PERAN GENDER DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN PELAYANAN KEBIDANAN PADA MASA PERSALINAN PRIMIGRAVIDA
DI KLINIK BERSALIN DELIMA MEDAN TAHUN 2014
OLEH :
135102059 EDVANY MITH
KARYA TULIS ILMIAH
PROGRAM D-IV BIDAN PENDIDIKAN FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Peran Gender Dalam Pengambilan Keputusan Pelayanan Kebidanan Pada Masa Persalinan Primigravida Di Klinik Bersalin
Delima Medan Tahun 2014 ABSTRAK
Edvany Mith
Latar Belakang : Gender adalah perbedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk, dibuat dan dikonstruksikan oleh masyarakat sesuai dengan perkembangan zaman akibat konstruksi sosial.Tingginya angka kematian ibu dilatarbelakangi oleh berbagai masalah salah satu diantaranya adanya masalah gender yaitu adanya ketidakmampuan perempuan dalam pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan kesehatan dirinya sendiri misalnya siapa yang menjadi penolong persalinan dan sebagainya.
Tujuan Penelitian :Untuk mengetahui peran gender dalam pengambilan keputusan pelayanan kebidanan pada masa persalinan primigravida di Klinik Bersalin Delima Medan Tahun 2014.
Metodologi Penelitian : Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 30 pasang responden. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan total sampling. Penelitian ini dilakukan di Klinik Bersalin Delima Medan.
Hasil : Hasil penelitian diperoleh bahwa mayoritas peran bersama (suami dan istri) dominan pada pengambilan keputusan berdasarkan persiapan umum menjelang persalinan yaitu 29 pasang (96,7%), asuhan persalinan kala I yaitu 22 pasang (73,4%), kala II yaitu 20 pasang (66,7%) dan kala IV yaitu 29 pasang (96,7%).
Kesimpulan : Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa peran bersama (suami dan istri) lebih dominan pada pengambilan keputusan pelayanan kebidanan pada masa persalinan primigravida. Diharapkan bidan peka terhadap issue gender dalam upaya memenuhi secara seimbang kebutuhan pelayanan persalinan baik informasi maupun konseling sehingga pasangan suami istri saling mendiskusi permasalahan persalinan tanpa ada salah satu pihak yang dominan dalam pengambilan keputusan.
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat
dan hidayahnya penulis dapat menyelesaikan Proposal KaryaTulisIlmiah yang
berjudul “Peran Gender Dalam Pengambilan Keputusan Pelayanan
Kebidanan Pada Masa Persalinan Primigravida di KlinikBersalinDelima Medan Tahun 2014”.
Dalam penulisan karyatulisilmiah ini, penulis banyak menerima bantuan
morilmaupunmaterildari berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan
terima kasih kepada :
1. Bapak dr. Dedi Ardinata, M.Kes. selaku Dekan Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Nur Asnah Sitohang ,S.Kep, Ns, M.Kep. selaku Ketua Program
Studi D-IV Bidan Pendidik Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera
Utara.
3. Ibu Betty Mangkuji, SST, M.Keb. selaku Dosen Pembimbing yang
telah memberikan bimbingan, arahan, dan masukan kepada penulis
dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
4. Ibu Nur Afi Darti S.Kp, M.Kep selaku Dosen Penguji I yang telah
memberikan bimbingan, arahan dan masukan kepada penulis dalam
penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini.
5. Dr. dr. M. Fidel Ganis Srg, M.Ked (OG), Sp.OG (k) selaku Dosen
Penguji II yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan
6. Seluruh Dosen dan Staf Administrasi studi D-IV Bidan Pendidik
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara yang telah
memberikan ilmu pengetahuan, bimbingan serta nasihat selama
menjalani penyusunan karya tulis ilmiah ini.
7. Teristimewa dan tercinta kedua orang tua, Ayah (Alm. M. Imam
Thamrin, S.Pd.) dan Ibu (Almh. Dra. Lamhot Panggabean.), abang
(Drs. Ali Mansur Panggabean), kakak penulis (Dra. Minarni Harahap,
M.A.)dan keempat keponakan penulis (Angga Nugraha, Milfa Yusro
Syafira, Rifhan Hafiz Pgb, Nakhla Arista Widya Pgb) yang tidak
henti-hentinya mendoakan, memberikan dukungan, mendidik, membesarkan
penulis dengan cinta dan kasih sayang serta perhatian.
8. Seluruh keluarga besar yang telah memberikan doa, dukungan, cinta
dan kasih sayang, serta dorongan baik berupa moril maupun materil.
Penulis menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan.
Oleh karenaitu, penulis mengharapkan kritik, saran dan tanggapan demi
kesempurnaan karya tulis ilmiah ini, sehingga karya tulis ilmiah ini dapat diterima
dan dilanjutkan serta member manfaat khususnya bagi penulis sendiri dan semua
pihak yang membaca.
Medan, Januari2014
DAFTAR ISI
ABSTRAK ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iv
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR SKEMA ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. LatarBelakangMasalah ... 1
B. PerumusanMasalah ... 8
C. TujuanPenelitian ... 8
D. ManfaatPenelitian ... 9
BAB IITINJAUAN PUSTAKA ... 10
A. Peran Gender ... 10
1. PengertianSeksdanPeran Gender ... 10
2. Teori Gender ... 14
3. Diskriminasi/Ketimpangan Gender ... 15
4. Isu Gender DalamKesehatanReproduksi ... 18
5. Ketidakadilan Gender DalamKesehatan ... 19
6. Budaya yangBerpengaruhTerhadap Gender ... 22
7. Pengaruh Gender TerhadapKesehatanReproduksiPerempuan ... 24
8. PartisipasiLaki-lakiTerhadapKesehatanReproduksiPerempuan ... 26
B. PengambilanKeputusan ... 27
1. JenisKeputusan ... 29
3. Proses PengambilanKeputusan ... 30
4. PengambilanKeputusan yang Etis ... 32
5. Keputusan VS Hasil ... 33
6. PemberdayaanPerempuanDalamPengambilanKeputusanPadaAsuhan Kebidanan ... 33
C. PelayananKebidanan ... 35
1.PengertianPelayananKebidanan ... 35
2.EtikaPelayananKebidanan ... 36
3. Women Centre Care ... 38
4. Empowering Women ... 38
D. MasaPersalinan... 41
1. PengertianPersalinan ... 41
2. TandadanGejalaMenjelangPersalinan ... 42
3. Faktor-faktor yang MempengaruhiPersalinan ... 44
4. TahapanPersalinan ... 44
5. PersiapanUmumMenjelangPersalinan ... 47
6. PersiapanAsuhanPersalinan ... 48
7. KeikutsertaanSuamiDalamPelayananKebidanan/Kelahiran ... 51
F. Peran Gender DalamPengambilanKeputusanPelayananKebidanan
PadaMasaPersalinan ... 53
BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL ... 57
A.KerangkaKonsep ... 57
B.DefinisiOperasional ... 58
BAB IV METODE PENELITIAN ... 59
A.DesainPenelitian ... 59
B. PopulasidanSampel ... 60
1. Populasi ... 60
2. Sampel ... 60
C. TempatPenelitian ... 60
D. WaktuPenelitian ... 60
E. EtikaPenelitian ... 61
F. AlatPengumpulan Data ... 62
G. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 64
H. ProsedurPengumpulan Data ... 65
I. Pengolahan Data ... 66
J. Analisis Data ... 67
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 68
A. HasilPenelitian ... 68
1.Data Demografi ... 68
2.Peran Gender DalamPengambilanKeputusanPelayananKebidanan PadaMasaPersalinanPrimigravida ... 69
B. Pembahasan ... 73
1. InterpretasiHasilDiskusi ... 73
2. KeterbatasanPeneliti ... 83
3. ImplikasiUntukAsuhanKebidanan/PendidikanKebidanan ... 83
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 85
A. Kesimpulan ... 85
B. Saran ... 86
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Perbedaan Gender dan Seks (hal. 12)
Tabel 2.2. Perbandingan Ketidaksetaraan Gender antara Laki-laki dan
Perempuan (hal. 20)
Tabel 3.1. Defenisi Operasional (hal. 58)
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Karakteristik Umur,
Agama, Suku, Pendidikan, Pekerjaan dan Lama Berumah Tangga
(hal. 68)
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Persiapan Umum
Menjelang Persalinan (hal. 69)
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Asuhan Persalinan
Pada Kala I (hal.70)
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Asuhan Persalinan
Pada Kala II (hal. 71)
Table 5.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Asuhan Persalinan
Pada Kala III (hal. 71)
Table 5.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Asuhan Persalinan
DAFTAR SKEMA
Skema 3.1. Kerangka Konsep Peran Gender Dalam Pengambilan Keputusan
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Lembar Penjelasan Kepada Calon Responden
Lampiran 2 : Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan (Informed Consent)
Lampiran 3 : Lembar Kuesioner
Lampiran 4 : Lembar Uji Validitas
Lampiran 5 : Surat Izin Data Penelitian dari Fakultas Keperawatan USU
Lampiran 6 : Surat Balasan Izin Penelitian dari Klinik Bersalin Delima Medan
Lampiran 7 : Master Tabel
Lampiran 8 : Hasil Output Data
Peran Gender Dalam Pengambilan Keputusan Pelayanan Kebidanan Pada Masa Persalinan Primigravida Di Klinik Bersalin
Delima Medan Tahun 2014 ABSTRAK
Edvany Mith
Latar Belakang : Gender adalah perbedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan yang dibentuk, dibuat dan dikonstruksikan oleh masyarakat sesuai dengan perkembangan zaman akibat konstruksi sosial.Tingginya angka kematian ibu dilatarbelakangi oleh berbagai masalah salah satu diantaranya adanya masalah gender yaitu adanya ketidakmampuan perempuan dalam pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan kesehatan dirinya sendiri misalnya siapa yang menjadi penolong persalinan dan sebagainya.
