• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.3 Interpretasi Penonton

4.1.3.1 Interpretasi terhadap Film Cin(T)a

Berdasarkan fokus permasalahan yang diteliti, yaitu bagaimana interpretasi penonton terhadap pluralisme dalam film Cin(T)a, ternyata ditemukan hasil sebagai berikut: terdapat perbedaan waktu yang dimiliki beberapa informan saat mulai menonton film Cin(T)a. Informan I dan II mulai menonton film Cin(T)a sejak awal film tersebut ditayangkan yaitu tahun 2009. Informan IV mulai menonton film Cin(T)a pada pertengahan tahun 2011. Sementara Informan III dan V baru mulai menonton film Cin(T)a pada tahun 2013 ini.

a. Motif Menonton Film Cin(T)a

Setiap orang memiliki motif tersendiri terhadap apa yang ingin dilakukannya. Termasuk juga motif untuk menonton sebuah film. Seperti penuturan para informan mengenai alasan ketertarikan mereka untuk menonton film Cin(T)a.

Informan I tertarik menonton film Cin(T)a karena tema yang diangkat berbeda dari film pada umumnya. Dia mengatakan film itu berani menyuguhkan gambaran problematika masyarakat yang masih dianggap tabu untuk diperbincangkan. Walau dipenuhi perdebatan tentang ketuhanan dan agama, namun tetap dikemas dalam kisah cinta yang manis.

“Film ini menurutku beda dengan film-film cinta kebanyakan, karena berani ngangkat masalah percintaan beda agama. Padahal di Indonesia ngomongin cinta beda agama masih dianggap tabu sama sebagian besar masyarakat. Konfliknya berat karena seputar tuhan sama agama. Tapi romantismenya tetap dapet.”

Informan II dan IV juga memberikan alasan yang sama dengan Informan I, yaitu tertarik menonton film Cin(T)a karena tema yang dianggap berbeda. Sementara Informan III dan V tertarik menonton film Cin(T)a karena faktor significant other, yaitu rekomendasi dari teman-teman mereka yang sudah menonton film itu sebelumnya.

b. Tema Film Cin(T)a

Walaupun para informan memberikan berbagai pendapat saat ditanya mengenai tema film Cin(T)a, didapat satu kesimpulan yang menyatakan tema film tersebut adalah mengenai pluralisme. Pernyataan tersebut dapat dilihat dalam kutipan dari kelima informan berikut.

Informan I : “Murni pluralisme. Di satu sisi membuka mata dan memberi banyak sudut pandang. Film ini membuka apa itu perbedaan agama, apa itu perbedaan suku. Dia juga membuka bagaimana kehidupan kaum minoritas dan bagaimana sudut pandang mereka terhadap posisi mereka sebagai minoritas.”

Informan II : “Intinya menceritakan perbedaan yah... Nggak hanya agama, tapi ada jugu suku dan etnis. Padahal film ini sebenarnya romantis, tapi fenomena keragamannya kental kali. Tema kayak gini harus diperbanyak dengan kemasan yang lebih mudah dimengerti.”

Informan III : “Aku rasa ini film pertama yang menceritakan perbedaan dalam balutan kisah cinta. Mikirnya kalo bikin film tema pluralisme mungkin berat. Tapi untungnya dipadankan sama cerita cinta. Jadi lebih mudah dicerna, apalagi sama anak-anak muda.” Informan IV : “Sebenarnya kasus-kasus yang berkaitan dengan

perbedaan dan pluralisme kayak ini bukan hal yang baru lagi. Udah biasa. Karena realitasnya udah banyak terjadi di masyarakat. Cuma mungkin masih sedikit yang dijadiin tema untuk sebuah film.” Informan V : “Film ini menurutku mengusung tema hidup dalam

perbedaan. Hidup dalam artian bergaul, bersekolah bahkan berpacaran. Perbedaannya ditampilkan dalam agama dan suku dari kedua tokohnya. Yang kayak gini termasuk hebat, karena pembuat filmnya harus benar-benar tau seluk beluk Islam dan Kristen secara bersamaan.”

c. Judul Film Cin(T)a

Judul merupakan sorotan yang dapat membentuk berbagai pendapat setiap orang. Judul adalah nama yang dipakai dalam film, buku, lagu atau apapun yang dapat menyiratkan secara pendek isi atau maksud yang ingin disampaikan. Dalam menanggapi judul film tersebut, masing-masing informan memberikan pernyataan berbeda.

