• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA

4.4 INTERPRETASI DATA PENELITIAN

4.4.1 Kemiskinan dan Kehidupan Ekonomi Pedagang Ombus-Ombus

Berikut ini adalah hasil wawancara dengan para pedagang makanan tradisional ombus-ombus yang berada di wilayah Kecamatan Siborongborong mengenai kecukupan penghasilan dalam memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Dari hasil wawancara tersebut

dapa diketahui bahwa meskipun para pedagang ombus-ombus telah memiliki penghasilan dari hasil penjualan ombus-ombus ini, akan tetapi penghasilan yang mereka peroleh tersebut kurang mencukupi dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka setiap harinya. Hal ini dirasakan baik bagi pedagang yang belum mempunyai anak atau pedagang yang sudah memiliki anak dan sebagian besar juga harus memenuhi biaya pendidikan anak-anaknya. Namun bagi padagang ombus-ombus yang belum mempunyai anak ataupun yang sudah mempunyai anak dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga setiap harinya karena istri anak mereka atau anggota keluarga mereka yang juga ikut bekerja sehingga dapat membantu meringankan beban ekonomi keluarga meskipun dari penghasilan tersebut terkadang juga tidak mencukupi. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh para informan berikut ini :

“Penghasilan yang saya peroleh menjadi pedagang ombus-ombus ini setiap bulannya kurang dapat mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari apalagi sekarang untuk berjualan ombus-ombus saja sudah ada jadwalnya dan untuk bisa mendapatkan hasil yang lumayan juga hanya waktu hari libur (seperti, hari raya, libur sekolah) dan jika hari biasa sangat sulit untuk bisa terjual semua. Apalagi saat ini masih ada 3 anak saya yang masih sekolah. Jadi, saya juga harus memikirkan biaya sekolahnya. Untung saja istri saya ikut membantu perekonomian keluarga kami. Meskipun hanya berjualan mie di pasar, namun bisa sedikit membantu juga untuk kebutuhan hidup”. (Wawancara dengan informan T. Sihombing, 2010)

Hal yang sama juga dikatakan oleh informal lainnya.yang merasa penghasilannya tidak dapat mencukupi kebutuhan keluarganya, berikut ini :

“Hidup pada zaman sekarang semuanya serba mahal apalagi saat ini harga untuk kebutuhan pokok sudah semakin meningkat. Jadi, kalau cuman mengandalkan penghasilan saya jadi pedagang ombus-ombus ini saja tentu tidak dapat mencukupi. Meskipun nunggunya sampai seharian dan kadang-kadang putus asa juga karena pernah tidak mendapatkan hasil. Apalagi di rumah masih ada anak kecil. Jadi, perlu tambahan penghasilan lain lah untuk kebutuhan susu anak. Meskipun

istri saya bekerja sebagai buruh tani tetapi masih belum bisa membantu”. (Wawancara dengan informan W. Situmeang, 2010).

“Ya, kalau bicara tentang penghasilan dari pekerjaan ini tentu belum bisa dikatakan mencukupi. Semuanya tergantung nasib seseorang. Jika ia beruntung jualan ombus-ombusnya laku semua, ya syukur lah. Namun, jika tidak laku ya apa boleh buat. Untung saja istri saya mau membantu perekonomian keluarga. Kami juga membuka warung yang letaknya di samping rumah kami. Jadi, istri saya yang berjualan di warung”. (Wawancara dengan informan M. Simorangkir, 2010).

Selain dari istri yang membantu perekonomian keluarga para pedagang ini, adanya anggota keluarga atau anak yang dapat membantu perekonomian mereka. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh informan berikut :

“Meskipun saya masih 2 tahun menjadi pedagang ombus-ombus tetapi saya dapat merasakan hal yang sama seperti yang dirasakan oleh pedagang lainnya. Penghasilan untuk menjadi pedagang tidaklah dapat mencukupi kebutuhan keluarga kami. Meskipun saat ini kami belum mempunyai anak, namun saya harus mempersiapkan tabungan buat masa depan keluarga ini. Untung saja adik saya yang saat ini tinggal bersama saya dan istri saya bisa ikut membantu untuk kebutuhan- kebutuhan rumah. Meskipun tidak sering dan tidak banyak tetapi saya bersyukur adik saya bersedia membantu kami”. (Wawancara dengan informan H. Silaban, 2010).