Tujuan Penelitian :Untuk mengetahui peran gender dalam pengambilan keputusan pelayanan kebidanan pada masa persalinan primigravida di Klinik Bersalin Delima Medan Tahun 2014.
Metodologi Penelitian : Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 30 pasang responden. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan total sampling. Penelitian ini dilakukan di Klinik Bersalin Delima Medan.
Hasil : Hasil penelitian diperoleh bahwa mayoritas peran bersama (suami dan istri) dominan pada pengambilan keputusan berdasarkan persiapan umum menjelang persalinan yaitu 29 pasang (96,7%), asuhan persalinan kala I yaitu 22 pasang (73,4%), kala II yaitu 20 pasang (66,7%) dan kala IV yaitu 29 pasang (96,7%).
Kesimpulan : Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa peran bersama (suami dan istri) lebih dominan pada pengambilan keputusan pelayanan kebidanan pada masa persalinan primigravida. Diharapkan bidan peka terhadap issue gender dalam upaya memenuhi secara seimbang kebutuhan pelayanan persalinan baik informasi maupun konseling sehingga pasangan suami istri saling mendiskusi permasalahan persalinan tanpa ada salah satu pihak yang dominan dalam pengambilan keputusan.
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Gender adalah perbedaan peran, fungsi, tanggung jawab antara laki-laki
dan perempuan yang dibentuk, dibuat dan dikonstruksikan oleh masyarakat sesuai
dengan perkembangan zaman akibat konstruksi sosial (Widyastuti, et al. 2009).
Laki-laki dan perempuan di semua lapisan masyarakat memainkan
peranyang berbeda, mempunyai kebutuhan yang berbeda dan menghadapi kendala
yang berbeda pula. Gender berkaitan dengan peran dan tanggung jawab antara
perempuan dan laki-laki. Hal ini ditentukan oleh nilai-nilai sosial budaya yang
berkembang (Ramadhani, 2009).
Di zaman Yunani Kuno pada kalangan kerajaan, mereka menempatkan
perempuan sebagai makhluk yang terkurung dalam istana. Kalangan di bawahnya
menjadikan perempuan bebas diperdagangkan. Saat perempuan sudah menikah,
suami berhak melakukan apa saja terhadap istrinya. Pada peradaban Romawi
perempuan kedudukannyadi bawah kekuasaan sang ayah, dimana setelah menikah
berpindah kepada suami. Kekuasaan yang dimiliki sangatlah mutlak, sehingga
berhak menjual, mengusir, menganiaya bahkan sampai membunuh (Widyastuti, et
al. 2009).
Isu gender telah menjadi perbincangan di berbagai negara sejak tahun
1979 dengan diselenggarakannya konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa dengan
tema The Convention on The Elimination of All Forms of Discrimination Agains
diskriminasi terhadap perempuan. Hasil konferensi tersebut menjadi acuan dalam
memperjuangkan Hak Asasi Perempuan (HAP). Konferensi ini kemudian
diratifikasi kembali oleh pemerintah Indonesia pada tahun 1984 menjadi
Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita(Ramadhani, 2009).
Menurut World Health Organization (WHO), pada tahun 2007 sekitar
500.000 wanita hamil di dunia menjadi korban proses reproduksi setiap tahun.
Sekitar 4 juta bayi meninggal karena sebagian besar penanganan kehamilan dan
persalinan yang kurang bermutu, sebagian besar kematian ibu dan bayi tersebut
terjadi di negara berkembang termasuk Indonesia. WHO memperkirakan 15 ribu
dari sekitar 4,5 juta wanita melahirkan di Indonesia mengalami komplikasi yang
menyebabkan kematian (Hidayat & Sujiatini, 2009).
Bila dibandingkan Angka Kematian Ibu (AKI) di negara berkembang dan
di negara maju sangatlah mencolok. Di negara maju, AKI hanyalah sekitar 26 per
100.000 kelahiran hidup, sedangkan di negara berkembang AKI mencapai angka
ratusan per 100.000 kelahiran hidup. Dengan demikian ibu-ibu hamil di negara
berkembang berada pada resiko tinggi untuk menemui ajal sehubungan dengan
kehamilannya dengan perbandingan 50-100 kali dibandingkan dengan ibu-ibu di
negara maju (Achsin, et al.2003).
Di negara miskin sekitar 25-50% kematian wanita usia subur disebabkan
hal yang berkaitan dengan kehamilan. Kematian saat melahirkan biasanya
menjadi faktor mortalitas wanita muda pada puncak produktivitasnya (Hidayat &
Angka kematian ibu di Indonesia mengalami pasang surut. Berdasarkan
data WHO, angka kematian ibu di Indonesia pada tahun 2000 adalah 390 per
100.000 kelahiran hidup, pada tahun 2005 mengalami penurunan sebesar 270 per
100.000 kelahiran hidup dan pada tahun 2010 mengalami penurunan menjadi 220
per 100.000 kelahiran hidup (WHO, 2010).
Angka kematian ibu dilahirkan di Indonesia termasuk tertinggi di kawasan
Asia. Reformasi selama hampir 6 tahun berjalan tidak memperbaiki persoalan
perempuan Indonesia. Kasus kekerasan, perdagangan, tekanan budaya dan adat
istiadat, rendahnya pendidikan, serta dominasi kaum pria dalam rumah tangga
masih terjadi. Pemerintah daerah belum memiliki kesungguhan mengangkat
harkat dan kebijakan perempuan secara keseluruhan terutama menekan angka
kematian ibu melahirkan (Widyastuti, et al. 2009).
Menurut hasil Survei Demografi Kesehatan Indonesia tahun 2012, angka
kematian ibu meningkat dari 228 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2007
menjadi 359 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2012 (Tribun, 2013 ¶ 1).
Kenaikan tajam ini harus dilihat komprehensif dari sisi pemenuhan
kebutuhan layanan reproduksi perempuan. Meskipun tersedia fasilitas layanan
kesehatan bagi ibu hamil dan melahirkan, tidak serta-merta perempuan dapat
mengakses. Relasi kuasa dalam rumah tangga dan masyarakat dapat membuat
perempuan tidak dapat mengambil keputusan atas kebutuhan reproduksinya
sendiri (Tribun, 2013 ¶ 2).
Menurut pakar sosial Linda Rahmawati, pembangunan sektor masyarakat
merupakan salah satu andalan keberhasilan program pemerintah sejak masa orde
adalah seberapa besar kegagalan program puskesmas, posyandu dan program
penerangan kesehatan selama ini (Tribun, 2013¶ 3).
Menurut data profil kabupaten/kota Departemen Kesehatan tahun 2007,
jumlah penduduk di Sumatera Utara sebesar 12.855.845 jiwa dimana jumlah
penduduk laki-laki 6.397.970 jiwa dan penduduk perempuan 6.457.875. dari data
tersebut menunjukkan bahwa lebih banyak jumlah penduduk perempuan
dibandingkan dengan laki-laki. AKI di Sumatera Utara pada tahun 2007 yaitu
sebesar 132/100.000 kelahiran hidup (Depkes RI, 2007).
Tingginya angka kematian ibu (maternal) yang berhubungan dengan
kelahiran, persalinan dan nifas, bukan semata-mata dipengaruhi oleh faktor derajat
kesehatan, tapi tak kalah pentingnya pengaruh faktor-faktor di luar bidang
kesehatan. Mc. Carthy dan Maine (1992) dan Tinker dan Koblinsky (1993)
mengajukan konsep yang mengaitkan morbiditas dan mortalitas maternal dengan
3 hal yaitu determinasi dekat/langsung, determinasi antara dan determinasi
jauh/tidak langsung. Determinasi dekat/langsung termasuk padanya kehamilan,
komplikasi kehamilan, persalinan dan postpartum. Determinan dekat/langsung
dapat dipengaruhi determinan antara, yaitu status reproduksi, status kesehatan,
akses terhadap pelayanan kesehatan serta perilaku pelayanan kesehatan.
Selanjutnya determinasi antara dipengaruhi oleh determinasi jauh/tidak langsung,
seperti status wanita dalam keluarga dan masyarakat, tingkat pendidikan, sosial
ekonomi dan budaya (Achsin, et al. 2003).
Supriadi dan Siskel (2004, dalam Nurhayati, 2008, hal. 1) menyatakan
perempuan dalam pengambilan keputusan dalam kaitannya dengan kesehatan
dirinya sendiri misalnya siapa yang menjadi penolong persalinan dan sebagainya.
Data dari Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di
Indonesia tahun 2005 menunjukkan bahwa kurangnya hak perempuan dalam
pengambilan keputusan terutama untuk kepentingan kesehatan dirinya misalnya
dalam ber-KB, menentukan kapan akan hamil, memilih bidan sebagai penolong
persalinan atau mendapat pertolongan segera di rumah sakit ketika diperlukan,
disamping kurangnya kesempatan untuk mendapatkan penghasilan bagi keluarga.
