• Tidak ada hasil yang ditemukan

Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film"

Copied!
126
0
0

Teks penuh

(1)

(ANALISIS RESEPSI INTERPRETASI PENONTON TERHADAP PLURALISME DALAM FILM)

SKRIPSI

DWI MAHLIZA ULFA

090904091

PROGRAM STUDI HUBUNGAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

(2)

(ANALISIS RESEPSI INTERPRETASI PENONTON TERHADAP PLURALISME DALAM FILM)

SKRIPSI

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara

DWI MAHLIZA ULFA

090904091

PROGRAM STUDI HUBUNGAN MASYARAKAT

DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK LEMBAR PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :

Nama : Dwi Mahliza Ulfa

NIM : 090904091

Departemen : Ilmu Komunikasi (HUMAS)

Judul Skripsi : Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film

(Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme

Dalam Film Cin(T)a)

Medan, Juli 2013

Dosen Pembimbing, Ketua Departemen,

Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm

NIP. 197711062005011001 NIP. 196208281987012001 Dra. Fatma Wardy Lbs, MA

Dekan FISIP-USU,

(4)

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip

maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika dikemudian

hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat), maka saya bersedia diproses

sesuai dengan hukum yang berlaku.

Nama : Dwi Mahliza Ulfa NIM : 090904091

Tanda Tangan :

(5)

Skripsi ini diajukan oleh :

Nama : Dwi Mahliza Ulfa

NIM : 090904091

Departemen : Ilmu Komunikasi (Humas)

Judul Skripsi : Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film

(Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap

Pluralisme Dalam Film Cin(T)a)

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

Majelis Penguji

Ketua Penguji : ( )

Penguji : ( )

Penguji Utama : ( )

Ditetapkan di :

(6)

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, Rabb semesta

alam, Pemilik Diri yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, telah

merancang skenario terindah dalam hidup peneliti, sehingga peneliti dapat

menyelesaikan skripsi ini. Serta tidak lupa pula shalawat dan salam kepada

Rasulullah Muhammad SAW yang telah menjadi teladan bagi kehidupan.

Penelitian skripsi ini berjudul “Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme

Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam

Film Cin(T)a)”, merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk

menyelesaikan program sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara.

Peneliti menyadari bahwa belajar adalah sebuah proses berkelanjutan yang

tak kenal henti hingga akhir hidup. Begitupun dengan skripsi ini adalah bagian

dari proses belajar peneliti, oleh karena itu peneliti menerima kritik dan saran

yang membangun agar skripsi ini menjadi lebih baik.

Peneliti berterima kasih kepada orangtua peneliti, ayahanda Hayat Dieng,

yang semangatnya dalam menghidupi keluarga menjadi motivasi terbesar bagi

peneliti untuk menyelesaikan jenjang pendidikan. Ibunda Parithoh Hanum, yang

tidak hanya menjadi ibu bagi peneliti, tapi juga menjadi teman bercanda dan

tempat berkeluh kesah. Terima kasih atas kesabaran kalian yang luar biasa dalam

menghadapi tingkah polah peneliti. Terima kasih atas dukungan, nasehat,

semangat dan do’a yang tiada putus-putusnya menemani peneliti hingga sampai di

titik ini. Ucapan terima kasih juga peneliti sampaikan untuk kakak dan adik

peneliti, Hilda Mahdianty dan Mhd. Nurul Ikhsan atas perhatian dan pengertian

yang telah banyak diberikan pada peneliti selama ini.

Pada akhirnya, skripsi ini juga tidak akan selesai dengan baik tanpa uluran

tangan dan keikhlasan setiap hati yang telah terikat karena-Nya. Terima Kasih

sedalam-dalamnya peneliti haturkan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Drs. Badaruddin, M.Si selaku Dekan FISIP Universitas

(7)

3. Ibu Dra. Dayana, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi

FISIP USU.

4. Bapak Drs. Safrin, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik peneliti.

5. Abangda Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm selaku Dosen Pembimbing

Skripsi yang dengan sabar telah membimbing, meluangkan waktu dan

memberi nasehat, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini

dengan baik.

6. Ketua LDIK, Kak Jovita Sabarina Sitepu, M.Si. Terima Kasih atas diskusi

dan sarannya yang telah banyak membantu peneliti memahami Studi

Analisis Resepsi.

7. Ibu Dr. Nurbani, M.Si, selaku kepala stasiun Radio USUKOM yang

banyak menasihati dan membimbing peneliti baik sebagai mahasiswa

maupun sebagai pribadi.

8. Seluruh Dosen Ilmu Komunikasi yang telah menuangkan ilmu, memberi

pengajaran, membuka mata dan wawasan, tidak hanya di bangku kuliah,

tetapi juga dalam diskusi sederhana.

