• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mendobrak Batas Sosial & Seksual

4.2.3 Mendobrak Batasan

4.2.3.1 Mendobrak Batas Sosial & Seksual

Jovi sebagai produk membentuk citra unik dan berbeda bila dibandingkan dengan YouTuber lainnya yang sudah ada sebelumnya lewat pengemasan dan

kostum-kostum yang digunakannya. Ia mendobrak batasan-batasan yang ada di Indonesia. Ia juga mendobrak beberapa stereotip tentang perempuan dan laki-laki. Karena ia sendiri merupakan publik figur yang androgini, berada di tengah-tengah sehingga tentu hal ini berkaitan dengan gender.

Gambar 4.51. Boneka Jovi yang dijadikan background Sumber: channel YouTube Jovi (2015)

Background Jovi saat take video adalah boneka Disney yang terdiri dari Tinkerbell, Mermaid dan Snow White. Jovi membuat citra bahwa ia menyukai boneka. Boneka identik dengan mainan anak perempuan. Terutama boneka tokoh kartun perempuan. Jovi mengakui menyukai boneka dan kartun perempuan sejak kecil. Ia suka menggambar tokoh bonekanya ataupun mendadaninya. Hal ini kontradiktif dengan norma masyarakat, yang mengharuskan laki-laki bermain dengan mobil-mobilan, truk dan lain sebagainnya. Psikolog anak Ajeng Raviando, Psi., mengatakan bahwa jika anak laki-laki sudah mulai terobsesi ingin mendandani bonekanya maka orangtua harus bertindak. Karena hal tersebut akan menimbulkan adanya kecenderungan yang negatif (wolipop.detik.com, 2014). Jovi seolah mendobrak batasan norma masyarakat tentang mainan anak perempuan dan laki-laki. Ia membuat citra bahwa laki-laki bermain dan menyukai boneka adalah hal yang lumrah.

Gambar 4. 52. Jovi bersemangat membahas make up Sumber: channel YouTube Jovi (2015)

Selain itu, adanya stereotip bahwa hanya perempuan yang menggunakan make-up, tidak demikian dengan Jovi. Jovi membuat citra bahwa laki-laki pun sah-sah saja untuk memakai make-up. Meski awalnya karena ia belajar dari adiknya, Sarah, ia mulai mnegerti make-up sehingga sering menghadiri kontes-kontes kecantikan. Dalam videonya Snapchat Q n A part 1, ia menjelaskan bahwa ia menggunakan make-up sendiri. Ia memakai eyeliner, concealer, bedak dan mascara untuk alis.

"Saya sendiri yang menggunakan makeup saya. Latar belakang saya menggambar (Jovi mengambil jurusan Desain Mode di salah satu universitas), sehingga saya mendapat kesempatan untuk mengasah kemampuan menggambar saya setiap kali saya meletakkan makeup saya. Sejujurnya saya tidak benar-benar menggunakan makeup, saya lebih menyukai mode. Dan karena adik perempuan saya lebih berfokus pada make up, saya belajar darinya tentang produk dan sebagainya" (wawancara Jovi dengan Brand Outlet Magazine, 2017).

Jovi mengatakan bahwa keahliannya dalam menggambar juga ingin ia curahkan pada makeup. Tidak hanya fashion, kini ia juga concern pada makeup. Beberapa acara maupun kontes kecantikan mengundang Jovi sebagai tamu maupun speaker person. Ia juga sering di endorse beberapa produk kecantikan seperti Urban Decay, Loreal, Maybelline, Makeover, NAKED, Clinique Indonesia, Inglot Indonesia, Klara Cosmetics (Sumber: dalam foto-foto instagram Jovi). Karena Jovi mulai concern pada dunia makeup, ia tergabung dalam komunitas Indonesia Beauty Vlogger (IBV). Indonesian Beauty Vlogger

merupakan sebuah komunitas creator video kecantikan online yang didirikan pada Maret 2015, tepat saat transformasi teknologi video online sedang menuju puncaknya (tribunnews.com, 2016). Menurut Vanya, pendiri IBV, komunitas ini diadakan agar setiap beauty vlogger menjadi semakin jago dalam menyampaikan ilmu mereka. Juga, agar video mereka semakin menarik, karena di dalam komunitas, tidak ada yang pelit berbagi ilmu satu sama lain Dan juga karena satu tren kekinian dari dunia fashion dan kecantikan adalah beauty vlogging (video blogging). Di Indonesia, perkembangannya bisa dibilang cukup pesat. Jumlah pelaku atau vloggers-nya terus bertambah dari waktu ke waktu (lifestyle.bisnis.com, 2016).

