• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PEMBAHASAN

A. Interpretasi Hasil Penelitian dan Diskusi

Penelitian ini menghasilkan delapan tema. Beberapa diantaranya memiliki subtema dengan beberapa kategori makna tertentu. Tema tersebut teridentifikasi berdasarkan tujuan penelitian. Berikut penjelasan secara rinci untuk masing-masing tema yang dihasilkan dari penelitian ini:

Tema 1. Manfaat ASI memotivasi suami untuk memberikan dukungan ASI eksklusif

Motivasi semua partisipan penelitian ini dalam mendukung istrinya menyusui secara eksklusif adalah karena manfaat dari ASI itu sendiri. Roesli (2008) menyatakan bahwa memberikan ASI secara eksklusif berarti keuntungan untuk semua. Bayi akan lebih sehat, cerdas, dan berkepribadian baik, ibu akan lebih sehat dan menarik, perusahaan, lingkungan dan masyarakat pun akan mendapat keuntungan.

ASI memegang peranan penting untuk menjaga kesehatan dan kelangsungan hidup bayi (Nurdiansyah, 2011), seperti yang dikatakan oleh semua partisipan dalam penelitian ini bahwa ASI baik untuk kekebalan tubuh, anak jadi lebih sehat dan jarang sakit. Hal ini sejalan dengan penelitian Hardjito, Wahjurini, dan Wahyu (2011) yang menyatakan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif lebih jarang terkena sakit dibandingkan bayi yang tidak diberi ASI eksklusif sampai usia enam bulan.

Menurut Roesli (2008), pemberian ASI sampai bayi mencapai usia 4-6 bulan akan memberikan kekebalan kepada bayi terhadap berbagai macam penyakit karena ASI adalah cairan yang mengandung zat kekebalan tubuh yang dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, jamur dan parasit. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian di Filipina yang menegaskan tentang manfaat pemberian ASI eksklusif serta dampak negatif pemberian cairan tambahan tanpa nilai gizi terhadap timbulnya penyakit diare. Seorang bayi yang diberi air putih atau minuman lainnya beresiko terkena diare 2-3 kali lebih banyak dibandingkan bayi yang diberi ASI eksklusif (BKKBN, 2009).

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa hampir semua partisipan mengatakan ASI adalah nutrisi paling baik untuk otak anak sehingga nantinya anak akan menjadi pintar dan cerdas. Menurut Wong (2008), ASI

mengandung asam lemak esensial, asam linoleat (Omega 6) dan asam

linolenant (Omega 3) yang menjadi prekursor docoshexaenoic accid (DHA)

dan arachidonic acid(AA). DHA dan AA ini berfungsi penting dalam pertumbuhan otak anak. Roesli (2008) juga mengungkapkan bahwa

pemberian ASI secara eksklusif sampai bayi berusia enam bulan akan menjamin tercapainya kecerdasan anak secara optimal karena adanya nutrien yang tepat secara khusus disesuaikan dengan kebutuhan bayi agar otak menjadi tumbuh dengan optimal. Hal ini sejalan penelitian yang dilakukan oleh Jedrichowski & Elzbietaflak (2012)dalam Erawati, Wiwin, & Lulut (2014), menunjukkan hasil bayi yang mendapatkan ASI sampai 3 bulan memiliki IQ rata-rata 2,1 poin lebih tinggi dibandingkan yang lain; bayi yang mendapatkan ASI 4-6 bulan memiliki skor 2,6 poin lebih tinggi; dan bayi yang disusui lebih dari 6 bulan IQ meningkat 3,8 poin. Hal ini membuktikan semakin lama pemberian ASI semakin cerdas bayi.

Partisipan pada penelitian ini juga mengatakan bahwa ASI eksklusif lebih murah dibandingkan dengan susu formula. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sari (2011) yang menyatakan bahwa sebanyak 96,6% ayah mengatakan ASI eksklusif lebih murah daripada susu formula dan 98,3% mengatakan ASI itu lebih mudah dan praktis. Kristiyanasari (2011) menjelaskan ASI tidak perlu dibeli, sehingga dana yang seharusnya digunakan untuk membeli susu formula dapat digunakan untuk keperluan lain. Selain itu, penghematan juga disebabkan karena bayi yang mendapat ASI lebih jarang sakit sehingga mengurangi biaya berobat. Salah satu partisipan juga mengungkapkan bahwa ASI eksklusif tidak merepotkan. Menurut Roesli (2008), ASI lebih mudah disiapkan, lebih mudah dicerna oleh bayi dan memberikan ASI akan membuat perjalanan menjadi terasa ringkas dan mudah, selain itu juga gratis.