9. Seluruh sahabat peneliti. Rebecka, Damai, Sarah, dan Rina yang tetap

konsisten dari awal hingga akhir perjuangan bergerilya bersama. Untuk

Wina dan Nisa yang senantiasa hadir dan selalu bisa diandalkan di saat

senang maupun susah. Dhana, Sheila, Yadi, bang Amir, Yasir yang

membawa warna baru dan tak segan berbagi banyak hal. Terkhusus untuk

Long Lasting Friends peneliti, Arifah, Devi, Faisal, Fajar, Annisa yang

selama hampir delapan tahun bermimpi dan berproses bersama menjadi

pribadi yang lebih baik. Terima kasih atas semua yang telah dilalui selama

(8)

10.Kak Windi Siregar, bang Rianda, kak Ande, Cessi, Icha, Agus, Wanda,

Melany, Audy, Wisnu, Apung, Endang, Pita, Ghina, Susan, Marjul, Adhe,

Hanna, Adin beserta rekan- rekan USUKOM lainnya yang telah menjadi

keluarga kedua bagi peneliti. Terima kasih atas tawa, omelan dan

dukungan yang kalian berikan.

11.Kak Icut, kak Maya dan seluruh staf Departemen Ilmu Komunikasi FISIP

USU yang telah membantu mengurus administrasi peneliti sejak masa

kuliah.

12.Kak Siti, bang Iqbal, kak Hanim dan kak Puan yang selalu menjadi tempat

diskusi paling tokcer. Terima kasih atas bantuan dan waktu yang telah

diluangkan.

13.Teman-teman Ilmu Komunikasi 2009, para senior dan junior. Terima

kasih atas kebersamaan yang telah dibangun. Semoga ilmu kita

benar-benar diaplikasikan di dunia nyata, bukan sekedar penghias ijazah saja.

14.Sahabat, keluarga, teman, yang tidak mungkin disebutkan satu per satu,

tapi yakinlah, setiap kebaikan dan keikhlasan, Allah akan membalasnya

dan mengumpulkan kita kembali, insya Allah, di syurgaNya kelak. Amin.

Akhir kata peneliti panjatkan doa dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala

kekuatan dan kemudahan yang telah diberikan. Peneliti berharap penelitian ini

dapat bermanfaat dan menjadi inspirasi agar pendidikan di Indonesia lebih baik di

masa yang akan datang.

Medan, Juli 2013

Peneliti

(9)

Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan

di bawah ini :

Nama : Dwi Mahliza Ulfa

NIM : 090904091

Departemen : Ilmu Komunikasi (Humas)

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas : Sumatera Utara

Jenis Krya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Ekslusif (Non-ekslusive

Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Interpretasi Penonton

Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton

Terhadap Pluralisme Dalam Film Cin(T)a), berserta perangkat yang ada (jika

diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non ekslusif ini Universitas Sumatera

Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk

pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa

meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis

atau pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan

Pada Tanggal : Juli 2013

Yang Menyatakan

(10)

Hadirnya film Cin(T)a pada tahun 2009 yang mengangkat cerita tentang percintaan dua muda mudi yang berasal dari keluarga dengan budaya dan keyakinan berbeda, menimbulkan banyak pro dan kontra di masyarakat. Film indie garapan Sammaria Simanjuntak ini dianggap menghidupkan kembali wacana pluralisme setelah MUI (Majelis Ulama Indonesia) memberikan fatwa haram pada tahun 2005. Adegan yang dimunculkan dalam film Cin(T)a menghadirkan gambaran unik seputar perbedaan dua tokohnya yang mewakili kelompok mayoritas dan minoritas di Indonesia, serta dikemas dengan dialog yang santai tanpa konflik, namun sarat akan makna.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana interpretasi penonton mengenai pluralisme yang ditampilkan dalam film Cin(T)a. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan analisis resepsi. Teori dasar yang digunakan adalah teori encoding-decoding yang dikemukakan oleh Stuart Hall tentang bagaimana khalayak memproduksi sebuah pesan dari suatu teks media. Proses tersebut akan menghasilkan makna yang tidak selalu sama karena dipengaruhi oleh kapasitas setiap penonton. Data diperoleh dari wawancara mendalam terhadap lima informan dengan latar belakang berbeda.

Hasil penelitian menunjukkan film Cin(T)a dimaknai oleh informan sebagai film yang menampilkan fenomena keragaman dan kemajemukan di Indonesia. Selain itu film ini juga mencoba menyampaikan pesan pluralisme serta toleransi melalui adegan dan dialog di dalamnya. Dalam proses konsumsi dan produksi makna terhadap film Cin(T)a, perbedaan latar belakang agama, sosial budaya, dan pengalaman informan menjadi faktor yang penting yang membedakan pemaknaan mereka.

(11)

Film Cin(T)a was launched on 2009, tells about the romance between two youths with different cultures and beliefs. This film raised a lot of pros and cons in public. This indie movie which filmed by Sammaria Simanjuntak, considered reviving the issue of pluralism after the MUI (Indonesian Ulama Council) gave haram fatwa in 2005. The scenes in film Cin(T)a present a unique overview about the differences between two characters who represent the majority and minority groups in Indonesia, and are packed with casual dialogues without conflict, but full of meanings.

The aims of this research is to see how the audiences interpretation of pluralism that they watched in film Cin(T)a. The Method used in this research is qualitative method, using analysis reception stated by Stuart Hall about how audiences produces a message from a media text. This process will produce different meaning, influenced by the capacity of each audience. Data is obtained from in-depth interview with five informants with different backgrounds.