Informan I mengatakan bahwa Cin(T)a adalah akronim Cina, Tuhan dan Annisa. Menurutnya penggabungan nama-nama tersebut menunjukkan tokoh tokoh sentral yang ada di dalam film tersebut. Selain itu, Informan I juga memaknai judul film tersebut sebagai gambaran isi cerita film yaitu cinta Cina dan Annisa yang tidak bisa dipersatukan karena Tuhan yang memisahkan.

Informan III memiliki pendapat yang tidak jauh berbeda dari Informan I. Ia juga mengatakan bahwa judul film yang digunakan merupakan akronim dari nama-nama pemeran dalam film tersebut. Namun keberadaan Tuhan yang muncul diantara Cina dan Annisa, menurutnya adalah sebagai sosok yang sangat dicintai oleh keduanya. Informan III memaknai judul film Cin(T)a sebagai kisah cinta segitiga antara manusia dengan tuhan dan manusia lainnya.

Informan IV melihat penggunaan judul tersebut sebagai jawaban dari masalah-masalah yang dihadirkan dalam film tersebut tentang perbedaan dan konflik. Ia memaknai penggunaan kata Cin(T)a sebagai judul film dalam arti kata cinta yang sebenarnya, yaitu rasa kasih sayang.

“Waktu nonton filmnya aku merasa film ini cuma menunjukkan kalo ada masalah aja, yaitu perbedaan. Dan belum ngasih solusi untuk masalah tersebut. Jadi menurut aku dari judulnya Cin(T)a itu seperti gambarin masih ada harapan untuk menjembatani semua perbedaan yaitu melalui rasa cinta antar sesama manusia. Rasa cinta itu yang menjauhkan kita dari konflik.”

Sementara dalam menanggapi judul film, Informan II dan V memiliki pandangan yang hampir serupa. Mereka mengatakan bahwa penggunaan judul Cin(T)a dikarenakan isi film tersebut menceritakan tentang perjalanan cinta dua anak manusia yang melalui banyak perbedaan satu sama lain. Walaupun pada akhirnya harus mengalah pada perbedaan-perbedaan yang ada dan memutuskan untuk berpisah. Seperti yang dikatakan Informan V berikut.

“Dari judulnya aja udah ketauan kalo film ini menceritakan tentang kisah cinta. Tapi yang membedakannya dengan film cinta yang lain mungkin terletak pada problem yang dimunculkan. Kalo pada umumnya problemnya tentang status sosial, si miskin dan si kaya, film ini lebih berani mengangkat tentang beda agama. Yah walaupun pada akhirnya harus pisah juga lantaran perbedaan yang dihadapi mungkin terlalu berat untuk dicari jalan tengahnya.”

d. Alasan Pembuatan Film Cin(T)a

Berbagai faktor dapat dijadikan alasan mengapa suatu karya cipta manusia seperti film dibuat. Film sebagai hasil karya manusia pasti berkaitan erat dengan berbagai aspek dalam kehidupan. Pembuatan film Cin(T)a pasti juga memiliki alasan tersendiri bagi filmmaker-nya. Sedangkan penonton dapat memberikan pendapat ataupun pandangannya mengenai alasan pembuatan film tersebut.

Masing-masing informan memberikan pendapat yang berbeda mengenai alasan pembuatan film Cin(T)a. Informan I memberikan persepsi bahwa pembuatan film tersebut berangkat dari apa yang dialami dan dirasakan oleh si filmmaker ataupun orang-orang di sekitarnya mengenai perbedaan-perbedaan yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat.

