• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN A.Hasil Penelitian

1. Interpretasi dan Hasil Diskusi

a. Peran Gender Dalam Pengambilan Keputusan Pelayanan Kebidanan Pada Masa Persalinan Primigravida Berdasarkan Persiapan Umum Menjelang Persalinan

Berdasarkan tabel 5.3, dari 30 pasang responden yang mendapatkan pelayanan kebidanan pada masa persalinan primigravida di Klinik Delima Medan, diperoleh bahwa mayoritas peran bersama (suami dan istri) dalam pengambilan keputusan pelayanan kebidanan berdasarkan asuhan persalinan pada kala I yaitu sebanyak 22 pasang responden (73,4%) dan minoritas peran satu pihak (suami saja atau istri saja) dalam pengambilan keputusan pelayanan kebidanan berdasarkan asuhan persalinan pada kala I yaitu sebanyak 1 pasang responden (3,3%).

Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Nurhayati (2008) bahwa istri mempunyai peran yang dominan dalam persiapan menjelang persalinan. Berdasarkan hasil penelitian Nurhayati (2008), persiapan persalinan dan melahirkan adalah urusan perempuan/istri dan juga anggapan bahwa status istri lebih rendah daripada suami. Semua pekerjaan suami merupakan mata pencaharian yang menghasilkan pendapatan bagi keluarga sementara pekerjaan istri kebanyakan sebagai ibu rumah tangga. Dan untuk urusan persiapan persalinan maupun melahirkan sudah selayaknya perempuan lebih peduli daripada

laki-laki walaupun laki-laki/suami ikut mengambil andil dalam persiapan persalinan istri, tetapi dengan berprinsip laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan memberikan nafkah keluarga termasuk biaya persalinan sementara untuk urusan rumah sudah selayaknya istri yang memegang peranan, termasuk disini dalam hal mempersiapkan persalinan.

Menurut Musbikin (2005) Suami perlu bersiaga mempersiapkan dana ekstra yang tidak sedikit, baik untuk keperluan selama kehamilan maupun saat melahirkan. Terlebih apabila kelak dibutuhkan tindakan operasi. Karenanya, sejak mengetahui istrinya hamil, suami harus segera menyisihkan dana khusus untuk keperluan ini. Sehingga saat melahirkan telah tersedia dana yang dibutuhkan.

Dalam menentukan nama bayi, Adhim (2005) berpendapat bahwa Nama akan memberikan cita tertentu bagi anak maupun orang yangmendengarnya. Nama adalah doa. Orang tua yang akan memberikan nama kepada bayinya harus. mempertimbangkan berbagai aspek yang dapat mempengaruhi perkembangan kepribadian dan kesehatan mental anak. Jadi alangkah baiknya jika kedua orang tua yang menentukan nama untuk anak karena nama adalah doa dan harapan orang tua terhadap anaknya.

Asumsi peneliti dalam hal ini bahwa adanya kesenjangan atau ketidak sesuaian hasil penelitian ini dengan hasil penelitian Nurhayati (2008) karena pada zaman sekarang dimana perkembangan teknologi sudah semakin canggih, segala informasi bisa dengan mudah diakses dan diperoleh oleh masyarakat baik dari tenaga kesehatan, media cetak dan media elektronik. Menurut Ramadhani (2009) Pola fikir masyarakat yang kritis dan selalu ingin tahu dalam segala hal

pemerintah untuk meningkatkan kesetaraan gender dalam segala aspek baik dari pendidikan, ekonomi, politik termasuk kesehatan. Sekarang pasangan suami istri sudah lebih modern dan tidak terlalu mengikuti kebudayaan karena adanya perkembangan zaman sehingga kebudayaan lama tergeser oleh kebudayaan baru. Suami mempercayai istri dalam mengambil keputusan terhadap kesehatannya namun tidak serta merta lepas tangan terhadap keputusan yang dibuat istri. Suami juga terlibat dalam pengambilan keputusan karena suami merasa bertanggung jawab terhadap istri. Seperti dalam penentuan tempat bersalin, suami yakin bahwa istri lebih mengetahui klinik/rumah bersalin mana yang baik dan nyaman untuk istri melahirkan.