The result showed that informants concluded film Cin(T)a as film which raised up the phenomenon of diversity and plurality in Indonesia. In addition the film also tried to convey the message of pluralism and tolerance through scenes and dialogue in it. When produces the meaning of film Cin(T)a, differences in religious background, socio-cultural, and the experience of informants becomes an important factor that distinguishes their meaning.

(12)

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v

ABSTRAK ... vii

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian ... 10

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 38

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 46

4.1.1 Sinopsis Film Cin(T)a ... 46

4.1.2 Latar Belakang Informan ... 47

4.1.3 Interpretasi Penonton ... 45

4.1.3.1 Interpretasi terhadap Film Cin(T)a ... 55

4.1.3.2 Pengetahuan Seputar Pluralisme ... . 68

4.2 Pembahasan ... 75

(13)
(14)

Nomor Judul Halaman

2. 1 Ilustrasi Proses Interpretasi ... 26

2. 2 Model Teoritik ... 37

3. 1 Metode Snowball Sampling ... 40

(15)

Hadirnya film Cin(T)a pada tahun 2009 yang mengangkat cerita tentang percintaan dua muda mudi yang berasal dari keluarga dengan budaya dan keyakinan berbeda, menimbulkan banyak pro dan kontra di masyarakat. Film indie garapan Sammaria Simanjuntak ini dianggap menghidupkan kembali wacana pluralisme setelah MUI (Majelis Ulama Indonesia) memberikan fatwa haram pada tahun 2005. Adegan yang dimunculkan dalam film Cin(T)a menghadirkan gambaran unik seputar perbedaan dua tokohnya yang mewakili kelompok mayoritas dan minoritas di Indonesia, serta dikemas dengan dialog yang santai tanpa konflik, namun sarat akan makna.

Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana interpretasi penonton mengenai pluralisme yang ditampilkan dalam film Cin(T)a. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan analisis resepsi. Teori dasar yang digunakan adalah teori encoding-decoding yang dikemukakan oleh Stuart Hall tentang bagaimana khalayak memproduksi sebuah pesan dari suatu teks media. Proses tersebut akan menghasilkan makna yang tidak selalu sama karena dipengaruhi oleh kapasitas setiap penonton. Data diperoleh dari wawancara mendalam terhadap lima informan dengan latar belakang berbeda.

Hasil penelitian menunjukkan film Cin(T)a dimaknai oleh informan sebagai film yang menampilkan fenomena keragaman dan kemajemukan di Indonesia. Selain itu film ini juga mencoba menyampaikan pesan pluralisme serta toleransi melalui adegan dan dialog di dalamnya. Dalam proses konsumsi dan produksi makna terhadap film Cin(T)a, perbedaan latar belakang agama, sosial budaya, dan pengalaman informan menjadi faktor yang penting yang membedakan pemaknaan mereka.

(16)

Film Cin(T)a was launched on 2009, tells about the romance between two youths with different cultures and beliefs. This film raised a lot of pros and cons in public. This indie movie which filmed by Sammaria Simanjuntak, considered reviving the issue of pluralism after the MUI (Indonesian Ulama Council) gave haram fatwa in 2005. The scenes in film Cin(T)a present a unique overview about the differences between two characters who represent the majority and minority groups in Indonesia, and are packed with casual dialogues without conflict, but full of meanings.

The aims of this research is to see how the audiences interpretation of pluralism that they watched in film Cin(T)a. The Method used in this research is qualitative method, using analysis reception stated by Stuart Hall about how audiences produces a message from a media text. This process will produce different meaning, influenced by the capacity of each audience. Data is obtained from in-depth interview with five informants with different backgrounds.

The result showed that informants concluded film Cin(T)a as film which raised up the phenomenon of diversity and plurality in Indonesia. In addition the film also tried to convey the message of pluralism and tolerance through scenes and dialogue in it. When produces the meaning of film Cin(T)a, differences in religious background, socio-cultural, and the experience of informants becomes an important factor that distinguishes their meaning.

(17)

1.1 Konteks Masalah

Pembahasan pluralisme di Indonesia selalu menjadi pembicaraan yang

hangat.Hal ini dikarenakan kondisi alamiah Indonesia yang berbeda-beda dari

segala aspek mulai dari kondisi geografis, suku, bahasa, warna kulit, dan

agama.Untuk itulah semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara de facto menjadi

cerminandari perbedaan Indonesia.Wilayah negara yang terbentang luas dari

Sabang sampai ke Merauke, memiliki sumber daya alam (natural resources) yang

melimpah seperti untaian zamrud di khatulistiwa dan juga sumber daya budaya (cultural resources) yang beraneka ragam bentuknya.

Di dalam penelitian etnologis misalnya, diketahui bahwa Indonesia terdiri

atas kurang lebih 600 suku bangsa dengan identitasnya masing-masing serta

kebudayaannya yang berbeda-beda. Selain dari kehidupan suku-suku tersebut

yang terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu, terjadi pula konsentrasi

suku-suku di tempat lain karena migrasi atau karena mobilisasi penduduk yang cepat.

Melalui sensus BPS tahun 2010 tercatat 1.340 suku bangsa di Indonesia dengan

jumlah total penduduk 237.556.363 jiwa sebagai warga negara.

