• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA

4.3 PROFIL INFORMAN

4.3.1 R br Siburian (45 Tahun)

Ibu Siburian ini telah menikah dan bersuksu Batak Toba yang mempunyai pendidikan terakhir yaitu SMA. Ia telah tinggal di Siborongborong sejak tahun 1992. Sebelum tinggal di Siborongborong, Ia tinggal di Medan bersama dengan suami dan anak-anaknya. Namun, karena suaminya telah meninggal dunia pada tahun 1991, Ia memutuskan untuk meninggalkan Medan dan mencoba usaha di Siborong-borong. Sejak Ia tinggal di Siborongborong, maka sejak itulah Ia mencoba untuk meneruskan usaha keluarga suaminya yang bermarga Siahaan untuk membuka usaha jualan ombus-ombus. Jadi, sudah kurang lebih selama 18 tahun ibu ini membuka usaha ombus-ombus.

Adapun dalam menjual ombus-ombus ini, Ia membuka usaha berupa kedai yang sekaligus kedai tersebut menjadi tempat tinggal Ia dan anak-anaknya. Usaha kedai jualan ombus-ombusnya ini dapat kita jumpai tepatnya di depan pasar Siborongborong di Jalan.

Sisingamangaraja. Ia membuka usaha ombus-ombusnya setiap harinya dimulai pada pukul 08.00 WIB.

Ia mempunyai 4 orang anak, 2 anak laki-laki dan 2 anak perempuan. Sekarang ini Ia tinggal bersama dengan anak laki-lakinya yang paling bungsu yang juga berkuliah di UNITA (Universitas Sisingamangaraja Tapanuli Utara).. Adapun 3 orang anak dari ibu ini tinggal di Medan dan sudah bekerja.

Menurut penuturan ibu ini, usaha berjualan ombus-ombus ini telah lama dirintis oleh keluarga almarhum suaminya yang dimulai oleh ayah dari almarhum suaminya yaitu Alm. Anggiat Siahaan. Adapun anak dari Alm. Anggiat Siahaan ini hanya terdiri dari dua orang anak laki-laki, yaitu alm. J. Siahaan/br Siburian dan W. Siahaan/br togatorop. Kedua anaknya inilah yang meneruskan usaha ombus-ombus yang diberi nama “Ombus- Ombus Nomor 1” oleh alm. Anggiat Siahaan. Usaha inilah yang kemudian diteruskan oleh pak W. Siahaan dan ibu Siahaan ini. Letak lokasi rumah mereka untuk menjual ombus-ombus yang sekaligus membuka kedai juga jaraknya tidak jauh, sama-sama berada di daerah pasar Siborongborong.

Meskipun ibu ini hanya tinggal berdua dengan anak laki-lakinya yang paling bungsu, namun usaha ibu ini untuk mencari penghasilan juga tetap gigih. Dinilai usaha ombus-ombus hanya mendapatkan penghasilan yang sedikit, maka ibu ini juga mencari sejumlah tambahan penghasilan. Bukan hanya penghasilan dari berjualan ombus-ombus ini, namun ia juga membuka kedai yang menjual makanan dan sekaligus Ia menjual ulos. Ia mengatakan hal ini dilakukan untuk bisa bertahan hidup dan memenuhi kebutuhan hidup keluarga ibu ini, meskipun pada kenyataannya anak-anak ibu ini sudah pada bekerja, namun ibu ini tidak terlalu mengharapkan penghasilan dari anak-anaknya.

Baginya, jika anak-anaknya sudah bisa membiayai kebutuhan hidup mereka sendiri saja, ia sudah merasa senang.

Dalam usahanya menjual ombus-ombus ini, ibu Siburian ini hanya mengerjakan seorang diri mulai dari pembuatan ombus-ombus sampai dengan penjualannya. Pada waktu itu, ia pernah mempekerjakan orang yaitu pekerja laki-laki untuk membantunya dalam membuat ombus-ombus. Namun dikarenakan para pekerja laki-laki mempunyai kebiasaan suka merokok, sehingga asap rokok itu dapat mengganggu proses pembuatan ombus-ombus, maka ibu ini memutuskan untuk tidak lagi mempekerjakan orang untuk membantunya membuat ombus-ombus. Ia juga berharap anak laki-lakinya yang bungsu ini yang bisa meneruskan usahanya ini, sehingga ia menginginkan anaknya untuk tetap berada di Siborongborong.

