• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA

4.2 OMBUS-OMBUS SIBORONGBORONG

4.2.1 Sejarah Makanan Tradisional Ombus-Ombus

Sekitar 65 tahun silam zaman kemerdekaan Indonesia, gerak perekonomian

masyarakat di Kecamatan Siborongborong, Kabupaten Tapanuli Utara mulai tampak dengan berbagai kegiatan aktivitas perdagangan, mulai dari perdagangan hasil pertanian hingga sembilan bahan pokok. Namun disisi lain, kreativitas masyarakat didaerah ini muncul, salah satunya adalah membuat dan menjual lepat dengan ciri khas tersendiri.

Adapun yang membuat ombus-ombus ini pertama kali adalah boru Sihombing yang menikah dengan seorang laki-laki yang bermarga Sianturi. Awalnya, sekitar tahun 1940-an, almarhum Musik Sihombing inilah yang memulai usaha berjualan lepat ini yakni di rumahnya, di Jalan Balige Pusat Pasar Kecamatan Siborongborong. Namun saat itu, Almarhum Musik Sihombing memberi nama lepat tersebut “Lappet Bulung Tetap

Panas”. Usaha tersebut dinilai warga cukup menjanjikan, karena pembelinya cukup lumayan. Dinilai berhasil, Almarhum Anggiat Siahaan datang dari Desa Pohan Tonga, Kecamatan Siborongborong mulai ikut membuat lepat seperti yang dimulai oleh Almarhumah Musik Sihombing. Dibantu sang istri, Almarhum Horlina boru Nababan, akhirnya Almarhum Anggiat Siahaan pun mulai berjualan lepat dengan cara menganyuh sepeda dari desanya. Saat berjualan, Almarhum Anggiat Siahaan mungkin terlalu rancu menawarkan nama jualannya yang terlalu panjang yakni “lappet Bulung Tetap Panas” seperti yang dimulai Almarhum Musik Sihombing. Sehingga muncullah ide kreatif Almarhum Anggiat Siahaan untuk memberinya nama baru yang lebih simple dan menarik. Nama lepat tersebut dia beri usul “Ombus-ombus No.1”. Kalau menilik soal nama dalam Bahasa Batak tersebut Ombus-ombus berarti tiup-tiup. Mungkin alasan Anggiat memberi nama tersebut disebabkan lepat yang terbuat dari tepung beras ini lebih enak dimakan saat panas-panas. Namun pembuatan nama baru ini bukannya berjalan dengan mulus begitu saja, sejak nama baru itu dikumandangkan Almarhum Anggiat, pertikaian soal namapun terjadi dengan almarhum Musik Sihombing.

Sehingga pada era 1960-an sejumlah warga Siborongborong yang membuat lepat mengadakan pertemuan semacam rapat. Mereka hendak bermufakat untuk menamai lepat ala Siborongborong, agar bisa dibedakan dengan lepat dari daerah lain. Kecuali Anggiat Siahaan, semua menawarkan nama “Lappet Bulung Tetap Panas”. Nama inilah yang diprotes oleh Anggiat Siahaan yang mengatakan bahwa bagaimana mungkin lepat ini tetap panas sampai sore padahal ombus-ombus itu dibuat pada pukul 05.00 WIB lalu dibawa ke kota untuk dijual. Ketika itu memang para pembuat lepat masih tinggal di desa-desa dan mereka menjajakannya ke Siborongborong. Lalu Anggiat Siahaan inilah

yang membuat nama sendiri yaitu “Ombus-Ombus” yang tidak selalu berarti harus panas. Akhirnya hingga kini semua lepat buatan warga Siborongborong dinamai sebagai “Ombus-Ombus”. Meskipun para pedagang ombus-ombus saat ini menamai jualan mereka dengan nama “Ombus-Ombus Nomor 1”, tetapi para pedagang tersebut mengakui bahwa mereka sendirilah yang mebuat ombus-ombus yang mereka jual tersebut dan tidak ada yang bekerja dengan Anggiat Siahaan meskipun beliaulah yang mebuat nama “Ombus-Ombus Nomor 1” tersebut.

