• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia D 902011106 BAB IV

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Paradoks dan Manajemen Kreativitas dalam Industri Film Indonesia D 902011106 BAB IV"

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

Dari Produksi sampai Distribusi Film

Peneliti sudah memulai wawancara dengan para pembuat film pertama kali di tahun 2007. Narasumber pertama yang penulis wawancarai ketika itu adalah Riri Riza, yang kontaknya penulis dapatkan dari Key. Wawancara dengan Riri merupakan wawancara pertama dengan hasil transkrip wawancara terbanyak di kantor Miles Production Jakarta. Durasi wawancara sekitar dua jam menghasilkan transkrip sekitar 80 halaman. Pada waktu itu Riri dan kawan-kawan baru saja melontarkan aksi protes pengembalian piala Citra di TMII Jakarta, sehingga wawancara berlangsung cukup seru dan menarik. Riri merupakan sineas yang berwawasan cukup luas. Banyak informasi tentang film Indonesia Pasca Reformasi yang penulis dapatkan kala itu.

Berikutnya adalah wawancara dengan Bapak Slamet Rahardjo di Institut Kesenian Jakarta. Ini pun memberikan banyak pengetahuan tentang film Indonesia pada penulis. Penulis menunggu Bapak Slamet yang kala itu sedang mengajar di kelas, sambil mendengar beliau mengajar penulis mengamati kampus IKJ, itu merupakan momen wawancara terpanjang dan berharga untuk penulis. Narasumber ketiga dan keempat adalah Bapak Garin Nugroho yang diwawancarai penulis di kantor SET Jakarta, serta Bapak Chand Parwez di kantor Starvision Plus Jakarta. Wawancara dengan mereka pun menghasikan transkrip berisi informasi yang melengkapi pengetahuan penulis tentang film Indonesia. Di saat yang lain Bapak Chand Parwez bersedia diundang ke acara diskusi film di ITB, sehingga penulis bisa mewawancarai lebih lanjut. Selama periode tersebut ada beberapa kali diskusi dengan orang-orang film dan budaya di ITB, sehingga penulis berhasil memperoleh narasumber tambahan yaitu Bapak Deddy Mizwar, Lukman Sardi dan

(2)

Di tahun yang sama, penulis juga berkesempatan mengamati

proses pembuatan film ―Jalan Sesama‖ yang disutradarai oleh Key, teman penulis di sebuah lokasi syuting di Jakarta. Film tersebut diadopsi dari sebuah film anak-anak berjudul ―Sesame Street‖ di luar negeri, yang penceritaannya kemudian diubah dan disesuaikan dengan budaya Indonesia. Selain narasumber di atas, pada tahun tersebut penulis pun mengunjungi Direktorat Perfilman di Gedung Film Jalan M.T. Haryono, Jakarta. Waktu itu, Bapak Bakrie yang menjabat sebagai Direktur Film Indonesia di bawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Penulis berhasil mewawancarai beliau dan bahkan mendapatkan buku tentang kaleidoskop perfilman Indonesia mulai tahun 1926 sampai 2007. Di gedung yang sama namun lantai yang berbeda, dua lantai di atas kantor Bapak Bakrie, penulis juga berhasil mewawancarai Ibu Titie Said yang kala itu menjabat sebagai Ketua Lembaga Sensor Film (LSF) di Indonesia.

Sayangnya, ketika peneliti berusaha menghubungi Bapak Bakrie di gedung film tahun 2015 yang lalu, ternyata beliau sudah tidak menjabat dan bahkan kantor perfilman di gedung film Jalan M.T. Haryono Jakarta sudah ditutup. Pemerintahan era Presiden Jokowi tidak lagi menggunakan departemen tersebut. Saat ini industri film digolongkan sebagai ekonomi kreatif berada di bawah Badan Ekonomi Kreatif (BEK) yang posisinya sejajar dengan kementerian yang lain, langsung di bawah Presiden Jokowi. Patut disayangkan juga, pada saat penulis pulang-pergi dari Bandung ke Jakarta beberapa kali untuk melakukan wawancara dengan narasumber, kantor BEK belum ada. Menurut informasi yang penulis dapatkan dari Motulz, pada saat itu kepengurusan BEK di bawah Bapak Triawan Munaf baru akan dibentuk dan berproses sehingga tidak ada narasumber yang diperoleh untuk diwawancarai.

(3)

Dee penulis kemudian mendapatkan kontak Sheila Timothy, Joko Anwar, dan Ifa Isfansyah. Selanjutnya di tahun 2015, penulis mulai melakukan pertemuan awal dengan Key dan Motulz di sebuah rumah makan di Cipete Raya Jakarta; yang kemudian dilanjutkan dengan pertemuan bersama Sheila Timothy di kantornya, Joko Anwar dan para pemain ―ACOMM‖ di Bandung, dan seterusnya. Penulis juga sempat diundang ke Jakarta oleh Sheila Timothy, untuk ikut hadir di acara

―The Art of Film Marketing‖ yang diadakan oleh MPAA di Kemang

Raya Jakarta. Di situ penulis bertemu dan dapat mewawancarai Ibu Catherine Keng dari Grup Cinema XXI dan Ibu Dian Soenardi dari Grup CGV Blitz. Di tempat yang sama, penulis juga bertemu Bapak Triawan Munaf (sayang sekali beliau sangat terburu-buru), namun penulis hanya sempat mewawancarai sebentar asisten deputinya yaitu Bapak Boy. Di samping itu penulis berbincang sebentar dengan Darius Sinathriya tentang film Indonesia yang menurutnya sudah makin maju dan berkembang.

Di waktu yang lain, penulis juga mendapatkan kontak Nia Dicky Zulkarnaen dari Profesor Daniel Kameo, yang sekaligus membimbing penulis dalam penelitian ini. Wawancara dengan Nia penulis dapatkan dari beliau. Di Bandung, penulis pun mendapatkan kontak Atid Sammaria, seorang film maker muda, dan Ariani Darmawan (yang sebelumnya juga pernah penulis wawancarai) dari pertemanan dengan pakar dan orang-orang kreatif di Bandung. Penulis juga sempat mewawancarai beberapa indie movie-maker di Salman ITB. Kontaknya penulis dapatkan dari seorang dosen dan pengamat budaya di FSRD ITB, Bapak Yasraf Amir Piliang. Bersama beliau, penulis juga kerap berbincang dan berdiskusi tentang film Indonesia.

(4)

Blitz di BEC Bandung. Saat itu Joko dan rekan-rekan sedang promosi

film ―A Copy of My Mind‖. Di tahun 2015 penulis pun kembali

mewawancarai Bapak Garin dan Bapak Chand Parwez, melalui surel dan whatsapp. Wawancara dengan Bapak Garin dilanjutkan lagi di pertemuan diskusi tentang film di Fakultas Filsafat dan Fakultas Ekonomi Unpar di Bandung.

Setelah mendapatkan hasil wawancara dengan narasumber, peneliti kemudian menuliskannya ke dalam sebuah transkrip wawancara. Semua transkrip kemudian dipelajari dan dimulailah proses berikutnya yaitu proses coding. Proses coding meliputi menandai bagian-bagian atau penggalan wawancara yang mengandung makna yang sama (keywords yang sama). Contoh ada di halaman 21 dan 22, seperti misalnya ketika Lala Timothy, Key dan Motulz bercerita tentang industri film di Indonesia; penulis kemudian memberi kategori yang sama terhadap penggalan-penggalan wawancara dengan mereka dan memberi judul kategori ―industri film

di Indonesia‖. Demikianlah dari beberapa keywords yang sama, penulis kemudian menggabungkannya ke dalam satu kategori dan memberi label sesuai kata kunci tersebut. Pada bab ini, judul atau label atas kategori tampak dalam beberapa sub judul pada uraian di bawah ini.

Beberapa judul kategori yang penulis dapatkan dari transkrip wawancara antara lain adalah: proses produksi dan pendanaan sebuah film, pandangan mereka tentang industri film di dalam negeri, proses negosiasi dalam film, strategi pemasaran, proses distribusi dan ekshibisi, serta masalah yang ditemukan selama proses distribusi. Penjelasan atas masing-masing kategori di atas diuraikan pada beberapa sub bab dalam Bab empat berikut ini.

Industri Film Indonesia

Sheila Timothy, seorang film-maker muda sekaligus ketua APROFI (Asosiasi Produser Film Indonesia) saat ini, ditemui penulis di

(5)

tanggal 24 Agustus 2015 yang lalu. Sheila9, atau yang lebih akrab dipanggil Lala Timothy masih terbilang pemain baru yang berbakat dan potensial di industri film nasional sekalipun bukan berasal dari latar belakang pendidikan film.

Sumber: dokumentasi pribadi

Gambar 4.1. Penulis Bersama Sheila Timothy di Kantor Life Like Picture, Jakarta, 24 Agustus 2015

Menurut Lala, secara industri, perfilman Indonesia sudah ada, sudah terbentuk, ada proses produksi dan membayar pajak. Namun memang belum maju. Dampak dari proses produksi sebuah film

9 Lala Timothy adalah kakak dari Marsha Timothy yang lebih dulu memasuki dunia film dan model. Lala adalah seorang ibu dari empat orang anak, dan istri dari Luki Wanandi, seorang pengusaha. Lulus dari Manajemen Trisakti dengan fokus di bidang pemasaran di tahun 1990-an, Lala sempat bekerja pada perusahaan Indo-Ad (dulu Ogilvy) kemudian menikah dan menjadi ibu rumah tangga. Tahun 2009, ia mulai

berkarir kembali sebagai produser film dengan ―Pintu Terlarang‖ (Forbidden Door) sebagai film pertamanya. Film tersebut berhasil memenangkan festival film di Puchon International Fantastic Film di Korea Selatan. Film keduanya berjudul ―Modus

Anomali‖ (2012) yang bergenre thriller dengan bahasa pengantar bahasa Inggris, DVD- nya beredar di Jerman di tahun 2013. Film ketiga yang dibuat Lala adalah film ―Tabula

Rasa‖ (2014) yang bergenre drama keluarga yang disajikan apik dan natural. Inti cerita

(6)

terhadap ekonomi lebih besar dari sekedar penjualan tiket di bioskop. Penghasilan sebuah film dan kontribusinya pada ekonomi negara menjadi lebih besar, karena di samping penjualan tiket di bioskop film menjadi lokomotif industri yang membawa serta gerbong bisnis yang lain, misalnya fashion, kuliner, atau bahkan tourism. Film ―Laskar

Pelangi‖ karya Mira Lesmana dan Riri Riza sebagai contoh, memberi dampak ekonomi terhadap bisnis turis di kota Belitung. Usaha penerbangan dari kota lain ke Belitung ditambah rutenya sehingga menjadi lebih banyak.

