• Tidak ada hasil yang ditemukan

Seperti telah dikemukakan oleh beberapa film maker, mendistribusikan film sebagai hasil produksi sebuah tim (yang sebenarnya juga tidak mudah dilakukan) adalah tanggung jawab produser juga. Peran distributor telah lama hilang dalam industri perfilman Indonesia, tepatnya sejak Orde Baru ketika ―Grup XXI‖

mulai berdiri dan beroperasi sebagai satu-satunya ekshibitor. Untuk itu,

penulis telah menghadiri sebuah diskusi tentang film yaitu ―The Art of Film Marketing‖ di Jakarta pada tanggal 18 November 2015, atas undangan dari Shelia Timothy. Di sana penulis berkesempatan bertemu langsung dan mewawancarai Ibu Catherine Keng sebagai Secretary

Officer dari ―Grup XXI‖, dan Ibu Dian Sunardi sebagai Chief Marketing

dari ―Grup Blitz Cineplex‖.

Penulis melakukan konfirmasi tentang masa tayang sebuah film di bioskop dan sempat bertanya perolehan jumlah penonton. Sayangnya, pertanyaan kedua tidak dijawab secara langsung dan terbuka, penulis mendapatkan gambaran umumnya saja.

Hasil wawancara dengan Ibu Catherine Keng, dan Ibu Dian Sunardi dari Blitz Cineplex, menunjukkan bahwa film asing memang masih mendominasi bioskop-bioskop di Indonesia berhubung lebih laku sehingga lebih mendatangkan keuntungan. Film Indonesia dianggap belum menjanjikan dan terlalu segmented, tidak seperti film asing. Berikut adalah pendapat Catherine Keng tentang dua film Indonesia yang box office selama kurun lima tahun terakhir, seperti dikutip di bawah ini:

Programming adalah jantung dari bioskop. Seleksi awal diputar/tidaknya sebuah film adalah berdasarkan kriteria sbb: (i) apakah film tsb merupakan mass-market product? Atau (ii) art-house product? atau (iii) untuk wilayah tertentu saja? Tidak setiap film harus diputar di banyak layar. Selain lihat

trailer, bioskop juga akan lihat teaser dan portofolio pembuat film. Waktu untuk melihat animo penonton hanya 1-3 hari. Fim Indonesia itu sangat segmented, tidak seperti film asing, sangat universal. Dengan demikian film Indonesia pangsa pasarnya tertentu, tidak bisa dipasarkan di semua layar. Contoh, film ―Bombe‖ sangat laku di Makasar XXI bisa tahan 2,5 bulan tapi tidak di tempat lain. Jumlah penonton

tertinggi adalah untuk film ―Habibie-Ainun‖ yaitu sebanyak

4,8 juta orang di tahun 2012, hampir sama dengan ―Laskar Pelangi‖ sekitar 4 juta penonton di tahun 2008, dengan

jumlah layar yang berbeda‖ (Keng, C., 18 November 2015).

―Grup XXI‖ memiliki 853 layar di 152 lokasi. Promosi mereka di mobile-site mendatangkan visitor dua kali lipat website. Promosi film lebih efektif di bioskop daripada di you tube. Di hari film nasional,

―Grup XXI‖ melakukan promosi dengan cara menayangkan ulang film-film pilihan dengan potongan harga tiket 50%. Pada saat Festival Film Indonesia akan tayang-ulang film-film Indonesia berkualitas di

kota-kota yang belum ada bioskopnya, contohnya: di Purwakarta diputar

film ―Negeri 5 Menara‖, di Sukabumi film ―99 Cahaya di Langit Eropa‖, di Cianjur ―Comic 8‖ dan di Serang. Di bioskop balai kota diputar film

―Si Jago Merah‖, ―Get Married‖, ―Bajaj Bajuri The Movie‖, dan ―Get Married 2‖.

Ibu Dian Sunardi, Chief Marketing Blitz Cineplex, menyatakan bahwa film programming memegang peranan penting. CGV Blitz tidak punya dana dari sponsor seperti Multivision –yang langganan pasang iklan di XXI—untuk promosi, sehingga Blitz harus lebih kreatif dalam memasarkan produknya. Dengan begitu, sebenarnya CGV Blitz juga tidak terikat mempromosikan satu jenis film-film hasil produksi produser (PH) tertentu, sehingga penonton diberi alternatif tontonan lebih banyak. Cara berpromosi yang selama ini ditempuh adalah dengan dibuatnya loyalty member yaitu perolehan poin untuk penonton yang setia menonton di Blitz. Selain itu juga dilakukan survey tentang lokasi outlet-outlet CGV dan tipe konsumen.