4.3.2 Iwan Sianipar (33 Tahun)

Iwan lahir di Siborongborong. Setelah Ia berusia 18 tahun, yaitu setelah tamat SMA, ia pergi merantau ke Jakarta untuk mencari pekerjaan. Di Jakarta, ia tinggal dengan saudaranya. Segala jenis pekerjaan ia coba untuk mendapatkan penghasilan agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya selama ia tinggal di Jakarta dan juga untuk membantu orang tuanya dan saudara-saudaranya yang masih tinggal di Siborongborong. Pekerjaan orang tuanya yang hanya sebagai pedagang, membuatnya berusaha untuk membantu semampunya untuk keperluan keluarganya dan juga keperluan sekolah adik- adiknya.

Iwan sendiri adalah anak pertama dari enam bersaudara. Dengan demikian, ia bisa dikatakan menjadi tulang punggung dalam keluarganya. Setiap hari ia mencoba melakukan pekerjaan yang bisa ia lakukan, mulai dari menjadi buruh bangunan,

membantu saudaranya yang membuka bengkel sampai menjadi supir angkutan. Meskipun penghasilan yang ia terima dari setiap pekerjaan yang ia lakukan tidak begitu banyak, namun ia tetap semangat menjalani pekerjaannya. Baginya pekerjaan apapun itu asalkan halal dan dilakukan dengan sepenuh hati, meski hasil yang didapat tidak maksimal, namun ia cukup senang.

Di Kota Jakarta ini juga ia bertemu dengan pasangan hidupnya yang juga sama- sama merantau dan mencari pekerjaan di kota ini. Mereka berdua pun memutuskan untuk melanjutkan hubungan mereka dalam bentuk keluarga. Iwan pun menikah di Jakarta dengan modal tabungan yang telah ia simpan selama bertahun-tahun.

Namun, setelah ia mempunyai anak pertama, Iwan pun memutuskan untuk kembali ke kota asalnya atau kota kelahirannya yaitu di Siborongborong, karena alasan biaya hidup yang semakin bertambah. Dulu saja ia bisa membiayai dirinya sendiri saja sudah merasa cukup. Dengan semakin kerasnya perjuangan untuk bertahan hidup di Jakarta dan semakin mahalnya bahan-bahan kebutuhan pokok untuk hidupnya dan keluarganya membuat ia memutuskan untuk pulang kampung. Pada tahun 2008, ia pun kembali ke Siborongborong.

Pada tahun 2008 juga, ia memutuskan untuk meneruskan usaha keluarganya yaitu usaha jualan ombus-ombus. Usaha ini telah lama dirintis oleh opungnya yang kemudian diwariskan oleh ayahnya dan setelah itu juga dilanjutkan oleh Iwan. Dengan begitu, ia sudah dua tahun berjualan ombus-ombus.

Saat ini Iwan hidup dengan istri dan kedua orang anaknya yang masih kecil-kecil. Meskipun ia meneruskan usaha jualan ombus-ombus milik keluarganya ini, Iwan masih merasa belum bisa menghidupi anak dan istrinya jika hanya mengandalkan penghasilan

dari jualan ombus-ombus ini. Ia dan keluarganya pun masih tinggal di rumah orang tuanya karena ia belum mempunyai biaya untuk mengontrak rumah. Jika tabungannya sudah cukup untuk biaya kontrakan rumah, maka barulah ia tinggal di rumah tersebut bersama istri dan anaknya. Karena masih banyak beban yang baru dan tanggung jawabnya terhadap anak dan istrinya, membuat ia mencari alternatif tambahan penghasilan lain. Ia pun memutuskan untuk mengerjakan sawah keluarga mereka dan juga sawah orang lain. Dengan demikian, ia mempunyai pekerjaan sampingan selain sebagai pedagang ombus-ombus juga sebagai buruh tani.

Iwan pun juga harus bangun lebih awal setiap kali jadwal ia berjualan. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam berjualan ombus-ombus ini, pedagang ombus-ombus berjualan hanya satu kali dalam dua hari. Dalam artian, setiap harinya pedagang ombus- ombus saling bergantian untuk berjualan. Jadi, jika Iwan berjualan pada hari Senin maka pada hari Rabu nanti ia akan berjualan kembali. Setiap pagi atau tepatnya waktu subuh yaitu pukul 04.00 WIB, ia pun mulai untuk membuat ombus-ombus dibantu oleh istrinya. Jadi, jika setiap kali ia berjualan, ombus-ombusnya tetap terasa hangat dan baru karena pada hari itu juga ombus-ombusnya dibuat.