Tidak dapat dipungkiri bahwa diskriminasi terhadap perempuan masih
ada. Hal ini mengakibatkan timpangnya kesempatan, partisipasi, pengambilan
keputusan dan manfaat dari segi pendidikan, pemeliharaan kesehatan, kesempatan
kerja, maupun akses terhadap perekonomian. Hal ini juga menghambat
perkembangan kemakmuran masyarakat dan menambah sulitnya perkembangan
potensi kaum perempuan dalam pengabdiannya terhadap negara (Ramadhani,
2009).
Data dari Kebijakan dan Strategi Nasional Kesehatan Reproduksi di
Indonesia tahun 2005 menunjukkan bahwaAnak perempuan masih belum
diprioritaskan untuk sekolah, sehingga tingkat pendidikan perempuan secara
rata-rata masih jauh lebih rendah dari pada laki-laki. Hal ini mengakibatkan sulitnya
memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi dan tentang kesehatan secara
umum. Apabila pendidikan perempuan cukup tinggi, maka perempuan dapat
meningkatkan rasa percaya diri, wawasan dan kemampuan untuk mengambil
keputusan yang baik bagi diri dan keluarga, termasuk yang berkaitan dengan
Azwar (2001, dalam Nurhayati, 2008, hal. 2) mengatakan bahwa adanya
hambatan dalam akses pelayanan terhadap pelayanan kesehatan terutama dialami
oleh perempuan karena adanya status perempuan yang tidak mendapatkan izin
dari suami serta pemegangan keputusan, siapa yang menolong persalinan istri
kebanyakan masih ditentukan oleh suami, sehingga terjadi subordinasi terhadap
perempuan dengan keterbatasan perempuan dalam pengambilan keputusan untuk
kepentingan dirinya. ditinjau dari segi hak reproduksi jelas dinyatakan bahwa
seriap orang baik laki-laki maupun perempuan tanpa memandang kelas, sosial,
suku, umur, agama dan lain-lain mempunyai hak yang sama untuk memutuskan
secara bebas dan bertanggung jawab. Lebih praktisnya dapat dinyatakan bahwa
perempuan berhak mengambil keputusan untuk memperoleh pelayanan kesehatan
yang dibutuhkannya.
Biro Pemberdayaan Perempuan Sekdapropsu (2001, dalam Nurhayati,
2008, hal. 1)mengatakan Saat ini pembangunan perempuan sedang ditingkatkan.
Kita dapat melihat kedudukan perempuan Indonesia dan berbagai peran dan posisi
strategis. Keragaman peran tersebut menunjukkan bahwa perempuan Indonesia
merupakan sumber daya yang potensial apabila ditingkatkan kualitasnya dan
diberikan kesempatan yang sama untuk berperan. Meskipun berbagai kemajuan
perempuan telah dapat terwujudkan, presentasi jumlah penduduk perempuan yang
saat ini berhasil menduduki posisi strategis tetapi dalam posisi pengambilan
keputusan masih sangat kecil termasuk yang berkaitan dengan kesehatan dirinya
sendiri.
Angka Partisipasi Murni (APM) perempuan/laki-laki di tingkat Sekolah Dasar
(SD) adalah 90,80; di tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) adalah 103,45;
dan tingkat pendidikan tinggi adalah 97,82. Rasio melek huruf perempuan
terhadap laki-laki pada kelompok usia 15-24 tahun telah mencapai 99,95% pada
tahun yang sama.
Peran bidan sangatlah penting khususnya dalam menurunkan AKI dan
AKB dalam proses melahirkan yang hingga saat ini masih tinggi. Karenanya,
keahlian dan kecakapan seorang bidan menjadi bagian yang menentukan dalam
menekan angka kematian saat melahirkan. Bidan diharapkan mampu mendukung
usaha peningkatan derajat kesehatan masyarakat yakni melalui peningkatan
kualitas pelayanan kesehatan terutama dalam perannya mendukung pemeliharaan
kesehatan kasus ibu saat mengandung hingga membantu proses kelahiran
(Hidayat & Sujiatini. 2009).
Berdasarkan hasil penelitian indepth interview yang dilakukan oleh
Fibriana, Setyawan dan Palarto tahun 2007 di Kabuapten Cilacap diperoleh
informasi bahwa ketika terjadi kegawat daruratan pada persalinan, pengambilan
keputusan masih berdasarkan pada budaya ‘berunding’, yang berakibat pada
keterlambatan merujuk. Peran suami sebagai pengambilan keputusan utama juga
masih tinggi, sehingga pada saat terjadi komplikasi yang membutuhkan keputusan
ibu segera dirujuk menjadi tertunda karena suami tidak berada di tempat. Kendala
biaya juga merupakan alasan terjadinya keterlambatan dalam pengambilan
keputusan. Keterlambatan juga terjadi akibat ketidaktahuan ibu maupun keluarga
mengenai tanda bahaya yang harus segera mendapatkan penanganan untuk
Budaya pasrah dan menganggap kesakitan dan kematian ibu sebagai takdir
masih tetap ada dalam masyarakat, sehingga hal tersebut membuat anggota
keluarga dan masyarakat tidak segara mengupayakan secara maksimal
penanganan kegawatdaruratan yang ada.
Keterlambatan mencapai tempat rujukan setelah pengambilan keputusan
untuk merujuk ibu ke tempat pelayanan kesehatan yang lebih lengkap diambil.
Hal ini dapat terjadi akibat kendala geografi, kesulitan mencari alat transportasi,
sarana jalan dan sarana alat transportasi yang tidak memenuhi syarat.
Penelitian sebelumnya yang dilakukan terhadap ibu yang mengalami masa
persalinan multigravida pada tahun 2008 di Rumah Bersalin Sari Simpang Limun
Medan Periode Januari-Februari 2008 oleh Nurhayati didapatkan data bahwa
suami mempunyai peranan yang paling dominan dalam menentukan keputusan
dalam pengambilan tindakan dalam persalinan.
Berdasarkan latar belakang diatas dan menurut survei awal yang penulis
lakukan pada bulan Januari tahun 2014 di Klinik Delima Medan, diperoleh
datajumlah persalinan normal pada 3 bulan terakhir yaitu pada bulan Desember
sebanyak 10 persalinan normal anak pertama, bulan Januari sebanyak 15
persalinan normal anak pertama dan bulan Februari sebanyak 15 persalinan
normal anak pertama, dimana total dari jumlah persalinan dalam 3 bulan
terakhiradalah sebanyak 40 persalinan. Dalam hal ini penulis tertarik untuk
melakukan penelitian lebih lanjut tentang Peran Gender dalam Pengambilan
Keputusan Pelayanan Kebidanan Pada masa Persalinan Primigravida di Rumah
B. Perumusan Masalah
Bagaimana peran gender dalam pengambilan keputusan pelayanan
kebidananpada masa persalinan primigravida di Klinik Bersalin Delima Medan
Tahun 2014.
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui peran gender dalam pengambilan keputusan
pelayanankebidanan pada masa persalinan primigravida di Klinik Bersalin Delima
Medan Tahun 2014.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui peran gender dalam pengambilan keputusan
pelayanan kebidanan pada persiapan umum menjelang persalinan
b. Untuk mengetahui peran gender dalam pengambilan keputusan
pelayanan kebidanan pada kala I persalinan
c. Untuk mengetahui peran gender dalam pengambilan keputusan
pelayanan kebidanan pada kala II persalinan
d. Untuk mengetahui peran gender dalam pengambilan keputusan
pelayanan kebidanan pada kala III persalinan
e. Untuk mengetahui peran gender dalam pengambilan keputusan
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Pelayanan Kebidanan
a. Mengetahui bagaimana peran gender dalam pengambilan keputusan
pelayanan kebidanan pada masa persalinan di masyarakat sehingga
pelayanan kebidanan dapat melakukan upaya dalam peningkatan peran
gender yang seharusnya.
b. Sebagai bahan masukan dan informasi bagi para bidan untuk
meningkatkan mutu pelayanan kebidanan.
2. Bagi Peneliti Selanjutnya
Agar dapat dijadikan masukan dalam penelitian yang sama dan dapat lebih
memperdalam penelitian yang sudah ada.
3. Bagi Instansi Pendidikan
Sebagai bahan referensi dan bahan perpustakaan di perpustakaan serta
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Peran Gender
1. Pengertian Seks dan Peran Gender
Kesepakatan ICPD pada tahun 1994, kesehatan reproduksi di tingkat
internasional disepakati sebagai suatu keadaan sejahtera fisik, mental dan sosial
secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan dalam semua
hal yang berkaitan dengan sistem reproduksi serta fungsi dan prosesnya. Oleh
karena itu, setiap individu mempunyai hak untuk mengatur jumlah keluarganya,
kapan mempunyai anak dan memperoleh penjelasan yang lengkap mengenai
cara-cara kontrasepsi sehingga dapat memilih cara-cara yang tepat. Selain itu hak untuk
mendapatkan pelayanan reproduksi lainnya, seperti pelayanan antenatal,
persalinan, nifas, bayi baru lahir, kesehatan reproduksi remaja dan lain-lain (Ellya,
et al. 2010).
Selama ini ilmu kedokteran hanya melihat beberapa hal yang
mempengaruhi kesehatan khususnya dari perbedaan biologis. Hal ini disebabkan
karena sebagian besar petugas kesehatan kurang memahami pengertian tentang
konsep gender sebagai salah satu faktor penting yang mempengaruhi kesehatan
seseorang (Ranadhani, 2009).