Secara etimologi pluralisme merupakan kata serapan dari bahasa Inggris

yang terdiri dari dua kata, yakni, plural yang berarti ragam dan isme yang berarti

paham.Jadi pluralisme bisa diartikan sebagai berbagai paham atau

bermacam-macam paham. Sedangkan dalam Webster’s Third International Dictionary

pluralisme didefinisikan sebagai berikut:

(1)”a state of society in which members of diverse ethnic, religious, racial, or social groups maintain an autonomous participation in and development of their traditional culture or special interest within the confines of a common civilization;[and] (2) A concept, doctrine, or policy advocating this state”(Ghazali, 2009: 180)

Berdasarkan pengertian di atas, pluralisme didefinisikan sebagai sebuah

keadaan masyarakat di mana anggota suatu etnis, agama, ras atau kelompok sosial

(18)

tradisional mereka ataupun minat khusus dalam batas-batas peradaban

umum.Selain itu pluralisme juga diartikan sebagai sebuah konsep, doktrin atau

kebijakan untuk menyokong keadaan ataupun situasi masyarakat yang beragam.

Latar belakang munculnya gerakan pluralisme adalah sebagai akibat reaksi

dari tumbuhnya klaim kebenaran oleh masing-masing kelompok terhadap

pemikirannya sendiri. Persoalan klaim kebenaran inilah yang dianggap sebagai

pemicu lahirnya radikalisasi agama, perang dan penindasan atas nama agama.

Karenanya, para penggiat gerakan ini mengharapkan paham pluralisme dapat

menjadi penawar dari berbagai konflik dalam wacana keberagaman terutama

persoalan agama.

Indonesia dengan segala kekayaan adat istiadat, suku dan agamanya pun

tidak luput dari terpaan paham pluralisme ini.Tidak sedikit masyarakat yang

mendukung, karena pluralisme dianggap dapat menjembatani segala perbedaan

yang ada dan menumbuhkan sikap toleransi antar berbagai kelompok, sehingga

dapat meminimalisir adanya potensi konflik.Konflik horizontal adalah bukti nyata

kurangnya kesadaran maupun kemampuan masyarakat dalam menyikapi

perbedaan dan keragaman secara bijak.

Di indonesia sendiri konflik horizontal bukanlagi menjadi hal yang asing

ataupun baru. Mengingat bahwa heterogenitas bangsa Indonesia baik suku,

agama, etnis maupun budaya adalah sesuatu yang tak terbantahkan, maka konflik

dan perpecahan juga tidak bisa terhindarkan.Konflik horizontal yang terjadi kini

tengah menyebar hampir di setiap pulau besar di Indonesia. Mulai dari Timika,

Ambon, Poso, Bima, Flores Timur, Sampit, Sampang, Cikeusik, Tumenggung,

Lampung Selatan, hingga Aceh pernah menjadi saksi bisu pecahnya kerusuhan

antar warga tersebut.

Penyebab dan akar permasalahan tiap konflik horizontal

jugaberagam.Mulai dari etnosentrisme, wilayah kekuasaan, kecemburuan sosial

hingga yang paling sering muncul adalah masalah agama dan kepercayaan.Tidak

mengherankan jika paham pluralisme bagi sejumlah orang disambut hangat

dandianggap menjadi angin segar yang diharapkan dapat meredakan konflik di

(19)

Namun seiring berjalannya waktu, pengertian pluralisme telah banyak

mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan perubahan zaman.Salah satu

perkembangan definisi dari pluralisme yang lebih spesifik adalah seperti yang

diungkapkan oleh John Hick. Pada artikel pluralisme dalam Religious Research,

John Hick menuliskan konflik horizontal antar pemeluk agama hanya akan selesai

jika masing-masing agama tidak menganggap bahwa ajaran agama mereka yang

paling benar. Ia mengatakan bahwa semua agama sama efektifnya, atau sama

tidak efektifnya, dalam memandu dan mendorong para pengikutnya mengubah

haluan kehidupan mereka dari ‘ingat diri sendiri’ ke ‘ingat akan Yang

Lain’.Menurutnya itulah tujuan akhir dari gerakan pluralisme; untuk

menghilangkan keyakinan akan klaim kebenaran agama dan paham yang dianut,

dan menganggap yang lain salah.Ia pun mengasumsikan pluralisme sebagai

identitas kultural, kepercayaan dan agama yang harus disesuaikan dengan zaman

modern, karena agama-agama tersebut akan berevolusi menjadi satu (Knitter,

2008: 134-145).

Selain itu, dalam makalah Muhammad Nurdin Salim dengan judul Telaah

Kritis Pluralisme Agama, John Hick menganalogikan agama-agama yang ada di

dunia dengan matahari dan planet.Dia menyatakan bahwa Kristen dan

agama-agama lainnya “mengelilingi” tuhan, seperti planet planet mengelilingi

matahari.Karenanya ia menyarankan agar manusia berpindah dari sentralitas

agama menuju sentralitas tuhandan menegaskan bahwa Kristen bukanlah agama

yang paling benar. Begitu juga agama dan kepercayaan lain belum tentu lebih

baikdari agamaKristen.

