinya, dan

meniru orang lain, untuk mempersuasi audiens agar terdorong mengikutinya (Hurley & Chatter, 2005, p. 229).

Peneliti menemukan bahwa Jovi Adhiguna mengalami hegemoni. Jovi menciptakan konsep pria cantik menurut keempat role model dirinya. Konsep cantik terdiri dari kulit kecokelatan, bibir yang tebal, muka yang tirus, badan kurus dan memiliki kaki yang jenjang. Konsep cantik yang ia ciptakan merujuk pada body goals bagi publik.

Jovi juga menciptakan konsep cantik namun seksi melalui make-up, yakni menggunakan lipstik berwarna merah dan menggunakan eyeshadow berwarna cokelat dan eyeliner. Hal ini sesuai dengan penrcobaan yang dilakukan pada bulan Juli 2016 tentang bagaimana muka cantik yang sempurna menggunakan teknologi komputer.

Gambar 5.1 Konsep wajah cantik

Sumber: dailymail.co.uk (2016)

Muka cantik yang dilakukan dalam percobaan terdiri dari beberapa artis Hollywood. Sama dengan Jovi, ia menggunakan make-up dengan role model artis Hollywood seperti Kylie Jenner dan Tyra Banks. Banyak publik yang mengakui

bahwa dirinya cantik melalui komentar-komentar di sosial media dan YouTube Jovi. Ia menciptakan konsep cantik dari kiblat orang Barat, yakni Amerikanisasi. Jovi membuat konsep bahwa seseorang dinilai cantik bila meniru make-up para artis Hollywood. Terbukti, bahwa Jovi mengalami hegemoni. Dalam bahasa Gramcian, hegemoni adalah perwujudan dari penerimaan oleh kelompok-kelompok gagasan subordinat dan nilai-nilai dari kepemimpinan kelompok-kelompok dominan yang ada. Hegemoni merupakan suatu bentuk kontrol sosial yang ampuh, orang-orang secara tidak sadar dipaksa menyetujui ideologi yang dominan (Strinati, 2009, p.267). Budaya populer dan media massa tunduk pada produksi, reproduksi, maupun transformasi hegemoni melalui berbagai institusi masyarakat sipil yang mencakup berbagai bidang produksi dan konsumsi kultural. Masyarakat sipil merupakan sasaran yang tepat untuk menempatkan kebudayaan dan ideologi dalam masyarakat. Budaya populer dan media massa harus diinterpretasikan dan dijelaskan dalam konsep-konsep hegemoni Kelompok dominan beroperasi melalui institusi masyarakat sipil yang mencakup berbagai bidang industri dan konsumsi kultural, yakni media massa dan budaya populer (Strinati, 2009, p.259).

Selain itu, fashion Jovi yang terkesan seperti perempuan dan kadang laki-laki, itu menandakan bahwa androgini tidak ingin ada aturan sosial. Bahwa manusia boleh memakai baju apa saja, karena budaya diciptakan sendiri oleh manusia. Karena androgini cenderung genderless, tidak mau diatur dengan aturan laki laki dan perempuan yang ada di masyarakat. Jovi sebagai androgini ingin membuat aturan sendiri. Jovi mengkonstruksi image-nya sebagai fashion revolusioner yang tidak terbatas pada aturan. Menurut Dyer, bintang merupakan sebuah citra yang dikonstruksi kepada diri seseorang atau juga karakter yang kuat yang ditanamkan oleh media di tengah masyarakat, maka Jovi sedang membuat konstruksi image yang ingin ia tanamkan di masyarakat (Dyer, 2004, p. 1). Sebagaimana menurut Dyer, bahwa bintang adalah sebuah komoditas, maka ia akan mengikuti kemauan dari siapa yang mengonsumsinya. Bagaimana ia dikemas akan mengikuti selera pasar dan target pasar yang ingin mengonsumsinya. Jovi mau berdandan dan berpakaian seperti perempuan agar mereka, publik dan para penggemarnya mau mengonsumsi Jovi sebagai komoditas.

Bentuk pemberontakan dengan adanya stereotip fashion dan make-up pada laki-laki dan perempuan, ditunjukkan Jovi melalui simbol-simbol. Yakni, ia selalu menyuruh penontonnya untuk menjadi diri sendiri. Dan, Jovi menggunakan piercing dan tato sebagai simbol penolakan tradisi atau bisa disebut norma masyarakat selama ini. Jovi membuat citra bahwa dirinya adalah tidak ingin dibatasi oleh siapapun dan apapun. Fashion juga bisa mengandung banyak nilai-nilai yang ingin disampaikan oleh sang pengguna fashion itu sendiri. Karena sifatnya yang demikian maka fashion juga tak lepas dari hal yang membentuk image seorang bintang.

Merujuk pada Goffman (1959), kehidupan sosial itu dapat dibagi menjadi ―wilayah depan‖ (front region) dan ―wilayah belakang‖ (back region). Wilayah depan merujuk kepada peristiwa sosial yang memungkinkan individu bergaya atau menampilkan peran formalnya. Sebaliknya wilayah belakang merujuk kepada tempat dan peristiwa yang memungkinkannya mempersiapkan perannya di wilayah depan. Wilayah depan ibarat panggung sandiwara bagian depan (front stage) yang ditonton khalayak penonton, sedangkan wilayah belakang ibarat panggung sandiwara bagian belakang (back stage) atau kamar rias tempat pemain sandiwara bersantai, mempersiapkan diri, atau berlatih untuk memainkan perannya di panggung depan. Goffman (1959) membagi panggung depan ini menjadi dua bagian: front pribadi (personal front), dan setting, yakni situasi fisik

Dokumen terkait