Tema 2. Suami mendapatkan informasi mengenai ASI eksklusif dari beberapa sumber

Partisipan pada penelitian ini mengungkapkan bahwa mereka mendapatkan informasi mengenai ASI eksklusif melalui beberapa sumber,

yaitu bidan, leaflet yang tersedia di pelayanan kesehatan, dan internet. Bidan

merupakan hal yang banyak dikemukakan para partisipan sebagai sumber

informasi yang diterima. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Nurbaiti

(2014) yang menyatakan bahwa 70% sumber informasi suami mengenai ASI eksklusif didapatkan dari nonmedia seperti petugas kesehatan (dokter, perawat, bidan, petugas kesehatan masyarakat, dan petugas gizi), keluarga, dan teman. Menurut Ekiawati (2002 dalam Fauziah, 2013), secara umum tenaga kesehatan dan pelayanan kesehatan merupakan media yang paling banyak menginformasikan tentang ASI.

Hasil penelitian Ramadhani & Hadi (2010) di wilayah kerja Puskesmas Air Tawar Kota Padang juga mengungkapkan bahwa dukungan petugas kesehatan mempengaruhi dukungan suami dan pemberian ASI eksklusif. Hal ini dapat terjadi karena sewaktu ibu memeriksakan kehamilan, bersalin dan kunjungan neonatal, suami ikut mendengarkan penjelasan petugas kesehatan mengenai ASI eksklusif dan manfaatnya, sehingga suami terpengaruh dan termotivasi untuk memberikan dukungan secara maksimal kepada ibu untuk memberikan ASI sampai usia bayi enam bulan.

Penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2013) di Puskesmas Serpong juga membuktikan adanya hubungan antara peranan petugas kesehatan dengan keberhasilan ASI eksklusif. Hal ini karena petugas kesehatan seperti

perawat, bidan atau dokter merupakan orang pertama yang membantu ibu bersalin untuk memberikan ASI kepada bayinya (Lubis, 2010). Untuk itu, petugas kesehatan harus mengetahui tatalaksana laktasi yang baik dan benar selain bersikap positif terhadap pemberian ASI, sehingga dapat mempengaruhi pemberian ASI eksklusif. Petugas kesehatan harus memberikan penjelasan tentang ASI secara sinambung, mulai dari pemeriksaan kehamilan, setelah persalinan dan saat kunjungan neonatal. Untuk itu, petugas kesehatan harus memiliki keterampilan dalam konseling ASI, baik dalam hal berkomunikasi, pengetahuan tentang pemberian ASI secara medis dan teknis, sosial budaya dan agama, serta memahami program pemberian ASI yang dilakukan pemerintah dan masyarakat (Perinasia, 2008).

Tema 3. Suami memberikan informasi tentang ASI eksklusif pada ibu primipara

Informasi yang diberikan suami merupakan salah satu bentuk dukungan informasional. Dukungan informasional adalah bentuk dukungan yang meliputi nasehat, usulan, saran, petunjuk dan pemberian informasi (Friedman, Browden & Jones, 2010). Hasil penelitian pada studi ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Friedman, Browden & Jones (2010) bahwa bentuk dukungan informasi yang diberikan suami kepada ibu primipara mengenai pemberian ASI eksklusif meliputi informasi tentang nutrisi ibu menyusui, informasi tentang faktor penghambat produksi ASI, dan informasi tentang ASI perah.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Astuti (2013) di Puskesmas Serpong bahwa informasi yang harus disampaikan pada ibu mengenai ASI eksklusif yaitu keuntungan dan keunggulan ASI, makanan ibu hamil dan menyusui, serta persiapan menyusui dalam waktu lama.