Pertikaian itu berakhir seiring dengan waktu, dan Almarhum Anggiat Siahaan tetap mempertahankan nama yang dicetuskannya itu tanpa memikirkan hal-hal lain. Hampir setiap hari, Almarhum Anggiat Siahaan menjajakan lepat Ombus-ombus No.1- nya ke Pasar Siborongborong. Ditengah ramainya Pasar Siborongborong, Almarhum Anggiat tetap gigih menjajakan lepatnya. Sementara dirumah, sang istri Almarhum Herlina Boru Nababan sudah menyiapkan lepat baru untuk dijual keesokan harinya. Dengan tekun dan kerja keras, kedua Pasangan Suami Istri (pasutri) ini mampu mendapatkan keuntungan yang cukup untuk membiayai kebutuhan rumahtangga meereka hingga dari keduanya dikaruniai 8 anak ( Dua laki-laki dan Enam perempuan). Setiap hari hingga bertahun-tahun lamanya, dari subuh hingga maghrib, Almarhum Anggiat yang dikenal pekerja keras ini terus mengembangkan usahanya. Hingga suatu ketika, ia mendapat kado dari pihak mertuanya (Marga Nababan) untuk membangun sebuah gubuk dagangannya di depan Terminal Mini Siborongborong. Pada waktu itu (Sekitar tahun 1970-an), gubuk/kedai untuk menjual ombus-ombus itu dibangun sangatlah sederhana atau ala kadarnya karena yang terpenting baginya bisa dijadikan sebagai tempat berjualan.

Didepan gubuk kecil itu, Almarhum Anggiat Siahaan langsung membuat plang tanda “Ombus-ombus No.1”. Sejak itulah, Almarhum Anggiat tidak lagi menganyuh sepedanya untuk berjualan, melainkan hanya menunggu di gubuk yang baru dibangunnya. Pelan tapi pasti, dengan bantuan anak-anaknya, usaha keluarga itu pun terus berjalan lancar. Tahun 1994, Almarhum Angg iat Siahaan akhirnya dipanggil oleh Tuhan (meninggal dunia), dan meninggalkan sang almarhum istri Horlina boru Nababan (Meninggal tahun 2002) dan kedelapan anaknya. Namun perjuangan keras hidupnya itu tak berakhir sia-sia, tiga anaknya berhasil masuk menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS), sementara yang lainnya kebanyak berwiraswasta.

Bukan hanya itu saja, pemberi nama ombus-ombus pertama kali yaitu boru Sihombing dan keluarganya akhirnya tidak lagi berjualan ombus-ombus. Dengan kondisi perekonomian mereka yang semakin terpuruk (miskin) menyebabkan ibu boru Sihombing dan keluarganya memutuskan untuk pindah dari Siborongborong dan mereka pun pindah ke Sidikalang. Tidak jelas juga apakah keluarga ini tetap meneruskan jualan ombus-ombusnya atau mencari pekerjaan lain, namun berdasarkan informasi dari salah satu informan mengatakan bahwa beliau dan suaminya meninggal di Sidikalang dan tidak pernah kembali lagi ke Siborongborong.

Nama Ombus-ombus bukan hanya dikenal untuk makanan tradisional di Siborongborong. Namun, nama Ombus-ombus ini justru dijadikan judul sebuah lagu yang dipopulerkan oleh Nahum Situmorang yang lirik dari lagu itu sendiri sama dengan kenyataan dari asal dan orang yang membuat pertama kali ombus-ombus yang boru Sihombing. Namun, kita pantas untuk mensyukurinya, karena ternyata untuk

mengabadikan sebuah masakan khas bisa juga lewat sebuah lagu. Beliau pun meninggal pada tanggal 20 Oktober 1969.

4.2.2 Ragam Makanan Tradisional Batak

Makanan Toba seringkali identik dengan rasa pedas dan rasa asam. Untuk keasaman pada makanan tersebut biasanya digunakan jeruk sundal dan asam gelugur. Untuk rasa pedas pada makanan selain cabai dipakai juga andaliman. Andaliman merupakan rempah-rempah khas dari Sumatera Utara (rempah-rempah yang hanya tumbuh di tanah Batak), sebagai bumbu penyedap masakan, buahnya bulat kecil berwarna hijau (berwarna hitam setelah kering dijemur). Kunci makanan khas Batak itu ada pada andaliman. Tanpa andaliman, makanan seperti : natinombur, naniarsik, naniura dan lainnya pasti akan terasa hambar. Buah andaliman kaya akan vitamin C dan E yang berguna meningkatkan daya tahan tubuh. Rasa buah andaliman yang siak manorop (pedas mengigit) yang diartikan sebagai lambang orang Batak yang dapat menjadi pemimpin yang berani dan bertanggungjawab.