Menurut jurnal yang ditulis oleh Felicia Goenawan, terdapat stereotip bahwa perempuan suka dengan beauty atau kecantikan. Urusan kecantikan tentu tidak jauh-jauh dengan make-up (Goenawan, 2007). Perempuan hanya ada dalam ranah domestik, media kerap kali muncul stereotip perempuan hanya terlibat dalam sejumlah profesi saja, biasanya berkaitan dengan pengasuhan dan hanya bekerja dalam rumah (Thwaites dkk., 2002). Sedangkan Jovi membuat citra bahwa laki-laki juga bisa menggunakan make-up dalam kesehariannya. Seorang laki-laki juga harus melakukan hal-hal yang maskulin. Apa yang dibahas laki-laki juga seputar maskulinitas, tentang hobi, game, racer, dan hal maskulin lainnya (Goenawan, 2007).

Karena menjadi seorang androgini, harus bisa menerima keadaan di lingkungan sekitar. Maka, akan ada orang-orang yang dimana tidak mengerti istilah androgini. Androgini masih dianggap hal yang tabu dan aneh di Indonesia (Goenawan, 2007). Hal itu juga dialami Jovi sebagai seorang YouTuber, banyak orang yang menganggapnya ―berbeda‖ karena seorang pria memakai baju dan berdandan seperti perempuan. Hal ini ia ungkapkan dalam salah satu videonya mengenai snapchat q n a, bahwa ia pernah mengalami pengalaman yang ia harus alami setiap hari.

―Hai kak, aku mau nanya, pernah ngga waktu jalan di mall atau dimana terus ada yang ngeliatin muka kakak dengan aneh ataupun sinis? YES. Seeering banget. There is one time, dimana orang

ngeliatin aku sampe kepalanya muter ngga tahu berapa puluh derajat. 300 derajat kali. Sampe akhirnya dia nabrak mannequin. Dalam hati sebenernya seneng walaupun jahat. Tapi kayak ―Yeay, you deserve it!‖. Pokoknya aku harus dealing sama kayak gitu ya tiap hari. Orang-orang yang berani ‗beda‘ pasti bakal dealing sama hal-hal seperti itu tiap hari. Getooo.” (dalam channel YouTube Jovi, NGOMPOL!!! Snapchat Q n A Part 1, 2015).

Gambar 4.53. Ekspresi Jovi saat orang lain jatuh Sumber: channel YouTube Jovi (2015)

Jovi menceritakan bahwa dirinya pernah berjalan di tempat umum, kemudian orang-orang di sekitarnya melihatnya karena penampilannya. Sebenarnya ia tidak suka dipandang ―berbeda‖ seperti itu, hal itu terlihat pada saat ekspresi dan gesture Jovi yang terlihat gembira saat mengetahui orang yang melihatnya jatuh. Ia harus dealing atau dalam artian menghadapi orang-orang yang menganggap dia ―berbeda‖ tersebut, karena hal itu memang resiko dari pekerjaannya. Namun, Jovi sebenarnya ingin mendobrak batasan norma bahwa laki-laki tidak boleh berdandan seperti perempuan.

Gambar 4.54. Jovi saat catwalk di Jakarta Fashion Week 2017 Sumber: instagram Jovi (2017) & jakartaglobe.beritasatu.com (2017)

Jovi pernah menjadi model untuk acara Jakarta Fashion Week (JFW) 2017. Jovi membawakan karya baju miliki Lutfi Madjid. Luthfi adalah seorang designer memulai karirnya di Jakarta pada tahun 1993 sebagai perancang utama Matahari Department Store. Pada tahun 1998, dia pindah ke New York dan bekerja untuk konsultan mode di kota (jakartaglobe.beritasatu.com, 2017). Karya yang ia keluarkan dalam JFW 2017 adalah Avenue A. Avenue A adalah nama jalan utama di bagian kota New York yang disebut East Village yang memiliki keberagaman latar belakang seperti segmen umur, ras dan jenis kelamin. Seni dan budaya yang dihasilkan dari pola pikir yang kreatif yang dimiliki oleh komunitas di jalan tersebut menghasilkan lingkungan yang unik.

