• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1.3 Interpretasi Penonton

4.1.3.2 Pengetahuan Seputar Pluralisme

Dari hasil wawancara peneliti dengan kelima informan, ditemukan hasil bahwa kelimanya telah mengenal istilah pluralisme sebelum menonton film Cin(T)a. Namun masing-masing informan mengaku mendapat wawasan baru seputar sisi lain dari pluralisme yang menjadi pembelajaran penting tentang realitas kehidupan.

a. Definisi Pluralisme

Seperti yang peneliti tuliskan sebelumnya dalam Konteks Masalah, terdapat perbedaan pemahaman tentang definisi dari pluralisme. Para tokoh diskursus teologi agama-agama seperti John Hick dan Paul F. Knitter serta tokoh

Jaringan Islam Liberal seperti Ulil Abshar Abdalla mendefinisikan pluralisme sebagai paham yang menganggap semua agama benar. Sedangkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan beberapa ormas Islam seperti Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), Hizb al-Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), mengartikan pluralisme sebagai paham yang akan mereduksi nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan penganut suatu agama serta berpotensi mengubah aspek-aspek baku dari suatu ajaran dengan mencampurkan aspek dari ajaran lain.

Perbedaan pemaknaan definisi pluralisme ini juga terjadi pada kelima informan. Informan I terang-terangan mengakui ketidaksetujuannya terhadap pluralisme. Dalam pandangannya pluralisme cenderung diartikan sebagai ‘penyamarataan’. Ia menganalogikan pluralisme sebagai satu bejana yang di dalamnya dikumpulkan semua jenis perbedaan kemudian ‘digodok’ menjadi satu. Sehingga masing-masing perbedaan tersebut kehilangan identitasnya. Padahal menurutnya perbedaan itu adalah esensi kehidupan manusia dan tidak bisa dipaksakan untuk menjadi sama.

Informan I menambahkan bahwa pluralisme berupaya untuk menyatukan semua perbedaan menjadi satu bentuk baru Ia sendiri lebih memilih menggunakan istilah pluralitas untuk mewacanakan keberagaman dan perbedaan.

”Ibaratkan susu, kopi dan krim yang dicampur jadi satu menghasilkan jenis minuman baru. Apalah namanya. Di situ identitas susu sebagai susu, kopi sebagai kopi dan krim sebagai krim akan hilang. Karena ketiganya udah melebur jadi satu dan nggak bisa diurai kembali. Aku justru lebih memilih pake istilah pluralitas. Dalam artian kita tetap memiliki perbedaan antara satu sama lain, tapi menghargai perbedaan yang kita punya dan sepakat untuk hidup berdampingan.”

Informan II mengartikan pluralisme sebagai paham yang mengajarkan dan menyadarkan manusia bahwa mereka terlahir dengan perbedaan dan keragaman. Namun ia menolak jika melaui pluralisme, manusia diminta untuk menyatukan perbedaan-perbedaan tersebut. Menurutnya menyatukan perbedaan bukanlah solusi yang tepat, malah akan semakin menambah ketegangan antar golongan karena tidak ada yang akan mau mengalah. Manusia cukup menghargai setiap perbedaan yang ada dan menjalankan apa yang ia yakini sebaik mungkin tanpa merugikan orang lain di sekitarnya

Informan III menyatakan bahwa definisi dasar dari pluralisme yakni ‘plural’ yang berarti jamak atau banyak dan ‘isme’ yang berarti paham. Dengan kata lain pluralisme diartikan sebagai berbagai macam paham. Namun ia lebih senang mendefinisikan sendiri apa itu pluralisme. Menurutnya pluralisme adalah anugerah indah yang tuhan berikan kepada manusia. Bukan momok yang harus ditakuti, tapi menjadi hal yang patut disyukuri. Informan III juga menganggap bahwa menciptakan manusia berbeda-beda adalah otoritas tuhan dan tuhan pasti punya rencana di balik itu semua. Dan pluralisme adalah kunci utama untuk mewujudkan kehidupan yang damai dalam nuansa perbedaan.