Gambar Bumbu Masakan Batak : Andaliman

Halas dalam bahasa Indonesia disebut dengan lengkuas yang mempunyai tinggi 1-2 m. Lengkuas tersebar di seluruh daerah tropis dan sub tropis. Tanaman ini berasal

dari India yang kemudian menyebar ke Asia Tenggara. Nilai luhur yang teerkandung dari tumbuhan ini menunjukkan agar tetap gembira dalam menerima cobaan.

Asam gelugur adalah tanaman serbaguna yang perlu dipopulerkan kembali karena keberadaannya saat ini yang semakin jarang. Sebagai elemen penghijauan, pohonnya dapat digunakan. Di Malaysia, tanaman asam gelugur disebut “Si Pohon Indah dari Semenanjung”. Buahnya dapat dipakai sebagai bumbu masak, selai, sirup, dan manisan. Rasa asamnya khas dan beda dari asam jawa atau tamarind (Sihotang,2008).

Gambar Bumbu Masakan Batak : Asam Gelugur

4.2.2.1 Pangan Hewani

Terdapat berbagai jenis pangan hewani yang menjadi makanan tradisional khas Toba, yaitu natinombur, naniarsik dan dali ni horbo. Pada dasarnya makanan ini banyak menghindari penggunaan minyak goreng dalam pengolahannya.

a. Natinombur

Ikan yang digunakan dalam makanan ini adalah ikan apa saja, misalnya ikan mujair, ikan mas, ikan lele. Ikannya bisa digoreng dan bisa pula dibakar tergantung kesukaan masing-masing. Tomburnya adalah sambal atau bumbu yang dilumurkan di atas ikan tersebut. Penggunaan andaliman pada makanan ini juga diperlukan dalam jumlah yang cukup banyak.

Gambar Makanan Tradisional Natinombur

b. Naniarsik

Naniarsik adalah suatu bentuk makanan khas dari masyarakat Batak yang juga tak jarang digunakan dalam bagian upacara adat Batak, seperti dalam upacara pernikahan Batak dimana ikan ini menjadi hidangan makanan yang disajikan oleh pihak perempuan. Ada sedikit perbedaan antara arsik Karo dan arsik Toba. Biasanya arsik Karo lebih kering, sedangkan arsik Toba berkuah dan encer. Kebanyakan makanan ini menggunakan ikan mas yang direbus atau dikukus dalam bumbu kuning. Dahulu ikan yang digunakan dalam makanan ini menggunakan “Ihan Batak” (ikan Batak). Ikan ini hanya hidup di danau Toba dan sungai Asahan bagian hulu dan rasanya memang manis dan khas. Ikan ini hidup di air yang jernih dan berenang selalu beriringan. Namun, saat ini ikan jenis sangat sulit untuk ditemukan. Sehingga sebagai penggantinya digunakan ikan mas.

Gambar Makanan Tradisional Naniarsik

c. Naniura

Makanan tradisional yang satu ini hampir sama dengan makanan naniarsik, namun perbedaan kedua makanan ini terletak pada cara memasaknya. Proses pemasakan

naniura tergantung dari bumbu-bumbu dan asam/jeruk nipis yang digunakan. Proses pemasakan yang menggunakan ikan segar tersebut hanya dengan bumbu rempah dan jeruk nipis tanpa melalui proses perapian. Bumbu-bumbu yang digunakan tersebut dibiarkan selama kira-kira 4 jam agar dapat meresap pada ikan.

Makanan tradisional yang satu ini juga dapat kita jumpai dalam acara masyarakat Batak Toba. Pada acara pernikahan Batak Toba, makanan ini dibawa oleh pihak perempuan. Simbol dari makanan yang digunakan dalam upacara pernikahan masyarakat Batak Toba ini adalah harapan kepada pengantin dan keluarganya agar selalu seia sekata dan murah rejeki. Makanan ini juga digunakan untuk memohon kepada Allah untuk diberikan anak atau ucapan syukur bagi kerabat yang lolos dari bahaya.