“Dengan usia saya yang sudah tua seperti ini rasanya saya suda merasa lelah jika berkeliling-keliling menjajakan ombus-ombus ini dan untuk mengayuh sepeda ini untuk jarak yang jauh. Jadi, jika saya merasa lelah saya beristirahat sejenak. Penghasilan menjadi pedagang ombus- ombus saat ini berbeda sekali dengan dahulu, ya sekarang ini semakin sedikit dan semakin jarang yang membeli. Anak saya pun berkeinginan untuk tidak lagi berjualan ombus-ombus, mereka khawatir dengan keadaan saya. Untuk itu mereka sesekali mengirimkan uang kepada orang tuanya. Uang itulah yang saya pakai untuk membeli kebutuhan kami dan bahan-bahan untuk ombus-ombus ini”. (Wawancara dengan J. Tampubolon, 2010).

Dari hasil wawancara tersebut maka dapat kita lihat bahwa hampir seluruh pedagang ombus-ombus berpendapat bahwa penghasilan yang mereka peroleh bisa dikatakan kurang memenuhi kebutuhan ekonomi mereka baik pedagang yang sudah

mempunyai anak atau yang belum mempunyai anak. Namun, dengan adanya bantuan dari pihak keluarga yang dapat membantu mereka maka bisa dikatakan bahwa para pedagang ini bisa memenuhi sedikit dari kebutuhan ekonominya.

Selain itu para pedagang ombus-ombus ini sebagian ada yang masih bisa terbantu. Hal ini dikarenakan mereka ada yang tidak perlu memikirkan tempat tinggal mereka. Sebagian pedagang ombus-ombus ini mempunyai rumah sendiri dan ada juga yang mengontrak rumah atau tinggal bersana orang tua mereka. Bagi pedagang yang tinggal dengan mengontrak rumah terkadang penghasilan yang diperoleh tiap bulannya kurang ataupun tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Begitu juga dengan yang dialami oleh informan berikut ini :

“Penghasilan saya tiap bulannya memang bisa dikatakan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarga saya. Meskipun saat ini ada 4 orang anak saya yang masih sekolah dan anak yang paling bungsu masih sekolah SD tetapi saya harus mempersiapkan kebutuhan- kebutuhan yang mungkin tak terduga, apalagi ditambah kami harus menyewa rumah, tentu saja tidak cukup. Mungkin tahun ini kami masih bisa menyewa rumah, namun tahun depan kami juga harus memikirkan untuk menambah penghasilan untuk bisa melanjutkan kontrakan rumah. Lagipula jarak dari rumah kontrakan kami dengan sekolah anak saya tidak terlalu jauh sehingga bisa ditempuh dengan jalan kaki saja”. (Wawancara dengan informan M. Simorangkir, 2010). “Memang saat ini saya dan istrinya masih mengontrak rumah, sehingga saya masih harus memikirkan biaya untuk kontrakan rumah ini dan untuk biaya sekolah anak-anaknya serta kebutuhan kami sekeluarga. Ya, inilah yang menjadi pemacu buat saya untuk mencari lagi lebih banyak penghasilan dengan pekerjaan yang halal tentunya”. (Wawancara dengan informan D. Sianturi, 2010).

Tetapi ada juga sebagian pedagang ombus-ombus yang tidak perlu memikirkan lagi tempat tinggal mereka dikarenakan mereka mempunyai rumah sendiri ataupun masih menumpang pada orang tua mereka. Namun, hal ini tidak membuat para pedagang

ombus-ombus harus tenang untuk menghadapi persoalan hidup mereka. Hal ini seperti yang disampaikan oleh informan berikut ini :

“Saya masih tinggal dirumah orang tua saya karena saya sendiri untuk saat ini masih belum mempunyai uang yang cukup untuk mengontrak rumah lagipula istri saya tidak bekerja sehingga saya lah yang menjadi tulang punggung untuk keluarga saya”. (Wawancara dengan I. Sianipar, 2010).

“Untung saja saya memiliki rumah sendiri. Rumah ini pun bisa dibangun karena dari penghasilan saya menjual ombus-ombus dari dulu sehingga sedikit demi sedikit saya bisa mempunyai uang untuk membeli rumah. Meskipun kelihatannya sangat sederhana tapi di rumah inilah saya, istri saya dan ke 7 anak perempuan saya bisa untuk menghabiskan waktu bersama keluarga”. (Wawancara dengan J. Tampubolon, 2010).