Menurut kantor Menneg PP, BKKBN, UNFPA (2001) seks adalah
perbedaan jenis kelamin yang ditentukan secara biologis yang secara fisik melekat
pada masing-masing jenis kelamin, laki-laki dan perempuan. Sementara gender
yang dibentuk, dibuat dan dikonstruksi oleh masyarakat dan dapat berubah sesuai
dengan perkembangan zaman akibat konstruksi sosial (Widyastuti, et al.2009).
Pengertian seks/jenis kelamin berhubungan dengan perbedaan biologis
antara perempuan dan laki-laki. Seks merupakan anugrah yang melekat pada kita
sejak lahir yang tidak mungkin kita ubah. Karena seks maka kita sebut sebagai
laki-laki atau perempuan.
Gender berkaitan dengan peran dan tanggung jawab antara perempuan dan
laki-laki. Hal ini ditentukan oleh nilai-nilai sosial budaya yang berkembang.
Laki-laki dan perempuan di semua lapisan masyarakat memainkan peran yang berbeda,
mempunyai kebutuhan yang berbeda dan menghadapi kendala yang berbeda pula.
Masyarakatlah yang membentuk nilai dan aturan tentang bagaimana anak laki-laki
dan perempuan, laki-laki dan perempuan dewasa harus berperilaku, berpakaian,
bekerja apa dan boleh bepergian kemana dan contoh lainnya. Nilai dan aturan bagi
laki-laki dan perempuan di setiap masyarakat berbeda sesuai dengan nilai
sosial-budaya setempat dan seringkali berubah seiring dengan perkembangan sosial-budaya
(Ramadhani, 2009).
Gender juga sangat tergantung pada tempat atau wilayah, misalnya kalau
di sebuah desa perempuan memakai celana panjang atau celana pendek dianggap
tidak pantas, maka di tempat lain bahkan sudah jarang menemukan perempuan
memakai rok. Karena bentukan pula maka gender bisa dipertukarkan. Misalnya
kalau dulu pekerjaan memask selalu dikaitkan dengan perempuan, maka sekarang
ini sudah mulai banyak laki-laki yang malu karena tidak bisa mengurusi dapur
Gender berbeda dengan seks. Bila gender dibentuk oleh masyarakat, maka
seks merupakan pemberian Tuhan sebagai kodrat yang tidak bisa diubah.
Sekalipun bisa diubah bentuk fisiknya melalui tindakan medis, namun tidak bisa
merubah fungsi dan peran seks itu sendiri. Karena itu, kita biasanya menyebut
gender dengan sebutan kelamin sosial sedangkan seks sebagai kelamin biologis
(Ellya, et al. 2010).
Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat dirumuskan perbedaan antara
gender dan seks dalam tabel sebagai berikut :
Tabel 2.1. Perbedaan Gender dan Seks
GENDER SEKS
Perbedaan peran, fungsi, hak, sikap, perilaku dibentuk oleh masyarakat (Widyastuti, et al. 2009).
Takdir Tuhan, perbedaan biologis, hormonal, anatomi dan fisiologi, pemberian Tuhan, diciptakan oleh Tuhan (Widyastuti, et al. 2009).
Sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dibentuk secara sosial maupun budaya. Misalnya bahwa perempuan dikenal lemah lembut, cantik, emosional atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat, rasioanal, jantan dan perkasa (Ellya, et al. 2010).
Perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan. Laki-laki mempunyai penis dan menghasilkan sperma. Perempuan memiliki rahim (Ellya, et al. 2010).
Dapat berganti antara laki-laki dan perempuan(Widyastuti, et al. 2009).
Tidak dapat berganti antara laki-laki dan perempuan(Widyastuti, et al. 2009).
Dapat berubah/berkembang sesuai kemajuan IPTEK(Widyastuti, et al. 2009).
Tetap(Widyastuti, et al. 2009).
Berkaitan dengan pengertian diatas, beberapa istilah yang berkaitan
dengan gender :
a. Emansipasi : kesetaraan, kedudukan, peran, tanggung jawab laki-laki dan
perempuan dalam segala aspek kehidupan.
c. Maskulin : ciri, karakter, sikap, perilaku yang banyak dimiliki laki-laki
(Widyastuti, et al. 2009).
d. Bias gender : suatu keadaan yang menunjukkan adanya keberpihakan kepada
laki-laki daripada kepada perempuan. Produk hukum yang lebih memihak
kepada laki-laki, sedangkan perempuan lebih dalam posisi yang dirugikan
(Ramadhani, 2009).
e. Relasi gender : hubungan laki-laki dan perempuan dalam kerjasama yang
seiring sejalan/bertentangan (Widyastuti, et al. 2009).
f. Kesetaraan gender (gender equality) : keadaan tanpa diskriminasi (sebagai
akibat dari perbedaan jenis kelamin) dalam memperoleh kesempatan,
pembagian sumber-sumber dan hasil pembangunan serta akses terhadap
pelayanan.
g. Keadilan gender (gender equity) : fairness, justice dalam distribusi manfaat
dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan, yang didasari atas
pemahaman bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan kebutuhan
dan kekuasaan. Perbedaan ini perlu dikenali dan diperhatikan untuk dipakai
sebagai dasar atas perbedaan perlakuan yang diterapkan bagi laki-laki dan
perempuan (Ramadhani, 2009).
h. Permasalahan/isu gender : permasalahan yang terjadi sebagai konsekuensi
dengan adanya kesenjangan gender sehingga mengakibatkan diskriminasi
pada perempuan dalam akses dan kontrol sumber daya, kesempatan, status,
hak, peran dan penghargaan.
j. Manfaar gender : sejauh mana perempuan dan laki-laki memperoleh
keuntungan dari program dan kegiatan tersebut (Widyastuti, et al. 2009).
2. Teori Gender
Menurut kantor Menneg PP, BKKBN, UNFA (2001) ada 3 teori tentang
gender yaitu :
a. Teori Nuture
Rumusan yang dibentuk oleh masyarakat mengakibatkan perbedaan antara
laki-laki dan perempuan. Kaum laki-laki dianggap sama dengan kaum yang
berkuasa/penindas, sedangkan kaum perempuan sebagai kaum yang tertindas,
terpedaya. Perjuangan diawali oleh kaum feminis internasional yang
memperjuangkan kesamaan (sameness), kesamaan berdasarkan konsep 50-50
(fifty-fifty). Konsep ini dinamakan equality (kesamaan kualitas). Perjuangan
mereka mendapat kendala dari segi agama dan budaya.
Konsep sosial konflik yang mendudukkan laki-laki sebagai kaum borjuis
atau penindas dan perempuan sebagai kaum proletar atau tertindas, maka untuk
menggapai persamaan dengan cara menghapuskan kaum penindas. Paham sosial
konfli banyak dianut oleh masyarakat sosial komunis yang meniadakan strata
penduduk. Paham ini menegakkan kesamaan yang proporsional dalam segala
kegiatan masyarakat seperti di lembaga tinggi negara, jabatan dalam instansi,
pimpinan. Untuk mencapai hal tersebut maka disusun suatu program khusus untuk
memberikan kesempatan yang sama bagi pemberdayaan perempuan agar terpacu
untuk ambil bagian dalam mendapatkan posisi yang selama ini banyak diduduki
b. Teori Nature
Paham ini memandang adanya perbedaa laki-laki dan perempuan
merupakan
takdir Tuhan yang mesti diterima manusia sebagai makhluk ciptaanNya. Adanya
perbedaan secara biologis merupakan pertanda perbedaan tugas dan peran yang
mana tugas dan peran tersebut ada yang dapat digantikan tetapi ada yang tidak
karena takdir alamiah.
Dalam kehidupan keluarga dan kehidupan sosial diperlukan kerja sama,
saling mendukung. Dalam keluarga ada kepala rumah tangga dan ibu rumah
tangga. Dalam kehidupan sosial terdapat pemimpin dan anggota yang mana
masing-masing mempunyai perbedaan tugas, fungsi dan tanggung jawab.
Pemimpin hanya ada satu orang. Perbedaan yang berlandaskan demokratis dengan
komitmen agar terciptasaling pengertian dan penerimaan (Widyastuti, et al. 2009).
c. Teori Equilibrum/keseimbangan
Hubungan antara laki-laki dan perempuan merupakan suatu kesatuan yang
salingmenyempurnakan, karena setiap laki-laki dan perempuan memiliki
kelemahan dan keutamaan masing-masing. Harus saling bekerjasama dalam
kemitraan dan keharmonisan dalam kehidupan keluarga, masyarakat dan negara.
Maka semua kebijakan dan strategi pembangunan harus dipertimbangkan
keseimbangan antara perempuan dan laki-laki, kepentingan serta sejauh mana
peran laki-laki dan perempuan (Widyastuti, et al. 2009).
3. Diskriminasi/ketimpangan Gender
jenis kelamin dengan perbedaan gender. Dalam kondisi saat ini masih
menunjukkan bahwa perbedaan jenis kelamin dapat menimbulkan perbedaan
gender (gender differences) dimana kaum perempuan itu tidak rasional, emosional
dan lemah lembut sedangkan laki-laki memiliki sifat rasional, kuat dan perkasa.
