• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penulis kembali melakukan interpretasi atas kategorisasi temuan-temuan seperti tampak di Tabel 4.1 dan menemukan beberapa interpretasi atau pemaknaan diantaranya:

Interpretasi pertama, penulis dapatkan dari wawancara langsung dengan Lala Timothy, twitter milik Mira Lesmana dan Riri Riza, serta obrolan dengan Bapak Chand Parwez melalui whatsapp

tentang proses produksi film-film mereka. Penulis menemukan cara- cara mengelola proses produksi yang sejalan di antara ketiga narasumber. Mereka sama-sama memiliki pola kerja yang terorganisir dengan baik (well-managed). Jika Lala, Mira dan Riri sudah terbiasa dengan riset yang memadai dan diskusi yang panjang dengan penulis skrip dan sutradara sebelum proses syuting dilaksanakan (ada proses eksplorasi dan elaborasi ide-ide kreatif di sana); maka rumah produksi

―Starvision‖ milik Bapak Chand juga sudah memiliki pola kerja yang pasti dan terencana. Bapak Chand memiliki jaringan dengan para penulis yang berbakat, demikian juga dengan sutradara dan artis-artis terkenal di periodenya. Selain itu, Bapak Chand memiliki kerja sama promosi dengan ―Grup XXI‖ selama puluhan tahun. Penulis melihat

adanya ―order‖, tatanan-tatanan kerja yang baik di dalam organisasi proses pembuatan film, meskipun kreativitas pembuatannya sendiri

bersifat ―liar‖ dan impulsif. Ada kalanya film-film yang dihasilkan mendapat apresiasi yang tinggi dari para penonton, namun ada pula yang tidak mendapatkan apresiasi yang cukup. Dengan kata lain, film yang mereka buat bisa gagal atau tidak laku di pasaran. Ini adalah paradoks yang pertama.

Interpretasi kedua, penulis peroleh dari kategorisasi temuan- temuan berdasarkan wawancara langsung dengan Joko Anwar, Atid Samaria, dan Ifa Isfansyah. Penulis memperoleh beberapa pemaknaan tentang cara kerja dalam organisasi pembuatan film yang cenderung

lebih ―cair‖ dan fleksibel. Mereka menyatakan bahwa proses produksi

bisa berubah-ubah langsung di lapangan jika ada kendala atau hambatan. Misalnya jika pendanaan kurang, maka syuting akan dilaksanakan sesuai anggaran yang ada. Hal tersebut bisa berdampak

pada kreativitas pemilihan lokasi syuting –seperti diceritakan oleh Joko Anwar, pemilihan pemain dari rekan-rekan atau saudara (bahkan ibu sendiri –seperti yang diceritakan oleh Atid), serta berbagai perubahan

cara penceritaan di dalam proses pembuatan film ―Siti‖ termasuk

konseptualisasi ide cerita di awal, pemilihan aktor dan aktris yang belum terkenal, serta produksi film secara hitam-putih karena keterbatasan anggaran –seperti yang diceritakan oleh Ifa Isfansyah. Pada mekanisme kerja di organisasi/tim seperti itu, penulis melihat bahwa kreativitas yang bersifat impulsif tidak harus direncanakan atau dikelola dengan betul-betul matang; namun tetap dibiarkan lentur. Organisasi seperti ini lebih lentur dan negosiasi berjalan terus sampai ke akhir proses produksi. Anggaran menjadi suatu keterbatasan, sehingga hasil akhir secara sinematografi tidak harus memiliki target sebagaimana film-film yang ―well-managed‖. Keputusan tidak diambil mayoritas oleh produser melainkan kesepakatan bersama oleh tim kerja (organisasi). Inipun menjadi sebuah paradoks karena hasil akhir berupa apresiasi penonton, bisa sangat berbeda dari yang diharapkan. Ini adalah paradoks yang kedua.

Interpretasi ketiga penulis dapatkan dari kategorisasi temuan berdasarkan wawancara dengan wakil dari pengusaha bioskop, yakni Ibu Catherine Keng dan Ibu Dian Soemardi. Penulis mendapatkan interpretasi tentang posisi pengusaha bioskop sebagai ekshibitor yang cukup kuat dan punya power. Penulis melihat bagaimana bioskop sebagai layar lebar punya wewenang menetapkan mana film-film yang masih boleh diputar di bioskop mereka, dan mana yang harus segera turun dari layar lebar. Penulis berpendapat, penetapan pembagian keuntungan 50:50 atas hasil penjualan tiket merupakan pemaknaan yang sama dari posisi pengusaha bioskop saat ini. Dominasi mereka di penghujung proses pembuatan sebuah film menjadi sangat besar dan menentukan. Ini adalah paradoks ketiga.

Interpretasi keempat dan yang terakhir penulis peroleh melalui kategorisasi temuan berdasarkan wawancara dengan wakil pemerintah, dalam hal ini Bapak Boy (karena tidak atau belum ada staf lain yang berhasil diwawancarai). Bagi penulis, peran pemerintah saat ini masih belum banyak berubah dari yang lalu, pemerintah masih terkesan

sebagai the outsider. Pemerintah tidak banyak ikut ambil bagian atau kurang berperan dalam perkembangan industri film Indonesia. Undang-undang perfilman memang sudah diperbaharui ke UU tentang Film Indonesia yaitu UU Nomor 33 Tahun 2009, akan tetapi pelaksanaannya belum berubah. Film asing masih tetap mendominasi layar lebar film di tanah air.Ini paradoks yang keempat dan kelima.

Keseluruhan interpretasi dan pemaknaan tersebut memberi gambaran kepada penulis tentang adanya situasi paradoksal di sana- sini. Penulis mendapatkan itu ketika membandingkan hasil wawancara Lala Timothy dan Mira Lesmana serta Riri Riza, dengan hasil wawancara terhadap Bapak Chand. Bagaimana apresiasi penonton atas organisasi pembuatan sebuah film sebagai eksplorasi dan elaborasi ide- ide kreatif dan didukung dengan riset yang memadai, tidak lantas berjalan beriringan dengan hasil akhir yaitu apresiasi penonton. Ada

chaos dan order berjalan beriringan. Hal yang sama terjadi ketika penulis membandingkan proses produksi yang terorganisir dengan baik

(penulis menyebutnya ―well-managed‖) dengan proses produksi yang

lebih lentur dan fleksibel, hal tersebut juga memperlihatkan bagaimana

chaos dan order berjalan beriringan dalam industri perfilman Indonesia.

Kategorisasi temuan lain yang membuat penulis semakin yakin bahwa situasi paradoksal dan dilematis memang betul-betul terjadi, adalah ketika membandingkan kategorisasi temuan dari wakil pengusaha bioskop dengan wakil pemerintah. Penulis mendapatkan interpretasi bahwa peran masing-masing sangat bertolak belakang, peran yang satu begitu dominan menentukan film-film yang layak diputar dan bertahan di layar lebar (sekalipun tidak berperan sebagai regulator), dan peran yang lain sebagai regulator namun belum berbuat banyak (sekalipun Undang-undang sudah ada) terhadap perkembangan perfilman di Indonesia. Peran pemerintah sebagai regulator, masih tetap sama, belum menunjukkan peran yang signifikan.

Dokumen terkait