Para pedagang ombus-ombus ini juga berusaha untuk membagi penghasilan mereka mulai dari sandang, pangan, papan, pendidikan keluarga mereka. Bukan hanya itu saja, banyaknya tanggungan dalam keluarga mereka juga membuat mereka harus lebih tahu bagaimana cara membagi penghasilan mereka. Berikut ini adalah hasil wawancara dengan para informan :

“ Saat memutuskan menikah, istri saya masih bekerja sehingga dengan penghasilan kami berdua, kami bisa hidup berkecukupan. Ketika anak kami satu persatu lahir, masalah pun muncul. Pengeluaran pun bertambah untuk membeli susu, dan biaya sekolah kedua anaknya ditambah dengan biaya makan keluarga kami. Jadi, mau tidak mau harus melakukan penghematan dalam pembelian barang yang mungkin tidak perlu”. (Wawancara dengan informan B. Hutabarat, 2010).

“Penghasilan saya tidak cukup jika harus menanggung perekonomian keluarga kami. Saat ini masih ada 6 anak saya yang masih menjadi tanggungan saya termasuk 3 anak saya yang masih sekolah. Meskipun istri saya berjualan mie di pasar tetapi saya harus bisa menghemat dan mencari tambahan penghasilan dan kayaknya harus lebih kerja keras lagi”. (Wawancara dengan informan T. Sihombing, 2010).

“Jika dari penghasilan dari menjual ombus-ombus ini saja tentu tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup kami. Apalagi anak saya masih ada yang sekolah. Meskipun kedua anak perempuan saya sudah menikah

tetapi saya tetap harus membiayai kebutuhan untuk istri dan keempat anak saya. Untuk itu setiap pengeluaran harus benar-benar dipergunakan untuk kebutuhan yang penting saja sehingga sisa dari penghasilan saya dan istri saya yang berjualan kue dapat sedikit demi sedikit untuk ditabung”. (Wawancara dengan S. Sianipar, 2010).

Berdasarkan hasil wawancara diatas mengenai pembagian penghasilan untuk kebutuhan pokok maka dapat disimpulkan bahwa setiap informan melakukan strategi bertahan melalui bidang :

 Pangan

Berdasarkan hasil wawancara diatas bahwa sebagian besar pedagang ombus- ombus tidak sampai mengurangi porsi makan keluarga mereka tetapi mereka lebih menekankan untuk makan seadanya. Apalagi saat ini harga-harga kebutuhan pokok mengalami peningkatan sehingga hal ini sangat dirasakan oleh keluarga pedagang ombus-ombus ini. Belum lagi ditambah dengan bahan-bahan sembako yang harganya melambung tinggi sehingga ada juga sebagian pedagang ombus-ombus ini yang memanfaatkan hasil dari pertanian mereka baik itu berupa cabai, ataupun beras. Keluarga pedagang ombus-ombus ini juga berusaha untuk melakukan penghematan belanja mereka seperti mengganti daging dengan ikan atau mengganti ikan dengan telur dan lain-lainnya dengan alasan untuk mencari bahan makanan yang harganya murah.

 Pendidikan

Pendidikan adalah hal utama yang diperlukan untuk dapat mengatasi kemiskinan. Pendidikan akan memudahkan masyrakat untuk memperkaya akses pengetahuan dan membuat rakyat melek huruf, cerdas, kreatif, dan mampu bersaing dengan negara lain. Pendidikan juga dapat mempermudah kita untuk mendapatkan lapangan pekerjaan sesuai dengan kemampuan kita. Di perguruan tinggi, rakyat miskin mungkin mempunyai

kemungkinan kecil untuk bisa melanjutkan pendidikan sampai dengan tingkat ini. Hal ini dikarenakan banyaknya prosedur-prosedur yang dilakukan untuk menempuh jalur universitas, yakni berupa ujian/tes masuk. Untuk bisa mengikuti ujian masuk perguruan tinggi ini membutuhkan biaya yang mahal bagi rakyat miskin. Sehingga rakyat miskin yang berkeinginan untuk menyekolahkan anaknya sampai pada tingkat perguruan tinggi pun semakin kecil. Adapun jika seseorang yang berasal dari keluarga yang tidak mampu dapat melanjutkan jenjang pendidikannya sampai pada tahap ini, mungkin berasal dari beasiswa yang diberikan oleh pemerintah kepada siswa yang berprestasi untuk bisa melanjutkan sampai kuliah.