Gender differences (perbedaan gender) sebenarnya bukan suatu masalah
sepanjang tidak menimbulkan gender inequalities (ketidakadilan gender). Namun
yang menjadi masalah adalah ternyata gender differences ini telah menimbulkan
berbagai ketidakadilan, baik bagi kaum laki-laki dan utamanya terhadap kaum
perempuan. Secara biologis (kodrat) kaum perempuan dengan organ
reproduksinya dapat hamil, melahirkan dan menyusui, kemudian muncul gender
role (peran gender) sebagai perawat, pengasuh dan pendidik anak. Dengan
demikian, gender role dianggap tidak menimbulkan masalah dan tidak perlu
digugat. Namun, yang menjadi masalah dan perlu dipertanyakan adalah struktur
gender inequalities (ketidakadilan gender) merupakan sistem dan struktur dimana
kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Dengan
demikian agar dapat memahami perbedaan gender yang menyebabkan
ketidakadilan maka dapat dilihat dari berbagai manifestasinya (Ramadhani, 2009).
a. Marginalisasi
Proses peminggiran atau penyisihan yang mengakibatkan perempuan
dalam
keterpurukan. Bermacam pekerjaan membutuhkan keterampilan laki-laki yang
banyak memakai tenaga sehingga perempuan tersisihkan. Atau sebaliknya
beberapa pekerjaan yang membutuhkan ketelitian, ketekunan sehingga peluang
1) Design teknologi terbaru diciptakan untuk laki-laki, dengan postur tubuh
sesuai untuk laki-laki.
2) Mesin-mesin yang digerakkan membutuhkan tenaga laki-laki.
3) Babysitter adalah perempuan.
4) Perusahaan garmen banyak membutuhkan perempuan.
5) Direktur banyak oleh laki-laki (Widyastuti, et al. 2009).
b. Sub ordinasi
Sub ordinasi timbul sebagai akibat pandangan gender terhadap
kaumperempuan. Sikap yang menempatkan perempuan pada posisi yang tidak
penting muncul dari anggapan bahwa perempuan itu emosional atau irasional
sehingga perempuan tidak bisa tampil memimpin merupakan bentuk dari sub
ordinasi yang dimaksud. Penempatan perempuan sebagai orang nomor dua.
Proses sub ordinasi yang disebabkan karena gender terjadi dalam segala macam
bentuk dan mekanisme yang berbeda dari waktu ke waktu dan dari tempat ke
tempat (Ramadhani, 2009).
Kedudukan salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting dari pada jenis
kelamin sebaliknya.
1. Persyaratan melanjutkan studi untuk istri harus ada izin suami.
2. Dalam kepanitian perempuan paling tinggi pada jabatan
sekretaris(Widyastuti, et al. 2009).
c. Stereotip
Pelabelan atau penandaan negatif terhadap kelompok atau jenis
stereotip ini adalah yang bersumber dari pandangan gender. Banyak sekali bentuk
stereotip yang terjadi di masyarakat yang dilekatkan kepada umumnya kaum
perempuan sehingga berakibat menyulitkan, membatasi, memiskinkan dan
merugikan kaum perempuan.
Misalnya adanya kenyakinan di masyarakat bahwa laki-laki adalah pencari
nafkah, maka setiap pekerjaan yang dilakukan perempuandinilai hanya sebagai
tambahan saja, sehingga pekerjaan perempuan boleh saja dibayar lebih rendah
dibanding laki-laki. Contoh lain di bidang kesehatan, bahwa urusan air, sanitasi
dan kebersihan di rumah tangga adalah pekerjaan domestik, identik pekerjaan
perempuan (Ramadhani, 2009).
d. Violence/kekerasan
Violence (kekerasan) merupakan assoult (invasi) atau serangan terhadap
fisik
maupun integritas mental psikologis seseorang yang dilakukan terhadap jenis
kelamin tertentu, umumnya perempuan sebagai akibat dari perbedaan gender.
Bentuk dari kekerasan ini seperti pemerkosaan dan pemukulan hingga pada
bentuk yang lebih halus lagi, seperti : sexual harassment (pelecehan) dan
penciptaan ketergantungan. Violence terhadap perempuan banyak sekali terjadi
karena stereotipe gender (Ramadhani, 2009).
1. Suami memperketat istri dalam urusan ekonomi kelurga.
2. Suami melarang istri bersosialisasi di masyarakat.
3. Istri mencela pendapatan suami di depan umum.
4. Istri merendahkan martabat suami dihadapan masyarakat.
e. Beban kerja
Beban kerja yang dilakukan oleh jenis kelamin tertentu lebih banyak. Bagi
perempuan di rumah mempunyai beban kerja lebih besar dari pada laki-laki, 90%
pekerjaan domestik/rumah tangga dilakukan oleh perempuan belum lagi jika
dijumlahkan dengan bekerja di luar rumah (Widyastuti, et al. 2009).
4. Isu Gender Dalam Kesehatan Reproduksi
Isu gender adalah suatu kondisi yang menunjukkan kesenjangan
perempuan
dan laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan. Pada umumnya kesenjangan ini
dapat dilihat dari faktor akses, partisipasi, manfaat dan pengambilan keputusan
(kontrol).
Kesehatan ibu dan bayi baru lahir
1) Keterbatasan perempuan mengambil keputusan yang menyangkut
kesehatan dirinya (misalnya dalam menentukan kapan hamil, dimana
akan melahirkan, dll) yang berhubungan dengan lemahnya/rendahnya
kedudukan perempuan yang lemah di keluarga/masyarakat.
2) Sikap dan perilaku keluarga yang cenderung mengutamakan laki-laki.
Contohnya dalam mengkonsumsi makanan sehari-hari yang
menempatkan bapak atau anak laki-laki pada posisi yang diutamakan
dari padaibu dan anak perempuan.
3) Tuntutan untuk tetap bekerja, sebagai contoh di beberapa pedesaan
atau daerah kumuh perkotaan, ibu hamil dituntut untuk bekerja keras
5. Ketidaksetaraan Gender Dalam Kesehatan
Mengapa status perempuan begitu rendah ? jawabannya : karena akibat
ketidaksetaraan gender yang dibiarkan terus berlangsung. Dengan potret buram
yang sudah dijelaskan sebelumnya, perhatian yang lebih besar mestinya diberikan
kepada perempuan. Bukan berarti laki-laki terlupakan. Tetapi perhatian terhadap
perempuan menjadi lebih utama sebab perempuan sedemikian tertinggalnya dan
teramat lama terabaikan nasibnya.
Berikut ini beberapa contoh pengaruh ketidaksetaraan gender terhadap
[image:33.595.113.512.361.616.2]kesehatan baik laki-laki maupun perempuan sejak lahir hingga lanjut usia.
Tabel 2.2. Perbandingan Ketidaksetaraan Gender Laki-laki dan Perempuan
No Ketidaksetaraan Gender (Perempuan)
Ketidaksetaraan Gender (Laki-laki)
1 Rata-rata perempuan di pedesaan
bekerja 20% lebih lama dari pada laki-laki
Laki-laki bekerja 20% lebih pendek
2 Perempuan mempunyai akses yang
terbatas terhadap sumberdaya ekonomi
Laki-laki menikmati akses sumberdaya ekonomi yang lebih besar
3 Perempuan tidak mempunyai akses
yang setara terhadap sumberdaya pendidikan dan pelatihan
Laki-laki mempunyai akses yang lebih baik terhadap sumberdaya pendidikan dan pelatihan
4 Perempuan tidak mempunyai akses
yang setara terhadap kekuasaan dan pengambilan keputusan di semua lapisan masyarakat
Laki-laki mempunyai akses yang mudah terhadap kekuasaan dan pengambilan keputusan di semua lapisan masyarakat
5 Perempuan menderita dan mengalami
kekerasan dalam rumah tangga dengan kadar yang sangat tinggi
Laki-laki tidak mengalami tingkat kekerasan yang sama dengan perempuan
Kesetaraan gender dalam hak, yaitu adanya kesetaraan hak dalam peran
a. Kesetaraanhak dalam rumah tangga yaitu perempuan dan laki-laki mempunyai
hak yang sama dalam kesehatan, misalnya menentukan jumlah anak, jenis
persalinan, pemilihan alat kontrasepsi dan lain-lain.
b. Kesetaraan hak dalam ekonomi/keuangan yaitu perempuan dan laki-laki
mempunyai hak yang sama dalam memilih alat kontrasepsi.
c. Kesetaraan hak dalam masyarakat yaitu adanya budaya di beberapa daerah
yang mengharuskan masyarakat mengikuti budaya tersebut sehingga tidak
terjadi kesehatan yang responsif gender. Selain itu, perempuan dan laki-laki
mempunyai hak yang sama dalam berpolitik dan dalam pengambilan
keputusan.
Kesetaraan gender dalam sumber daya, yaitu adanya kewenangan dalam
penggunaan sumber daya terhadap kesehatan.
a. Di tingkat rumah tangga, perempuan dan laki-laki mempunyai alokasi yang
sama untuk mengakses pelayanan kesehatan.
b. Di tingkat ekonomi, perempuan dan laki-laki mempunyai kemampuan yang
sama untuk membelanjakan uang untuk keperluan kesehatan. Selain itu,
perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan yang sama dalam
membelanjakan pendapatan untuk kesehatan.
c. Di tingkat masyarakat, tidak tersedianya sarana dan prasarana publik yang
responsif gender, seperti tidak adanya tempat untuk menyusui, tempat ganti
popok bayi.