Meskipun secara umum mayoritas peran bersama (suami dan istri) dalam pengambilan keputusan pelayanan kebidanan berdasarkan persiapan menjelang persalinan, namun peran satu pihak masihdominana dalam pengambilan keputusan pelayanan kebidanan berdasarkan persiapan menjelang persalinan seperti peran satu pihak (suami saja) lebih dominan dalam sumber biaya persalinan yaitu sebanyak 16 pasang responden (53,4%) dan peran satu pihak (istri saja) lebih dominan dalam menentukan tempat persalinan yaitu sebanyak 13 pasang responden (43,3%). Hal ini dipengaruhi suku suami dimana mayoritas suku suami adalah mandailing.

Menurut Bakara (2012) Mandailing termasuk satu dari lima jenis suku batak. Suku batak sangat menghargai dan menghormati kaum wanita dan wanita mempunyai kedudukan yang sama dengan pria sesuai dengan tata aturannya. Dari istilah “istri” pada adat batak dimaknai bahwa seorang wanita memegang tugas, kewajiban dan peran penting bagi masa depan keluarga dan keturunan batak,

mempunyai kesetaraan dengan pria dan bagaimana budaya batak menghargai “wanita” di tengah keluarga ini dan masyarakat sosial.

b. Peran Gender Dalam Pengambilan Keputusan Pelayanan Kebidanan Pada Masa Persalinan Primigravida Berdasarkan Asuhan Persalinan Pada Kala I

Berdasarkan tabel 5.3, dari 30 pasang responden yang mendapatkan pelayanan kebidanan pada masa persalinan primigravida di Klinik Delima Medan, diperoleh bahwa mayoritas peran bersama (suami dan istri) dalam pengambilan keputusan pelayanan kebidanan berdasarkan asuhan persalinan pada kala I yaitu sebanyak 22 pasang responden (73,4%) dan minoritas peran satu pihak (suami saja atau istri saja) dalam pengambilan keputusan pelayanan kebidanan berdasarkan asuhan persalinan pada kala I yaitu sebanyak 1 pasang responden (3,3%).

Hal ini tidak sejalan hasil penelitian Nurhayati (2008) dimana diperoleh hasil penelitian bahwa suami mempunyai peran yang lebih dominan pada masa persalinan. pengambilan keputusan dialihkan pada orang lain yang bertanggung jawab, disini yang memegang peranan dalam pengambilan keputusan saat persalinan adalah suami sebagai kepala keluarga. Padahal sebaiknya pengambilan keputusan/tindakan saat persalinan harus melibatkan istri. Perempuan/istri seharusnya sudah difahami sebagai manusia dan berperan sebagai mitra sejajar yang diikutsertakan dalam pengambilan keputusan.

Asumsi peneliti terhadap hal ini, adanya kesenjangan atau ketidak sesuaian hasil penelitian ini dengan hasil penelitian Nurhayati (2008) karena

Nurhayati (2008) rata-rata pendidikan suami adalah SMA sementara pendidikan istri adalah SMP sementara pada penelitian ini rata-rata pendidikan suami dan istri adalah SMA. Menurut Notoadmodjo (2003) Tingkat pendidikan dapat mempengaruhi status sosial dan kemampuan seseorang dalam mengambil suatu keputusan karena semakin tinggi tingkat pendidikan semakin banyak pergaulan dan pengalaman sehingga akan mempunyai wawasan yang luas dalam mempertimbangkan suatu keputusan. Tingkat pendidikan suami yang lebih tinggi dari istri menyebabkan istri mengikuti apapun keputusan suami karena istri beranggapan suami lebih mengerti karena pendidikannya yang diatas istri.