Perkembangan definisi pluralisme juga terjadi di Indonesia. Ulil Abshar

Abdalla dalam wawancaranya dengan Gatra, Desember 2002 mengatakan:

“Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran.Jadi, Islam bukan yang paling benar”.

Bahkan dalam artikelnya yang berjudul “Menyegarkan Kembali

Pemahaman Islam” di harian Kompas, November 2002, ia menulis sebagai

berikut:

(20)

berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.”

Hal inilah yang mengundang protes keras serta penolakan dari para

pemuka dan organisasi keagamaan.Di Indonesia khususnya, dominasi penolakan

dan perdebatan seputar pluralisme tersebut datang dari kaum fundamentalis Islam

dan Kristen.Mereka mencurigai adanya bahaya pluralisme yang dianggap sebagai

agendadari pihak-pihak tertentu.Menurut mereka, pluralisme akan memudahkan

terjadinya proses liberalisme sosial politik, sehingga menyebabkan wilayah

agamapun pada gilirannya dipaksa harus membuka diri untuk diliberalisasikan.

Melalui paham pluralisme tersebut wilayah yuridiksi serta nilai-nilai

keagamaanakan direduksi, dimarjinalkan dan didomestikkan sedemikian rupa.

Sehingga pada akhirnya hanya boleh beroperasi disisi kehidupan manusia yang

paling pribadi.

Perbedaan dalam memaknai pluralisme ini akhirnya membawa kepada

perdebatan dan pertentangan dua kubu.Satu memperjuangkan toleransi, satu

membela kemurnian.Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa inti polemik

selama ini terletak pada perbedaan interpretasi kata pluralisme itu sendiri.Maka

wajarlah pluralisme mendapat dukungan sekaligus penolakan karena maknanya

sendiri masih bias dan belum mampu dirumuskan dengan pemahaman yang satu.

Media massa dalam masyarakat pluralis memainkan peranan yang sangat

signifikan, baik dalam hal penyebarluasan informasi kepada khalayak maupun

dalam hal penumbuhan citra (image building). Dengan kedua muatan ini, media

massa bekerja dan mengembangkan wacana. Pengembangan wacana oleh media

massa dapat diamati melalui bagaimana bentuk-bentuk isi media seperti berita,

film, musik ataupun sinetron yang dikemas ke dalam konstruksi tertentu yang

dalam konteks masyarakat pluralis melibatkan berbagai persoalan penting seperti

suku bangsa, budaya dan agama.

Film adalah salah satu media komunikasi massa yang sangat besar

pengaruhnyaterhadap masyarakat. Film juga merupakan bentuk pesan yang terdiri

dari berbagai tandadan simbol yang membentuk sebuah sistem makna sehingga

bisa diinterpretasikan olehorang secara berbeda-beda, tergantung kepada referensi

(21)

sebagai media yang merefleksikan realitas atau bahkan membentuk realitas.Film mengkomunikasikan pesan dari pembuat film (film maker) kepada penonton

(audience).

Sebagai sebuah media, film tentunya mewakili pandangan-pandangan

yang dimiliki oleh kelompok tertentu, termasuk ideologi serta gagasan yang

dibawa oleh kelompok tersebut.Hal ini menjadi sangat esensial, karena dalam

penyampaiannya, film menyampaikan ideologi dengan lebih halus serta memiliki

unsur paksaan.Hal itu dikarenakan ketika kita menonton film, komunikasi yang

terjadi lebih bersifat satu arah. Kita sebagai penonton akan disuguhi berbagai

macam informasi yang ada dan ditampilkan dalam film sehingga tanpa sadar

diharuskan untuk ‘menelan’ segala macam informasi yang disajikan dalam film

tersebut. Lebih tepatnya pesan-pesan bermuatan ideologis yang berasal dari

pembuatnya.

Film kerap digunakan sebagai penyebar berbagai kepentingan dan ideologi

karena dianggap memiliki jangkauan, realisme, pengaruh emosional dan

popularitas yang hebat.Film merupakan media yang paling cepat ditangkap oleh

khalayak karena sifatnya yang audio visual.Oleh karena itu, pesan-pesan yang

terdapat pada film akan dengan mudah ditangkap oleh khalayak dan

diinterpretasikan.

Dalam aspek jangkauan, film mampu menjangkau jutaan (bahkan puluhan

juta) audiens didunia dalam waktu yang sangat singkat.Disamping itu, film juga

memiliki kemampuan untuk memanipulasi realitas (kenyataan) yang sebenarnya

dalam bentuk efek-efek videografi tanpa kehilangan kredibilitasnya.

Dunia perfilman saat ini telah mampu merebut perhatian masyarakat.

Lebih-lebih setelah berkembangnya teknologi komunikasi massa yang dapat

memberikan konstitusi bagi perkembangan dunia perfilman. Meskipun masih

banyak bentuk-bentuk media massa lainnya, film memiliki efek eksklusif bagi

para penontonnya. Dari puluhan sampai ratusan penelitian berkaitan dengan efek

media massa film bagi kehidupan manusia, sehingga harus disadari media mampu

mempengaruhi pikiran, sikap, dan tindakan penonton.