Hal senada juga disampaikan oleh Informan IV. Ia terang-terangan menyatakan dukungannya terhadap pluralisme. Ia mendefenisikan pluralisme sebagai paham yang memandang bahwa semua agama sama. Dalam pandangannya, pluralisme penting untuk dipahami dan diimplementasikan oleh masyarakat. Tujuan pluralisme sendiri adalah agar dapat mengurangi sikap fanatisme yang berlebihan dan memunculkan sikap saling menghormati satu sama lain.

Sementara itu, Informan V memaknai pluralisme sebagai keberagaman dan perbedaan. Ia justru berpendapat bahwa keberagaman dan perbedaan bisa membuat orang-orang semakin akrab dan dekat. Menurutnya hal-hal yang beragam dan berbedalah yang menimbulkan rasa ingin tahu seseorang terhadap orang lain. Karena kalau keseluruhannya sama pasti tidak akan menimbulkan minat untuk mengenal lebih jauh.

b. Implementasi Konsep Pluralisme di Indonesia

Fakta bahwa masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang plural adalah sesuatu yang tak terbantahkan. Itulah sebabnya mengapa konsep pluralisme bukan lagi ‘barang asing’ bagi masyarakat Indonesia. Namun demikian, pluralisme ternyata bukan sesuatu yang mudah diterima. Khususnya di negara-negara yang memiliki tingkat kolektifitas yang cukup tinggi seperti Indonesia. Dengan kata lain, fakta bahwa masyarakat atau suatu bangsa itu plural tidak serta merta menjadikan orang yang hidup didalamnya memahami dan menerima pluralisme. Hal tersebut juga yang memberikan dampak terhadap implementasi konsep pluralisme di Indonesia.

Informan I memandang konsep pluralisme di Indonesia merupakan alat politik yang efektif. Tidak jarang para petinggi negara menggunakan pluralisme untuk mencitrakan diri agar dapat diterima di semua kalangan. Menurutnya penggunaan pluralisme sebagai alat politik, terinspirasi dari langkah-langkah yang presiden ke-4 RI K.H. Abdurrahman Wahid pada masa pemerintahannya. Presiden yang akrab disapa Gusdur ini memberi pengakuan terhadap agama Kong Hu Cu. Selain memberikan pengakuan, Gus Dur juga membebaskan masyarakat Kong Hu Cu yang notabene adalah keturunan Cina untuk menjalankan ibadah agamanya secara terbuka dan merayakan hari keagamaan mereka.

Selain itu, Informan I berpendapat bahwa hal yang paling kontroversial dalam upaya penyebaran pluralisme oleh pemerintahan Gusdur adalah membuka hubungan politik dengan Israel yang menimbulkan kemarahan kelompok muslim di Indonesia. Seperti yang diketahui, umat Islam Indonesia sangat antipati terhadap negara penjajah Palestina tersebut atas dasar solidaritas sesama muslim. Setelah pemerintahan Gusdur berakhir, Informan I mengatakan pluralisme hanya muncul sesekali saat terjadi konflik antar agama atau suku.

Keempat informan lainnya memberi tanggapan serupa mengenai implementasi konsep pluralisme di Indonesia. Mereka menyatakan bahwa implementasi pluralisme di indonesia masih berada pada level yang sangat rendah dan sebatas wacana. Hal itu terbukti dengan masih banyaknya konflik yang terjadi serta minimnya dialog antar suku, etnis dan umat beragama. Informan III menambahkan bahwa rendahnya implementasi pluralisme di Indonesia juga terbukti dengan adanya istilah ‘anak emas’ dalam masyarakat.

”Pluralisme yang kulihat di Indonesia itu cuma wacana aja. Implementasinya kurang. Buktinya masih ada istilah anak emas di masyarakat, misalnya yang boleh jadi presiden itu cuma orang Islam dan Jawa aja.”

c. Pluralisme dalam Film Cin(T)a

Dari hasil wawancara peneliti dengan kelima informan, dapat disimpulkan bahwa dalam pandangan mereka pluralisme merupakan tema yang diusung dalam film Cin(T)a. Penggambaran pluralisme dalam film tersebut dapat dilihat dari dialog, adegan serta penokohan yang ditampilkan. Kelima informan memberikan

tanggapan yang berbeda saat ditanya bagaimana film Cin(T)a menggambarkan pluralisme.