Informasi tentang nutrisi ibu menyusui dan faktor penghambat produksi ASI Pada masa menyusui, kebutuhan nutrisi ibu perlu diperhatikan karena ibu tidak hanya harus mencukupi kebutuhan dirinya melainkan harus memproduksi ASI bagi bayinya. Menurut Sutomo (2010), seorang ibu biasanya memproduksi ASI 800-850 ml per hari selama menyusui. Pada umumnya, dalam 100 gram ASI terkandung 60 ml kalori dan 1,2 gram protein. Komponen nutrisi ini berasal dari sari makanan yang dikonsumsi ibu. Gizi ibu menyusui dibutuhkan untuk produksi ASI dan pemulihan kesehatan ibu pasca melahirkan (Bahiyatun, 2008). Tubuh ibu memiliki cadangan nutrisi yang mencukupi untuk memulai proses menyusui pasca melahirkan dikarenakan sejak dalam masa kehamilan tubuh ibu sudah dirancang agar siap untuk menyusui (Monika, 2014). Oleh karena itu, ibu menyusui harus meningkatkan pola makan selama hamil (Subakti & Anggarani, 2008).

Partisipan pada penelitian ini mengungkapkan bahwa istri mereka mengkonsumsi sayur daun katuk selama proses menyusui secara eksklusif untuk meningkatkan produksi ASI. Frekuensi rata-rata istri dari partisipan penelitian ini dalam mengkonsumsi sayur daun katuk yaitu 3-4 kali/minggu. Selain itu partisipan juga mengatakan bahwa istri mereka menselingi dengan sayuran lain seperti kangkung dan bayam setiap harinya agar tidak bosan.

Monika (2014) mengungkapkan bahwa seorang peneliti Indonesia meneliti khasiat daun katuk ini pada tikus. Hasil penelitian tersebut diterbitkan pada International Conference on Food Engineering & Biotechnology tahun 2011 di Singapura yang hasilnya pemberian ekstrak daun katuk pada tikus yang sedang menyusui meningkatkan kadar hormon prolaktin dan oksitosin, dimana kedua hormon tersebut berperan dalam meningkatkan produksi ASI.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwaistri partisipan pada penelitian ini mengkonsumsi susu khusus ibu menyusui setiap harinya untuk meningkatkan kualitas dan produksi ASI. Menurut Monika (2014), minum susu, baik susu cair maupun susu khusus ibu menyusui, tidak berhubungan dengan produksi ASI. Susu diketahui sebagai salah satu sumber kalsium, namun, mengkonsumsi kalsium saja tidak cukup bila tidak diikuti dengan asupan vitamin D yang cukup. Bila ibu menyukai susu, pilihlah susu cair segar pasteurisasi atau UHT tawar dan tidak berlebihan (batasi hingga 500 ml atau dua gelas per hari).

Proses pasteurisasi adalah memanaskan susu cair yang tidak atau

belum dipasteurisasi hingga mencapai susu 71,67⁰C selama 15-20 detik,

kemudian diikuti proses pendinginan yang cepat. Pasteurisasi ini dapat membunuh bakteri-bakteri berbahaya dan mengurangi risiko terjangkit penyakit. Akan tetapi, bila ibu tidak menyukai susu dan tidak makan produk turunan susu, seperti keju dan yoghurt, nutrisi yang terdapat dalam susu bisa didapat dari bahan makanan lain, misalnya kalsium yang didapat dari sayuran berwarna hijau, ikan teri, dan tahu.

Selain nutrisi ibu yang mempengaruhi produksi ASI, emosi dan psikis ibu juga menjadi faktor penghambat produksi ASI lainnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa partisipan memberikan informasi kepada istrinya untuk tidak terlalu lelah dan stres atau tertekan karena akan menghambat pengeluaran ASI. Menurut IDAI (2008), ada beberapa jenis stresyang umum dialami oleh ibu menyusui, diantaranya kuatir akan kurangnya kuantitas produksi ASI dan kualitas ASI yang tidak cukup baik untuk bayi, takut bentuk tubuh atau payudaranya berubah (faktor estetika), stres akibat perubahan pola atau gaya hidup (terutama menyusui anak pertama), merasa pemberian ASI kurang praktis bagi ibu bekerja, dan stres akibat kurangnya dukungan suami terhadap pemberian ASI sebagai makanan terbaik bagi bayi.

Derek (2005) juga menjelaskan bahwa produksi ASI sangat dipengaruhi oleh faktor psikologis ibu karena dapat menghambat pengeluaran hormon oksitosin, sehingga mencegah masuknya air susu ke dalam pembuluh payudara dan menyebabkan bayi akan mendapatkan sedikit ASI.Adanya informasi tentang nutrisi ibu menyusui dan faktor penghambat produksi ASI membantu ibu dalam menjaga kesehatan dirinya dan juga untuk mencukupi kebutuhan nutrisi bayinya.