Setiap sekali dalam dua hari, Ia berangkat dari rumahnya pukul 07.00 WIB untuk berjualan ombus-ombus. Dengan sepeda angin dan tempat ombus-ombus yang dibuat dibelakang sepedanya, Ia berjualan mengelilingi sepanjang kota siborongborong. Dari pagi hingga sore hari, ia tidak kenal lelah untuk mencari nafkah dengan mendayung sepedanya untuk melakukan perjalanan sekian kilometer. Sepeda dan tempat untuk meletakkan ombus-ombus ini diberikan oleh ayahnya, karena semasa ayahnya masih berjualan ombus-ombus, ayahnya juga memakai sepeda ini.

Setiap mobil angkutan yang lewat baik itu dari arah Tarutung atau dari arah lain, ia tetap semangat untuk menawarkan ombus-ombus miliknya kepada para penumpang mobil angkutan tersebut. Meski terkadang para penumpang tidak ada yang mau membeli ombus-ombus miliknya, ia tidak merasa putus asa. Ia tetap semangat karena ia masih mengingat bahwa ia mempunyai anak dan istri yang harus ia biayai, apalagi anak- anaknya sekarang masih kecil dan ada yang masih bayi. Jadi, bukan hanya untuk kebutuhan makan saja yang harus ia cari, tapi juga untuk kebutuhan bayinya, yaitu susu dan keperluan lainnya. Iwan pun pulang ke rumahnya sehabis ia berjualan pada pukul 18.00 WIB.

Adapun penghasilan yang ia terima sebagai pedagang ombus-ombus adalah sebesar Rp 600.000,00/bulan Pada keesokan harinya, ia pun mengerjakan pekerjaan sampingannya yaitu sebagai buruh tani. Karena ia bergantian dengan kelompok pedagang lain untuk berjualan ombus-ombus, ia pun mengerjakan sawah orang lain dan sawahnya untuk tambahan penghasilan. Ia pun mulai bekerja di sawah pada pukul 08.00 sampai pada pukul 18.00 WIB. Dari penghasilan pekerjaannya sebagai buruh tani dan pedagang ombus-ombus, ia bisa menabung sedikit demi sedikit tiap bulan di asuransi ASRI.

Namun, karena semakin tingginya biaya hidup dan semakin mahalnya sembako, dan mahalnya harga pupuk membuatnya untuk meminjam uang dari keluarganya ataupun dari tetangganya. Jadi, pengeluaran yang perlu dibatasi adalah pada pembelian pupuk. Adapun pengeluaran lain selain membeli pupuk adalah pengeluaran untuk membeli bahan-bahan dalam membuat ombus-ombus yang waktunya tidak bisa ditentukan. Jika hari libur pembelian bahan-bahan untuk ombus-ombus tersebut bisa mencapai Rp

250.000,00 untuk sekali dua hari, sedangkan untuk hari biasa pengeluaran dibawah Rp 250.000,00 karena pengeluaran untuk itu tidak menentu.

4.3.3 W. Siahaan (52 Tahun)

W. Siahaan merupakan anak kedua dari almarhum A. Siahaan (pencetus nama Ombus-Ombus No.1). Ia tinggal di Jl. Sisingamangaraja atau tepat di dekat terminal Siborongborong. Pak Siahaan ini mempunyai pendidikan terkahir sampai pada tingkat S1 di Universitas Andalas, Sumatera Barat. Setelah ia menyelesaikan pendidikannya, ia diminta untuk kembali ke Siborongborong oleh almarhum ayahnya untuk kembali melanjutkan usaha ombus-ombus milik keluarga mereka. Almarhum ayahnya pun mengajari pak Siahaan ini untuk membuat ombus-ombus sesuai dengan resep yang telah digunakan oleh orang tuanya selama ini.

Beliau bukan hanya meneruskan usaha ayahnya yaitu menjual ombus-ombus, namun ia juga menjadi Kepala Desa Pohan Tonga, Kecamatan Siborongborong. Ia juga mengatakan meskipun sekarang ini telah muncul berbagai jenis jajanan modern yang diperjualbelikan terutama di pasar atau pinggiran jalan Siborongborong, ia tetap mempertahankan usaha yang telah dirintis oleh almarhum orangtuanya. Ia juga membuka sebuah perusahaan jasa angkutan umum berbentuk persekutuan komanditer yang diberi nama CV. Ombus-Ombus.