Sheila Timothy memberikan penjelasan tentang industri film Indonesia melalui gambar di bawah ini:

sumber: Sheila Timothy

Gambar 4.2. Proses Produksi Sampai Ekshibisi Film Indonesia

Menurut Lala, proses produksi dimulai dengan tahap awal yaitu

(7)

disampaikannya melalui film. Ia juga bisa mengajak sutradara untuk melakukan riset kecil atau besar, supaya inti cerita atau pesan dan benang merah yang ingin disampaikan melalui film tersebut bisa benar-benar disampaikan pada pemirsa. Biasanya produser akan benar-benar-benar-benar memastikan ini terjadi sebelum tahap syuting dimulai. Riset bisa juga dilakukan paralel di tahap kedua yaitu tahap pre-production.

Tahap berikutnya adalah pre-production. Di tahap ini produser akan mencari dan memilih sutradara, para pemain (aktris dan aktor) serta kru. Proses berikutnya akan segera dimulai yaitu tahap syuting dan pengambilan gambar di lapangan sebagai tahap ketiga, yaitu tahap produksi. Pada tahap ini, kehadiran penulis skrip sudah tidak diperlukan lagi (jika dia bukan sekaligus sutradara) yang lebih berperan sekarang adalah sutradara dan produser. Syuting melibatkan tenaga kerja yang cukup banyak dan memakan waktu yang biasanya tidak sebentar, apalagi jika lokasi pengambilan gambar lebih dari satu. Ketika seluruh adegan selesai diambil dan dianggap sudah memenuhi seluruh skrip yang telah ditentukan maka proses produksi dinyatakan selesai.

Sesudah produksi selesai, tahap keempat adalah tahap post-production. Di tahap ini, rekaman seluruh pengambilan gambar akan diedit dan ditata kembali menggunakan teknologi. Prosesnya biasa dilaksanakan dalam sebuah laboratorium. Menurut beberapa movie-maker seperti Riri Riza dan Garin Nugroho, laboratorium kita di Indonesia belum memadai, akibatnya untuk tahap editing mereka harus menggunakan jasa laboratorium film di luar negeri. Di tahap ini juga dilakukan pengisian suara jika diperlukan di samping editing suara, dan tata pencahayaan, tata letak gambar dan sebagainya. Makin baik dan modern teknologi yang digunakan akan berdampak pada makin tingginya kualitas film yang dihasilkan.

(8)

di bioskop, atau akan menawarkan ke channel lain seperti saluran televisi swasta di dalam atau di luar negeri, membuat DVD, home video, dan sebagainya. Di tahap ini, sang produser harus mengkalkulasi kembali berapa banyak pendanaan yang dia butuhkan untuk memasarkan produknya dengan baik. Tak jarang tahap pemasaran dan distribusi dapat memakan biaya yang lebih besar atau sama dengan biaya produksi yang dikeluarkan.

Tahap terakhir adalah tahap ekhibisi atau penyiaran pada publik, biasanya seorang produser akan memilih layar lebar atau bioskop terlebih dahulu sebelum menawarkan filmnya pada saluran ekhibisi yang lain. Kesulitan di tahap ini adalah negosiasi dengan pengusaha bioskop, yang biasanya juga ingin mendapatkan keuntungan besar dari hasil penjualan tiket, dan tidak mau rugi. Alhasil, harus disepakati berapa lama sebuah film boleh disiarkan di sekian layar bioskop tertentu sampai akhirnya film tersebut harus turun dari layar. Informasi yang didapat dari beberapa film-makermenyiratkan ―aturan‖

tiga sampai empat hari adalah jangka waktu maksimal untuk menguji sebuah film apakah masih layak siar di bioskop atau tidak.

Mengenai keseluruhan tahapan produksi sebuah film ini, berikut adalah tanggapan Lala mengapa industri film di Indonesia dianggap belum maju:

―Kenapa industri film itu dianggap kecil karena hanya dihitung dari harga tiket. film bukan cuma dari direct

penjualan tiket. Economic contribution-nya bisa 4 kali lipet! Biasanya impact yang direct saja yang dihitung... iklan sampai kontribusi yang tidak direct sama sekali. Film―Laskar Pelangi‖ yang dibuat di Belitong membuat tadinya penerbangan ke Belitong hanya satu kali (seminggu/sebulan), sekarang ada setiap hari. Itu kan Indirect contribution dari film... Menurut saya, kompleksitasnya sama dengan negara

lain‖

(9)

Sepanjang proses produksinya, sebuah film akan melibatkan jumlah pendanaan yang sangat besar dan beragam. Proses produksi berjalan dari sejak tahap development sampai ekhibisi melibatkan kerja sama dengan banyak bisnis di sektor lain, bukan hanya proses pengambilan gambar, namun juga sektor transportasi, kuliner, fashion (wardrobe),

make up, instalasi, dan sebagainya. Pasca produksi pun masih melibatkan unsur bisnis yang lain yaitu teknologi dan laboratorium. Itu sebabnya biaya produksi sebuah film bisa menjadi sangat besar, beberapa movie-maker menyiratkan nilai pendanaan rata-rata sebuah produksi film antara dua sampai sepuluh miliar rupiah. Biaya tersebut belum termasuk pengeluaran untuk distribusi dan pemasaran, yang jika ditotal bisa membengkak menjadi dua kali atau tiga kali biaya produksinya.

Menurut Lala, industri film di Indonesia sudah ada terbukti dari asosiasinya, namun dinilai masih cacat karena tidak ada peran distributor di dalamnya, dulu pernah ada tapi sejak Grup XXI muncul di era Orde Baru, peran distributor lantas tersingkirkan. Berikut adalah kutipan wawancara tentang hal tersebut:

―Industri film itu ada. Ada stakeholder-nya kok. Industrinya kecil iya, karena belum ter-develop. Kalo dibilang belum maju, iya. Industrinya ada, kita bayar pajak kok ke Negara. Ini kan ada produser, ada PH, production house, ada musik. Ini kan stakeholder, industri namanya. Kalo dibilang industrinya tidak maju, memang belum. Kita ini asosiasi. Swasta punya. Perkumpulan. Persatuan Produser Film Indonesia gitu. Ada 780.000 pekerja di industri film!‖

Beberapa movie-maker yang diwawancarai memiliki pendapat yang beragam tentang film Indonesia. Pendapat bahwa industri film di Indonesia belum stabil dan tertata, karenanya tidak atau belum layak

disebut sebagai ―industri‖ diungkapkan Motulz10dan Key seorang Art Director dan penulis skrip-- dalam sebuah wawancara dengan penulis

(10)

di sebuah rumah makan di Cipete, Jakarta Selatan tanggal 3 Agustus 2015.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar 4.3.Penulis Bersama Key dan Motulz di ―Rumah Baba‖, Cipete, Jakarta, 3 Agustus 2015

Petikan wawancara dikutip sebagai berikut:

―kalau ada yang bilang industri film, gue sih akan mempertanyakan...kalau di industri film beneran itu semua udah harus on paper. Di kita itu masih ada istilah lagi syuting

break dulu, kenapa? Cameraman-nya sakit..secara industri ngga masuk akal lagi... emang ada ya di industri kayak gitu, oh,cameraman sakit ganti aja sama yang lain, dia mestinya

tau…kemaren kan ada catatan terakhir.‖

Motulz sebagai seorang Art Director tidak habis pikir dengan proses produksi yang kurang terjadwal, tidak profesional, dan bisa

break di tengah-tengah. Menurutnya, produksi film di luar negeri tidak ada yang seperti itu. Setiap anggota tim (kru) sudah harus tahu benar apa tugas dan tanggung jawabnya, dan melaksanakan itu dengan profesional. Lebih lanjut Motulz memberi gagasan tentang beda antara industri dengan standar operasi yang jelas, dan pengrajin ala Indonesia, dimulai dengan contoh pekerjaannya sendiri sebagai seorang Art Director:

―yang ngerti visualnya itu art director, art director punya

tangan kanan…Jadi artistik itu ada yang kalo di Art Director

(11)

mau bikin film ini‖, bayangan lu kaya apa sih lokasinya,

bajunya, apanya…nanti dia akan bilang ―oh gue pengen kaya

gaya-gaya 80-an‖ nah dia yang akan men-translate ini menjadi design-design, nanti ditanya.. nanti kalau itu sudah di approve baru ke produksi di bikin, entah itu bikin entah itu nyewa. ketika art director ga ngerti atau salah, ini bawahan ga ada yang tau, bisablank. Ya nunggu dia deh, yang ngerti cuma dia. Gimana bisa disebut industri? Industri tuh menurut gue, organisasinya jelas, manajemennya juga, semuanya jelas.. Nah, kalo pengrajin beda. Pengrajin itu, dia bisa menyiasati dari ketiadaan. Ketika punya lampu nih,

pake apa….itu pengrajin. Wah tidak standar, ga masalah yang penting kan bisa syuting. Kalau industri pasti gak mau syuting kalo lampu kurang‖.