Avenue A juga dikenal sebagai lingkungan bagi anak muda atau siapapun yang berjiwa muda yang memiliki Gaya dan selera berpakaian tersendiri. Label Avenue A meliputi aktivitas harian kehidupan perkotaan menciptakan Gaya individual yang secara bersamaan membentuk identitas bagi mereka yang tinggal di lingkungan tersebut. Karakteristik utama dari masing-masing Gaya individual ini adalah kepribadian yang kuat dan kepercayaan diri. Luthfi menawarkan Gaya yang dapat bertahan lama sebagai koleksi pakaian utama yang dapat dipadukan dengan potongan yang lebih trendi dan memiliki Gaya yang mendobrak tradisi (jakartafashionweek.co.id, 2017).

Alasan Luthfi Madjid memilih Jovi sebagai model utama karena Jovi adalah androgini. Karena androgini mewakili peran maskulin dan feminim secara sekaligus, maka menurut Lutfi, Jovi cocok dengan konsep desainnya. Luthfi ingin membuat desainnya terkesan mendobrak tradisi. Hal ini cocok dengan Jovi yang mendobrak peran gender maskulin dan feminim. Selain itu, piercing yang digunakan menandakan kehidupan urban yang berhubungan dengan kelompok punk (jakartafashionweek.co.id).

Gambar 4.55. Akhsay Kumar menggunakan piercing Sumber: scoopwhoop.com (2016)

Gambar 4.56. Jovi memakai piercing dan memiliki tato bergambar tengkorak Sumber: channel YouTube Jovi (2015) & instagram Jovi (2016)

Namun hal ini berbeda dengan piercing yang digunakan sebagai fashion saat ini. Piercing menunjukkan pria flamboyan dan nakal seperti Akshay Kumar, aktor film India. Jika dikaitkan dengan arti tindik sebenarnya adalah sebagai simbol perlawanan. Anak punk biasanya menato tubuhnya dengan gambar tengkorak, salib terbalik, swastika Nazi, atau api. Tato ini menunjukkan identitas kelompok dan menjadi simbol penguasaan penuh terhadap tubuhnya. Seperti tato, tindik juga menyimbolkan kekuasaan terhadap tubuh (m.tempo.co, 2012). Jovi menciptakan bahwa apa yang ada dalam tubuhnya ia punya kuasa untuk mengaturnya. Ia punya kuasa sendiri untuk menghiasi maupun merawat tubuhnya. Selain itu, tato dan tindik merupakan simbol perlawanan atas batasan-batasan yang dibuat oleh masyarakat. Batasan yang dimaksud adalah stereotip perempuan dan laki-laki bahwa laki-laki harus maskulin, dan perempuan harus feminim. Jovi ingin membuat perlawanan atas stereotip yang ada di masyarakat tersebut, bahwa androgini bebas untuk berekspresi. Citra yang ingin ditampilkan oleh Jovi yaitu bahwa dirinya punya kebebasan untuk berekspresi.

Selain itu, Jovi membuat citra bahwa dirinya adalah laki-laki yang sesungguhnya, laki-laki tulen. Laki-laki tulen yang dimaksud adalah laki-laki asli, yakni laki-laki sejati yang memiliki testis dan penis (Parker, 2012). Ia selalu marah dan mengekpresikan rasa tidak sukanya bila ia disebut sebagai seorang perempuan. Dalam videonya yang memilki views terbanyak dibandingkan video yang lainnya, yaitu Story Time With Jovi: HATRED! Dengan 246.829 views (update 22 Mei 2017). Jovi khusus membuat video tersebut untuk membahas semua orang yang membenci dirinya dan memberi hate comments pada channel YouTube-nya.

Gambar 4.57. Ekspresi Jovi saat disebut sebagai banci Sumber: channel YouTube Jovi (2015)

Jovi menunjukkan ekspresi tidak suka pada hate comment-nya.Tidak hanya itu, ia bahkan mengejek haters-nya dan menganggap bahwa mereka semua hanyalah pengecut. Ia sangat benci adanya stereotip laki-laki dan perempuan, karena ia berada di tengah-tengah posisi tersebut. Jovi menunjukkan kemarahannya saat mengatakan ―so why the fuck bother?‖. Karena penampilannya yang dinilai ―berbeda‖ tersebut adalah hal yang normal dan tidak menandakan bahwa ia adalah perempuan.