Informan I mengatakan bahwa film Cin(T)a mencoba menggambarkan pluralisme dalam 2 bentuk sekaligus. Tidak hanya menggambarkan fenomena keragaman di Indonesia, namun juga menggiring masyarakat pada satu pilihan atas permasalahan pluralisme yang sering dihadapi.

“Bentuk pluralisme yang coba ditampilkan dalam film Cin(T)a menurutku pada satu sisi ingin mencoba mengangkat diskriminasi yang terjadi pada kelompok, agama dan ras minoritas. Dimana hal ini menjadi fenomena dimana-mana. Perjuangan terhadap persamaan hak serta terhadap berbagai perbedaan yang ada. Namun pada sisi lain, bentuk pluralisme dalam film Cin(T)a berupaya menggiring untuk terjadinya pembauran antar perbedaan dalam ranah keyakinan.”

Lain halnya dengan Informan II yang berpendapat bahwa bentuk pluralisme dalam film Cin(T)a diwujudkan dalam isu cinta beda agama. Menurutnya isu tersebut merupakan salah satu isu pluralisme yang paling hangat dan dekat dengan kehidupan masyarakat. Ia juga beranggapan bahwa trend percintaan maupun pernikahan beda agama kini dianggap sebagai bukti bahwa masyarakat semakin bijak menyikapi perbedaan, dan film ini berupaya untuk menyebarkan gagasan tersebut.

“Pluralisme dalam film ini digambarkan terang-terangan melalui isu cinta beda agama. Permasalahan yang dihadapi Annisa dan Cina kan jelas tentang kisah cinta yang nggak bisa bersatu karena perbedaan keyakinan. Belum lagi sisipan beberapa testimoni orang-orang yang juga menjalani hubungan beda agama. Ini semua kan jadi bukti kalo masyarakat udah mulai berpikir gimana paling nggak mengurangi gesekan perbedaan. Yah melalui pernikahan beda agama. Berarti masyarakat juga udah semakin bijak dong sama perbedaan yang ada. Jadi menurutku film ini pengen menyoroti hal itu sekaligus nyebarin sama masyarakat lain yang mungkin masih belum bisa terima kenyataan.”

Informan III justru melihat pluralisme dalam film Cin(T)a digambarkan melalui unsur penokohannya. Golongan mayoritas dan minoritas ditampilkan dalam proporsi yang seimbang. Annisa, seorang gadis Jawa Muslim mewakili golongan mayoritas, sedangkan Cina yang ber-etnis Tionghoa dan beragama Kristen mewakili golongan minoritas. Ia berasumsi bahwa penokohan tersebut diciptakan berdasarkan realita yang ada di masyarakat. Islam dan Kristen dipilih

karena pada kenyataannya dua agama ini adalah yang paling sering mengalami pergesekan dan konflik. Penggunaan etnis Tionghoa sebagai unsur penokohan juga dikarenakan masyarakat etnis Tionghoa masih dianggap ‘orang luar’ dan sering menerima perlakuan diskriminasi dari lingkungannya. Ia menganggap penokohan dalam film Cin(T)a sebagai refleksi dari bentuk pluralisme yang ada di Indonesia.

Informan IV mengatakan bahwa nilai pluralisme yang terdapat dalam film Cin(T)a masih terlalu sedikit. Ia menganggap filmmaker hanya memberi gambaran pluralisme tanpa menunjukkan sikap yang seharusnya diambil oleh masyarakat terkait dengan pluralisme itu sendiri. Adapun bentuk pluralisme yang menurutnya paling dominan dalam film tersebut adalah testimoni pelaku hubungan beda agama.

Sementara itu, Informan V menilai bentuk pluralisme yang ditampilkan dalam film tersebut sangat ‘manis’ karena dipadukan dengan kisah cinta.

Dalam film ini pluralismenya ditampilkan secara berbeda karena ada unsur cintanya. Pluralismenya bisa kita lihat saat orang itu berdo’a bersama, membuat ketupat, menghias pohon natal. Menurutku pluralismenya sengaja dibuat ‘manis’ supaya yang nonton juga merasa bahwa beda itu nggak payah dan enak kalo dijalanin sama-sama selama kita saling menghormati satu sama lain.”

d. Pengalaman Seputar Pluralisme

Kelima informan menyatakan tidak menganggap asing pluralisme dan bentuk-bentuk perbedaan dalam masyarakat. Hal tersebut dikarenakan mereka lahir dan dibesarkan di Indonesia yang notabene terdiri atas masyarakat yang plural. Masing-masing informan memiliki pengalaman berbeda seputar pluralisme.