“Film ini mungkin berangkat dari rasa gelisah dan juga rasa ingin tahu si pembuat film tentang apa itu tuhan. Karena kenyataannya Indonesia itu penuh dengan perbedaan. Semua perbedaan ada, mulai dari agama, suku, etnis dan juga ras. Dan semua perbedaan itu digambarkan dengan cukup baik dalam film ini. Jadi menurutku film ini berangkat dari kegelisahan tentang perbedaan, dan apakah pada akhirnya perbedaan tersebut menjadi poin yang memicu konflik atau malah memungkinkan terjadinya dialog untuk dapat hidup dengan damai. Lagipula yang namanya film itu pasti merupakan hasil proses berpikir dari si pembuatnya. Yah pastilah ceritanya nggak jauh-jauh dari kehidupan pembuatnya sendiri ”

Informan II mengatakan alasan film itu dibuat adalah untuk menggambarkan trend yang kini sedang mewabah di masyarakat, yaitu pernikahan beda agama ataupun suku. Menurutnya film ini berupaya menampilkan solusi untuk konflik yang rentan muncul dalam pernikahan tersebut. Selain itu, ia berasumsi bahwa melalui film ini si filmmaker mencoba memberikan sudut pandang baru kepada masyarakat Indonesia yang mayoritas masih bersikap fanatik terhadap agama ataupun sukunya sendiri. Sehingga masyarakat bisa menerima keberadaan pernikahan beda agama atau suku serta tidak bersikap negatif terhadap orang-orang yang melakukannya.

“Latar belakangnya mungkin karena melihat sekarang sudah banyak orang yang menikah antar suku dan agama. Dan pasti dalam pernikahan antar suku atau agama ada konflik-konflik khusus yang terjadi. Dan menurutku film ini mencoba memberi solusi itu kepada orang-orang yang menikah campur untuk dapat

menyelesaikan konflik mereka. Film ini juga coba ngasi lihat sama kita semua sisi lain dari nikah beda agama atau suku.”

Sementara Informan III, IV dan V memberikan pernyataan bahwa filmmaker ingin melihat respon masyarakat terhadap persoalan-persoalan terkait isu SARA melalui film tersebut. Menurut mereka filmmaker sengaja menyajikan konflik melalui kisah cinta agar penonton lebih mudah mencerna permasalahan dan memberi tanggapan. Seperti yang disampaikan Informan III berikut.

“Memang nyatanya Indonesia ini berbeda-beda mulai dari suku, agama, etnis dan lainnya. Mungkin ini yang membuat filmmaker penasaran kira-kira gimana respon orang-orang kalo perbedaan ini malah jadi penghalang di percintaan. Mereka pengen lihat gimana respon cowok kalo pacarnya beda agama sama dia, atau seorang ibu yang anaknya pengen nikah sama orang yang beda agama, atau gimana respon pemuka agama. Kenapa cinta yang dipilih ? Yah secara kalo tentang cinta-cintaan orang biasanya cepat nangkap.”

Dalam wawancaranya dengan Nelly Andon Boru Torus dari Project Tapanuli, Sammaria Simanjuntak sang sutradara menyatakan bahwa alasan membuat film Cin(T)a adalah sebagai bentuk curahan hatinya terhadap tuhan (http://www.dailymotion.com/).

e. Isi Film Cin(T)a

Ternyata dalam menanggapi isi film tersebut, setiap informan memiliki tanggapan yang berbeda-beda. Informan II merasa kurang puas dengan akhir cerita dalam film tersebut. Ia tidak suka film dengan sad ending. Menurutnya setelah menonton film, harusnya seseorang menjadi bahagia. Karena baginya film itu adalah sebuah hiburan, maka sudah seharusnya penonton merasa terhibur dan senang.

“Pas setelah nonton aku jadi sedih sendiri nengok endingnya. Kasian kali kalo misalnya mereka nggak jadi. Udah banyak hal yang mereka jalani sama-sama, harusnya paling nggak orang itu bahagialah. Walau nggak sama-sama, tapi dikasih liat kalo mereka tetap bahagia sama pilihan yang udah diambilnya. Kalo kayak gini yang nonton jadi sedih juga. Aku memang nggak suka sama film- film yang sedih-sedih. Maunya habis siap nonton itu happy. Namanya juga hiburan.”

Hal serupa juga dinyatakan oleh Informan III dan IV. Mereka menginginkan akhir cerita yang tajam dan menarik. Tidak sekedar menampilkan

masalah, tapi juga memberi solusi terhadap masalah tersebut. Seperti yang disampaikan Informan IV sebagai berikut.