Jovi meyakinkan lagi pada haters-nya bahwa ia adalah laki-laki tulen. Dan selama penampilannya ―berbeda‖, ia merasa tidak membuat hal yang salah. Jovi merasa ia tiak pernah menganggu hidup orang lain, namun mengapa orang lain menganggu hidupnya. Jovi membuat citra bahwa selama pria androgini yang sering berpenampilan seperti perempuan, tidak menganggu orang-orang yang ada di sekitar, mengapa tidak? Jovi membuat hal tersebut menjadi sah-sah saja, menjadi sesuatu yang benar dan sesuai dengan norma masyarakat. Ia mendobrak batasan bahwa laki-laki harus kuat, macho, tegas, rasional, bahwa laki-laki harus bersikap maskulin (Purnomo, 2006).

Puncak kemarahan Jovi terletak pada akhir video saat ada yang komentar bahwa paha Jovi sangat menarik dan seksi, namun saat dilihat wajah Jovi adalah laki-laki, orang tersebut menutup laman YouTube-nya. Orang yang menghina Jovi awalnya menganggap bahwa paha Jovi adalah paha kaki milik perempuan. Karena paha yang dimiliki Jovi cenderung kecil dan ramping. Jovi pun kemudian

menunjukkan pahanya sambil mengatakan ―You mean thisss???‖ dengan keras dan dengan nada menyindir. Ekspresi wajah yang ditunjukkan juga terlihat sangat marah.

Gambar 4.58. Tanggapan Jovi saat disebut pahanya menarik dan seksi Sumber: channel YouTube Jovi (2015)

Tidak hanya itu, puncak kemarahan Jovi ditutup dengan aksi membuka baju. Saat membaca komentar bahwa ia disebut sebagai perempuan, Jovi langsung menarik bajunya ke atas. Jovi memperlihatkan bahwa ia tidak memiliki payudara, karena dia membuat citra bahwa ia adalah laki-laki tulen. Saat mengangkat bajunya ke atas, Jovi berkata dengan keras dan sambil mengamuk ―Emang gua perempuan???‖. Kemarahan Jovi jelas terlihat karena ia sampai membuka bajunya untuk memperlihatkan isi tubuhnya agar orang-orang mempercayai bahwa ia adalah laki-laki. Namun, saat ia mengungkapkan hal tersebut dengan suara yang ―mirip‖ perempuan. Jovi menunjukkan bahwa dirinya adalah laki-laki feminin yakni memiliki fisik laki-laki namun gaya bicaranya seperti wanita (Maharani, 2013, p.3).

Gambar 4.59. Jovi membuka bajunya saat disebut sebagai perempuan Sumber: channel YouTube Jovi (2015)

Saat membuka bajunya, gerakan tangan dan badannya cenderung gemulai. Ciri ini juga menunjukkan ciri-ciri lelaki feminin (Maharani, 2013, p.3). Jovi pun sadar kemudian ia menutup kembali bajunya. Karena terbawa emosi, ia pun kembali tenang dan mulai bercerita bahwa ia pernah ingin menjadi laki-laki ―normal‖. Laki-laki ―normal‖ yang dimaksud adalah laki-laki yang berperilaku dan berpakaian secara maskulin. Namun, cara itu tidak berhasil. Saat bercerita, ekspresi wajah yang ditunjukkan oleh Jovi berubah-ubah, namun tetap diceritakan secara menggebu-gebu. Pada saat ia bercerita bahwa ia harus mengubah dirinya untuk orang lain, ia menceritakan dengan emosi marah. Namun pada saat menegaskan bahwa apa yang dia lakukan itu tidak salah, ekpresi Jovi berubah menjadi sedih.

―Dan people used to hate me being myself. Sampe aku sempet ngubah diri aku karena untuk please other people untuk menyenangkan hati orang lain, karena menurut orang lain itu salah. Kepribadian aku itu salah. Sampe akhirnya aku jalanin lama lama lama lama aku nyaman because that seriously who I am. Aku akhirnya decide buat go back to being me karena menurut aku apa yang aku lakuin itu tidak salah. Aku ini tidak salah. And I start YouTube, and look who I am, you got me” (dalam channel YouTube Jovi, Story Time With Jovi: HATRED!, 2015).