Berdasarkan dari hasil wawancara dengan para informan maka sebagian besar pedagang ombus-ombus dapat menyekolahkan anak-anaknya. Bagi mereka pendidikan adalah hal terpenting apalagi dengan semakin majunya zaman saat ini maka perlu membekali diri dengan pendidikan. Namun, ada juga sebagian pedagang ombus-ombus ini yang tidak dapat menyekolahkan anaknya sampai pada jenjang yang lebih tinggi yaitu kuliah.

Dengan melihat pada kasus diatas, maka jelas sekali pendidikan seseorang akan dipengaruhi oleh seberapa besar penghasilan yang diterima oleh orang tuanya. Dapat juga dikatakan bahwa apabila pendapatan rendah maka pendidikan juga rendah dan hal ini akan mempengaruhi pada kualitas SDM yang rendah (Rachmat, 1999).

 Perumahan

Berdasarkan hasil wawancara di atas apabila ditinjau dari segi kepemilikan tempat tinggal atau rumah, sebagian besar keluarga telah memiliki rumah sendiri. Sebagian pedagang lainnya masih menumpang dengan orang tua mereka dan ada juga yang masih

menempati rumah kontrakan. Meskipun jika dilihat dari aspek pengeluaran mereka dan aspek penghasilan mereka bisa dilihat tidak mencukupi, namun mereka masih bisa untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar keluarga mereka. Meskipun kondisi tempat tinggal mereka tergolong dalam kondisi yang memadai atau tidaknya, namun mereka masih bisa mendapatkan air bersih untuk kperluan rumah tangga mereka.

4.4.2 Pengaruh Masuknya Makanan Impor

4.4.2.1 Tanggapan Pedagang Ombus-Ombus Terhadap Masuknya Makanan Impor

Setiap pedagang ombus-ombus yang telah lama ataupun yang baru dalam berjualan ombus-ombus memiliki pengalaman dan pandangan yang berbeda-beda terhadap masuknya makanan impor. Berikut ini adalah hasil wawancara terhadap para pedagang ombus-ombus Siborongborong yang menunjukkan jawaban ataupun pandangan mereka mengenai masuknya makanan impor ke Siborongborong.

Melalui hasil wawancara di lokasi penelitian dengan para pedagang ombus-ombus ini diperoleh data bahwa terdapat suatu jawaban atau pandangan yang berbeda-beda dari para pedagang ini mengenai pengalaman selama mereka berjualan ombus-ombus. Menurut penuturan dari beberapa pedagang menyatakan ada yang merasa bahwa dengan masuknya makanan impor maka dapat mempengaruhi penghasilan mereka dalam berjualan ombus-ombus. Seperti penuturan yang disampaikan oleh informan berikut ini:

“Saya merasa dengan masuknya makanan impor saat ini penghasilan saya semakin menurun, para pembeli ataupun penumpang saat ini sudah jarang untuk membeli ombus-ombus untuk dijadikan oleh-oleh ditambah lagi di Siborongborong saat ini saja sudah ada pabrik roti sehingga peredaran roti di Siborongborong ini sudah semakin meluas”. (Wawancara dengan J. Tampubolon, 2010).

“Jika bicara mengenai makanan impor jelas saat ini makanan seperti ombus-ombus bukan menjadi makanan idola lagi di Siborongborong. Apalagi saat ini keuntungan yang diperoleh bisa meningkat jika hari libur saja seperti hari raya atau hari libur sekolah, barulah agak lumayan”. (Wawancara dengan D. Sianturi,2010).

Selain penuturan dari informan diatas, ada juga pedagang ombus-ombus yang merasa bahwa dengan masuknya makanan impor saat ini tidak terasa pengaruhnya bagi makanan ombus-ombus yang dijualnya. Hal ini diungkapkan oleh informan berikut ini :

“Menurut saya meskipun makanan impor sudah mulai masuk ke daerah Siborongborong ini, namun saya merasa itu tidak ada pengaruhnya dengan makanan ombus-ombus. Ya, itu semua tergantung pada pilihan masyarakat mau memilih makanan yang mana. Namun, meskipun sebanyak apapun makanan impor masuk ke Siborongborong saya rasa orang-orang masih tetap mengenal bahwa ombus-ombus itu berasal dari Siborongborong. Jadi, kita berpikir positif saja dengan keadaan ini”. (Wawancara dengan R. Br Siburian, 2010).