Informasi tentang ASI perah

Salah satu partisipan dalam penelitian ini adalah suami dengan istri yang bekerja, sehingga suami memberikan informasi tentang ASI perah untuk ibu bekerja agar tetap bisa menyusui bayinya secara eksklusif. Priyono (2010) mengatakan bahwa ibu yang bekerja bukan alasan untuk menghentikan pemberian ASI eksklusif, meskipun cuti melahirkan di Indonesia rata-rata hanya tiga bulan. ASI eksklusif tetap dapat diberikan oleh ibu bekerja dengan cara memerah ASI.

Partisipan dalam penelitian ini mengatakan istrinya berusaha pulang pada jam istirahat untuk menyusui bayinya, karena jarak lokasi tempat kerja yang cukup dekat dengan rumah. Hal ini sesuai dengan hasil studi fenomenologi Rejeki (2008) di wilayah Kendal Jawa Tengah tentang pengalaman menyusui eksklusif ibu bekerja yaitu upaya yang dilakukan ibu bekerja untuk dapat menyusui bayinya secara eksklusif diantaranya meninggalkan ASI di rumah dengan menyimpan ASI di dalam kulkas (ASI perah), membawa dan menitipkan bayinya di tempat kerja, berusaha pulang pada jam istirahat, dan makan dengan teratur sekalipun di malam hari, serta membawa makanan dan minuman di tempat kerja agar produksi ASI tetap lancar.

Pemerahan ASI dapat ibu lakukan sebelum ibu mulai bekerja kembali, kemudian saat ibu bekerja, ibu dapat melakukan di tempat kerja pada jam istirahat (PN & Djamaludin, 2010). Ibu dapat memerah selama 15-20 menit setiap 2-3 jam dengan interval maksimum memerah adalah 5 jam. Usahakan memerah minimal 2 kali sejak malam hingga bangun pagi hari

karena hormon prolaktin meningkat pada malam hari dan menyebabkan produksi ASI lebih banyak ( Monika, 2014 dan Tim Mommies Daily, 2012).

Menurut ABM (The Academy of Breastfeeding Medicine) dalam

Monika (2014), hasil ASI perahan dapat disimpan di suhu ruangan antara

16-29⁰C selama 3-4 jam dan dapat bertahan 6-8 jam. Bila suhu ruangan dingin

(sekitar 15,8⁰C atau setara dengan cooler bag yang diisi es batu, ASI perah

dapat bertahan 24 jam. ASI perah juga dapat disimpan di dalam kulkas dengan suhu ≤4⁰C dapat bertahan optimal selama 72 jam (3 hari). Selain itu,

ASI perah juga dapat dibekukan di dalam lemari pembeku (freezer) pada suhu

kurang dari -17⁰C dan aman dibekukan hingga 3-6 bulan. Lama maksimum

pembekuan ASI perah adalah 12 bulan. Vitamin A, E, B, protein, lemak, enzim, laktosa, zinc, immunoglobulin, lysozyme, dan laktoferin akan terjaga bila ASI perah dibekukan, namun vitamin C dalam ASI perah berkurang signifikan bila dibekukan lebih dari 3 bulan.

Wadah ASI perah harus memiliki tutup yang menutup rapat dan tidak mengandung bahan berbahaya seperti Bisfenol A (BPA) yang sering

ada pada botol plastik. FDA (Food Drug Administration) dengan penelitian

terbarunya menyatakan bahwa BPA berbahaya bagi kesehatan. BPA secara teoritis dapat bertindak sebagai hormon dalam tubuh sehingga mengganggu kadar hormon tubuh dan perkembangan janin, bayi, dan anak-anak. Selain itu, beberapa penelitian pada binatang menemukan potensi hubungan antara paparan BPA dengan meningkatnya risiko kanker. Untuk itu, ibu perlu mengetahui jenis-jenis plastik dengan cara melihat kode pada bagian luar atau

tertentu. BPA terdapat pada nomor recycle 3 dan 7, sedangkan wadah

berbahan plastik yang aman terdapat pada kode recycle nomor 5 (Monika,

2014). Partisipan dalam penelitian ini mengatakan bahwa mereka menggunakan botol berbahan kaca dan plastik sebagai wadah ASI perah. Menurut Monika (2014), botol berbahan kaca umumnya direkomendasikan karena dapat digunakan berulang-ulang, mudah dibersihkan, dan aman. Selain itu, lemak ASI perah yang disimpan di wadah berbahan kaca lebih mudah lepas dari dinding wadah dan bercampur kembali bila digoyangkan pelan dibandingkan wadah berbahan plastik. Adanya informasi tentang ASI perah membantu ibu bekerja untuk tetap bisa menyusui bayinya secara eksklusif tanpa mengkhawatirkan kuantitas dan kualitas ASI.