“Jalan ceritanya sih sebenarnya udah bagus. Tapi kalo bisa endingnya lebih kenak gitu. Jadi jatuhnya film itu nggak ngomong doang. Kenapa mereka nggak disatuin aja ? Kan bagus kalo kayak gitu, karena yang nonton diajarin kalo perbedaan itu bukan penghalang. Karena sebetulnya banyak orang Indonesia yang nggak dewasa dalam menyikapi perbedaan. Harusnya film ini yang ngasih lihat sekalian ngasih solusi.”

Berbeda dengan Informan II, III dan IV, Informan I dan V merasa cukup puas dengan keseluruhan isi film tersebut. Informan I menyebut film Cin(T)a sebagai film yang cukup berat, namun ia sangat menyukai ide filmmaker yang mengangkat fenomena perbedaan. Dia juga memuji keberanian filmmaker untuk mempertanyakan kebenaran sistem nilai yang selama ini diyakini oleh mayoritas masyarakat beragama di Indonesia. Selain itu, karena ketidaksetujuannya terhadap pernikahan beda agama membuat ia menerima dengan baik ending dari film tersebut.

”Film ini benar-benar membuat kita mikir berat. Sebenarnya saya suka sama idenya untuk mengangkat fenomena perbedaan. Film ini berbicara tentang sistem nilai. Saya juga salut sama Sammaria yang berani nyoba merombak sistem berpikir orang yang sudah jadi pakem dari setiap agama. Tapi sayangnya dia belum cukup berani untuk secara ekstrim terang-terangan melanggar pakem tersebut. Hal itu bisa dilihat dari ending filmnya. Saya sendiri karena tidak setuju dengan pernikahan beda agama yah merasa itu mau nggak mau jadi ending terbaiklah. Walaupun sebagai konsekuensi ujung-ujungnya film ini jadi kayak film mainstream lainnya, karena nggak bisa ngasi akhir cerita yang beda dan sensasional.”

Sedangkan Informan V merasa puas dengan keseluruhan isi film tersebut karena tidak ada keberpihakan dari filmmaker-nya. Ia beranggapan film tersebut adil dan menyenangkan semua pihak.

”Sebenarnya sedih liat ujung ceritanya. Tapi aku suka keseluruhan jalan ceritanya. Istilahnya komplit gitu, ada romantisnya, sedihnya sama amarahnya. Syukurnya film ini nggak berpihak ke satu agama aja. Jadinya kan lebih adil untuk dua-duanya.”

f. Dialog dalam Film Cin(T)a

Salah satu hal yang penting untuk membangun sebuah cerita yang hidup adalah dialog. Dialog dalam film seringkali menjadi indikator kecerdasan

filmmaker dalam menggarap dan menyampaikan nilai atau pesan kepada penonton. Dialog berfungsi untuk memberikan informasi, mengungkapkan tokoh dan membangun konflik. Dialog-dialog ringan namun penuh makna selalu menjadi favorit penikmat film. Oleh kelima informan, dialog-dialog dalam film Cin(T)a yang meraih penghargaan skenario asli terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) 2009 ini juga dianggap sarat makna.

Informan I melihat bahwa film ini sangat total dalam menyajikan dialog- dialog cerdas. Ia berpendapat bahwa dialog tersebut tidak hanya datang dari para pemeran, namun juga dari simbol-simbol yang dimunculkan dalam beberapa scene. Selain itu menurutnya terdapat dialog-dialog yang menawarkan berbagai sudut pandang baru terhadap suatu hal yang selama ini diterima masyarakat atas dasar konsensus.