Di tempat yang sama, hadir juga ketua BEKRAF yaitu Bapak Triawan Munaf yang memberi kata sambutan. Namun sayang sekali beliau hanya hadir sebentar, lantas pergi di sesi berikutnya ke tempat/undangan lain, penulis belum berkesempatan mewawan-carainya hingga saat ini. Ada asisten/deputi beliau, yaitu Bapak Boy, yang mencoba menjawab pertanyaan tentang kebijakan pemerintah yang penulis ajukan. Dalam sambutannya, Bapak Triawan Munaf mengungkapkan bahwa pemasaran sebuah film merupakan aspek yang penting. Beliau juga mengatakan bahwa:

―Pemasaran film Indonesia sama pentingnya dengan film Indonesia itu sendiri. Dulu promosi dianggap sebagai tambahan, padahal biaya promo bisa mencapai 4 kali lipat dari biaya produksi film ybs. Di era sosial-media sekarang ini,

kita harus pintar memanfaatkan ‗new media‘. Tren

penurunan penonton film nasional tidak kita inginkan, penting untuk tahu selera penonton di masa depan. Teknologi bergerak eksponensial. Kita harus bergerak lebih cepat, dan tetap jujur‖ (Munaf, T., 18 November 2015).

Menurut Bapak Boy, Deputi Riset dan Pengembangan BEKRAF, film dianggap punya kontribusi walaupun secara statistik kontribusinya baru 1,3%. Sub sektor lain seperti fashion dan kuliner memberikan kontribusi lebih besar yaitu kuliner 32,4% dan fashion

24%. Pada disksui tersebut sempat dibahas bahwa angka 1,3% memang baru perkiraan, belum melihat dampak perfilman sebagai industri lokomotif yang membawa industri-industri yang lain seperti tourism,

fashion, dan kuliner. BEKRAF saat ini belum memiliki strategi tentang perfilman karena masih baru bekerja, baru memetakan sektor industri kreatif di Indonesia. Bapak Boy mengatakan untuk jangka pendek, BEKRAF ingin membuat sistem informasi dulu, membangun data base

dan pusat-pusat inkubator unggulan. Dengan demikian, pertanyaan lebih lanjut tentang sikap pemerintah terhadap industri perfilman Indonesia saat ini belum bisa dijawab.

Paparan demi paparan di atas mengindikasikan adanya masalah dalam distribusi dan pemasaran film Indonesia. Peran distributor yang sebelumnya menghubungkan antara produser dan ekshibisi yang dulu pernah ada sekarang sudah hilang. Menurut beberapa movie-maker, masalah ini menyebabkan tingginya biaya promosi karena persaingan tidak sehat (film asing membanjiri Indonesia dan mendominasi) sehingga film-film Indonesia harus ekstra berpromosi dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, bahkan bisa melebihi biaya produksi film itu sendiri. Pemain lama yang mendominasi adalah

―XXI‖, sedangkan pemain baru yaitu ―Blitz‖ dan ―Cinemaxx‖ masih sangat terbatas layarnya. Dengan demikian, kesempatan untuk mendistribusikan film di bioskop (layar lebar) masih sangat terbatas.

Masalah-masalah tentang dominasi film asing di layar lebar (bioskop) dan bagaimana penonton selama ini dibiasakan menonton film gaya Hollywood, serta terbatasnya jumlah layar dan bioskop diutarakan beberapa movie-maker sebagai berikut:

Kita ini di 2014 hanya punya 942 layar. Dibandingin sama penduduk Thailand yang jumlah penduduknya hanya 10 persen dari Indonesia, jumlah layarnya sama. Jadi akses ke bioskop juga kurang. Dan bioskop itu hanya ada di kelas A dan B yang maunya nonton level Hollywood. Kelas C dan D

ngga bisa, Ide yang seharusnya market-nya Indonesia jadi gak kegarap, karena gak ada bioskopnya. Ini persentase sebaran bioskop 80 persennya di Jawa. Jadi yah wallahualam yang di luar Jawa.‖ (Timothy, S., 24 Agustus 2015).