Tema 4. Suami tidak memberikan dukungan penilaian berupa pujian melainkan dengan ucapan terima kasih

Dukungan penilaian menurut House dalam Setiadi (2008) merupakan ungkapan hormat (penghargaan) positif bagi seseorang. Semua partisipan dalam penelitian ini mengungkapkan bahwa mereka tidak ada yang memberikan pujian kepada istri, namun mereka mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada istri karena berhasil memberikan ASI eksklusif kepada anak-anaknya. Werdayanti (2013) mengungkapkan bahwa keuntungan memberikan pujian yang tepat yaitu dapat membangun percaya diri, mendorong untuk terus melakukan perilaku baik, dan ibu akan lebih mudah menerima saran berikutnya.

Hasil penilitian ini menunjukkan berbagai alasan partisipan yang tidak memberikan pujian pada istri selama proses menyusui secara eksklusif, yaitu partisipan menganggap pujian bukanlah merupakan suatu hal yang penting untuk diungkapkan. Mereka merasa bahwa tanpa mengungkapkan pujian secara verbal, istri sudah memahami dan mengerti melalui tindakan suami sehari-hari. Mereka juga merasa bukan orang yang romantis. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena suami lebih menggunakan logika daripada perasaannya, sehingga mereka merasa sulit memberikan pujian pada istrinya.

Wade & Carol (2008) mengungkapkan bahwa dr. Joseph Lurito,

seorang asisten professor radiologi di School of Medicine Indiana University,

Amerika Serikat melakukan penelitian tentang, kepekaan otak laki-laki dan perempuan dalam mencerna pendengaran dengan menggunakan metode scanning otak terhadap 20 laki-laki dan perempuan. Hasilnya, perempuan memiliki keunggulan yang lebih dalam aktivitas mendengar dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan laki-laki hanya menggunakan otak kiri dalam mencerna sesuatu dibandingkan perempuan yang menggunakan kedua bagian otaknya. Otak kiri adalah otak yang lebih peka terhadap aspek intelektualitas (intellectually thinking), sementara otak kanan lebih peka terhadap perasaan (emotionally thinking). Menurut teori kepribadian atau yang biasa dikenal

sebagai MBTI (Myers-Briggs Type Indicator), pada salah satu tahapan (tahap

ketiga) yaitu Thinking vs Feeling, dimana orang yang berkarakter thinking

biasanya lebih cenderung menggunakan logika dalam menghadapi suatu

kritik daripada pujian kepada orang lain. Sedangkan orang berkarakter feeling adalah orang yang cenderung menggunakan perasaan dalam menghadapi suatu masalah, dan biasanya mereka lebih suka memberikan pujian daripada kritik (Wade & Carol, 2008).

Tema 5. Suami memberikan dukungan fisik untuk ibu primipara selama proses pemberian ASI eksklusif

Dukungan fisikatau dukungan instrumental menurut Caplan (1974 dalam Estu, Ed., 2010) merupakan bantuan langsung seperti benda, uang, dan tenaga. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa semua partisipan memberikan dukungan fisik pada ibu primipara selama proses menyusui secara eksklusif. Bentuk dukungan yang diberikan ini berupa suami memenuhi kebutuhan ibu menyusui secara eksklusif seperti nutrisi untuk ibu menyusui dan peralatan untuk ASI perah, suami ikut terlibat dalam menjaga dan merawat bayi, sertasuami juga ikut membantu pekerjaan rumah tangga.

Hal ini sejalan dengan penelitian Erawati, Reni, & Handayani (2014) di Kelurahan Wates Kota Magelang, partisipasi instrumental yang diberikan suami dalam pemberian ASI eksklusif meliputi keterlibatan suami membantu ibu untuk menyendawakan bayinya setelah menyusui, membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga, lebih memikirkan kebutuhan ibu dalam menyusui bayinya dibandingkan dirinya, ketika bayi menangis suami menggendong dan memberikannya kepada ibu untuk disusui, mengantarkan ibu untuk pemeriksaan rutin bayinya (penimbangan, imunisasi) ke posyandu. American Academy of Pediatric (2012) yang menyebutkan bahwa suami dan

anggota keluarga lain dapat memperkuat ikatan dengan bayi dengan berpartisipasi dalam membantu ibu seperti menyendawakan bayi setelah disusui, memastikan ibu makan dan minum yang cukup, membantu ibu dengan alat pompa payudara dan botol.