Menurut Motulz, industri film di Indonesia masih dipertanyakan keberadaannya. Karena pada kenyataannya, tata-kelola produksi film dianggap masih parah, belum terstruktur, fungsi-fungsi pekerjaan belum jelas dan belum berjalan sebagaimana mestinya.

Selain Motulz, Key11 juga mempertanyakan kondisi industri perfilman Indonesia yang menurutnya belum ―sehat‖. Di tempat dan

jam yang sama dalam wawancara dengan penulis dan Motulz –kami

bertiga janjian bertemu di rumah makan ―Baba‖ daerah Cipete, waktu

itu Key keluar sebentar untuk menjemput anaknya di sekolah, kemudian bergabung lagi untuk berdiskusi tentang film Indonesia. Berikut adalah pendapat Key tentang industri film di Indonesia:

―Sementara film kita belum mendatangkan, industrinya juga sebenernya belum sehat..belum settle... pada kenyataanya, industrinya aja belum terbentuk dengan sehatlah, bahwa apa yang kita bikin pasti untung.. belum tentulah, semuanya serba gambling. Ada yang mengatakan 80% produser kita

merugi...‖

11Ria Simangunsong, atau yang lebih akrab dipanggil ―Key‖ adalah sahabat penulis sejak SMA. Key adalah sarjana Arsitektur lulusan Unpar, sekaligus kakak kandung

Dewi ―Dee‖ Lestari yang adalah novelis. Sesudah lulus Key bekerja di stasiun televisi

Trans di Jakarta. Sempat menjadi sutadara sinetron ―Lupus‖ yang tayang di Indosiar

tahun 1995, Key kemudian menjadi penulis skrip di beberapa film seperti ―Brownies‖,

(12)

Produksi dan Pendanaan

Lala Timothy menjelaskan tentang proses produksi film ―Tabula

Rasa‖ yang ia buat di tahun 2012 dan rilis di tahun 2014, mulai dari tahap awal yaitu tahap development sebagai berikut:

―ini bukan film makanan tentang chef yang jadi productshop. Makanan jadi inti, jadi soul dari cerita. Kita gak mau menggebu–gebu bilang ayo ini Indonesia. Engga. Dan kita juga hati–hati banget waktu kita pilih Papua karena kita tidak mau eksploitasi Papua seperti film Indonesia ada beberapa yang lain yang menceritakan kebodohannya orang Papua segala macam. Mereka ini orang–orang pintar, cuman emang di ujung sana tidak terjamah pembangunan, khususnya Serui. Kenapa pilih Serui? Karena Serui ini unik. Di sana banyak orang pinter...‖

Mengenai waktu dan biaya, serta jumlah pendanaan dan riset

yang mereka lakukan dalam proses produksi ―Tabula Rasa‖

diungkapkan Lala sebagai berikut:

―kalo misalnya ditanyabudget-nya berapa, saya jawab 6 miliar. Ada yang tanya, masa 6 miliar? Gak bisa lebih murah? Kan gak semuanya terlihat di layar itu. Kami perlu riset 1,5 tahun untuk ini, kami mulai di tahun 2012 filmnya sendiri rilis tahun 2014. Satu, untuk kuliner cari text book-nya aja susah banget...‖

Diakui Lala, bahwa untuk mencapai hasil yang maksimal untuk film yang diinginkan diperlukan riset sekitar 2 tahun

menghasilkan film ―Tabula Rasa‖ yang berporos tentang makanan.

Karena isi cerita adalah tentang masakan padang yang dimasak/diolah oleh orang Papua, maka riset juga bukan hanya pergi ke Padang tapi juga harus ke Serui, Papua, selain juga riset di Jakarta.

―Kami sampai ke Padang sama Tumpal, Adri membuat riset. Akhirnya kami ketemu sama Uni Emi, dan kami cuma disuruh gulung–gulung dan tumbuk–tumbuk daging segala macam, karena kami ingin melihat gerak–geriknya. Nah, ini jadi poros, Tumpal dan Adri sampai 3 kali ke Serui dan akhirnya tim ke sana.‖

(13)

sebuah naskah, atau hanya riset beberapa hari kemudian langsung dilakukan menjadi adegan demi adegan. Hasilnya akan kurang memuaskan. Berikut adalah pendapat Lala tentang pentingnya riset:

―Kenapa? Gak mungkin menceritakan orang Papua, orang Serui lewat google... Tim harus kesana, tinggal di sana seminggu, bergaul sama orang sana dari situ dia bisa dapat bayangan. Dari situ ke Jakarta, ke mes–mes orang Serui yang ada di Tanah Abang, atau Taman Mini dan bergaul sama orang–orang yang ada di sana, ngobrol... ooh, kaya gini orang Serui. Orang Papua itu kan banyak. Orang Wamena mungkin nggak seperti tokoh Hans yang dari Serui ini... Kita tuh miskin dari segi data. Ketika saya membuat film ―Tabula Rasa‖ terasa sulitnya mencari data film Indonesia yang

berporos makanan...‖

Film ―Tabula Rasa‖ menceritakan kehidupan seorang Hans yang dari Serui, Papua, hijrah ke Jakarta untuk bergabung dengan perkumpulan sepakbola di Jakarta. Di daerah asalnya Hans sangat terkenal karena prestasinya bermain sepakbola, namun apa daya cita-citanya menjadi pemain bola terkenal di Indonesia kandas di Jakarta.

Hans terpaksa menjadi seorang ―gembel‖ dan harus mengejar-ngejar truk dengan terpincang-pincang untuk mengais sesuap nasi, akibat keberadaannya di klub sepakbola tidak lagi dibutuhkan karena cedera kaki. Hans (dimainkan Jimmy Kobogau) yang sempat frustasi dan pingsan di pinggir jalan karena kurang makan, akhirnya diselamatkan oleh Emak (Dewi Irawan) yang memiliki rumah makan padang sederhana di pinggiran kota Jakarta. Emak memberi Hans makanan dan menyuruhnya bekerja di rumah makan padang miliknya. Hans kemudian teringat kampung halamannya dan membangkitkan kerinduan Hans untuk pulang ke Serui ketika belajar memasak makanan padang pada Emak. Persahabatan dan kerja sama antara Hans dan Emak lambat laun menyalakan semangat hidup Hans kembali untuk meraih mimpinya, sekalipun tidak lagi (tidak harus) menjadi seorang pemain sepakbola terkenal.

Ide cerita yang berasal dari keseharian ini berhasil dituturkan

(14)

adalah film dengan jenis slice of life yang mengutamakan riset. Film ini sarat budaya Indonesia yang multi kultur, menjunjung tinggi toleransi beragama dan perbedaan etnis. Penceritaan terjalin secara apik. Menurut Lala Timothy, proses penggarapan sebuah film yang baik dan serius akan memerlukan waktu yang cukup lama, bertahun-tahun sebelum film tersebut siap dipasarkan.

Proses pembuatan film tidak selalu sama, ada yang digarap secara serius dengan riset yang cukup banyak, ada juga yang dilakukan dalam tempo yang singkat, beberapa minggu saja, namun bisa tampil memikat. Salah satunya adalah beberapa film yang dibuat oleh

Sammaria Simanjuntak, yaitu film ―Demi Ucok‖ dan ―Selamat Pagi, Malam‖. Proses distribusinya yang bisa lebih seragam, karena jalurnya sudah jelas: jalur festival untuk dikonsumsi penikmat film di luar negeri, atau jalur komersial di dalam negeri. Hal ini dikemukakan Sammaria Simanjuntak12, seorang movie-maker muda berikut ini:

―Proses pembuatan film mulai dari ide awal sampai akhirnya diproduksi sangat beragam. Ada yang memakan waktu

belasan tahun, ada yang hanya dalam hitungan

minggu.Tergantung produsernya. Proses setelah film jadi sampai dengan distribusi biasanya lebih seragam. Proses distribusi bisa melalui dua jalur yang mainstream. Yang pertama memprioritaskan distribusi lewat bioskop karena di situlah pendapatan terbesarnya. Baru ke ancillary market

(TV, DVD, VOD, dll).Yang kedua memprioritaskan jalur festival, karena di sanalah mereka dapat bertemu dengan

potential buyer dari luar negeri. Biasanya festival lebih memilih film yang world premiere, sehingga film yang sudah di-release di bioskop kesempatannya akan lebih kecil masuk ke festival besar ini...‖

12Sammaria Simanjuntak, yang lebih dikenal dengan nama Atid, atau Atid Sammaria adalah Sarjana Arsitektur lulusan ITB. Sempat bekerja di sebuah firma Arsitektur di Singapura, Atid kemudian pulang ke Indonesia dan mulai berkarir sebagai produser film, mewujudkan passion dan impiannya. Film pertamanya berjudul ―cin(T)a‖ di

tahun 2009 dan beberapa film dokumenter seperti ―Lima Menit Lagi‖ dan ―Working Girls‖. Tahun 2011 Atid mendirikan rumah produksi film ―PT Kepompong Gendut‖

(15)

Sesudah mewawancarai Atid via e-mail, penulis berkesempatan bertemu langsung dengan Atid dan Ibunya di

CGV Blitz, BEC, Bandung ketika menonton film Joko Anwar

berjudul ―A Copy of My Mind‖. Berikut adalah dokumen -tasinya.