“Kalau saya sih menganggap makanan seperti roti atau apa saja itu masuk ke Siborongborong, saya kira itu wajar-wajar saja. Karena kita sudah hidup pada zaman globalisasi. Jadi, mau atau tidak mau kita harus siap menerima kedatangan makanan impor tersebut. Menurut saya ombus-ombus masih laku kok di Siborongborong ini, buktinya masyarakat kita masih menggunakan makanan ombus-ombus ini untuk acara pesta pernikahan atau sekedar untuk sarapan”. (Wawancara dengan informan W. Siahaan, 2010).

Dengan melihat penuturan dari sebagian pedagang ombus-ombus yang sebagian besar pedagang ombus-ombus yang berjualan dengan menggunakan sepeda angin menyatakan bahwa mereka merasakan adanya pengaruh yang dirasakan dengan masuknya makanan impor di Siborongborong ini. Namun, pedagang ombus-ombus yang membuka usaha jualannya dalam bentuk kedai menyatakan bahwa makanan ombus- ombus masih banyak diminati oleh masyarakat Siborongborong. Bukan hanya penduduk asli Siborongborong saja yang datang di kedai mereka untuk membeli makanan ini tetapi

orang pendatang pun tak jarang yang memesan kue ombus-ombus ini sebagai santapan keluarga mereka.

Dengan memiliki pandangan atau pendapat yang berbeda di antara pedagang ombus-ombus terhadap masuknya makanan impor di Siborongborong, maka para pedagang ombus-ombus ini juga memiliki pandangan atau pendapat yang berbeda juga mengenai perkembangan makanan ombus-ombus ini mulai dulu hingga sampai pada saat ini. Berikut ini adalah penuturan dari para informan yang menyatakan adanya perkembangan makanan ombus-ombus yang dapat dilihat pada saat ini. Hal ini disampaikan oleh informan J. Tampubolon dan T.Sihombing yang mengatakan :

“Dahulu ombus-ombus dapat laku sampai 1100 biji, namun dengan masuknya orang pendatang ke Siborongborong ini yang menjual makanan seperti roti ataupun gorengan serta jajanan-jajanan lain yang dapat kita jumpai di sepanjang kota Siborongborong terutama jika kita melihat sepanjang kota Siborongborong pada sore hari yang ramai dengan jajanan lain mengakibatkan semakin sedikitnya pembeli yang berminat akan makanan khasnya lagi. Padahal dahulu, ombus-ombus inilah yang hanya menjadi makanan idola di Siborongborong”. (Wawancara dengan informan J. Tampubolon, 2010)

“Kalau tentang perkembangan ombus-ombus dari dulu sampai sekarang jelas berbeda. Dahulu makanan ombus-ombus itu masih bisa membawa keutungan bagi kami karena penduduk di Siborongborong ini masih menjadikan makanan ini sebagai makanan favorit sehingga hal ini dapat dilihat dari pedagang ombus-ombus yang dahulu jumlahnya mencapai puluhan. Hal ini dikarenakan dahulu menjadi pedagang ombus-ombus merupakan pekerjaan yang menguntungkan di Siborongborong. Selain bahan-bahannya juga mudah di peroleh dan membuatnya pun tidak begitu sulit. Jadi, semua orang bisa membuat makanan ini. Namun, sekarang ini dapat dilihat, meskipun memang makanan ini masih tetap bertahan di Siborongborong dan masih ada yang mau membelinya, namun saya sendiri yang sudah 25 tahun menjadi pedagang ombus-ombus sangat merasakan perbedaan ini”. (Wawancara dengan informan T. Sihombing, 2010).