Gambar Makanan Tradisional Batak : Naniura

d. Dali ni horbo

Dali ni horbo atau susu kerbau merupakan produk olahan susu fermentasi tradisional yang berpotensi sebagai pangan probiotik. Dali merupakan susu fermentasi tradisional seperti yoghurt yang terdapat di daerah Sumatera Utara, yang proses pembuatannya sangat sederhana. Susu yang digunakan berasal dari susu kerbau yang diperah langsung. Konon menurut ceritanya, tradisi mengolah susu kerbau menjadi dali sudah dimulai oleh leluhur orang batak semenjak adanya komunitas batak.

Kandungan gizi pada makanan ini tidak berbeda dengan kandungan gizi susu lainnya seperti lemak, karbohidrat dan protein, hanya berbeda pada pengolahan dan diolah dengan sederhana dan menggunakan peralatan tradisional dan tidak menggunakan unsur kimia. Seekor induk kerbau dapat diperah susunya hingga 5 bulan. Pada bulan yang keenam kualitas susu sudah tidak layak untuk dikonsumsi oleh manusia. Untuk menambah kualitas dan kuantitas susu, induk kerbau diberikan makanan ekstra, ubi jalar, dan dedak diaduk dengan garam secukupnya serta dicampur dengan beberapa jenis vitamin. Proses selanjutnya susu hasil perahan direbus sekitar 10 menit dalam wadah yang steril dengan menambahkan air nenas untuk membantu pengentalan susu serta mengurangi aroma keamisan dan juga bisa dicampurkan dengan perasan daun pepaya. Harga jual di onan/pasar tradisional di tapanuli adalah berkisar Rp 20.000/liter

Dali belum begitu dikenal secara meluas seperti keju dan yoghurt. Produk olahan susu seperti ini yang berasal dari daerah Sumatera Barat disebut dadih dan dari Sulawesi Selatan disebut dengan dangke. Pada awalnya, memang tidak mudah menyukai hidangan ini. Rasanya cenderung tawar. Susu kerbau dicampur dengan perasan daun pepaya sehingga mengental menjadi seperti tahu.

Gambar Makanan Tradisional Batak : Dali Ni Horbo

4.2.2.2 Pangan padi-padian

Terdapat beberapa jenis pangan padi-padian yang menjadi makanan khas tradisional Toba, yaitu lappet, ombus-ombus dan pohul-pohul. Pada dasarnya bahan

makanan ini berasal dari bahan dasar yaitu padi, baik beras maupun pulut dalam pengolahannya. Berikut jenis makanan tradisional tersebut :

a. Lappet

Lappet adalah makanan khas tradisional dari daerah Tapanuli yang juga dapat kita jumpai di daerah Siborongborong. Lappet itu sendiri terbuat dari bahan dasar tepung ketan dicampur unti (parutan kelapa muda dan gula merah) yang dicampur dengan santan. Lappet itu sendiri cocok menjadi menu sarapan atau camilan bagi masyarakat Siborongborong.

Pada umumnya orang menyangka bahwa antara lappet dan ombus-ombus itu pada dasarnya sama, namun kenyataannya meski sama-sama dibungkus dengan daun pisang, kedua makanan ini memiliki perbedaan yang khas. Lappet cenderung memiliki tekstur kue yang agak keras, sedangkan ombus-ombus memiliki tekstur kue yang lembut.

b. Ombus-Ombus

Ombus-ombus adalah makanan tradisional yang berasal dari Tapanuli Utara tepatnya di Kecamatan Siborongborong. Makanan ini masih dapat kita temukan di daerah Siborong-borong karena masih adanya keberadaan pedagang-pedagang di sepanjang jalan Siborongborong untuk menjajakan makanan yang satu ini. Kue tradisional ini bukan hanya cocok untuk menu sarapan pagi tetapi juga cocok untuk oleh-oleh dan dapat juga ditemukan dalam acara-acara seperti, acara keluarga, rapat atau sebagai hidangan penutup dalam acara pernikahan. Pembuatannya sendiri tidak terlalu sulit sehingga semua orang baik itu laki-laki maupun perempuan dapat membuatnya.