Kesetaraan gender dalam menyuarakan pendapat, yaitu ekspresi
kebutuhan akan kesehatan dan laki-laki tidak lagi mendominasi pendapat dalam
kesehatan.
a. Di tingkat rumah tangga, perempuan dan laki-laki mempunyai kesempatan
yang sama untuk mengekpresikan rujukan kesehatan yang diharapkan, sesuai
tingkat pendidikannya, kesempatan untuk memberikan umpan balik atas
pelayanan yang diterimanya.
b. Di bidang ekonomi, pengetahuan ibu untuk memilih tempat rujukan yang
tepat tidak didukung oleh kemampuan ekonomi suami. Perempuan dan
laki-laki mempunyai kesempatan yang sama dalam menyampaikan keluhan atau
komplain terhadap kepuasan pelayanan.
c. Di tingkat masyarakat, pendapat tentang memiliki anak yang sehat didukung
dengan ajaran agama yang diyakini.
Masalah gender meliputi berbagai aspek yang memerlukan penanganan
oleh
berbagai sektor termasuk sektor kesehatan.
Kebijakan publik merupakan pedoman dalam pelaksanaan pelayanan
publik, termasuk kebijakan bidang kesehatan. Kebijakan kesehatan menjadi acuan
dalam pelayanan kesehatan di sarana kesehatan. Kebijakan terbagi dalam tiga
strata, yaitu :
a. Kebijakan strategis yang mencakup kebijakan pada tingkat tertinggi seperti
Undang-undang dan Peraturan Pemerintah.
b. Kebijakan manajerial yang mencakup kebijakan pada tingkat menengah
c. Kebijakan teknis yang mencakup kebijakan pada tingkat pelaksanaan seperti
Keputusan Direktur Jenderal Departemen.
Kebijakan publik ditetapkan pemerintah dengan dalil lebih mengetahui
kepentingan rakyat banyak (publik interest). Setelah suatu kebijakan ditetapkan,
kelemahan paling utama adalah kemampuan pelaksanaan (policy implementation).
Pelaksanaan kebijakan ini juga menjadi kendala dalam implementasi kebujakan
makro dan mikro dari pengarusutamaan gender di Indonesia (Ramadhani, 2009).
6. Budaya yang Berpengaruh Terhadap Gender
Kondisi yang diciptakan atau direkayasa oleh norma (adat-istiadat) yang
Membedakan peran dan fungsi laki-laki dan perempuan yang berkaitan dengan
kemampuan. Adapun beberapa contoh budaya yang berpengaruh terhadap gender
misalnya :
a. Masyarakat di Indonesia khususnya di Jawamenganut budaya patriaki,
dimana seorang kepala keluarga adalah laki-laki sehingga budaya laki-laki
dicap sebagai orang yang berkuasa di keluarga. Budaya patriaki bisa
berakibat anggapan bahwa kesehatan reproduksi adalah masalah
perempuan sehingga berdampak kurangnya pertisipasi, kepedulian
laki-laki dalam kesehatan reproduksi.
b. Di Jawa ada pepatah yang mengatakan bahwa perempuan di dalam rumah
tangga sebagai kasur, sumur, dapur. Sehingga perempuan di dalam
keluarga hanyalah melayani suami, kedudujannya lebih rendah dari
c. Perlakuan orang tua kepada anaknya sejak bayi dibedakan antara laki-laki
dan perempuan dengan memberikan perlengkapan bayi warna biru untuk
laki-laki, perlengkapan bayi warna pink untuk perempuan.
d. Pengaruh pengasuhan. Ibu banyak mengurus hal yang berkaitan fisik anak
sedangkan ayah cenderung pada interaksi yang bersifat permainan dan
diberi tanggung jawab untuk menjamin bahwa anak laki-laki dan anak
perempuan menyesuaikan dengan budaya yang ada. Ayah lebih banyak
terlibat dalam sosialisasi dengan anak laki-laki dari pada perempuan.
Banyak orang tua membedakan permainan bagi anak laki-laki dan
perempuan. Permainan anak laki-laki cenderung agresif. Pada masa remaja
orang tua lebih mengijinkan anak laki-laki mereka cenderung lebih bebas
dari pada anak perempuan dengan mengijinkan mereka pergi jauh dari
rumah.
e. Pengaruh teman sebaya. Anak-anak yang melakukan kegiatan-kegiatan
dengan teman sebaya lebih cenderung dihargai oleh sesama jenis teman
mereka. Begitu pula anak perempuan. Sedang anak perempuan yang
‘tomboi’ dapat bergabung dengan teman laki-laki, tetapi tidak berlaku bagi
anak laki-laki yang bergabung dengan teman perempuan. Ini
mencerminkan tekanan penggolongan jenis kelamin yang lebih besar oleh
masyarakat kita pada anak laki-laki.
f. Pengaruh sekolah dan guru. Banyak buku-buku di sekolah yang bias
gender. Guru membedakan membimbing antara murid laki-laki dan
perempuan. Buku-buku pelajaran memberi gambaran pekerjaan
g. Pengaruh media. Pesan-pesa di media tentang apa yang dilakukan laki-laki
dan perempuan banyak yang bias gender. Banyak media mengekspose ibu
rumah mengurus anak dan rumah tangga, sedangkan ayah bekerja di
kantor. Banyak iklan oleh perempuan tentang kosmetik, kebersihan,
mencuci. Sedangkan laki-laki mengiklankan mobil, direktur, eksekutif
muda.
h. Pengaruh kognitif. Teori perkembangan kognitif. Penentuan gender
(gender typing) pada anak-anak terjadi setelah mereka mengembangkan
suatu konsep tentang gender. Sekali mereka secara konsisten menyadari
diri mereka sebagai anak laki-laki atau perempuan, anak-anak sering
mengorganisasikan diri mereka atas dasar gender(Widyastuti, et al. 2009).
7. PengaruhGender Terhadap Kesehatan Reproduksi Perempuan
Menikah pada usia muda bagi perempuan berdampak negatif
terhadapkesehatannya. Namun, menikah di usia muda kebanyakan bukanlah
keputusan mereka, melainkan karen ketidakberdayaan (isu gender). Di beberapa
tempat di Indonesia, kawin muda dianggap sebagai takdir yang bisa ditolak.
Perempuan tidak berdaya untuk memutuskan kawin dan dengan siapa mereka
akan menikah. Keputusan pada umumnya ada di tangan laki-laki; ayah ataupun
keluarga laki-laki lainnya.
Contoh lainnya, perempuan tidak diperbolehkan bepergian sendiri atau
tidak diperkenankan diperiksa petugas kesehatan laki-laki. Di beberapa tempat,
ada keluarga yang kurang ikhlas mengeluarkan biaya untuk pelayanan kesehatan
perempuan dan laki-laki mempunyai peran dan tanggung jawab yang sama dalam
mencari pelayanan kesehatan, terutama bila tempatnya jauh, transportasi sulit,
atau pada jam periksa yang tidak nyaman.
Kapasitas perempuan untuk hamil dan melahirkan menunjukkan
bahwamereka memerlukan pelayanan kesehatan reproduksi yang berbeda, baik
dalam keadaan sakit maupun sehat. Perempuan memerlukan kemampuan untuk
mengendalikan fertilitas dan melahirkan dengan selamat, sehingga akses terhadap
pelayanan kesehatan reproduksi yang berkualitas sepanjang siklus hidupnya
sangat menentukan kesejahteraan dirinya.
Ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender mempunyai pengaruh besar
terhadap jumlah perempuan yang meninggal atau sakit karena hamil dan bersalin.
Megapa demikian ? karena perempuan tidak diperlakukan adil dan setara dengan
laki-laki. Jika perempuan tidak diperkenankan ikut serta dalam pengambilan
keputusan mengenai kesehatan dirinya, maka hal ini akan sangat berdampak pada
kondisi kesehatan reproduksinya. Misalnya perempuan sama sekali tidak bisa
mengambil keputusan sendiri untuk menentukan persiapan biaya dan kebutuhan :
Antenatal Care (ANC), persalinan, perawatan paska persalinan serta persiapan
pelayanan gawat darurat.
Kesehatan reproduksi perempuan menjadi terpuruk karena perempuan
tidak berdaya dan tidak mempunyai pengaruh, baik dalam rumah tangga maupun
di masyarakat. Kesehatan perempuan juga terpuruk karena akses ke pelayanan
kesehatan yang tidak setara dengan laki-laki. Ditambah lagi perempuan sering kali
kekurangan gizi, berpendidikan rendah, pekerjaan terbatas dan berpenghasilan
memperoleh kondisi kesehatan yang optimal sesuai dengan hak-hak
reproduksinya.
Oleh sebab itu untuk mengurangi keterpurukan kesehatan perempuan,
partisipasi laki-laki dalam promosi kesehatan ibu dan anak harus merupakan salah
satu program prioritas. Untuk pemberdayaan laki-laki dan perempuan dalam
kesehatan reproduksi, pemahaman tentang hak-hak reproduksi juga sangat
diperlukan (Ramadhani, 2009).
8. Partisipasi Laki-laki Terhadap Kesehatan Reproduksi Perempuan
Laki-laki perlu memahami kesehatan reproduksinya sendiri dan
bagaimanamendukung kesehatan reproduksi perempuan. Tetapi peran gender
yang sering kali menghambat. Hal ini disebabkan karena tindakan dan perilaku
laki-laki mempengaruhi kesehatan reproduksinya sendiri maupun istri.
Pelayanan kesehatan yang sensitif gender, perlu membantu laki-laki untuk
memahami pengaruh dari tindakan dan perilakunya terhadap kesehatan reproduksi
perempuan. Disamping promosi kesehatan reproduksi perempuan; dalam
pengambilan keputusan, petugas kesehatan juga perlu berupaya meningkatkan
dukungan kaum laki-laki terhadap kesehatan reproduksi perempuan, termasuk
kebutuhan reproduksi laki-laki.