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar 4.4.Penulis Bersama Atid dan Ibunya, 14 Februari 2016

Atid juga berpendapat, dengan adanya teknologi baru yang memudahkan pembuatan film secara digital membuat ongkos produksi bisa lebih murah. Film-maker seperti dirinya bisa membuat cerita dari ide-ide yang lebih personal dan tidak selalu bersifat komersial. Berikut adalah pendapat Atid tentang hal tersebut, dalam sebuah wawancara melalui e-mail tanggal 10 Agustus 2015:

―Karena pembuatan film lebih murah, maka produser kecil bisa membuat cerita yang lebih personal dan tidak melulu komersial, tema-ide-genre cerita yang difilmkan jadi lebih beragam. Keberhasilan film ―The Raid‖ yang membuat genre

(16)

Teknologi memang memegang peranan penting dalam produksi sebuah film, akan tetapi formula yang pas untuk membuat sebuah film bisa laku di pasaran menurut Atid Sammaria, masih menjadi sebuah misteri. Hal ini dijelaskah Atid dalam kutipan wawancara sebagai berikut:

―nah bagaimana membuat film supaya laku di pasaran, ini juga masih misteri buat saya, karena tidak ada formula yang dijamin pasti berhasil. Sejauh ini saya berusaha untuk membuat film yang ingin saya tonton, sehingga target pasar saya jauh lebih jelas: saya‖

Atid Sammaria yang awalnya adalah seorang Arsitek, memperkaya khasanah perfilman nasional dengan beberapa filmnya yang tidak biasa. Film-film yang pernah dibuat oleh Sammaria antara

lain adalah ―Demi Ucok‖, ―cin(T)a‖, dan ―Selamat Pagi Malam‖. Film ―Demi Ucok‖ berhasil mendapatkan penghargaan sebagai film terbaik

versi majalah Tempo dan 8 nominasi di festival film Indonesia tahun 2012. Film yang tidak mengandalkan pemain terkenal ini didanai secara

―crowd funding‖ (Motulz menyebutnya ―produser ketengan‖) dengan

cara menerima sumbangan Rp 100.000 dari tiap produser, sampai terkumpul dana sebesar Rp 251.000.000 hasil saweran beberapa orang untuk proses produksi, post produksi dan promosi.

Era digitalisasi yang membuat ongkos pembuatan film semakin murah dan mudah, yang disebut Atid sebagai faktor yang menurunkan biaya produksi ditanggapi berbeda oleh movie-producer lain. Adalah seorang Chand Parwez Servia, pemain lama dalam industri film Indonesia yang menganggap film-film dengan low-budget tidak sesuai standar perfilman dan mengecewakan penonton. Dengan begitu, penonton lantas skeptis dan tidak mau menonton film Indonesia lagi. Ini diungkapkan oleh Chand Parwez13 dalam kutipan wawancara dengan penulis via whatsapp tanggal 19 Oktober 2015, sebagai berikut:

(17)

―apresiasi terhadap film Indonesia merosot tajam, terutama sejak digitalisasi bioskop, akibatnya membuat film semakin murah dan banyak film yang di bawah standar masuk bioskop. Ini cukup mengecewakan penonton, akibatnya film bagus pun kena imbasnya‖

Film dengan low-budget yang dimaksud Chand Parwez adalah film yang minim dari segi sinematografi, alhasil kurang memuaskan, namun bukan berarti filmnya Atid Sammaria tidak memuaskan. Para penonton yang sudah terbiasa dengan film-film Hollywood dengan standar kualitas yang cukup tinggi bisa bersikap skeptis dan tidak mau menonton film Indonesia lagi.

Dalam studi pendahuluan yang penulis lakukan di tahun 2007, penulis juga sempat mewawancarai Ariani Darmawan, seorang pelaku film indie (independen) yang membuat beberapa film pendek dan masuk seleksi festival film dan seni di luar negeri. Ariani, atau Mbak Rani mengatakan, proses negosiasi dalam sebuah produksi film berlangsung terus-menerus dari awal sampai akhir. Berikut adalah kutipan wawancara dengannya:

―Secara general proses produksi film dibagi dalam tahap pra-produksi (penulisan hingga persiapan pra-produksi), pra-produksi (syuting), lalu pasca produksi (editing, mixing, hingga

marketing dan distribusi). Negosiasi terjadi secara terus-menerus dari awal hingga akhir, cuma negosiasinya terjadi dengan orang yang berbeda-beda. Di awal, masalahnya lebih ke arah content, penulisan, lalu rencana bagaimana content

itu bisa dinyatakan dengan baik dalam film. Persiapan produksi biasanya yang paling ribet karena banyak berurusan dengan berbagai macam pihak, terutama pihak yang akan berada pada hari H syuting mulai produksi.‖

Pemilihan sutradara dan kru menurut Ariani termasuk vital, karena menentukan bagaimana sebuah produksi bisa berjalan dengan baik dan sesuai harapan atau tidak. Banyak tekanan di lapangan yang

di jaman Orde Baru, Pak Parwez akhirnya mengganti nama festival tersebut menjadi Forum Film Bandung. Beberapa filmnya yang laris Pasca Reformasi adalah ―Heart‖

(2009), ―Perahu Kertas‖ (2012) ―Get Married‖ (2013-2015), ―Marmut Merah Jambu‖

(18)

terkadang bisa membuat kesepakatan di awal berubah. Antara keinginan-keinginan artistik dengan masalah-masalah non-artistik di lapangan membuat ketegangan tak terhindarkan. Seorang sutradara yang baik akan mampu mengelola semuanya dan mengkoordinasikan dengan baik.

―Sutradara yang baik adalah sutradara yang bisa mengkoordinasikan semua ini dengan becus hingga produksi berjalan baik dan sesuai harapan. Hal yang harus dihadapi kompleks karena di satu sisi harus bisa mempertahankan keinginan-keinginan artistiknya lewat koordinasi banyak pihak, di lain sisi harus berhadapan dengan urusan lokasi, jadwal, dll. yang kadang malah menjadi tekanan utama. Di sinilah dibutuhkan tim produksi yang baik, hingga kerja sutradara gak usah merembet hingga masalah non-artistik.‖

Tahap pasca produksi menurut Mbak Rani, masih memerlukan koordinasi antara produser-sutradara-editor, tidak bisa menyerahkan semuanya kepada editor. Namun begitu, ada juga produser yang menyerahkan semua kewenangan pada editor:

―Pasca produksi biasanya sudah masuk ke meja editing dan

mixing. Walau kerjaan ditangani oleh editor dan sound mixer, tapi sutradara dan produser biasanya selalu duduk bersama dan seringkali memutuskan segala tahap editing bersama editor. Ada juga yang menyerahkannya sama sekali pada editor..‖

Ariani Darmawan adalah seorang Arsitek yang kemudian menjadi seorang pembuat film dan seniman video. Termasuk di dalam karya-karyanya adalah film-film pendek, film dokumenter, video instalasi, dan karya teatrikal. Beberapa karya film pendeknya yang turut berpartisipasi dalam festival seni maupun film di Eropa, Amerika

Serikat, Asia dan Australia adalah : ―Anak Naga Beranak Naga‖ (2005), ―The Anniversaries‖ (2006), ―Sugiharti Halim‖ (2008). Ariani memiliki

(19)

Sumber: Blog ―Kineruku‖ dengan seijin Ariani Darmawan

Gambar 4.5.Ariani Darmawan dengan Rumah Bukunya

Ide Cerita dan Proses Negosiasi

Proses produksi sebuah film diawali dengan adanya ide cerita yang ditawarkan pada produser atau yang sudah dimiliki sang produser di tahap development, kemudian berlanjut ke proses berikutnya yakni tahap produksi sampai post-produksi. Di sepanjang tahap-tahap ini mulai dari awal sampai akhir, proses negosiasi berlangsung terus-menerus. Sejak awal, ide cerita bisa berasal dari sebuah novel laris yang sudah ada kelompok penggemarnya, atau dari cerita asli yang ditawarkan pada seorang produser, atau imajinasi total pembuatnya karena cita rasa seni yang ia miliki. Semua ini sejak awal sudah melibatkan proses negosiasi. Beberapa kutipan wawancara tentang itu dengan para film-maker dijelaskan di bawah ini.

Seorang Sheila Timothy misalnya, membuat film ―Tabula Rasa‖

(20)

―Tabula Rasa ini based on original ideas. Ibu saya jago masak,.Saya suka nonton TLC Channel kalo malem–malem gak tau kenapa selalu suka acara masak walaupun tidak jago, terus saya lagi mikir, kok gak ada film Indonesia yang bener-bener berporos di makanan... film ini tipenya slice of life. Sebenernya potongan kehidupan dan tidak terlalu sulit dan memang harus sesuai kenyataan. Lingkungan orang–orang

lower class dipilih, yang memiliki rumah makan sederhana,

event-nya adalah kepala ikan. Tanpa orang tahu kenapa di film ini ada kepala ikan, ada maknanya. Sampe ke badan yang paling enak, kepala itu paling enak, apalagi pipinya, tapi banyak tulang. Itu aja sudah mencerminkan struggling yang diambil bahasa visual.Tapi kita sebagai pembuat.. jadiin itu sebagai dasar‖

Movie-producer Pasca Reformasi yang juga banyak mengangkat ide cerita dari lokalitas dan keseharian di Indonesia, khususnya di Indonesia bagian timur, dalam proses produksi filmnya adalah Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen di rumah produksi ―Alenia‖. Suami-istri ini telah membuat beberapa film yang cukup sukses, di antaranya film ―Denias: Senandung di Atas Awan‖ (2006), film musikal

―Liburan Seru‖ (2008), ―King‖ (2009), dan ―Tanah Air Beta‖ (2010).

Film-film tersebut diterima dan mendapatkan respon yang cukup baik dari masyarakat. Film ―Denias: Senandung di Atas Awan‖ menerima beberapa penghargaan sekaligus di FFI yaitu best actor, best cinematography dan best adapted script (Jakarta Post, 4 Juli 2010).