Hal yang sama juga dikatakan oleh B. Hutabarat yang mempunyai pendapat atau pandangan yang sama seperti yang diungkapkan oleh J. Tampubolon dan T. Sihombing. Berikut ini penuturannya :

“Kalau menurut pendapat saya perkembangan ombus-ombus dari dulu sampai sekarang memang masih bisa kita dapatkan dan masih bisa dengan mudah kita menikmati makanan ini, makanan ombus-ombus sih memang masih ada sampai sekarang di Siborongborong ini, namun yang membuat para pedagang ombus-ombus ini kecewa yaitu karena makanan ini sudah jarang yang berminat untuk membelinya. Bahkan para penumpang mobil angkutan pun lebih memilih untuk membeli roti untuk makanan mereka. Mungkin ini pengaruh dari makanan impor yang sudah bisa dinikmati di Siborongborong ini”. (Wawancara dengan B. Hutabarat, 2010).

Namun ada pendapat yang berbeda bila dibandingkan dengan pendapat dari informan J. Tampubolon dan T. Sihombing. Berikut ini adalah penuturan dari informan lain yang menjual ombus-ombusnya dengan cara membuka usaha dalam bentuk kedai. Sebagian pedagang ini menyatakan bahwa perkembangan ombus-ombus dari dulu sampai sekarang tidak ada yang berbeda. Seperti yang diungkapkan oleh informan berikut ini :

“Meskipun saya hanya meneruskan usaha ombus-ombus milik kedua orang tua saya dan saya tidak mengetahui bagaimana perkembangan makanan ini dari dulu, namun saya melihat bahwa perkembangan makanan ombus-ombus dari dulu atau sekarang tetap sama. Masyarakat Siborongborong ini masih menganggap makanan ini sebagai makanan yang khas di daerah ini. Buktinya saja, makanan ini masih dijadikan makanan penutup atau tambahan dalam acara-acara seperti pesta pernikahan atau acara-acara lain. Makanan ombus-ombus ini masih diminati oleh masyarakat kita ataupun orang pendatang karena selain harganya yang murah dan kebanyakan orang cinta akan makanan ini karena rasanya yang dicampur dengan gula merah atau gula putih”. (Wawancara dengan informan W. Siahaan, 2010)

“Menurut saya makanan ombus-ombus masih unggul kok di Siborongborong. Dari mulai saya kecil sampai sekarang saya sudah mengenal makanan ini karena makanan ini dibuat langsung oleh penduduk asli sini dan cara pembuatannya juga masih menggunakan peralatan yang sederhana. Makanan ini mempunyai bentuk dan rasa

yang khas. Tak jarang saya juga mendapatkan pesanan dari orang lain untuk membuat ombus-ombus dalam jumlah yang banyak untuk kebutuhan acara seperti rapat. Meskipun banyak makanan impor di Siborongborng ini tapi tak ada yang bisa menyaingi rasa ombus-ombus dan kelembutan kuenya”.(Wawancara dengan I. Sianipar, 2010).

4.4.2.2 Alasan Pedagang Ombus-Ombus Untuk Bertahan Dengan Pekerjaannya

Pekerjaan menjadi pedagang ombus-ombus mungkin dapat dilihat dengan semakin jarangnya pedagang yang berjualan di sekitar pasar Siborongborong ataupun di Simpang Tugu Siborongborong. Namun, bagi pedagang ombus-ombus lainnya mereka mempunyai alasan untuk mempertahankan pekerjaan mereka. Meskipun saat ini persaingan dunia usaha sedah memasuki wilayah Siborongborong, namun pedagang ombus-ombus ini tetap berkeinginan untuk mempertahankan pekerjaaannya.

Ada sebagian pedagang ombus-ombus yang menyatakan alasannya untuk mempertahankan pekerjaan ini karena usaha yang turun temurun yang dilakukan di dalam keluarga mereka, ada juga yang meyatakan bahwa dari pekerjaannya ini bisa menghidupi keluarga, serta ada juga yang menyatakan bahwa mereka memilih untuk mempertahankan agar makanan ini tetap bertahan di daerahnya dan itu terbukti dengan masih adanya pedagang yang masih berjualan ombus-ombus.

Berdasarkan dari data yang terhimpun dalam penelitian ini telah mengungkap beberapa alasan yang menyatakan pedagang ombus-ombus tetap bertahan dengan pekerjaannya saat ini meskipun mereka menyadari penghasilan yang mereka terima saat ini dari berjualan ombus-ombus bisa dikatakan tidak dapat mencukupi jika hanya

Dokumen terkait