Beliau tetap mempertahankan usaha warisan orangtuanya ini karena ia mengingat kerja keras ayahnya yang tidak pernah mengenal lelah dalam menjajakan makanan yang dibungkus dengan daun pisang ini. Meskipun hujan ataupun teriknya matahari, almarhum ayahnya tetap mengejar pembeli bahkan menawarkannya ke bus-bus angkutan umum

yang berhenti di Simpang Tugu Kota Siborongborong. Dengan begitu, ia memaknai perjuangan keras dari almarhum ayahnya sampai sekarang.

Bangunan yang terletak di Jalan Sisingamangaraja atau persis di dekat terminal Siborongborong merupakan warisan peninggalan orangtuanya yang diberikan kepadanya. Bangunan itu bukan hanya dijadikan sebagai warung (Lapo dalam bahasa Batak), tetapi juga dijadikan sebagai tempat tinggal ia dan keluarganya. Semenjak bangunan itu permanen, pembeli yang datang ke rumahnya yang berbentuk warung (Lapo dalam bahasa Batak) itu semakin ramai. Pembeli yang datang juga tidak memandang usia, semua kalangan datang, bahkan masyarakat yang melintas dari Siborongborong. Makanan tradisional ombus-ombus ini juga dapat dipesan untuk acara besar-besar, seperti pertemuan Unsur Muspida Taput, Tobasa, Humbahas, acara pernikahan, atau sekedar untuk oleh-oleh. Beliau juga mengatakan bahwa ia dan keluarganya akan terus mempertahankan usaha ini hingga turun-temurun.

Selain itu juga, istrinya yang bernama B. Br Togatorop juga pernah menjadi calon anggota DPRD Tapanuli Utara (TAPUT) periode 2009-2014 dari Daerah Pemilihan (Dapem 2) yang meliputi Kecamatan Siborongborong, Sipaholon, Parmonangan, Muara dan Pagaran. Hal ini dilakukan oleh istrinya dengan alasan mendukung perkembangan perekonomian masyarakat dengan budaya kerja keras dan melestarikan adat dan buadaya (dalam hal ini sektor pariwisata) dari daerah ini.

4.3.4 J. Tampubolon (65 Tahun)

J.Tampubolon memulai usaha berjualan ombus-ombus sejak tahun 1977. Dengan demikian, ia telah 33 tahun berjualan ombus-ombus. Dalam sekali dua hari, ia memulai mengayuh sepedanya untuk menjajakan ombus-ombusnya dimulai pada pukul 08.00

sampai dengan pukul 18.00 WIB. Ia berangkat dari rumahnya yang berada di Jl. Sadar menuju daerah pasar Siborongborong dengan menaiki sepeda anginnya yang sudah siap dengan tempat ombus-ombusnya. Ia pun berkeliling di sepanjang kota Siborongborong untuk menunggu mobil-mobil angkutan yang hendak berangkat atau mobil angkutan yang baru datang dari arah Tarutung atau dari arah lain. Ia biasanya berjualan di loket- loket angkutan mobil atau di Simpang Tugu.

Disamping ia menjadi pedagang ombus-ombus, ia juga mempunyai pekerjaan sampingan sebagai petani jagung. Pekerjaannya sebagai petani jagung sudah lama ia lakukan sebelum ia menjadi pedagang ombus-ombus. Oleh karena hasil yang diperoleh dari pekerjaannya sebagai petani jagung yang hasilnya baru bisa dinikmati setiap 4 bulan sekali, maka ia memutuskan untuk menjadi pedagang ombus-ombus untuk menambah pemasukan keuangan bagi keluarganya

Beliau mempunyai seorang istri dan tujuh orang anak perempuan. Ia dan keluarganya tinggal di rumah yang sederhana. Ia juga mengatakan bahwa hasil dari menjual ombus-ombusnya selama inilah yang dapat membiayai kehidupan mereka dan juga termasuk dapat membiayai sekolah anak-anaknya. Ia juga mensyukuri bahwa hasil dari pekerjaannya sebagai pedagang ombus-ombus selama ini dapat membuat anak- anaknya semua menyelesaikan sekolahnya sampai pada tingkat SMA. Menurut beliau, rumah yang ditempatinya saat ini juga merupakan sebagian hasil dari jualan ombus- ombusnya. Pada saat ini anak-anaknya sudah bisa menjadi orang yang berhasil. Ada yang menjadi guru, wiraswasta, dan masih banyak lagi.