Sayangnya, film-film garapan ―Alenia‖ tersebut tidak semua dapat dinikmati oleh penonton khususnya di daerah Indonesia timur. Masalahnya, sebaran bioskop yang belum merata dan harga tiket yang terlalu mahal. Dalam sebuah wawancara dengan Prof. Daniel Kameo di tahun 2015, Ari Sihasale dan Nia Zulkarnaen menjelaskan bahwa film yang digarap secara maksimal sekalipun belum bisa dinikmati oleh seluruh penonton di Indonesia dengan merata. Terbukti dari screening

(21)

film ―Denias: Senandung di Atas Awan‖(Wawancata dengan Prof.

Kameo, D.D., 29 Oktober 2015).

Penulis telah menyaksikan film tersebut diputar di bioskop Bandung, dan jumlah penonton cukup banyak memadati bioskop. Filmnya memang bagus, sehingga banyak masyarakat yang ingin menonton. Film ―Denias‖ menceritakan tentang seorang anak Papua, yaitu Denias, yang berjuang untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Denias selalu teringat nasihat ibunya –yang tewas dalam kebakaran yang menghanguskan honae/rumah mereka—bahwa gunung takut dengan orang yang pintar dan rajin bersekolah. Sayangnya, semua orang yang menyemangati Denias untuk sekolah pergi satu per satu. Ide cerita diangkat dari kisah nyata seorang bernama Janias. Kesulitan dan perjuangan seorang anak Papua untuk meraih cita-cita dan mimpinya digambarkan dengan baik dalam film ini.

Setting dilakukan di kawasan Pegunungan Wamena dan sebagian lokasi pertambangan tembaga dan emas di PT Freeport Indonesia di Papua. Keindahan alam begitu nyata tampak dalam film ini, penonton jadi tahu daerah Papua seperti apa dan kehidupan masyarakat di sana. Beberapa penduduk asli juga diajak bermain sebagai figuran. Karena film ini begitu bagus menggambarkan keindahan alam di Wamena, Papua, penulis rela membeli DVD aslinya untuk dinikmati kembali di rumah bersama keluarga. Film seperti Denias ini bisa digunakan sebagai media pendidikan juga untuk anak-anak agar mereka semangat belajar di sekolah. Film yang disutradarai oleh John de Rantau ini diproduksi bersama antara ―Alenia Production‖ dengan ―EZ Entertainment‖. Syuting selama 30 hari di daerah Wamena dan Timika menggunakan media 35mm, serta seluruh persiapan pembuatannya selama dua tahun, disebut ―EZ Entertainment‖ menghabiskan biaya produksi senilai hampir sepuluh miliar rupiah (Majalah Gatra, 11 Oktober 2006).

(22)

―Denias: Senandung di Atas Awan‖ saja yang akhirnya terpilih untuk

diseleksi sebagai kategori film asing di Oscar 2008. Data jumlah penonton untuk film ini ditemukan belakangan, namun itupun berupa angka perkiraan saja. Dari beberapa film yang disebut terlaris di 2006, tidak tercantum film Denias di dalamnya.

Movie producer yang lain seperti Chand Parwez memiliki pandangan berbeda. Ia lebih suka mengambil ide cerita yang sedang

―in‖ sehingga kemungkinan bisa mendatangkan penonton lebih

banyak. Melalui wawancara tanggal 18 November 2015, hal ini diungkapkan Chand Parwez sebagai berikut:

―Film dengan cerita asli butuh biaya promo lebih besar. Film dengan cerita yang sedang hip, sedang ‗in‘ bisa mendatangkan penonton lebih banyak, seperti film yang mengadopsi cerita novel. Pangsa pasar Indonesia adalah perempuan, ibu-ibu dan anak remaja paling banyak‖

Setiap pembuat film memiliki pertimbangan dan ide-ide kreatifnya sendiri, demikian halnya Garin Nugroho. Garin, yang terkenal dengan film-film berseni, memiliki cita-rasa atau estetika yang tinggi. Tidak heran kenapa itu terjadi, Garin lahir dari keluarga yang kental dengan lingkungan seni dan budaya. Ayahnya memiliki percetakan di Yogyakarta dan rumah mereka menjadi semacam

―markas‖ di sana, tempat beberapa komunitas seni berdiskusi dan sharing satu dengan yang lain. Dalam sebuah diskusi tentang film di Fakultas Ekonomi Unpar, Garin mengungkapkan ide awal membuat film sesuai passion pembuatnya ketika menjawab pertanyaan penulis, seperti di bawah ini:

―Tiap ide pasti ada ruangnya, cari funding untuk create pasar sendiri –mainstream jangan membatasi kita untuk punya ide sendiri. Seperti halnya tanaman, film marjinal itu kan kayak tanaman langka. Yah, janganlah berharap tanaman langka bakal laku kayak durian atau mangga, janganlah berharap kayak gitu, ngga masuk akal. Jadi, kalo tanaman langka kita harus tahu, lembaga-lembaga donor mana yang akan

memberikan dana pada tanaman langka. Sifat

(23)

langka ini yang nantinya akan dihargai... harus punya pasar

sendiri.‖

Sumber: Dokumentasi Pribadi

Gambar 4.6.Penulis Bersama Garin Nugroho

Tahap memilih ide cerita sebagai tahap paling awal yang oleh Lala disebut development, kemudian dilanjutkan ke dalam proses produksi sebuah film. Proses produksi kembali melibatkan berbagai negosiasi di dalamnya. Negosiasi menyiratkan adanya kesepakatan-kesepakatan yang dibuat antara movie-maker baik itu antara produser dengan penulis skrip, produser dengan sutradara atau produser dengan penulis skrip dan sutradara, serta produser dengan sutradara dan para pemain serta kru yang bertugas di sepanjang proses syuting. Ini merupakan proses kreatifitas dan seni yang kompleks. Hal ini dipaparkan dalam beberapa kutipan wawancara di bawah ini.

―Biasanya kalo yang pengalaman gue sih, memang calling

dari produser. Si produser ini yang punya hajat, karena dia yang punya duit. Entah dia udah ada duit, entah dia udah pegang investor tapi yang pasti, pertama emang ide cerita dari dia. Setelah itu biasanya dia cari penulis. Nah, gue dipanggilnya kaya gini: eh, saya ada cerita kayak gini, kamu nulis ya. Atau dia udah ada cerita pendek, trus bilang, loe bikin sinopsisnya ya.Macem-macem.‖

(24)

dalam sebuah sinopsis atau skrip, sang produser akan membaca dan mengevaluasi tulisan tersebut apakah sesuai dan di-acc atau tidak.

―Nah, produser kan yang harus acc skrip ini, entah penullis yang ke rumah produser atau produser yang ke rumah

penulis…pokoknya sampai jadi final draft. Bisa aja terjadi perbedaan pendapat antara produser dan penulis skrip, misal kayak gini: kita bikin hollywood endingyang jijay yuk… itu

kan soal selera? Nah trus, kalo gue bilang ‗gue ngga mau

bikin kayak gituuu…!‘ya, udah, diganti…haha, bisa dibilang

seperti ini: loe ngga bisa kerja sama?! Produser gampang nyari yang lain. Kata produser: ‗wah, gue ngga suka yang ini,

cari penulis baru…‘‖

Ketika skrip sudah disepakati, barulah proses berikutnya dimulai, produser memanggil line-producer, sutradara, kru dan sebagainya. Produser memang harus menjadi penjaga dan memantau semua proses berikutnya jika dia tidak ingin kehilangan ide cerita di awal yang sudah dia tetapkan. Berikut penjelasan Key tentang hal tersebut:

―Udah gitu, baru argo jalan. Dia panggil line-produser, dia panggil sutradara, tentukan lokasi dan timeline dan

semuanya, nah itu udah…yang ngejagain banget, ya,

produser. Kalo udah beres syuting, mungkin kerjaan penulis skrip dsb udah…bubar, mungkin tinggal beberapa kru inti yang ngejagain. Sampe post-production, udah gitu pas

distribusi ya udah, sutradara udah lepas… produser aja

berjuang sendiri, undang premier aja kita  Itu yang di sebut seni yang kompleks, bukan hanya ide cerita, tapi ada

visual, ada story telling, dan artistic...―

Menurut Motulz, ide cerita di awal bisa juga berasal dari sebuah novel yang dianggap laris dan sudah punya penggemar. Proses negosiasi awal ini disebut Motulz sebagai bagian yang paling urgent

dan cukup berat, karenanya seorang produser harus hati-hati ketika melaksanakan tahap awal ini.

(25)

ketemu titik-tengah keluarlah skrip yang mantap. Nah, karena sudah ada pilihan sebelumnya, tinggal casting…

sesudah oke, ya syuting, selanjutnya seperti biasa. Yang berat itu nego yang di awal ini‖

Beberapa kutipan wawancara di atas menyiratkan pentingnya negosiasi di awal antara pembuat film (produser) dengan penulis skrip untuk menuangkan ide cerita yang sudah ada, entah dari cerita asli atau novel, kemudian tahap berikutnya adalah negosiasi antara produser dengan sutradara, atau antara produser-sutradara-penulis skrip. Menurut sebagian dari mereka yang telah diwawancarai di atas, tahap pertama yang disebut development ini merupakan tahap yang penting, karena seluruh pekerjaan produksi akan menentukan seperti apa film yang akan dihasilkan. Ketika pihak produser-penulis skrip-sutradara sudah sepakat, barulah sesi produksi dimulai dengan casting, mencari pemain-pemain yang tepat, penata artistik (untuk menata fashion,

setting, dan sebagainya), kru yang menangani tata cahaya, sound system, dan sebagainya sampai syuting film tersebut selesai. Peran seorang sutradara dalam mengkoordinir semua pekerjaan produksi dengan timnya juga cukup krusial, sehingga produksi berjalan sesuai harapan dan kesepakatan awal antara produser dan sutradara. Pada setiap tahapan produksi, mulai dari development, kemudian negosiasi awal antara produser-penulis skrip-sutradara, kemudian proses syuting selama produksi bekerja sama dengan seluruh tim produksi, sampai proses editing di laboratorium, menunjukkan peran seorang produser (pembuat film) yang sangat besar. Ia adalah orang yang paling ber-tanggung jawab atas film yang dihasilkan, sang produserlah yang paling memantau seluruh tahap pembuatan film dari awal sampai akhir.