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk yang sangat

(22)

individu.Film yang disajikan di layar lebar kini juga telah banyak disesuaikan

dengan fenomena yang terjadi di masyarakat kita. Film Cin(T)a adalah salah

satunya.

Cin(T)aadalah sebuah film produksi Moonbeam Creationdan Sembilan

Matahari Filmdi tahun 2009. Film ini menyentuh persoalan yang cukup sensitif,

yaitumenyangkut percintaan yang dibalut dengan perbedaan agama.Film indie

yangdisutradarai oleh Sammaria Simanjuntak dan pernah mendapatkehormatan

untuk diputar di NationalFilm Theater – British Film Institute London ini, berani

menampilkan beberapa testimoni dari pasanganbeda agama yang menjelaskan

keharmonisan mereka walaupun hidupdengan memegang keyakinan

masing-masing, sehingga menambah daya tarik tersendiri dari film ini.

Film yang meraih penghargaan skenarioasli terbaik pada Festival Film

Indonesia (FFI) ini, juga mencoba menyampaikan pesan-pesan yang menarik

mengenai pluralisme, khususnya pluralisme agama.Pesan-pesan tersebut tertuang

jelas dalam setiap adegan dan percakapan dalam film ini. Sebagai contoh, di salah

satu adegan saat Annisa dan Cina sedang makan bersama, doa yang Annisa baca

sebelum makan adalah “Tuhan yang disebut dengan berbagai nama, dan disembah

dengan berbagai cara”. Hebatnya lagi, film ini tidak segan menampilkan

penggalan dialog yang secara jelas menggugat Tuhan seperti "Kenapa Tuhan

nyiptain kita beda-beda kalau Tuhan hanya ingin disembah dengan satu cara?".

Selama 79 menit film ini membahas secara gamblang perbedaan antara

Cina dan Annisa.Cina (diperankan oleh Sunny Soon) adalah mahasiswa baru

ber-etnis Batak Cina. Cina tumbuh menjadi seorang remaja yang lugu tapi ia yakin

bisa mewujudkan impiannya dengan modal tekad yang kuat. Annisa (diperankan

oleh Saira Jihan), mahasiswi muslimah 24 tahun ber-etnis Jawa yang kuliahnya

terhambat oleh kariernya di industri perfilman. Ketenaran dan kecantikan

membuatnya kesepian,sehingga ia bersahabat dengan jari bermuka sedih, yaitu

teman imajiner yang ia ciptakan.

Dialog-dialog mengenai konsep Tuhan menurut sudut pandang Cina dan

Anissa yang dalam film ini dinyatakan sebagai the unpredictable character

dikemas dengan dialog yang santai tanpa konflik, namun sarat makna.Hal yang

(23)

banyaknya pro dan kontra mengenai pluralisme.Apalagi setelahMUI (Majelis

Ulama Indonesia) memberikan fatwa haram terhadap pluralisme padatahun 2005

yang lalu.

Film ini layak diteliti karena beberapa keunikan yang dimilikinya.Tema

yang diangkat masih jarang ditemui pada film-film kebanyakan.Berani menyentuh

ranah pluralisme, khususnya pluralisme agama yang di Indonesia sendiri masih

tabu untuk memperbincangkannya.

Walau sekarang mulai muncul beberapa film dengan genre serupa seperti

3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta (2010), Tanda Tanya (2011), dan yang terbaru Cinta

Tapi Beda (2012) tidak serta merta mengurangi nilai film ini. Film Cin(T)a tetap

menyajikan pesan pluralisme secara berbeda. Hal ini bisa terlihat dari dari

pengemasan film yang menggunakan dua konsep sinematografi

(http://www.godisadirector.com).

Konsep pertama, mengingat keberadaan Tuhan sangat subjektif pada

setiap orang, Sammaria meletakkan penonton pada 'sudut pandang Tuhan'.Reaksi

penonton pada film mencerminkan persepsi penonton itu sendiri tentang

Tuhan.Konsep kedua, Sammaria menggunakan konsep ‘dunia hanya milik berdua,

sedangkan yang lainoff - frame.’Terlihat dengan hanya ditampilkannya dua

pemeran utama di setiap scene, walaupun ada figuran hanya ditampilkan suaranya

saja sedangkan wajah mereka selalu disembunyikan.Di satu sisi film ini juga tidak

‘banjir’ romansa dan merupakan pelopor film dengan tema ’beda agama’.

Kehadiran film ini juga serta merta ‘menyentil’ masyarakat Indonesia

yang mulai nyaman dengan bauran perbedaan sejak digadang oleh Gus Dur di

masa pemerintahannya.Wacana pluralisme yang mulai ‘dingin’, kembali

memanas hingga menuai perdebatan dan kontroversi di tengah masyarakat.Perlu

disadari bahwa perdebatan yang terjadi, bermuara dari perbedaan memaknai

pluralisme itu sendiri.