Apa yang diutarakan Lala tersebut, ditegaskan ulang oleh Atid dan Motulz. Terbatasnya bioskop di Indonesia dan dominasi para pengusaha bioskop menjadi salah satu kendala para film maker

mendistribusikan hasil karyanya.

―Saat ini toko untuk jualan film hanya ada satu, ―Cinema XXI‖. Ada dua toko kecil lainnya. yaitu ―Cinemaxx‖ dan

―Blitz‖, tapi jumlahnya tidak signifikan. Seperti halnya barang lain, kalau tokonya cuma ada satu, akan sangat kesulitan untuk jualan karena semua orang berebut jualan di sana.‖ (Simanjuntak, S., 10 Agustus 2015)

―Masalah dalam film Indonesia, menurut saya, adalah sejak monopoli bioskop. Karena menurut saya gini, ibaratnya TV punya program terus di-rating, kalo rating-nya anjlok program tsb ditarik. Sama juga kayak bioskop. Nanti pemiliknya bilang: sorry nih slot saya antre, film anda harus tunggu dulu, Kalo dalam hitungan minggu/hari filmnya tidak laku, sorry to say, film tsb harus ditarik. Akhirnya, film yang katakanlah berkualitas akan kalah dengan film yang ringan ditonton.‖ (Motulz, 3 Agustus 2015).

Jika Lala dan Motulz mempermasalahkan tentang jumlah bioskop dan masa tayang yang terbatas atau dibatasi, karena slot yang selalu antre, maka Key menyoroti masalah lain. Key lebih melihat

―gambling‖-nya para pembuat film, karena biaya produksi yang begitu besar tidak diimbangi dengan masa tayang yang cukup lama di bioskop. Hal ini diungkapkan Key sebagai berikut:

―memang ―XXI‖ itu pada dasarnya berbisnis, tidak mau rugi. Sebenernya bisa kehitung sih dari jumlah penontoh dan kualitas si filmnya itu, keliatan kan ya dari garapan film. Misalnya kaya ―Supernova‖, wah ngeliat dari set yang

katanya nyewanya berapa M kan…ya, lihat pemasukannya

rugi. Untuk para produser India mereka itu udah teruji gitu loh..5 film kita rugi tapi oke karena mereka punya sinetron juga‖ (Key, 3 Agustus 2015)

Mengenai perbedaan antara menyiarkan film di televisi dengan di bioskop (layar lebar) dijelaskan Bapak Parwez seperti di bawah ini. Apa yang beliau jelaskan sekaligus mengkonfirmasi apa yang dikatakan Key sebelumnya. Menurut Bapak Parwez perlu ada semacam perimbangan resiko dalam mengatur bisnis perfilman.

―Bisnis program televisi sudah terukur resikonya, karena ada jual-beli program secara tuntas dan program tersebut menjadi milik stasiun TV sepenuhnya. Artinya, selama kita bisa mengatur budget, ada keuntungannya. Film bioskop lebih sulit diprediksi, bisa berhasil/sukses bisa gagal. Tapi pola jual film apabila dibeli stasiun TV hanya right TV saja.‖ (Parwez,

C., 19 Oktober 2015)

Protes para movie-maker ditampik oleh Ibu Catherine Keng,

corporate-secretary ―Grup XXI‖. Dikatakan bahwa tiap minggu rata-rata ada dua judul baru film Indonesia yang tayang di ―Cinema XXI/21‖, kadang-kadang bisa tiga judul per minggu. Jika satu bioskop memiliki 4 studio maka 2 studio akan memutar film Indonesia dan 2 studio lain memutar film asing. Setiap film Indonesia yang ditayangkan di ―XXI‖ diberi jatah satu minggu untuk diputar. Selama empat hari pertama akan dilihat kecenderungan penontonnya, apakah naik atau turun. Jika naik ditambah layar, jika turun layar dikurangi. Pada awal penayangan, film Indonesia biasanya mendapatkan jatah 20 layar, 60 layar, bahkan bisa 100 layar, tergantung target dari produser atau prediksi jumlah penontonnya (CNN Indonesia, diunduh 7 Maret 2016).

Dokumen terkait