Adapun bahan-bahan yang digunakan dalam membuat ombus-ombus ini adalah menggunakan bahan utama yaitu tepung beras. Beras yang dipakai juga bukan beras yang

sering digunakan orang tetapi menggunakan “Boras Sitambun”. Beras tersebut juga tidak boleh ditumbuk dengan mesin atau logam tetapi harus menggunakan kayu. Sebab akan berpengaruh pada rasa. Kemudian kelapa parut yang menjadi isi ombus-ombus juga tidak boleh bercampur dengan air. Maka setelah buah kelapa dibelah, jangan langsung diparut sebelum airnya benar-benar mengering. Kalau tidak, ombus-ombus ini akan cepat basi dan terasa lengket. Kelapa yang dipakai juga tidak boleh terlalu muda atau terlalu tua. Jadi, harus benar-benar kelapa pilihan. Untuk pembungkusnya itu sendiri, kebanyakan para pedagang ombus-ombus memesan daun pembungkus yang disebut dengan daun “ucim” ke Tebing Tinggi atau Medan. Hal ini dikarenakan daun pembungkus yang berasal dari Tebing Tinggi atau Medan ini cenderung kuat sehingga tidak mudah sobek sewaktu kita membuka pembungkus ombus-ombus ini.

Dalam pembuatannya, ombus-ombus memerlukan bahan-bahan seperti tepung beras yang diisi dengan gula merah ataupun gula putih. Sehingga makanan ini terlihat lebih enak jika masih dalam keadaan panas serta dibarengi dengan minum kopi atau teh manis. Soal rasa makanan tradisional yang satu ini tidak perlu diragukan lagi. Walau mungkin masing-masing orang akan memiliki pendapat yang berbeda, namun paduan tepung beras ataupun tepung ketan dengan gula aren dan kelapa pasti memberikan cita rasa unik di lidah. Apapun namanya Ombus-ombus, Lapet, atau Pohul-pohul sama-sama mempunyai rasa yang enak bagi pecinta makanan.

4.2.3 Pedagang Makanan Tradisional Ombus-Ombus Yang Semakin Berkurang

Persis dipertigaan kota Siborongborong, sebelumnya lebih dikenal dengan simpang tugu, para pedagang ombus-ombus sudah hampir 4 generasi yang lalu, menawarkan dagangannya hampir kesetiap penumpang angkutan umum maupun angkutan pribadi. Sekitar tahun 1979 yang lalu para pedagang ombus-ombus tersebut tidak hanya diwilayah Siborongborong (SBB), bahkan sampai ke Balige (28 km dari SBB) dan tarutung (30 km dari SBB) dengan menggunakan sepeda. Pada saat itu, pedagang ombus-ombus ada sekitar 80 unit, lokasi berjualannya juga menyebar, bahkan ada yang sampai Dolok Sanggul (32 km dari SBB), dan terhimpun dalam koperasi parombus-ombus.

Berdasarkan dari informasi salah satu informan saya menyatakan bahwa pedagang ombus-ombus tersebut yang jumlahnya cukup banyak telah menyebabkan terjadinya kemacetan lalu lintas di sepanjang jalan Siborongborong. Hal ini dikarenakan tempat berjualan para pedagang ombus-ombus bukan hanya di sekitar arena pasar Siborongborong tapi juga terdapat loket-loket mobil angkutan. Terutama jika hari pasar besar (disebut dengan onan) maka arus lalu lintas di Siborongborong menjadi terganggu, Untuk itulah polisi segera turun tangan untuk menangani hal ini. Dengan begitu diambilah sebuah keputusan agar tidak terjadi kemacetan di sepanjang ruas jalan Siborongborong.

Pedagang ombus-ombus ini dibagi menjadi dua bagian/dua kelompok, yakni kelompok Desa Somanimbil dan Kelompok Desa Sambariba Horbo. Inilah mungkin hasil mufakat dari pertikaian sekitar 50 tahun silam antara alm.Anggiat Siahaan dengan Alm.

Musik Sihombing yang mempersoalkan nama antara “Lappet Bulung Tetap Panas” karya Alm.Musik Sihombing dengan “Ombus-ombus No.1” karya Anggiat Siahaan.

Kedua kelompok penjual Ombus-ombus tadi, kini harus berbagi hari untuk berjualan di Pasar Siborongborong. Jika hari Senin kelompok dari Desa Somanimbil yang berjualan, maka hari berikutnya adalah kelompok dari Desa Sambariba Horbo, begitulah seterusnya. Mungkin jika kita nilai, hal ini merupakan persaingan ekonomi berdasarkan musyawarah dan mufakat. Artinya, persaingan ekonomi sebagaimana dalam ilmu atau prinsip perekonomian dalam ilmu pendidikan yang kita peroleh tidak logis. Namun, inilah sebuah contoh keadilan dari masa silam.

Dokumen terkait