Menurut Notoatmodjo (2003) semakin bertambah usia seseorang semakin banyak pengalaman dan informasi yang diperoleh. Rata-rata umur pasangan suami isti dapat dikatagorikan umur yang sudah matang untuk berumah tangga. Artinya mereka sudah mempunyai kesiapan. Rata-rata pendidikan suami istri adalah SMA artinya pasangan suami istri mengecap dunia pendidikan. sehingga mereka sudah lebih mengerti dapat memperoleh informasi dengan cepat tentang persalinan. Tingkat pendidikan juga menentukan mudah tidaknya seseorang memahami pengetahuan yang diperolehnya. Sehingga peran gender disini sudah tidak terlalu kelihatan karena pasangan suami istri sudah saling mengetahui dan saling mengerti serta menghargai peran masing-masing.

c. Peran Gender Dalam Pengambilan Keputusan Pelayanan Kebidanan Pada Masa Persalinan Primigravida Berdasarkan Asuhan Persalinan Pada Kala II

Berdasarkan tabel 5.4, dari 30 pasang responden yang mendapatkan pelayanan kebidanan pada masa persalinan primigravida di Klinik Delima Medan,

diperoleh bahwa mayoritas peran bersama (suami dan istri) dalam pengambilan keputusan pelayanan kebidanan berdasarkan asuhan persalinan pada kala II yaitu sebanyak 20 pasang responden (66,7%) dan minoritas peran lain-lain (keluarga) dalam pengambilan keputusan pelayanan kebidanan berdasarkan asuhan persalinan pada kala II yaitu sebanyak 1 pasang responden (3,3%). Rata-rata suami mendampingi istri pada saat persalinan. Keputusan suami untuk mendampingi istri merupakan keputusan bersama (suami dan istri) dalam menentukan pendamping ibu pada saat persalinan.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Umami dan Puspitasari (2007) yang menyatakan bahwa pada saat persalinan rata-rata istri meminta untuk didampingi suaminya dan rata-rata suami ingin mendampingi istri pada saat melahirkan. Suami yang hadir di samping istri akan mempunyai makna yang sangat khusus. Istri akan jadi percaya diri dalam menghadapi persalinan. Kehadiran suami ini akan memberikan suatu dorongan kekuatan mental sang istri

Menurut Adhim (2005) Apabila ada seorang pasien yang menginginkan suaminya menunggu pada saat istrinya melahirkan, sebaiknya bidan memperolehkan dengan lebih dahulu memberikan wawasan, pengertian dan penjelasan kepada suaminya dan tidak mengganggu jalannya persalinan. Sebelum suami pasien diberi penjelasan tentang persalinan yang meliputu : mekanisme persalinan, hal-hal yang dialami oleh istrinya dan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi. Semua penjelasan diberikan bidan ditindaklanjuti dengan

penandatanganan informed consent. Dorongan suami mempunyai makna yang

sayangnya tidak hanya membuat istri lebih percaya diri. Lebih dari itu perhatian suami akan membuat istri merasa damai.

Keputusan bersama dalam pelayanan kebidanan pada masa persalinan yang dilakukan oleh 30 pasangan responden diperkuat dengan teori yang dikemukakan Ramadhani (2009) bahwa Kesetaraan gender dalam hak, yaitu adanya kesetaraan hak dalam peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam bidang kesehatan yaitu kesetaraan hak dalam rumah tangga yaitu perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama dalam kesehatan, misalnya menentukan jumlah anak, jenis persalinan, pemilihan alat kontrasepsi dan lain-lain, kesetaraan hak dalam ekonomi/keuangan yaitu perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama dalam memilih alat kontrasepsi dan kesetaraan hak dalam masyarakat yaitu adanya budaya di beberapa daerah yang mengharuskan masyarakat mengikuti budaya tersebut sehingga tidak terjadi kesehatan yang responsif gender. Selain itu, perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama dalam berpolitik dan dalam pengambilan keputusan.