Ekshibisi di Layar Lebar

(26)

yaitu Grup XXI dan dua pemain kecil, CGV Blitz dan Cinemaxx. Waktu yang diberikan kepada pembuat film Indonesia untuk memutar filmnya di salah satu bioskop XXI misalnya, dibatasi secara periode hanya selama 3-4 hari saja. Jika dalam periode tersebut sebuah film tidak banyak penontonnya atau bahkan tidak ada, maka film tersebut tidak akan bertahan, harus segera turun dari layar.

Strategi Pemasaran

Ada beberapa cara memasarkan sebuah film yang telah selesai diproduksi. Ada jalur yang mainstream seperti didistibusikan melalui layar lebar di bioskop, ada juga jalur festival dengan cara mengikuti

premiere di luar negeri. Berikut ini adalah beberapa kutipan wawancara dengan para movie-maker:

―Kalau dalam film komersial, malah tim penjualnya yang punya andil besar terhadap jenis film yang sebaiknya 'dipesan'. Kebalikannya dengan film-film yang lebih menekankan idealisme, seringkali produknya sebagai karya film sangat baik, tapi kurang berhasil dalam marketing dan distribusi. Mestinya sebuah karya film, bisa menggabungkan idealisme dan penyebarannya yang baik. Kalau tidak agak percuma ya,apa yang ingin kita sampaikan ke penonton gak sampe tanpa marketing dan distribusi yang baik. Dalam sebuah film independen, semua pekerjaan itu dilakukan oleh beberapa orang saja, bahkan kadang sendirian: dari menulis, menyutradarai, mengambil gambar, mengedit, hingga

marketing dan distribusi‖ (Wawancara dengan Ariani, 7 Desember 2007).

Ada beberapa cara memasarkan sebuah film yang telah selesai diproduksi. Ada jalur yang mainstream seperti didistibusikan melalui layar lebar di bioskop, ada juga jalur festival dengan cara mengikuti

premiere di luar ini. Hal ini disampaikan Atid Sammaria sebagai berikut:

―Biasanya ada dua jalur distribusi yang mainstream. Yang pertama memprioritaskan distribusi lewat bioskop karena di situlah pendapatan terbesarnya. Baru ke ancillary market

(27)

festival, karena di sanalah mereka dapat bertemu dengan

potential buyer dari luar negeri. Biasanya festival lebih memilih film yang world premiere, sehingga film yang sudah di-release di bioskop kesempatannya akan lebih kecil masuk ke festival besar ini. Saat ini toko untuk jualan film hanya ada satu yaitu Cinema 21. Ada dua toko kecil lainnya yaitu Cinemaxx dan Blitz, tapi jumlahnya tidak signifikan. Seperti halnya barang lain, kalau tokonya cuma ada satu, akan sangat kesulitan untuk jualan karena semua orang berebut jualan di sana‖

Sheila Timothy memiliki gagasan lain tentang distribusi dan

pemasaran. Dua filmnya yang pertama yaitu ―Pintu Terlarang‖ dan ―Modus Anomali‖ lebih diprioritaskan untuk didistribusikan ke luar

negeri sesudah mengikuti festival film di sana. Namun film Lala yang

ketiga yaitu ―Tabula Rasa‖ dikelola secara berbeda. Berikut adalah

kutipan wawancara dengan Lala tentang itu:

―kami memiliki inovasi marketing yang berbeda–beda untuk memasarkan ―Tabula Rasa‖ dari drama tentang makanan dari segmen yang bisa dibilang culture movie, art movie yang segmennya kecil-kecil. Saya nge-push gila–gilaan di kegiatan– kegiatan dari luar film. Semua potongan-potongan adegan makanan, saya koordinasi dengan orang–orang kuliner, saya bikin tour, travel ―Tabula Rasa‖ ke Padang.

Film―Tabula Rasa‖ itu jaraknya 2009–2015 itu 5–6 tahun-an

dari film sebelumnya ―Pintu Terlarang‖, mesti beda lagi

medianya.Jarak dari 5 tahun itu aja inovasinya aja udah pakai inovasi digital. Udah beda tiap tahun. Kita harus berpikir kreatif terus.‖

Lala menganggap film seperti ―Tabula Rasa‖ memiliki

kemungkinan kecil untuk dipasarkan di Indonesia, karenanya ia mencari jalur distribusi lain seperti channel Astro di Asean. Lala juga menjelaskan bahwa perusahaannya mengharapkan pengembalian 10% saja dari penjualan tiket di Indonesia, sisanya yang 90% harus dicari dari sumber lain atau sponsor. Berikut adalah penjelasan Lala:

(28)

pengembalian modal, tapi harus bikin kegitan–kegiatan

marketing. Seperti ―Tabula Rasa‖ ini kita dapat sponsor dari BNI, dapat uang dari BNI cash, tapi saya harus inovasi bikin

marketing campaign tentang tabungan BNI. Terus kita tur ke sekolah–sekolah, kita bikin pelatihan film, BNI ini bisa berpromosi disitu. Akhirnya film ini berhasil kita jual ke ASEAN lewat Astro dan channel–channel lain seperti Garuda, Radio dan Home Video.‖

Angga Dwi Sasono, yang menjadi produser film ―Filosofi Kopi‖ memiliki cara yang berbeda dalam strategi pemasaran filmnya. Kafe

kopi yang diceritakan dalam film ―Filosofi Kopi‖ yang dibintangi Chico

Jericho, Rio Dewanto, dan Julie Estelle ini, akhirnya benar-benar

diwujudkan menjadi sebuah kafe yang dinamakan ―Filososfi Kopi‖ di

Jakarta. Berikut adalah kutipan wawancara dengan Key dan Motulz

mengenai proses pemasaran film ―Filosofi Kopi‖ sebagai berikut:

―Iya, mereka itu yang setau gue sih menggaet produk-produk... kayak ―Filosofi Kopi‖ . Kafenya tuh jadi kafé beneran dan itu tuh di sponsori sama ―Torabika‖. Aneh kan, disponsori ―Torabika‖ sembari kopinya bukan ―Torabika‖. Menurut gue sih pendekatannya cukup kreatif, dan dia hanya muncul sebagai bus yang lewat..Iya promosi baru... mau gimana,passion si orang-orang muda ini kan udah sangat kreatif.‖ (Wawancara dengan Key, 3 Agustus 2015)

Penjelasan dari Joko Anwar14memberi perspektif yang berbeda tentang bagaimana produksi sebuah film bisa berjalan dan proses negosiasi yang terjadi di dalamnya. Ia baru saja merilis film ―A Copy of

My Mind‖ bulan Februari 2016 yang lalu. Film tersebut adalah film

yang ia produseri sendiri bersama beberapa temannya.

14Joko Anwar adalah seorang sutradara dan penulis skenario. Sesudah kuliah di Teknik Penerbangan ITB, Joko memutuskan untuk menjadi wartawan di The Jakarta Post. Mulai masuk ke dunia film di tahun 2003, Joko Anwar sukses membuat skrip dan menyutradarai beberapa film seperti :‖Arisan‖ (2003), ―Janji Joni‖ (2005) dan mendapat penghargaan best story-tellingdari SET milik Garin Nugroho. Tahun 2007 film ―Kala‖

(29)

Berikut adalah penjelasan Joko Anwar mengenai proses produksi dan pemasaran filmnya via twitter tanggal 5 Februari 2016:

―Setelah lama bekerja sama dengan Tia dan Uwie di proyek-proyek film dan iklan, kami bertiga pengen mandiri, punya

PH sendiri. Berdirilah Lofiflicks. Setelah beberapa film pendek, kami pengen bikin film panjang. Masalahnya, duit nggak punya. Ide cerita banyak, tapi saya dan Tia serta Uwie milih yang bisa dikerjakan dengan bujet rendah.Kebetulan udah lama pengen bikin film romantis yang berlatar belakang hidup di Jakarta, Indonesia, dengan jujur. Project film ―A Copy of My Mind‖ pun dimulai di pertengahan 2014. Langkah pertama adalah mencari dana.‖

Joko Anwar dan tim kemudian mencoba mengikuti beberapa festival film. Festival film, selain memutar film, juga mengadakan film market yaitu kegiatan jual beli film. Di film market ini, pembuat film mencoba menjual film mereka lewat sales agent. Supaya tayang di bioskop, DVD, dan lain-lain.

Selain film market yang berguna untuk jual-beli film, ada juga

yang namanya ―project market‖. Ini ajang untuk menjual film yang belum jadi. Para film maker berusaha untuk cari dana buat bikin film mereka berupa investasi, hadiah, pinjaman, sponsor, dsb. Berbeda dengan film market yang siapa saja bisa bayar buat jualan, di project market, pesertanya disaring ketat. Salah satu project market yang dikenal adalah Asian Project Market (APM) yang diadakan oleh Busan Film Festival.