”Aku ngeliatnya film ini dialogis kali yah. Nggak hanya dialog langsung dari tokohnya, tapi simbol-simbol dalam film ini juga ikut berbicara. Semut, kaos, coretan di dinding, desain arsitekstur dan lainnya. Dialog tokohnya harus diakui sangat cerdas, tapi tidak menggurui. Dialog yang paling membekas itu saat Annisa tanya ke Cina, apa cina masih mau sama dia kalo tuhannya aja bisa dia khianati. Dialog itu benar benar membuka pikiran kita. Saya suka karena dialog-dialognya itu juga bikin kita jadi berusaha mengkaji ulang apa yang selama ini kita anggap sebagai suatu yang benar. Karena selama ini di mindset mayoritas orang beragama kan kalo case-nya kayak gitu lebih baik pindah keyakinan. Di Kristen atau di Islam kan banyak diyakini kalo kita bisa buat orang masuk agama kita, kita bakal dapat pahala. Dan dialog itu tadi yang meruntuhkan pandangan yang selama ini kita udah terima. Kita dibuat berpikir ‘oh iya juga yah. Memang banyak dialog yang terbilang nyelekit dan agak vulgar, tapi kalo benar-benar dipahami kalimatnya jadi kayak kalimat yang murni lahir dari proses berpikir manusia yang coba cari kebenaran.”

Informan III berasumsi bahwa dialog-dialog dalam film Cin(T)a ini adalah murni pandangan dan pikiran filmmaker, dalam hal ini Sammaria Simanjuntak yang berperan sebagai sutradara sekaligus salah satu penulis skenario. Ia memuji kelihaian Sammaria dalam memainkan kata. Namun ia juga mengkritisi beberapa dialog yang menurutnya terkesan terlalu menggugat tuhan.

”Dialog-dialognya kalo aku bilang sangat membumi yah. Mudah kita memahami apa maksudnya. Pandai dia buat kalimat-kalimat yang nggak terpikirkan sama kita sebelumnya. Tapi kalo aku lihat dialog-dialognya itu yah memang berdasarkan gimana cara

pandang si Sammaria tentang perbedaan. Mungkin gitu dia ngelihat dan menyikapi perbedaan. Tapi kalo menurutku perbedaan nggak perlu dikonfrontasikan kayak gitu. Tuhan nyiptain kita beda-beda pasti ada alasannya. Kita manusia ini yang disuruh berpikir gimana caranya menjembatani perbedaan. Bukan malah nyalahin tuhan. Nggak ditakdirkan bersama bukan berarti tuhan sutradara basi. Menurutku unity is not uniform. Kesatuan kan nggak harus selalu sama. Jadi kita hanya perlu menerimanya aja. Karena memang itulah kenyataannya. Kita beda. Nggak usahkan satu indonesia, manusia satu sama manusia lain pun pasti punya perbedaan.”

Informan IV memaknai dialog-dialog antar tokoh dalam film tersebut sebagai proses mencari jawaban untuk pertanyaan-pertanyaan yang mereka ajukan sendiri. Menurutnya dialog-dialog tersebut gambaran kebingungan masyarakat kebanyakan tentang bagaimana menempatkan posisi tuhan dalam kondisi kehidupan yang beragam dan penuh perbedaan.

”Menurutku dialognya itu gambaran kalo mereka sendiri belum paham dan mengerti tentang gimana harusnya menyikapi perbedaan. Makanya setiap dialog itu jadi kayak perdebatan antara Cina dan Annisa. Dalam debatnya itu mereka coba mencari jalan tengah. Tapi yang paling terlihat dari dialog itu, mereka sebenarnya masih bingung dan dilema antara cinta atau tuhan.”

Sedangkan Informan II dan V menganggap dialog dalam film Cin(T)a sangat filosofis. Mereka sependapat bahwa terdapat penggunaan kalimat-kalimat yang cukup berani. Namun mereka berasumsi penggunaan kalimat tersebut bertujuan untuk membuat film semakin menarik.

g. Adegan dalam Film Cin(T)a

Selain dialog, elemen lain dalam film yang juga sangat penting untuk diperhatikan adalah adegan. Melalui adegan, ketepatan dan kejelasan pesan dari sebuah film dapat disampaikan secara lebih detail. Yang membedakan film dengan hasil seni lainnya adalah perpaduan audio dan juga visual. Film tidak sekedar menyuguhkan cerita melalui dialog, tetapi juga menampilkan gerak melalui adegan para tokohnya.