Menurut Roesli dan Yohmi (2013) terdapat beberapa keadaan yang dianggap dapat meningkatkan produksi hormon oksitosin, salah satunya adalah dukungan ayah dalam pengasuhan bayi seperti menggendong bayi ke ibu saat akan disusui atau disendawakan, menggantikan popok dan memandikan bayi, bermain, mendendangkan bayi dan membantu pekerjaan rumah tangga. Hormon oksitosin berperan untuk merangsang keluarnya ASI. Werdayanti (2013) juga menambahkan bahwa bantuan suami berupa menemani, menjaga dan bermain bersama anak dengan meluangkan waktu dan memberi perhatian dipercaya dapat meredakan ketegangan otot dan menenangkan pikiran ibu. Untuk itu suami diharapkan dapat masuk dan bergabung di dunia ibu dan bayi dalam pemberian ASI, seperti yang diungkapkan oleh Februhartanty (2008) bahwa untuk memenuhi ASI eksklusif diperlukan adanya keharmonisan hubungan pola menyusui tripartit, yaitu antara ayah, ibu, dan bayi.

Tema 6. Suami memberikan dukungan emosional pada ibu primipara selama proses pemberian ASI eksklusif

Dukungan emosional menurut House dalam Setiadi (2008), mencakup empati atau perhatian, kepedulian dan perhatian terhadap orang yang bersangkutan. Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa dukungan emosional yang diberikan oleh semua partisipan kepada istri selama proses menyusui secara eksklusif seperti suami menemani istri ketika menyusui di malam hari, mendengarkan keluhan istri, memberikan semangat dan motivasi kepada istri, serta memberikan perhatian. Menurut Roesli (2008), suami merupakan faktor pendukung pada kegiatan yang bersifat emosional dan psikologis yang diberikan kepada ibu menyusui. Sekitar 80% sampai 90% produksi ASI ditentukan oleh keadaan emosi ibu yang berkaitan dengan refleks oksitosin ibu berupa pikiran, perasaan dan sensasi. Apabila hal tersebut meningkat akan memperlancar produksi ASI.

Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Nadzifah & Lingga (2012)yang menunjukkan bahwa ada hubungan antara dukungan emosional suami dalam proses laktasi dengan pemberian ASI eksklusif pada bayi di wilayah kerja Puskesmas Padangsari Banyumanik Semarang. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa pada responden dengan dukungan emosional dari suami yang termasuk dalam kategori kurang secara keseluruhan responden tidak memberikan ASI eksklusif, reponden dengan dukungan emosional dari suami yang sedang menyebabkan sebagian besar tidak memberikan ASI eksklusif, sedangkan pada responden dengan dukungan emosional dari suami yang baik menyebabkan sebagian besar memberikan ASI eksklusif pada bayi.

Menemani istri ketika menyusui pada malam hari

Tidur adalah sesuatu yang manusia butuhkan termasuk bagi ibu yang baru melahirkan. Padahal ibu yang baru melahirkan membutuhkan lebih banyak waktu untuk istirahat dikarenakan telah melewati masa persalinan yang memakan banyak energi. Akan tetapi, biasanya bayi sering terbangun dan menangis pada malam hari membuat ibu juga ikut terbangun untuk menyusui bayinya. Kondisi tersebut menjadi sulit untuk seorang ibu, sehingga ibu membutuhkan dukungan dari orang-orang di sekitarnya terutama suami yang merupakan orang terdekat ibu.

Monika (2014) mengungkapkan bahwa umumnya, ibu yang baru melahirkan kekurangan waktu dan kualitas dari tidur. Ibu juga khawatir bila bayi mereka tidak tidur dalam jangka waktu yang panjang pada malam hari. Kemudian, berbagai saran diberikan kepada ibu, seperti jangan susui bayi pada malam hari, berikan susu formula atau makanan pendamping ASI (MPASI) dini, atau biarkan bayi menangis hingga lelah agar dapat tertidur. Padahal, berbagai penelitian menyatakan menyusui pada malam hari bermanfaat bagi bayi dan juga ibu. Cebero (2005) mengatakan bahwa ASI yang diproduksi ibu pada malam hari mengandung lebih banyak triptofan

Dokumen terkait