Gambar 4.60. Ekspresi Jovi saat cerita tentang masa lalunya Sumber: channel YouTube Jovi (2015)

Ekspresi di atas menunjukkan bahwa Jovi kecewa dengan sikap masyarakat yang masih menganggap bahwa androgini itu salah. Bahwa pria yang berpakaian seperti perempuan adalah hal yang salah. Jovi ingin membuat

penontonnya memiliki pikiran yang terbuka, bahwa pria androgini bukanlah hal yang salah. Laki-laki memakai baju perempuan adalah hal yang benar, karena menurutnya pakaian tidak terpatok pada gender. Hal ini juga ia sampaikan saat wawancaranya bersama Maria Harfanti di acara MNC TV Fashion.

―Jadi kalo menurut aku androgini itu Gaya yang ngga mengenal gender. Jadi mau kamu cewek, mau kamu cowok, pokoknya fashion has no limitation. Jadi pakaian apapun yang kamu pake no rules sih. Gak kebatas gender. Androgini tuh sebenarnya bukan hanya cowok keperempuan-perempuanan tapi banyak juga cewek menjadi cowok. Terlihat seperti cowok misalnya, tapi bukan berarti gendernya yang berubah. Dan itu cuma luarnya aja, cara mengekspresikan diri‖ (dalam channel YouTube Jovi, wawancara dalam acara MNC TV Fashion, 2016).

Jovi mengkonstruksikan bahwa fashion tidak mengenal gender. Fashion feminin tidak terpatok untuk perempuan, begitu juga sebaliknya fashion maskulin tidak terpatok pada laki-laki. Apa yang diucapkan Jovi dalam wawancaranya di MNC TV Fashion menunjukkan ia membuat citra fashion androgini tidak mau dibatasi. Jovi membuat citra bahwa fashion androgini adalah bentuk kebebasan berekspresi. Jovi ingin mendobrak stigma masyarakat tentang peran gender yang hanya feminin dan maskulin. Jovi ingin mengenalkan pada penontonnya bahwa ada peran gender yang terletak diantara garis maskulin dan feminin yang disebut androgini (Goenawan, 2007). Jovi juga menekankan pandangannya terhadap mode, dimana ia mengukuhkan pendapat bahwa fashion haruslah tanpa pengkotak-kotakan gender. Melalui wawancaranya dengan Brand Outlet Magazine, ia mengungkap arti mode fashion tanpa gender versi dirinya.

―Fashion adalah bagaimana saya mewakili diri saya kepada dunia. Ini seperti identitas saya - itulah yang menjadi mode bagi saya. Keinginan saya untuk fashion ada sejak saya di sekolah menengah atas. Saya suka seni dan menggambar, dan akhirnya berevolusi, kedua saya menemukan majalah mode. Saya semakin tertarik sejak saat itu. Saya melakukan keduanya. Saya menciptakan dan terkadang saya ikuti hanya jika itu cocok untuk saya. Seperti tren ini: rok untuk pria, saya tidak akan membiarkan diri saya menggunakannya. Itu untuk anak perempuan. Tapi ketika saya mengikuti satu tren, saya akan mencoba untuk memperpanjangnya dan menjadikannya sebagai milik saya sendiri, jadi saya tidak akan mengikuti tren

dasar‖ (dalam magazine.brandoutlet.co.id, wawancara dengan Brand Outlet (BO) Magazine, 2017).

Jovi menceritakan bahwa dalam salah satu vlog-nya, Jovi berbagi pandangannya terhadap mode: tanpa gender. Mode itu adalah gairah universal yang mencakup setiap tren yang ada, dan itu tidak terbatas pada jenis kelamin. Namun, hal ini kontradiktif dengan apa yang ia katakan melalui wawancaranya dengan BO Magazine, bahwa jika ada tren rok untuk pria ia tidak akan memakainya. Alasan ia tidak mau menggunakan rok karena rok biasa digunakan oleh dan untuk perempuan (magazine.brandoutlet.co.id, 2017). Jovi terlihat tidak konsisten dengan apa yang ia ucapkan. Jovi membuat citra bahwa fashion hanya yang mewakili dirinya dan jika cocok untuk dirinya. Hal itu menunjukkan masih ada batasan-batasan yang ia buat sendiri.

Gambar 4.61. Ekspresi Jovi saat disebut sebagai lady boy Sumber: channel YouTube Jovi (2015)

“Dude do I look like a lady boy to you? Gue itu apa adanya gak kayak elu yang cuma ngejugruk di belakang handphone” (dalam channel YouTube Jovi,

Story Time With Jovi: HATRED!, 2015).