Asumsi peneliti dalam hal ini, peran bersama yang lebih dominan pada kala II menunjukkan bahwa suami sudah lebih bertanggung jawab dalam proses persalinan. Hal ini diperkuat oleh pendapat yang dikemukakan oleh Achsin (2003) baahwa proses persalinan adalah saat yang menegangkan bagi pasangansuami istri dimana status mereka akan berubah menjadi orang tua. Proses melahirkan bukan hanya tanggung jawab istri namun tanggung jawab bersama (suami dan istri) karena suami adalah orang terdekat yang menyebabkan proses kehamilan terjadi bertanggung jawab terhadap kesehatan istri. Suku juga mempengaruhi mengapa peran bersama lebih dominan pada kala II.

d. Peran Gender Dalam Pengambilan Keputusan Pelayanan Kebidanan Pada Masa Persalinan Primigravida Berdasarkan Asuhan Persalinan Pada Kala III

Berdasarkan tabel 5.5, dari 30 pasang responden yang mendapatkan pelayanan kebidanan pada masa persalinan primigravida di Klinik Delima Medan, diperoleh bahwa mayoritas peran satu pihak (suami saja) dalam pengambilan keputusan pelayanan kebidanan berdasarkan asuhan persalinan pada kala III yaitu sebanyak 26 pasang responden (86,7%) dan minoritas peran bersama (suami dan istri) dalam pengambilan keputusan pelayanan kebidanan berdasarkan asuhan persalinan pada kala III yaitu sebanyak 1 pasang responden (3,3%).

Menurut Adhim (2005) dorongan suami mempunyai makna yang khusus ketika istri sedang menjalani proses persalinan. Suami yang memberi perhatian penuh, mendampingi, memberi rasa aman dan menunjukkan kasih sayangnya seperti memberikan sentuhan kepada istri tidak hanya membuat istri lebih percaya diri. Lebih dari itu perhatian suami akan membuat istri merasa damai.

Asumsi peneliti dalam hal ini bahwa suami sudah menyadari pentingnya mendampingi istri dan terlibat dalam proses persalinan istri seperti mengelus perut istri setelah plasenta lahir. Hal ini terjadi tidak lepas dari peran bidan sebagai pendidik. Bidan memberikan penjelasan kepada suami bahwa kehadiran dan keterlibatan suami dalam proses persalinan dapat memberikan kekuatan baik fisik maupun psikis bagi istri sehingga istri lebih tenang dalam menjalani persalinannya.

e. Peran Gender Dalam Pengambilan Keputusan Pelayanan Kebidanan Pada Masa Persalinan Primigravida Berdasarkan Asuhan Persalinan Pada Kala IV

Berdasarkan tabel 5.6, dari 30 pasang responden yang mendapatkan pelayanan kebidanan pada masa persalinan primigravida di Klinik Delima Medan, diperoleh bahwa mayoritas peran bersama (suami dan istri) dalam pengambilan keputusan pelayanan kebidanan berdasarkan asuhan persalinan pada kala IV yaitu sebanyak 29 pasang responden (96,7%) dan minoritas peran satu pihak (istri saja) dalam pengambilan keputusan pelayanan kebidanan berdasarkan asuhan persalinan pada kala IV yaitu sebanyak 1 pasang responden (3,3%).

Peran bersama (suami dan istri) dalam mengingatkan ibu untuk menyusui bayi setelah melahirkan, dalam mengelus perut ibu dan menanyakan kondisi ibu kepada bidan/petugas kesehatan lain setelah melahirkan dan dalam mendampingi ibu pada saat ibu ingin buang air kecil sejalan dengan Umami dan Puspitasari (2007) yang menyatakan bahwa ASI merupakan makanan tunggal terbaik yang memenuhi kebutuhan bayi terhadap zat gizi untuk pertumbuhan dan kesehatan sampai dengan usia 6 bulan pertama dalam kehidupannya. Oleh karena itu pemberian ASI eksklusif perlu diupayakan agar pemenuhan gizi pada anak dapat tercukupi sehingga pertumbuhan anak tidak mengalami gangguan. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden telah mengingatkan istrinya untuk memberi ASI eksklusif kepada bayinya. Suami turut berpartisipasi bersama istri untuk saling mengingatakan dalam memberikan ASI eksklusif kepada bayi. Sebagian besar responden juga saling memberikan dukungan moril antara suami dan istri dengan memberikan perhatian kepada istri

untuk lebih berhati-hati dalam menjaga kesehatan, mendampingi istri setelah selesai melahirkan, memastikan istrinya mendapatkan gizi yang cukup dan istirahat yang cukup.