Sama halnya dengan dialog, adegan juga menyimpan nilai atau pesan yang ingin disampaikan filmmaker kepada penonton. Berbagai macam pendapat diberikan oleh kelima informan saat ditanya mengenai tanggapan mereka terhadap adegan dalam film Cin(T)a. Informan I menganggap sebagian besar adegan dalam

film tersebut sangat romantis. Menurutnya romantisme diantara kedua tokoh tersebut bisa muncul di waktu dan tempat yang sebenarnya jauh dari kata romantis. Informan I juga berpendapat bahwa kisah cinta yang dibangun di atas perbedaan seperti Cina dan Annisa, terlihat jauh lebih indah. Namun ia juga mendapati beberapa adegan yang dianggapnya tidak jelas maksud dan tujuannya.

”Selain dialog yang cerdas, adegan yang manis dan romantis jadi kunci kesuksesan film ini. Adegan yang menurutku yang secara bersamaan menampilkan nilai pluralisme dan cinta, pas adegan Annisa harus ngambil air wudhu lagi gara-gara dipegang sama Cina. Ditunjukkin di situ kalo Cina bingung kenapa Annisa balik lagi. Terus yang adegan yang ditampilin Annisa ngambil wudhu lagi sambil diliatin sama Cina yang takjub sama kecantikan Annisa. Menurutku adegan ini oke banget. Yang mau diliatin bukan cara wudhu yang benar. Tapi gimana seseorang bisa jatuh cinta di saat melakukan aktivitas-aktivitas kecil, bahkan di saat orang yang disukainya sedang berusaha beribadah pada tuhannya. Adegan ini tanpa dialog, seakan menunjukkan jatuh cinta tanpa tahu kenapa dan tanpa banyak bicara. Satu hal lagi yang penting diperhatikan bahwa kedua tokoh tidak pernah saling mengucapkan cinta. Adegan-adegan yang mereka lakukanlah yang membuat penonton tahu kalau mereka saling mencintai. Tapi ada hal yang membuat aku nggak suka dan bingung. Di tengah-tengah film disisipin testimoni dari beberapa pasangan yang beda agama. Sedangkan ujung ceritanya kedua tokoh utama nggak disatuin. Membingungkan dan jadi nggak ngerti apa maksudnya disisipin adegan itu”

Informan II, III, dan V memiliki pandangan yang sama mengenai adegan dalam film Cin(T)a. Mereka berpendapat bahwa sesuai dengan tema yang diusung, film ini berusaha menampilkan adegan-adegan yang mencerminkan kerukunan dalam perbedaan. Ketiga informan ini menganggap pesan bernuansa pluralisme yang disisipkan dalam adegan film tersebut sangat natural dan tidak dipaksakan. Seperti yang disampaikan oleh Informan V sebagai berikut.

”Adegan-adegan dalam film ini semuanya kayak nunjukkin ke kita kalo ternyata berbeda bukan berarti kita nggak bisa rukun dalam ngejalanin aktivitas kita masing-masing. Aku suka adegan-adegan film Cin(T)a ini yang istilahnya itu nggak muluk-muluk. Nunjukkinnya pluralismenya nggak se-ekstrem di film Tanda Tanya gitu. Di situ kan kesannya dipaksain kali. Sedangkan di film ini benar-benar natural dan simpel tapi tetap dalem makna. Kayak misalnya saling sambung do’a pas makan. Trus bikin ketupat sama hias pohon natal. Pas Annisa sholat ditungguin sama si Cina, pas Cina ke gereja ditungguin juga sama Annisa di kosannya. Yah

kurang lebih gitulah. Maksudnya adegannya sederhana tapi maknanya juga dapet.”

Berbeda dengan keempat informan lainnya, Informan IV memiliki anggapan bahwa banyak adegan dalam film ini yang tidak mencerminkan secara utuh nilai-nilai keagamaan bahkan terkesan sekuler. Ia malah berasumsi bahwa filmmaker sendiri kurang informasi tentang agama dan suku yang ingin ditampilkan dalam film tersebut.

”Yang aku tangkap dari beberapa adegan justru terkesan menampilkan sekulerisme. Mereka ngomongin tuhan sampe yang segitu hebatnya, tapi kenyataannya ibadah orang itu sendiri jauh dari kata bagus. Aku kurang taulah ya kalo gimana muslim coba ditampilin di situ, tapi yang kulihat banyak ikon ikon kekristenan dalam film itu kayak hias pohon natal sama soal nyanyi-nyanyi, itu

Dokumen terkait