Ia mengatakan bahwa penghasilannya yang ia terima dari menjual ombus-ombus dahulu dengan sekarang berbeda. Pada masa dahulu, dimana ombus-ombus masih

menjadi makanan favorit di Siborongborong sehingga pembeli pun masih berminat untuk membeli makanan ini. Namun, berbeda dengan masa sekarang. Saat ini penghasilannya hanya mencapai Rp 200.000 – 400.000 sebulan, belum lagi ditambah dengan biaya hidup yang semakin meningkat saat ini. Hal ini dapat dilihat dari harga-harga sembako yang beranjak meningkat.

Ia pun tidak menentu dalam biaya pengeluaran untuk membeli bahan-bahan pembuatan ombus-ombus ini. Ombus-ombus ini dibuat pada malam harinya dan pada keesokan harinya jika jadwalnya berjualan, maka ia panaskan terlebih dahulu sebelum ia berangkat untuk menjajakan ombus-ombus buatannya sendiri. Dalam pembuatan ombus- ombus ini sendiri, ia dibantu oleh istrinya yang bernama D br Sianipar. Bukan hanya beliau yang menjadi petani saat ini, tetapi istrinya pun juga ikut membantu keuangan keluarganya dengan menjadi petani juga. Lahan yang mereka kerjakan bisa berupa lahan sendiri ataupun lahan orang. Meskipun saat ini, anak-anaknya sudah tidak tinggal bersamanya lagi dikarenakan mereka semua sudah pada menikah, tidak berarti pengeluaran berkurang. Hal ini dikarenakan bahan-bahan yang serba naik, belum lagi biaya yang harus mereka keluarkan untuk membeli bahan-bahan pembuatan ombus- ombus ataupun untuk pupuk mereka. Namun, jika pak Tampubolon ini mengalami kekurangan uang, maka anak-anaknya bersedia untuk membantu beliau.

Jika untuk masalah bahan-bahan dalam membuat ombus-ombus, ia mengatakan biaya yang dikeluarkan tidak terperinci karena berdasarkan waktunya. Maksudnya, jika hari libur ia mengeluarkan biaya yang cukup banyak, namun jika hari biasa pengeluaran pun sedikit. Bahan-bahan yang diperolehnya juga juga tidak sulit, misalnya, untuk mendapatkan tepung beras, gula merah, gula putih, kelapa dapat dibelinya dari pasar

Siborongborong. Namun, umtuk pembelian daun ucim (daun pisang), ia memesan langsung dari Medan yaitu tepatnya di Simpang Limun dalam 15 kali sebulan. Kemudian daun pisang tersebut dikirim/diantar melalui mobil angkutan yang menuju Siborongborong.

Ia pun memilih untuk memesan langsung daun pembungkus makanan tradisional ini melalui Medan karena daun yang berasal dari Medan cenderung kuat dan tidak mudah sobek. Hal ini berbeda dengan daun pisang dari Siborongborong. Mengenai tepung beras yang dipakai sebagai bahan utama pembuatan ombus-ombus, ia memilih untuk membeli langsung dari pasar Siborongborong ataupun dari swalayan. Meskipun menurutnya ada perbedaan rasa dalam penggunaan tepung beras yang dibeli dengan yang diolah secara sendiri (ditumbuk).

Penghasilan yang ia terima pun sedikit demi sedikit dapat ia tabung. Jika keuangannya tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan hidup mereka, ia meminjam dari tetangga atau anak-anaknya yang bersedia untuk membantu keuangan orang tuanya. Menurut ceritanya, dahulu ia pernah di potret (diambil gambarnya dengan sepeda ombus- ombusnya) dengan menggunakan kamera oleh orang luar negeri kira-kira pada tahun 2000-an (beliau tidak begitu ingat dengan tahun berapa tepatnya gambarnya diambil oleh orang luar negeri itu dikarenakan kondisinya yang sudah lanjut usia). Lalu gambar dirinya itu dikirimkan oleh orang luar negeri tersebut ke presiden dan juga sampai ke gubernur dan saat ini gambar itu sudah terpajang di rumahnya.