Keputusan secara bersama yang dilakukan oleh 30 pasang responden diperkuat oleh teori Ramadhani (2009) bahwa adanya Kesetaraan gender dalam hak, yaitu adanya kesetaraan hak dalam peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan dalam bidang kesehatan.Kesetaraan hak dalam rumah tangga yaitu perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama dalam kesehatan, misalnya menentukan jumlah anak, jenis persalinan, pemilihan alat kontrasepsi dan lain-lain.Kesetaraan hak dalam masyarakat yaitu adanya budaya di beberapa daerah yang mengharuskan masyarakat mengikuti budaya tersebut sehingga tidak terjadi kesehatan yang responsif gender. Selain itu, perempuan dan laki-laki mempunyai hak yang sama dalam berpolitik dan dalam pengambilan keputusan.

Peran bersama (suami dan istri) dalam pengambilan keputusan jika terjadikomplikasi atau hal-hal yang tidak diinginkan selama persalinandiperkuat dengan teori yang dikemukakan Ramadhani (2009) yang menyatakan bahwa ada kesetaraan gender dalam menyuarakan pendapat di tingkat rumah tangga dimana perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan yang sama untuk mengekpresikan rujukan kesehatan yang diharapkan, sesuai tingkat pendidikannya, kesempatan untuk memberikan umpan balik atas pelayanan yang diterimanya. Jadi bukan hanya suami yang mempunyai hak dalam memutuskan rujukan istri namun istri juga mempunyai hak dalam menentukan kesehatannya.

komplikasi atau hal yang tidak diinginkan selama persalinan yang butuh penanganan segera masih berdasarkan pada budaya berunding yang berakibat pada keterlambatan merujuk. Peran suami sebagai pengambil keputusan utama juga masih tinggi, sehingga pada saat terjadi komplikasi yang membutuhkan keputusan ibu segera dirujuk menjadi tertunda karena suami tidak berada di tempat.

Asumsi peneliti terhadap hal ini bahwa adanya ketidaksejalanan antara hasil penelitian ini dengan hasil penelitian Fibriana, Setyawan dan Palarto (2007) terjadi karena adanya perbedaan kebudayaan, tingkat pendidikan dan pekerjaan responden. Pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Fibriana, Setyawan dan Palarto rata-rata kebudayaan responden masih berpatokan pada suami adalah kepala keluarga yang harus dihormati dan disegani serta keputusan mutlak berada di tangan suami artinya peran gender masih sangat berpengaruh. Sementara pada hasil penelitian ini peran gender sudah tidak ada lagi, suami dan istri mempunyai tanggung jawab bersama terhadap proses persalinan istri dan istri mempunyai hak dalam pengambilan keputusan. Pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Fibriana, Setyawan dan Palarto (2007) rata-rata responden berpendidikan SD hal ini menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan masih sangat rendah, sementara responden pada penelitian ini rata-rata berpendidikan SMA. Pada hasil penelitian yang dilakukan oleh Fibriana, Setyawan dan Palarto (2007) rata-rata pekerjaan responden bergantung kepada keluarga artinya rata-rata suami bekerja dengan keluarga. peran keluarga pada pengambilan keputusan tinggi karena keluarga terlibat dalam perekonomian suami dan istri. Sementara rata-rata responden pada penelitian ini bekerja sebagai wiraswasta artinya dalam perekonomian mereka

lebih mandiri dan keluarga tidak terlalu mencampuri urusan pasangan suami istri karena keluarga menghargai keputusan apapun yang dibuat oleh pasangan suami istri.

Dokumen terkait