Berbicara mengenai film, pasti berkaitan dengan penonton yang memaknai

maksud, bahasa, maupun ideologi yang disampaikan. Teks media mendapatkan

makna hanya pada saat penerimaan (resepsi), yaitu pada saat mereka dibaca,

dilihat dan didengarkan. Dengan kata lain, penonton dilihat sebagai produser

(24)

teks media sesuai dengan latar belakang budaya dan pengalaman subyektif yang

mereka alami dalam kehidupan. Sehingga satu teks media akan menimbulkan

banyak makna dalam sebuah teks yang sama. Setiap teks mengandung ideologi

yang menjadikan pentingnya kajian resepsi. Atas dasar inilah peneliti tertarik

melakukan penelitian mengenai interpretasi penonton terhadap pluralisme dalam

film Cin(T)a.

1.2 Fokus Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai

berikut: “Bagaimanakah Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film

Cin(T)a ?”

1.3 Pembatasan Masalah

Pembatasan masalah ditujukan agar ruang lingkup dapat lebih jelas,

terarah serta tidak mengaburkan penelitian. Adapun pembatasan masalah yang

akan diteliti adalah:

1. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan studi

analisis resepsi.

2. Penelitian ini terbatas hanya pada orang-orang yang pernah menonton film

Cin(T)a.

3. Penelitian ini akan mulai dilakukan pada bulan Februari 2013 hingga

selesai.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui interpretasi yang

diberikan penonton terhadap pluralisme dalam film Cin(T)a.

1.5Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah:

1. Secara teoritis, penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah

peneliti dan pembaca mengenai kajian resepsi.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

(25)

3. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada Depertemen

Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian dan

(26)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1Paradigma Kajian

Salah satu dari banyak hal yang sangat memengaruhi dan membentuk ilmu

dan teori adalah paradigma (paradigm). Thomas Khun dikenal sebagai orang

pertama yang mempopulerkan istilah paradigma ini.Paradigma atau dalam bidang

keilmuan sering disebut sebagai perspektif (perspective), terkadang disebut

mazhab pemikiran (school of thought) atau teori. Paradigma secara sederhana

dapat diartikan sebagai kaca mata atau cara pandang untuk memahami dunia

nyata. Dalam hal ini, Patton berpendapat bahwa:

“A paradigm is a world view, a generalperspective, a way of breaking down the complexity of the real world. As such,paradigms are deeply embedded in the socialization of adherents and practitioners:paradigms tell them what is important, legitimate, and reasonable. Paradigms are alsonormative, telling the practitioner what to do without the necessity of long existential orepistemological consideration. But it is this aspect of paradigms that constitutes boththeir strength in that it makes action possible, their weakness in that the very reason foraction is hidden in the unquestioned assumptions of the paradigm” (Mulyana, 2002: 9).

Paradigma penelitian kualitatif adalah model penelitian ilmiah yang

meneliti kualitas-kualitas objek penelitian seperti misalnya; nilai, makna, emosi

manusia, penghayatan religius, keindahan suatu karya seni, peristiwa sejarah,

simbol-simbol atau artefak tertentu.Kualitas-kualitas itu harus dinilai atau diukur

berdasarkan pendekatan tertentu, misalnya menggunakan pendekatan

hermeneutika, semiotika, analitika bahasa, verstehen, dan metode lainnya yang

sesuai dengan objek penelitian. Penelitian kualitatif menghindari metode

matematis karena yang diukur adalah nilai (value) yang muncul dari objek

penelitian yang bersifat khusus, khas, unik bahkan sangat spesifik dan selalu

mengandung meaning.

Paradigma sangat penting perannya dalam memengaruhi teori, analisis

maupun tindak perilaku seseorang. Secara tegas boleh dikatakan bahwa pada

(27)

objektiv, melainkan salah satu di antaranya sangat tergantung pada paradigma

yang digunakan. Karena menurut Thomas Khun (dalam Mulyana, 2002: 10)

paradigma menentukan apa yang tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat, dan tidak

ingin kita ketahui. Paradigma pula yang memengaruhi pandangan seseorang apa

yang baik dan buruk, adil dan yang tidak adil. Oleh karena itu, jika ada dua orang

yang melihat sesuatu realitas sosial yang sama, atau membaca ayat dari suatu

kitab suci yang sama, akan menghasilkan pandangan, penilaian, sikap dan

perilaku yang berbeda pula. Perbedaan ini semuanya dikarenakan perbedaan

paradigma yang dimiliki, yang secara otomatis memengaruhi persepsi dan tindak

komunikasi seseorang.

Oleh karena tidak adanya paradigma, model dan sudut pandang yang

diterima secara universal, semua interpretasi yang beraneka ragam dan sering

tidak konsisten itu sama-sama absah. Keragaman paradigma berguna karena hal

itu memberikan berbagai perspektif mengenai fenomena yang sama. Agar metode

disebut ilmiah, kita harus dapat memahami apa yang kita lakukan, dan bagaimana

kesimpulan yang kita peroleh. Berdasarkan kriteria ini, hampir semua metode

bersifat ilmiah bila peneliti dapat mempertahankan pengamatan dan hasilnya

secara sistematis dan teratur karena ada kejelasan panduan, antara lain

memperhatikan tingkat kepercayaan data dan tafsiran, serta keterbukaan terhadap

publik.