Informan I menceritakan pengalamannya saat sahabat baiknya memutuskan untuk menikah dan pindah agama. Ia mengaku sempat marah dan menjauhi sahabatnya tersebut. Namun pada akhirnya ia sadar bahwa keputusan tersebut adalah hak sepenuhnya dari sahabatnya dan ia harus menghormati keputusan itu. Ia tidak mungkin memaksakan kehendaknya, karena sahabatnya- lah yang nanti akan menjalani pernikahan tersebut. Menurutnya yang terpenting ia

sebagai sahabat sudah menjalankan kewajibannya untuk mengingatkan dan memberi masukan.

Informan II mengaku tidak terlalu sering mengalami peristiwa yang berkaitan dengan pluralisme, walaupun ia beretnis Tionghoa. Ia bersyukur tidak mendapat perlakuan diskriminatif dari lingkungannya. Walau sempat mengalami pahitnya menjadi etnis Tionghoa saat demonstrasi besar-besaran tahun 1998, ia mengaku tidak takut dan trauma. Menurutnya saat itu memang masa-masa sulit Indonesia, namun sekarang ia sudah resmi menjadi warga negara Indonesia dan mendapatkan hak yang sama.

Informan III mengaku bahwa masa kecil merupakan masa-masa yang cukup berat baginya. Saat itu ia tinggal di lingkungan yang mayoritas beragama Islam, sedangkan yang beragama Kristen hanya dua keluarga. Ia sering mendapat perlakuan diskriminatif dari teman bahkan gurunya di sekolah. Hal tersebut menjadikannya pribadi yang pendiam. Namun saat duduk di bangku kuliah, ia mendapat pemahaman baru bahwa agar tidak direndahkan orang lain, maka harus terlebih dahulu menghormati orang lain. Bahkan sekarang Informan III yang tergabung dalam Forum Kristiani Pemimpin Muda Indonesia (FKPMI), sering menyelenggarakan kegiatan-kegiatan seperti dialog lintas agama dan kemah damai yang diikuti peserta dari berbagai suku, etnis dan agama.

Sama halnya dengan Informan III, Informan IV juga dibesarkan dalam lingkungan yang mayoritas beragama Islam. Sejak kecil ia memang sudah terbiasa dengan perbedaan, karena keluarga besarnya menganut beberapa agama yang berbeda. Bahkan ia memiliki beberapa sahabat dekat yang beragama Islam. Namun, ia mengaku bahwa pernah sesekali diperlakukan secara berbeda karena beragama Kristen. Misalnya saat ia ingin berbagi makanan yang ia punya, banyak teman yang menolak pemberiannya tersebut. Ia juga mengatakan bahwa di kelasnya masih jelas terlihat pergaulan yang ‘dikotak-kotakkan’ berdasarkan agama. Seperti Informan III, ia juga tergabung dalam Forum Kristiani Pemimpin Muda Indonesia (FKPMI). Ia berkomitmen untuk terus mengajak generasi muda lainnya agar mau membuka diri, mengenal dan bertoleransi dalam setiap perbedaan.

Lain halnya Informan V yang sempat mengalami ‘culture shock’ saat datang ke kota Medan untuk melanjutkan kuliah. Ia lahir dan dibesarkan di lingkungan yang sangat homogen, dimana semua teman, guru, bahkan tetangganya berdarah Minang dan beragama Islam. Setibanya di kota Medan yang sangat heterogen, ia mau tidak mau harus menyesuaikan diri dengan semua perbedaan yang ada. Ditambah lagi dia harus menghadapi beberapa stereotipe negatif dari teman-temannya terhadap suku Minang. Ia mengaku mengalami kesulitan di masa awal perkuliahan, namun sekarang ia sudah terbiasa dan memiliki banyak teman yang terdiri dari bermacam-macam suku, agama dan etnis.

4.2 Pembahasan

Dokumen terkait