4.3.5 W. Situmeang (35 Tahun)

W. Situmeang sudah 3 tahun berjualan ombus-ombus. Ia adalah menantu dari pak J. Tampubolon dari anak perempuannya yang ke 6. Sejak saat ia menikah dengan putri

pak J. Tampubolon inilah, ia mulai menjadi pedagang ombus-ombus. Pada saat ini, ia tinggal dengan seorang istri dan seorang anak. Tempat tinggalnya juga tidak jauh dari kediaman keluarga pak J. Tampubolon.

Sebelum ia menikah dan memutuskan untuk menjadi pedagang ombus-ombus, ia bekerja sebagai buruh tani dan membantu orang tuanya untuk berjualan. Karena pada saat itu, orang tuanya membuka usaha jualan (warung) di rumah mereka. Ia pun membantu sedikit demi sedikit dari pekerjaannya untuk membantu keuangan orang tuanya karena waktu itu ia masih mempunyai 5 orang lagi adik-adiknya yang butuh biaya untuk sekolah. Ia merupakan anak pertama dari enam bersaudara di keluarganya. Oleh karena itu, ia ikut bertanggungjawab untuk membantu keuangan orang tuanya sebisa mungkin.

Dengan berbekal hanya sampai pada pendidikan SLTP saja, ia tetap semangat untuk mencari pekerjaan dengan harapan adik-adiknya semua bisa merasakan pendidikan sekolah dan tidak ketinggalan nantinya dalam menghadapi perkembangan zaman. Ternyata pengorbanannya untuk ikut membantu keuangan orang tuanya tidak sia-sia, adik-adiknya pun bisa menyelesaikan pendidikan mereka sampai pada tingkat SMA. Adik-adiknya juga ikut membantu kedua orang tua mereka untuk berjualan di warung atau berjualan di pasar bila hasil panen mereka telah tiba. Baginya, hidup ini memang keras dan hanya orang-orang yang mempunyai semangat yang tinggi untuk mendapatkan hasil dari kerja keras yang dapat melangsungkan hidup.

Meskipun saat ini ia sudah menikah, namun semangat kerja kerasnya tetap ditunjukkannya dengan menjadi pedagang ombus-ombus. Ia juga tetap menjadi buruh tani untuk mendapatkan penghasilan tambahan. Karena baginya, jika ia hanya mengharapkan penghasilan dari penjualan ombus-ombusnya setiap sekali dua hari itu

untungnya tidak begitu banyak sementara biaya hidup saat ini semakin tinggi. Harga- harga kebutuhan pokok semakin naik. Meskipun anaknya masih berumur 2 tahun, namun ia mempersiapkan segala sesuatunya untuk keluarganya. Sehingga sebagian dari hasil penjualan ombus-ombus dan pekerjaannya yang menjadi buruh tani dapat ia tabung untuk mempersiapkan sesuatu yang tidak dapat ia kira suatu saat nanti.

Usaha ombus-ombusnya ini pun diberikan oleh mertuanya yaitu pak J. Tampubolon sehingga ia dengan sendirinya dapat membuat sendiri ombus-ombus yang dijualnya. Ia pun mulai berangkat dari rumahnya untuk berkeliling mencari pembeli dan menunggu mobil-mobil angkutan umum mulai dari pukul 08.00- 17.00 WIB. Istrinya pun ikut membantu keuangan mereka dengan menjadi buruh tani, sehingga pemasukan pendapatan darinya dan istrinya bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka. Meskipun hasil yang didapatnya dari berjualan ombus-ombus tidak menentu, dikarenakan peminat pembeli semakin berkurang, ia tetap tidak putus asa. Ia tetap mengayuh sepeda anginnya dan berkeliling di sepanjang jalan kota Siborongborong atau tetap berada di loket angkutan umum untuk menunggui mobil yang hendak berangkat atau mobil yang datang, dengan harapan jika mobil itu berhenti, ia bisa menawarkan langsung kepada pembeli atau penumpang mobil angkutan tersebut.

Jika ia tidak berjualan ombus-ombus dikarenakan waktu berjualan yang bergantian dengan pedagang ombus-ombus lainnya, ia juga aktif di lingkungan rumahnya, seperti ia akan turut membantu kegiatan-kegiatan yang akan berlangsung di

Dokumen terkait