Joko Anwar dan teman-temannya ikut serta dalam APM. Mereka –sutradara, produser-- dapat tiket dan akomodasi ke project market, dan melakukan presentasi ke calon pemberi dana. Meeting all day. Selama tiga hari, mereka bisa meeting 15 kali dan bertemu dengan orang (calon pemberi dana) yang berbeda-beda. Akhirnya, project ―A Copy of My Mind‖ menang award di APM, mendapat hadiah USD10 ribu.

(30)

minimnya dana yang dimiliki, hanya sekitar 150 juta rupiah, dari awal Joko Anwar mendapat banyak bantuan, ada yang meminjamkan kamera, ada yang memberi tambahan dana dan sebagainya.

Sumber: Diambil dari twitter Joko Anwar

Gambar 4.7.Joko Anwar Mendapat Award di APM, 2014

Proyek pembuatan film ―A Copy of Mind‖ (ACOMM) dimulai pada bulan November 2014 dengan kru kecil, sekitar 20 orang. Syuting dilaksanakan selama delapan hari, bergerilya di lokasi sudut-sudut Jakarta yang asli. Banyak spot-spot romantis di Jakarta berhasil didapatkan, dan bersyukur pemiliknya mau meminjamkan. Menurut Joko lagi, para pemain ACOMM hebat-hebat dan berdedikasi. Mereka selalu bergerak, kalau kecapekan bisa istirahat di mana saja. Kru bisa rangkap-rangkap jabatan. Produser merangkap sopir, dan line-producer merangkap gantungan baju. Dengan peralatan seadanya para kru bekerja keras dan mendapatkan hasil yang cukup maksimal.

Berikut adalah dokumentasi Joko Anwar selama pembuatan film ACOMM:

(31)

Setelah syuting selama 8 hari, proses pasca produksi dimulai Desember 2014, meliputi editing, color grading, musik, dan suara.

Menurut Joko,―A Copy of My Mind‖ adalah sebuah film yang sangat natural dan realistis, oleh karenanya gambar dan suara harus natural. Sekalipun syuting singkat, pengerjaan pasca produksi dilaksanakan berbulan-bulan supaya hasilnya maksimal.

Promosi ACOMM dilakukan sendiri oleh Joko Anwar dan teman-teman. Beruntung, Agustus 2015 mereka mendapat kabar bahwa film ―A Copy of My Mind‖ lolos seleksi kompetisi di Venice Film Festival. Itu berguna untuk publikasi. Mereka pun diundang untuk menghadiriVenice Film Festival. Ternyata sambutan pemirsa pada saat pemutaran film ―A Copy of My Mind‖ di Venice luar biasa hangat. Joko Anwar dan kawan-kawan sangat lega.

Berikut adalah dokumentasi di festival film Venice:

Gambar 4.9.Joko Anwar dkk. di Venice Film Festival, 2015

(32)

Setelah masuk seleksi di Venice, film ―A Copy of My Mind‖ juga masuk seleksi di Busan dan Rotterdam Film Festival. Tidak berhenti sampai di situ, Joko Anwar juga terlibat dalam pembuatan

film ―Halfworlds‖ sebuah serial yang ditayangkan di chanelHBO Asia. Seperti dikutip dalam wawancara dengan ―detik dot com‖, Joko Anwar mengatakan dirinya sudah lama ingin membuat serial TV. Kebetulan ada yang menawarkan yaitu channel HBO. ―Halfworlds‖ adalah film seri dengan genre dark-thriller, bercerita tentang seniman jalanan muda yang mengungkap jati diri sebenarnya ketika tanpa sadar terjebak dalam pertempuran antara manusia dan setan. Cerita yang berlatar di Jakarta masa sekarang ini dibalut kisah cinta, balas dendam dan pengkhianatan.

Serial ―Halfworlds‖ ditulis Joko Anwar bersama dengan Collin Chang, dan dibintangi bersama antara aktor Indonesia, Singapura, dan Malaysia. Nama-nama yang sudah tidak asing yaitu Salvita Decorte, Arifin Putra, Reza Rahadian, Aimee Saras, Adinia Wirasti, Hannah Al-Rashid, Tara Basro, Alex Abbad, Ario Bayu dan Verdi Solaiman bermain di serial itu. Dari Singapura ada Nathan Hartono dan Bront Palarae serta Puteri Balqis dari Malaysia (http://hot.detik.com /movie/read, diunduh tanggal 18 November 2015).

Masalah Distribusi

Seperti telah dikemukakan oleh beberapa film maker, mendistribusikan film sebagai hasil produksi sebuah tim (yang sebenarnya juga tidak mudah dilakukan) adalah tanggung jawab produser juga. Peran distributor telah lama hilang dalam industri perfilman Indonesia, tepatnya sejak Orde Baru ketika ―Grup XXI‖ mulai berdiri dan beroperasi sebagai satu-satunya ekshibitor. Untuk itu,

(33)

Officer dari ―Grup XXI‖, dan Ibu Dian Sunardi sebagai Chief Marketing

dari ―Grup Blitz Cineplex‖.

Penulis melakukan konfirmasi tentang masa tayang sebuah film di bioskop dan sempat bertanya perolehan jumlah penonton. Sayangnya, pertanyaan kedua tidak dijawab secara langsung dan terbuka, penulis mendapatkan gambaran umumnya saja.

Hasil wawancara dengan Ibu Catherine Keng, dan Ibu Dian Sunardi dari Blitz Cineplex, menunjukkan bahwa film asing memang masih mendominasi bioskop-bioskop di Indonesia berhubung lebih laku sehingga lebih mendatangkan keuntungan. Film Indonesia dianggap belum menjanjikan dan terlalu segmented, tidak seperti film asing. Berikut adalah pendapat Catherine Keng tentang dua film Indonesia yang box office selama kurun lima tahun terakhir, seperti dikutip di bawah ini:

―Programming adalah jantung dari bioskop. Seleksi awal diputar/tidaknya sebuah film adalah berdasarkan kriteria sbb: (i) apakah film tsb merupakan mass-market product? Atau (ii) art-house product? atau (iii) untuk wilayah tertentu saja? Tidak setiap film harus diputar di banyak layar. Selain lihat

trailer, bioskop juga akan lihat teaser dan portofolio pembuat film. Waktu untuk melihat animo penonton hanya 1-3 hari. Fim Indonesia itu sangat segmented, tidak seperti film asing, sangat universal. Dengan demikian film Indonesia pangsa pasarnya tertentu, tidak bisa dipasarkan di semua layar. Contoh, film ―Bombe‖ sangat laku di Makasar XXI bisa tahan 2,5 bulan tapi tidak di tempat lain. Jumlah penonton

tertinggi adalah untuk film ―Habibie-Ainun‖ yaitu sebanyak

4,8 juta orang di tahun 2012, hampir sama dengan ―Laskar Pelangi‖ sekitar 4 juta penonton di tahun 2008, dengan

jumlah layar yang berbeda‖ (Keng, C., 18 November 2015).

―Grup XXI‖ memiliki 853 layar di 152 lokasi. Promosi mereka di mobile-site mendatangkan visitor dua kali lipat website. Promosi film lebih efektif di bioskop daripada di you tube. Di hari film nasional,

(34)

kota-kota yang belum ada bioskopnya, contohnya: di Purwakarta diputar

film ―Negeri 5 Menara‖, di Sukabumi film ―99 Cahaya di Langit Eropa‖, di Cianjur ―Comic 8‖ dan di Serang. Di bioskop balai kota diputar film

―Si Jago Merah‖, ―Get Married‖, ―Bajaj Bajuri The Movie‖, dan ―Get Married 2‖.

Ibu Dian Sunardi, Chief Marketing Blitz Cineplex, menyatakan bahwa film programming memegang peranan penting. CGV Blitz tidak punya dana dari sponsor seperti Multivision –yang langganan pasang iklan di XXI—untuk promosi, sehingga Blitz harus lebih kreatif dalam memasarkan produknya. Dengan begitu, sebenarnya CGV Blitz juga tidak terikat mempromosikan satu jenis film-film hasil produksi produser (PH) tertentu, sehingga penonton diberi alternatif tontonan lebih banyak. Cara berpromosi yang selama ini ditempuh adalah dengan dibuatnya loyalty member yaitu perolehan poin untuk penonton yang setia menonton di Blitz. Selain itu juga dilakukan survey tentang lokasi outlet-outlet CGV dan tipe konsumen.

Di tempat yang sama, hadir juga ketua BEKRAF yaitu Bapak Triawan Munaf yang memberi kata sambutan. Namun sayang sekali beliau hanya hadir sebentar, lantas pergi di sesi berikutnya ke tempat/undangan lain, penulis belum berkesempatan mewawan-carainya hingga saat ini. Ada asisten/deputi beliau, yaitu Bapak Boy, yang mencoba menjawab pertanyaan tentang kebijakan pemerintah yang penulis ajukan. Dalam sambutannya, Bapak Triawan Munaf mengungkapkan bahwa pemasaran sebuah film merupakan aspek yang penting. Beliau juga mengatakan bahwa:

―Pemasaran film Indonesia sama pentingnya dengan film Indonesia itu sendiri. Dulu promosi dianggap sebagai tambahan, padahal biaya promo bisa mencapai 4 kali lipat dari biaya produksi film ybs. Di era sosial-media sekarang ini,

kita harus pintar memanfaatkan ‗new media‘. Tren

(35)

Menurut Bapak Boy, Deputi Riset dan Pengembangan BEKRAF, film dianggap punya kontribusi walaupun secara statistik kontribusinya baru 1,3%. Sub sektor lain seperti fashion dan kuliner memberikan kontribusi lebih besar yaitu kuliner 32,4% dan fashion

24%. Pada disksui tersebut sempat dibahas bahwa angka 1,3% memang baru perkiraan, belum melihat dampak perfilman sebagai industri lokomotif yang membawa industri-industri yang lain seperti tourism,

fashion, dan kuliner. BEKRAF saat ini belum memiliki strategi tentang perfilman karena masih baru bekerja, baru memetakan sektor industri kreatif di Indonesia. Bapak Boy mengatakan untuk jangka pendek, BEKRAF ingin membuat sistem informasi dulu, membangun data base

dan pusat-pusat inkubator unggulan. Dengan demikian, pertanyaan lebih lanjut tentang sikap pemerintah terhadap industri perfilman Indonesia saat ini belum bisa dijawab.