Apa yang perlu dilakukan untuk membantu kaum laki-laki agar
mendukung kesehatan reproduksi istrinya :
a. Memberi informasi yang lengkap kepada laki-laki.
b. Melibatkan laki-laki dalam merencanakan persalinan.
e. Mengajak kaum laki-laki untuk menemani istrinya ke fasilitas kesehatan.
f. Meyakinkan laki-laki untuk menjamin istri mereka agar cukup istirahat.
g. Mendorong laki-laki agar istri mereka mengkonsumsi makanan bergizi.
h. Mendorong laki-laki agar membantu mengerjakan tugas-tugas rumah yang
sesuai.
i. Meyakinkan laki-laki agar merujuk istrinya jika diperlukan.
j. Mendorong laki-laki untuk membantu istrinya setelah persalinan (Ramadhani,
2009).
B. Pengambilan Keputusan
Terdapat beberapa pengertian keputusan yang telahdisampaikan oleh para
ahli, diantaranya adalah sebagai berikut :
a. Menurut Ralp. C. Davis
Keputusan adalah hasil pemecahan masalah yang dihadapinya dengan
tegas. Suatu keputusan merupakan jawaban yang pasti terhadap suatu pertanyaan.
Keputusan harus menjawab pertanyaan tentang apa saja yang dibicarakan dalam
hubungannya dengan perencanaan. Keputusan dapat pula berupa tindakan
terhadap pelaksanaan yang sangat menyimpang dari rencana semula.
b. Menurut James A.F. Stoner
Keputusan adalah pemilihan diantara alternatif-alternatif. Defenisi ini
mengandung tiga pengertian, yaitu :
1. Ada pilihan dasar logika atau pertimbangan.
3. Ada tujuan yang ingin dicapai dan keputusan itu makin mendekat pada
tujuan tersebut.
c. Menurut Prof. Dr. Prajudi Atmosudirjo, S.H.
Keputusan adalah suatu pengakhiran dari proses pemikiran tentang suatu
masalah atau problema untuk menjawab pertanyaan apa saja yang harus diperbuat
guna mengatasi masalah tersebut, dengan menjatuhkan pilihan pada suatu
alternatif.
Dari pengertian keputusan diatas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
keputusan merupakan suatu pemecahan masalah sebagai suatu hukum situasi yang
dilakukan melalui pemilihan satu alternatif dari beberapa alternatif.
Terdapat beberapa pengambilan keputusan yang telah disampaikan oleh
para
ahli, diantaranya adalah sebagai berikut :
a. George R. Terry
Pengambilan keputusan adalah pemilihan alternatif perilaku (kelakuan)
tertentu dari dua atau lebih alternatif yang ada.
b. S.P. Siagian
Pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan yang sistematis terhadap
hakikat alternatif yang dihadapi dan mengambil tindakan yang menurut
perhitungan merupakan tindakan yang paling tepat.
c. James A.F. Stoner
Pengambilan keputusan adalah proses yang digunakan untuk memilih
Berdasarkan pengertian diatas pengambilan keputusan merupakan suatu
proses alternatif terbaik dari beberapa alternatif secara sistematis untuk
ditindaklanjuti (digunakan) sebagai suatu cara pemecahan masalah (Firdaus,
2013).
Pengambilan keputusan klinis adalah keputusan yang diambil berdasarkan
kebutuhan dan masalah yang dihadapi klien, sehingga semua tindakan yang
dilakukan bidan dapat mengatasi permasalahan yang dihadapi klien yang bersifat
emergensi, antisipasi atau yang rutin (Sujianti & Susanti, 2009).
Pengambilan keputusan dapat dianggap sebagai suatu hasil atau keluaran
dari proses mental atau kognitif yang membawa pada pemilihan suatu jalur
tindakan diantara beberapa alternatif yang tersedia. Setiap proses pengambilan
keputusan selalu menghasilkan satu pilihan final. Keluarannya bisa berupa suatu
tindakan (aksi) atau opini terhadap pilihan.
Pengambilan keputusan merupakan proses pemilihan alternatif tindakan
untuk mencapai tujuan atau sasaran tertantu. Pengambilan keputusan dilakukan
dengan pendekatan sistematis terhadap permasalahan melalui proses pengumpulan
data menjadi informasi serta ditambah dengan faktor-faktor yang perlu
dipertimbangkan dalam pengambilan keputusan.
1. Jenis Keputusan
Keputusan-keputusan yang dibuat pada dasarnya dikelompokkan dalam 2
jenis, antara lain :
a. Keputusan terprogram
Keputusan ini bersifat berulang dan rutin, sedemikian hingga suatu
tidak perlu diperlakukan denovo (sebagai sesuatu yang baru) tiap kali
terjadi.
b. Keputusan tak terprogram
Keputusan ini bersifat baru, tidak terstruktur dan jarang konsekuen. Tidak
ada metode yang pasti untuk menangani masalah ini karena belum ada
sebelumnya atau karena sifat dan struktur persisnya tak terlihat atau rumit
atau karena begitu pentingnya sehingga memerlukan perlakuan yang
sangat khusus (Adnani& Nuraisyah, 2013).
Saraswati dan Haki (2002, dalam Nurhayati, 2008, hal. 8-9)
membagijenis-jenis pengambilan keputusan menjadi :
a. Pengambilan keputusan untuk tidak berbuat apa-apa karena
ketidaksanggupan atau merasa tidak sanggup.
b. Pengambilan keputusan intuitif sifatnya segera, langsung diputuskan
karena keputusan tersebut dirasakan paling tepat.
c. Pengambilan keputusan yang terpaksa karena harus segera dilaksanakan.
d. Pengambilan keputusan yang reaktif seringkali dilakukan dalam situasi
marah atau tergesa-gesa.
e. Pengambilan keputusan yang ditangguhkan, dialihkan pada orang lain
yang bertanggung jawab.
f. Pengambilan keputusan secara berhati-hati dipikirkan baik-baik,
mempertimbangkan berbagai pilihan.
1) Melihat situasi lingkungan dengan karakteristik utama :
a) Ketidakpastian
b) Kompleks
c) Dinamis
d) Bersaing
e) Keterbatasan sumber daya alam yang tersedia
2) Melihat kemampuan manusia dalam menyelesaikan persoalan
Dalam menghadapi lingkungan yang tidak pasti dan kompleks,
manusiapunya alat untuk menghadapi rasa bingung dan cemas dalam
menghadapi persoalan yaitu :
a) Kecerdasan
b) Persepsi
c) Falsafah
3) Proses pengambilan keputusan berdasarkan intuisi
Sebagianbesar keputusan dibuat berdasarkan intuisi dari informasi
yang bisadiperoleh kemudian mempertimbangkan beberapa pilihan
melalui proses intuitif yang tidak terlihat mekanisme berfikirnya.
Pengmbilan keputusan secara intuisi tidak dapat ditelusuri secara
rasional sehingga tidak bisa menerangkan dengan jelas kepada orang
lain(Adnani & Nuraisyah, 2013).
b. Pengambilan keputusan secara analisis
Adalah suatu prosedur logis dan kuantitatif yang tidak hanya menerangkan
keputusan atau cara untuk membuat model suatu keputusan yang memungkinkan
dilakukan pemeriksaan dan pengujian.
Pengambilan keputusan berdasarkan analisa berbeda dengan pengambilan
keputusan dengan intuisi, yaitu : pada pengamatan terhadap lingkungan.Analisa
keputusan menggunakan alat yang kita miliki yang berupa kecerdasan, persepsi
dan falsafah dalam menentukan pilihan, informasi dan preferensi dalam
pengambilan keputusan yang logis.
a) Pilihan
b) Kodifikasi informasi
c) Penetapan preferensi
3. Pengambilan Keputusan yang Etis a. Ciri keputusan yang etis :
1) Mempunyai pertimbangan tentang apa yang benar dan apa yang salah.
2) Sering menyangkut pilihan yang sukar.
3) Tidak mungkin dielakkan.
4) Dipengaruhi oleh norma-norma, situasi, iman, tabiat dan lingkungan
sosial.
b. Situasi dalam pengambilan keputusan yang etis : 1) Mengapa kita perlu mengerti situasi ?
a) Untuk menerapkan norma-norma terhadap situasi.
b) Untuk melakukan perbuatan yang tepat berguna.
c) Untuk mengetahui masalah-masalah yang perlu diperhatikan.
b) Pengertian kita terhadap situasi sering dipengaruhi oleh
kepentingan, prasangka dan faktor-faktor subjektif yang lain.
3) Bagaimana kita memperbaiki pengertian kita terhadap situasi ?
a) Melakukan penyelidikan yang memadai.
b) Menggunakan sarana ilmiah dan keterangan para ahli.
c) Memperluas pandangan tentang situasi.
d) Kepekaan terhadap pekerjaan.
e) Kepekaan terhadap kebutuhan orang lain.
c. Moral dalam pengambilan keputusan yang etis
Moral adalah keyakinan individu bahwa sesuatu adalah mutlak, baik atau
buruk walaupun situasi berbeda (Sofyan, et al. 2005).
4. Keputusan vs Hasil
Kecendrungan menilai suatu keputusan berdasarkan hasilnya misalnya :
a. Hasil baik : keputusan baik
b. Hasil jelek : keputusan jelek
Hal-hal yang berkaitan dengan keputusan dan hasil yaitu menilai kualitas
keputusan berdasarkan hasil adalah tidak benar. Seharusnya menilai keputusan
adalah dengan melihat, apakah keputusan konsisten dengan :
a. Pilihan yang ada.
b. Informasi yang tersedia.
c. Preferensi yang dimiliki pengambil keputusan.