Saat disebut lady boy, Jovi menjulurkan lidahnya. Lidah yang menjulur keluar juga pernah menjadi trademark Mick Jagger vokalis Rolling Stone pada tahun 70‘an. Band Rolling Stone yang dikenal sebagai band yang beraliran musik rock dan lagu-lagu yang dibawakan sarat akan isu pemberontakan dan penolakan terhadap norma-norma sosial. Branding sebuah band rock dengan ciri khas adalah

sebuah ide baru pada tahun 1969 ketika Mick Jagger menghubungi Royal College of Art di London untuk mencari seorang siswa untuk menciptakan beberapa aset visual untuk album bandnya berikutnya. Yang akhirnya tercipta logo ―Tongue and Lips‖. Saat itu bukan hanya sebuah bukti yang sesuai untuk band (Rolling Stones selalu mendobrak batas sosial dan seksual) tapi ke lambang pilihannya. Nama aslinya yang kaku adalah logo "Tongue and Lips", yang beberapa di antaranya telah disingkat menjadi "Hot Lips‖ (adweek.com, 2015). John Pasche, pencipta logo Rolling Stones mengatakan bahwa konsep desain untuk lidah adalah untuk mewakili sikap anti-otoriter band ini, mulut Mick dan konotasi seksual yang jelas (mirror.co.uk, 2012).

Salah satu lagu yang pernah dijadikan alat pemberontakan kepada mainstream society oleh Rolling Stones adalah ―Satisfaction‖. Rolling Stones sendiri menggunakan trademark Mick Jagger, untuk menjadi logo dari band. Logo yang dibuat oleh Jon Pasche, hasil diskusinya dengan Mick Jagger di London pada tahun 1970, yang akhirnya menjadi simbol pemerintahan di Amerika Serikat (Dick, 2012, p.203).

Gambar 4.62. Logo Rolling Stone dan Mick Jagger saat menjulurkan lidah Sumber: adweek.com (2015)

Jovi menggunakan simbol Rolling Stones, untuk menyampaikan pesan pemberontakan dan seksual. Pesan tersebut juga ditunjukkan oleh Jovi dalam kesehariannya. Ia sering menjulurkan lidah sehingga ia menamai kebiasaanya tersebut dengan nama ―lidah berderik‖. Gerakan tersebut sering ia lakukan, dalam video YouTube maupun instagram-nya. Hal ini menunjukkan bahwa Jovi ingin melakukan pemberontakan dengan adanya batasan-batasan peran gender, karena tidak semua laki-laki yang berpakain seperti perempuan adalah ladyboy. Ia ingin

melawan dan ingin menunjukkan bahwa laki-laki berdandan feminim adalah hal yang wajar.

Gambar 4.63. Lidah berderik Sumber: channel YouTube Jovi (2015)

Jovi juga mulai kontradiktif dengan pernyataan di video YouTube maupun wawancaranya dengan media. Jovi selalu mengatakan, meski tidak semuanya disampaikan secara eksplisit, bahwa ia tidak mau disebut sebagai perempuan. Jovi selalu membuat citra bahwa ia adalah laki-laki tulen dengan berbagai cara untuk membuktikan. Namun ketika ditanya role model untuk fashion, ia selalu merujuk pada perempuan. Salah satunya, saat ia ditanya oleh salah satu subscriber-nya, jika ia dilahirkan menjadi seorang artis, artis siapa yang akan ia pilih. Jovi memilih Angelina Jolie. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya ia ingin menjadi Angelina Jolie.

―Angelina Jolie. Because I’m really love her, physically, badannya, prestasinya, apa yang dia lakuin selama ini, aku suka suka suka suka bangettttt‖ (dalam channel YouTube Jovi, NGOMPOL!!! Snapchat Q n A part 1, 2015).

Jovi menjawab pertanyaan dengan sangat semangat dan saat mengucapkan kata ―suka banget‖, ia mengucapkan dengan panjang. Hal itu menunjukkan bahwa ia benar-benar menyukai Angelina Jolie. Ia menyukai fisik dan prestasinya, hal itu juga ditiru oleh Jovi melalui pakaiannya. Jovi menjadikan Angelina Jolie sebagai role model dalam ia berfoto. Tren menutup mata dengan kepala mendongak ke atas adalah salah satu Gaya yang sedang hits pada tahun 2015. Salah satu

Dokumen terkait