Paparan demi paparan di atas mengindikasikan adanya masalah dalam distribusi dan pemasaran film Indonesia. Peran distributor yang sebelumnya menghubungkan antara produser dan ekshibisi yang dulu pernah ada sekarang sudah hilang. Menurut beberapa movie-maker, masalah ini menyebabkan tingginya biaya promosi karena persaingan tidak sehat (film asing membanjiri Indonesia dan mendominasi) sehingga film-film Indonesia harus ekstra berpromosi dan mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, bahkan bisa melebihi biaya produksi film itu sendiri. Pemain lama yang mendominasi adalah

―XXI‖, sedangkan pemain baru yaitu ―Blitz‖ dan ―Cinemaxx‖ masih sangat terbatas layarnya. Dengan demikian, kesempatan untuk mendistribusikan film di bioskop (layar lebar) masih sangat terbatas.

Masalah-masalah tentang dominasi film asing di layar lebar (bioskop) dan bagaimana penonton selama ini dibiasakan menonton film gaya Hollywood, serta terbatasnya jumlah layar dan bioskop diutarakan beberapa movie-maker sebagai berikut:

(36)

ngga bisa, Ide yang seharusnya market-nya Indonesia jadi gak kegarap, karena gak ada bioskopnya. Ini persentase sebaran bioskop 80 persennya di Jawa. Jadi yah wallahualam yang di luar Jawa.‖ (Timothy, S., 24 Agustus 2015).

Apa yang diutarakan Lala tersebut, ditegaskan ulang oleh Atid dan Motulz. Terbatasnya bioskop di Indonesia dan dominasi para pengusaha bioskop menjadi salah satu kendala para film maker

mendistribusikan hasil karyanya.

―Saat ini toko untuk jualan film hanya ada satu, ―Cinema XXI‖. Ada dua toko kecil lainnya. yaitu ―Cinemaxx‖ dan

―Blitz‖, tapi jumlahnya tidak signifikan. Seperti halnya barang lain, kalau tokonya cuma ada satu, akan sangat kesulitan untuk jualan karena semua orang berebut jualan di sana.‖ (Simanjuntak, S., 10 Agustus 2015)

―Masalah dalam film Indonesia, menurut saya, adalah sejak monopoli bioskop. Karena menurut saya gini, ibaratnya TV punya program terus di-rating, kalo rating-nya anjlok program tsb ditarik. Sama juga kayak bioskop. Nanti pemiliknya bilang: sorry nih slot saya antre, film anda harus tunggu dulu, Kalo dalam hitungan minggu/hari filmnya tidak laku, sorry to say, film tsb harus ditarik. Akhirnya, film yang katakanlah berkualitas akan kalah dengan film yang ringan ditonton.‖ (Motulz, 3 Agustus 2015).

Jika Lala dan Motulz mempermasalahkan tentang jumlah bioskop dan masa tayang yang terbatas atau dibatasi, karena slot yang selalu antre, maka Key menyoroti masalah lain. Key lebih melihat

―gambling‖-nya para pembuat film, karena biaya produksi yang begitu besar tidak diimbangi dengan masa tayang yang cukup lama di bioskop. Hal ini diungkapkan Key sebagai berikut:

―memang ―XXI‖ itu pada dasarnya berbisnis, tidak mau rugi. Sebenernya bisa kehitung sih dari jumlah penontoh dan kualitas si filmnya itu, keliatan kan ya dari garapan film. Misalnya kaya ―Supernova‖, wah ngeliat dari set yang

katanya nyewanya berapa M kan…ya, lihat pemasukannya

(37)

Mengenai perbedaan antara menyiarkan film di televisi dengan di bioskop (layar lebar) dijelaskan Bapak Parwez seperti di bawah ini. Apa yang beliau jelaskan sekaligus mengkonfirmasi apa yang dikatakan Key sebelumnya. Menurut Bapak Parwez perlu ada semacam perimbangan resiko dalam mengatur bisnis perfilman.

―Bisnis program televisi sudah terukur resikonya, karena ada jual-beli program secara tuntas dan program tersebut menjadi milik stasiun TV sepenuhnya. Artinya, selama kita bisa mengatur budget, ada keuntungannya. Film bioskop lebih sulit diprediksi, bisa berhasil/sukses bisa gagal. Tapi pola jual film apabila dibeli stasiun TV hanya right TV saja.‖ (Parwez, C., 19 Oktober 2015)

Protes para movie-maker ditampik oleh Ibu Catherine Keng,

corporate-secretary ―Grup XXI‖. Dikatakan bahwa tiap minggu rata-rata ada dua judul baru film Indonesia yang tayang di ―Cinema XXI/21‖, kadang-kadang bisa tiga judul per minggu. Jika satu bioskop memiliki 4 studio maka 2 studio akan memutar film Indonesia dan 2 studio lain memutar film asing. Setiap film Indonesia yang ditayangkan di ―XXI‖ diberi jatah satu minggu untuk diputar. Selama empat hari pertama akan dilihat kecenderungan penontonnya, apakah naik atau turun. Jika naik ditambah layar, jika turun layar dikurangi. Pada awal penayangan, film Indonesia biasanya mendapatkan jatah 20 layar, 60 layar, bahkan bisa 100 layar, tergantung target dari produser atau prediksi jumlah penontonnya (CNN Indonesia, diunduh 7 Maret 2016).

Kategorisasi Temuan

(38)

o

k

s d

an

Man

aj

e

m

e

n

K

re

ati

v

it

as

d

al

am

In

d

u

st

ri

F

ilm

In

d

o

n

e

si

(39)
(40)
(41)

Interpretasi Atas Kategorisasi Temuan

Penulis kembali melakukan interpretasi atas kategorisasi temuan-temuan seperti tampak di Tabel 4.1 dan menemukan beberapa interpretasi atau pemaknaan diantaranya:

Interpretasi pertama, penulis dapatkan dari wawancara langsung dengan Lala Timothy, twitter milik Mira Lesmana dan Riri Riza, serta obrolan dengan Bapak Chand Parwez melalui whatsapp

tentang proses produksi film-film mereka. Penulis menemukan cara-cara mengelola proses produksi yang sejalan di antara ketiga narasumber. Mereka sama-sama memiliki pola kerja yang terorganisir dengan baik (well-managed). Jika Lala, Mira dan Riri sudah terbiasa dengan riset yang memadai dan diskusi yang panjang dengan penulis skrip dan sutradara sebelum proses syuting dilaksanakan (ada proses eksplorasi dan elaborasi ide-ide kreatif di sana); maka rumah produksi

―Starvision‖ milik Bapak Chand juga sudah memiliki pola kerja yang pasti dan terencana. Bapak Chand memiliki jaringan dengan para penulis yang berbakat, demikian juga dengan sutradara dan artis-artis terkenal di periodenya. Selain itu, Bapak Chand memiliki kerja sama promosi dengan ―Grup XXI‖ selama puluhan tahun. Penulis melihat

adanya ―order‖, tatanan-tatanan kerja yang baik di dalam organisasi proses pembuatan film, meskipun kreativitas pembuatannya sendiri

bersifat ―liar‖ dan impulsif. Ada kalanya film-film yang dihasilkan mendapat apresiasi yang tinggi dari para penonton, namun ada pula yang tidak mendapatkan apresiasi yang cukup. Dengan kata lain, film yang mereka buat bisa gagal atau tidak laku di pasaran. Ini adalah paradoks yang pertama.

Interpretasi kedua, penulis peroleh dari kategorisasi temuan-temuan berdasarkan wawancara langsung dengan Joko Anwar, Atid Samaria, dan Ifa Isfansyah. Penulis memperoleh beberapa pemaknaan tentang cara kerja dalam organisasi pembuatan film yang cenderung

lebih ―cair‖ dan fleksibel. Mereka menyatakan bahwa proses produksi

Gambar

Gambar 4.1. Penulis Bersama Sheila Timothy di Kantor Life Like Picture,
Gambar 4.2. Proses Produksi Sampai Ekshibisi Film Indonesia
Gambar 4.3.Penulis Bersama Key dan Motulz di ―Rumah Baba‖, Cipete,
Gambar 4.4.Penulis Bersama Atid dan Ibunya, 14 Februari 2016
+6

Referensi

Dokumen terkait

In this study, we compare and contrast estimates of deformation obtained from different pre and post-event airborne laser scanning (ALS) data sets of the 2014 South Napa

The methodology presented here is useful for situations where massive sensor data need to be compressed in a way that allows a progressive retrieval with increasing

Jika jumlah siswa SD Sukamaju 245 orang, berapa orang jumlah siswa

Water is continuously distributed in natural conditions; thus, this paper proposed a new method of water body extraction based on probability statistics to improve the accuracy of

Saat Indonesia merdeka, desa menjadi satu bagian dalam negara yang memiliki karateristik yang sama sebagai lingkungan politik, sosial, ekonomi dan budaya seperti dalam

Disemprotkan ( Jet Application of Fluid ), pada proses pendinginan dengan cara ini cairan pendingin disemprotkan langsung ke daerah pemotongan (pertemuan antara

[r]

Karena itu, dibangunnya Pura Desa dan Pura Puseh dalam satu areal atau satu palemahan sebagai simbol untuk menyatukan guna sattwam dan guna rajas agar sama-sama kuat