Membuat keputusan yang terbaik adalah memilih pilihan terbaik yang dapat
memberikan kesempatan memperoleh hasil yang diinginkan (Adnani &
5. Pemberdayaan Perempuan Dalam Pengambilan Keputusan Pada Asuhan Kebidanan
Perempuan adalah makhluk Bio-Psiko-Sosial-Kultural dan Spiritual yang
utuh dan unik, mempunyai kebutuhan dasar yang bermacam-macam sesuai
dengan tingkat perkembangannya.
1) Setiap perempuan merupakan pribadi yang mempunyai hak, kebutuhan
serta harapan.
2) Perempuan mempunyai partisipasi aktif dalam pelayanan yang diperoleh
selama kehamilan, persalinan dan nifas.
3) Membuat keputusan mengenai cara pelayanan yang disediakan untuknya,
4) Keunikan secara fisik, emosional, sosial dan budaya membedakan tiap
perempuan.
5) Perbedaan kebutuhan dan kebudayaan merupakan tuntutan agar lebih
memperhatikan perempuan selama proses hidupnya.
Perempuan merupakan penerus generasi keluarga dan bangsa sehingga
keberadaan wanita yang sehat jasmani dan rohani serta sosial sangat diperlukan.
Ia sebagai pendidik pertama dan utama dalam keluarga. Oleh karena itu kualitas
manusia sangat ditentukan oleh keberadaan dan kondisi dari wanita/ibu dalam
keluarga.
Para wanita di masyarakat adalah penggerak dan pelopor dari peningkatan
kesejahteraan keluarga. Ibu dan keluarga adalah pusat asuhan kebidanan yang
mengharuskan bidan bersama wanita dan keluarga bekerja memberdayakan
Perempuan harus diberdayakan untuk mengambil keputusan tentang
kesehatan dirnya dan keluarganya melalui KIE dan konseling. Pengambilan
keputusan merupakan kesepakatan bersama ibu/perempuan, keluarga, dan bidan
dengan ibu sebagai penentu utama dalam proses pengambilan keputusan. Ibu
mempunyai hak untuk memilih dan memutuskan kepada siapa dan dimana ia akan
memperoleh pelayanan kebidanannya termasuk persalinan di rumah(Adnani&
Nuraisyah, 2013).
C. Pelayanan Kebidanan
1. Pengertian Pelayanan Kebidanan
Pelayanan kebidanan adalah bagian integral dari pelayanan kesehatan,
yang diarahkan untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga dalam rangka
tercapainya keluarga yang berkualitas. Pelayanan kebidanan adalah layanan yang
diberikan oleh bidan sesuai dengan kewenangan yang diberikannya dengan
maksud meningkatkan kesehatan ibu dan anak dalam rangka tercapainya keluarga
berkualitas, bahagia dan sejahtera.
Sasaran pelayanan kebidanan adalah individu, keluarga dan masyarakat
yang meliputi upaya peningkatan, pencegahan, penyembuhan dan pemulihan.
Layanan kebidanan ini dapat dibedakan menjadi :
a. Layanan kebidanan primer ialah layanan bidan yang sepenuhnya menjadi
tanggung jawab bidan.
b. Layanan kebidanan kolaborasi adalah layanan yang dilakukan oleh bidan
sebagai anggota tim yang kegiatannya dilakukan secara bersama atau
c. Layanan kebidanan rujukan adalah layanan yang dilakukan oleh bidan
dalam rangka rujukan ke sistem pelayanan yang lebih tinggi atau
sebaliknya yaitu pelayanan pelayanan yang dilakukan oleh bidan sewaktu
menerima rujukan dari dukun yang menolong persalinan, juga layanan
rujukan yang dilakukan oleh bidan ke tempat/fasilitas pelayanan kesehatan
lain secara horizontal maupun vertikal atau ke profesi kesehatan lainnya.
Layanan kebidanan yang tepat akan meningkatkan keamanan dan
kesejahteraan ibu serta bayinya (Adnani& Nuraisya, 2013).
2. Etika Pelayanan Kebidanan
Pelayanan kebidanan terintegrasi dengan pelayanan kesehatan. Selama ini
pelayanan kebidanan tergantung pada sikap sosial masyarakat dan keadaan
lingkungan dimana bidan bekerja. Kemajuan sosial ekonomi merupakan
parameter yang amat penting dalam pelayanan kebidanan.
Parameter kemajuan sosial ekonomi dalam pelayanan kebidanan antara
lain :
a. Perbaikan status gizi ibu dan bayi.
b. Cakupan pertolongan persalinan oleh bidan.
c. Menurunkan angka kematian ibu melahirkan.
d. Menurunkan angka kematian neonatal.
e. Cakupan penanganan resiko tinggi.
f. Meningkatkan cakupan pemeriksaan antenatal.
Beberapa penelitian menyatakan bahwa meningkatnya keadaan sosial
meningkatnya pendidikan masyarakat, khususnya meningkatkan pendidikan ibu
akan pola pelayanan kebidanan selama ini.
Bidan sebagai tenaga pemberi pelayanan kebidanan, pelayanan Keluarga
Berencana (KB) dan pelayanan kesehatan masyarakat harus menyiapkan diri
untuk mengantisipasi perubahan kebutuhan masyarakat akan pelayanan
kebidanan. Dibawah ini dibahas tentang pelayanan kebidanan.
a. Pelayanan kebidanan yang adil
Keadilan dalam memberikan pelayanan kebidanan adalah aspek yang
pokok
dalam pelayanan kebidanan di Indonesia. Keadilan dalam pelayanan ini dimulai
dengan :
1) Pemenuhan kebutuhan klien yang sesuai.
2) Keadaan sumber daya kebidanan yang selalu siap untuk melayani.
3) Adanya penelitian untuk mengembangkan/meningkatkan pelayanan.
4) Adanya keterjangkauan ke tempat pelayanan.
Tingkat ketersediaan tersebut diatas adalah syarat utama untuk
terlaksananya
pelayanan kebidanan yang aman. Selanjutnya diteruskan dengan sikap bidan yang
tanggap dengan klien, sesuai dengan kebutuhan klien dan tidak membedakan
pelayanan kepada siapapun.
b. Metode pemberian pelayanan kebidanan
Pelayanan kebidanan diberikan secara holistik yaitu : memperhatikan
bio, psiko, sosio, kultural sesuai dengan kebutuhan pasien. Pelayanan tersebut
diberikan dengan tujuan kehidupan dan kelangsungan pelayanan. Pasien
memerlukan pelayanan dari provider yang memiliki karakteristik sebagai berikut :
1) Semangat untuk melayani.
2) Simpati.
3) Empati.
4) Tulus ikhlas.
5) Memberikan kepuasan.
Setelah itu, bidan sebagai pemberi pelayanan harus memperhatikan hal-hal seperti
dibawah ini :
1) Aman.
2) Nyaman.
3) Privasi.
4) Alami.
5) Tepat.
Bidan adalah tenaga pelayanan profesional yang memberikan pelayanan
sesuai dengan ilmu dan kiat kebidanan. Untuk dapat memberikan pelayanan yang
optimal kepada pasien diperlukan data masukan. Data tersebut dikumpulkan
dengan format pengumpul data yang didesain sesuai dengan kasus yang ada.
Teknik pengumpulan data memakai metode wawancara, observasi, inspeksi,
palpasi dan auskultasi serta pemeriksaan penunjang lainnya (Sofyan, et al. 2005).
3. Women Centre Care
ini bidan difokuskan memberikan dukungan pada wanita dalam upaya
memperoleh status yang sama di masyarakat untuk memilih dan memutuskan
perawatan kesehatan dirinya.
Fokus dari asuhan memandang wanita sebagai manusia yang utuh,
membutuhkan pemenuhan kebutuhan bio, psiko, sosial dan spiritual kultural
selama hidupnya. Tujuan dari asuhan disusun oleh wanita, bidan sebagai
konsultan dan memfasilitasi kemampuan wanita bagi asuhan dirinya (Adnani&
Nuraisyah, 2013).
4. Empowering women
Empowering women adalah pemberdayaan perempuan. Pemberdayaan
adalah
suatu proses memberi kekuatan dan penguatan. Bidan melalui penampilan dan
pendekatan akan meningkatkan energi dan sumber dari dalam diri klien.
Indikatornya antara lain :
a. Penguatan atau penegasan (affairmation).
b. Memvalidasi.
c. Meyakinkan kembali.
d. Dukungan atau support menurut Morten pada tahun 1991.
Pemberdayaan perempuan adalah upaya untuk memberikan peranan yang
lebih luas dan beragam, tidak hanya pada kegiatan-kegiatan sosial reproduktif
dalam keluarga tapi juga adanya partisipasi perempuan dalam wilayah publik dan
pembangunan, upaya pemberdayaan perempuan dapat juga diartikan sebagai
laki-laki di segala bidang sehingga membuat perempuan tersingkir dan hanya
kebagian peran untuk mengurus rumah tangga.
Setiap perempuan adalah pribadi yang memiliki hak, kebutuhan dan
harapan. Oleh sebab itulah mereka harus berpartisipasi aktif dalam pelayanan
yang diperolehnya selama kehamilan, kelahiran dan masa nifas dan membuat