Bagi ilmu sosial, keistimewaannya justru terdapat pada keanekaragaman

perspektifnya. Objek ilmu – ilmu alam (yang statis, tidak punya kemauan bebas)

memang berbeda dengan objek ilmu sosial, yakni manusia, yang mempunyai jiwa

dan kemauan bebas. Persaingan paradigma dalam disiplin komunikasi, misalnya,

antara lain disebabkan rumitnya fenomena komunikasi. Frank Dance mengakui

(dalam Mulyana, 2002: 17), disiplin komunikasi tidak punya grand theories,

sejumlah teori parsial, dan banyak teori yang partikularistik, berdasarkan alasan

berikut.

a. Sifat prosesual komunikasi yang menyulitkan prediksi.

b. Sifat komunikasi yang hadir di mana – mana membuat penjelasan

menjadi sulit.

(28)

d. Kekuatan dan pelecehan yang berasal dari perdebatan para digmatik.

e. Persaingan antara disiplin – disiplin yang berkaitan.

Sejak abad pencerahan sampai era globalisasi ini, ada empat paradigma

ilmu pengetahuan sosial dalam mengungkap hakekat realitas atau ilmu

pengetahuan yang berkembang dewasa ini. Keempat paaradigma itu ialah:

positivisme, postpositivisme, konstruktivisme (constructivism) dan teori kritik

(critical theory).

Perbedaan paradigma ini bisa dilihat dari cara mereka memandang realitas

dan melakukan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan, ditinjau dari tiga aspek pertanyaan: ontologis(asumsi tentang realitas), asumsi epistemologis (asumsi

tentang relasi antara peneliti dan yang diteliti), dan asumsi metodologis (asumsi

tentang cara/proses peneliti memperoleh pengetahuan).

Thomas Schwandt tentang pendekatan konstruktivis dan interpretivis

dalam Handbook of Qualitative Research, mengidentifikasi perbedaan dan aliran

pemikiran utama yang ada dalam kedua pendekatan ini, yang dipersatukan oleh

penentangan keduanya terhadap positivisme dan komitmennya untuk mempelajari

dunia dari sudut pandang individu yang berinteraksi. Namun kedua perspektif ini,

seperti yang diyakini oleh Schwandt, lebih dibedakan oleh komitmennya pada

soal-soal tentang cara mengetahui ( epistemologi ) dan wujud ( ontologi ) daripada

oleh metodologi spesifiknya, yang pada dasarnya menegakkan pendekatan emik

dan idiografik terhadap penelitian(Denzin & Lincoln, 2009 : 124).

2.1.1 Paradigma Interpretivisme

Interpretivisme dibentuk oleh ide-ide yang muncul dari tradisi

hermeneutika intelektual Jerman dan tradisi Verstehen dalam sosiologi,

fenomenologi Alfred Schutz, dan kritik-kritik terhadap saintisme dan positivisme

dalam ilmu sosial yang dipengaruhi oleh tulisan para filsuf bahasa yang

mengkritik empirisisme logis (misalnya, Peter Winch, A.R. Louch, Isaiah Berlin).

Secara historis, paling tidak para interpretivis menegaskan kekhasan penelitian

manusia. Mereka menyatakan berbagai penolakan terhadap interpretasi

naturalistik atas ilmu sosial (yakni pandangan bahwa tujuan dan metode ilmu

sosial identik dengan tujuan dan metode ilmu alam). Mereka menyatakan bahwa

(29)

berbeda dengan ilmu alam (Naturwissenschaften). Tujuan ilmu alam adalah untuk memberikan penjelasan ilmiah (Erklaren), sedangkan tujuan ilmu jiwa dan

budaya adalah memahami atau mengetahui (Verstehen) “makna” fenomena sosial

(Denzin & Lincoln, 2009: 148).

Kalangan interpretivis berupaya mempertahankan antagonisme antara

subjektivitas dan objektivitas, subjektivikasi (keterlibatan) dan objektivikasi

(internalisasi nilai-nilai). Mereka mempertahankan kelestarian dan signifikansi

dunia riil orang pertama, yakni pengalaman subjektif. Namun dalam gaya

Cartesian sejati, mereka berusaha melepaskan diri dari pengalaman tersebut dan

mengobjektivikasikannya. Mereka berusaha menarik batas antara objek penelitian

dengan peneliti.Dengan demikian, paradoks terkait dengan bagaimana

membangun ilmu pengetahuan interpretif objektif mengenai pengalaman subjektif

manusia pun muncul. Perjuangan untuk mensintesiskan subjektivitas

fenomenologis dan objektivitas ilmiah tampak dalam upaya Wilhelm Dilthey

untuk menemukan dasar bagi penelitian ilmiah tentang makna, dalam usaha Max

Weber untuk menghubungkan interpretasi makna dengan penjelasan-penjelasan

kausal dan memisahkan fakta dengan nilai dalam penelitian sosial, dan dalam

analisis Alfred Schutz tentang mekanisme Verstehen (Denzin & Lincoln, 2009:

148).

Para penerus teoritis kontemporer dari para pendiri interpretivis ini telah

memusatkan perhatian mereka kepada paradoks tersebut dengan beberapa cara.

Hammersley merupakan wakil dari para kalangan pakar interpretivis yang

mengupayakan sintetis antara realisme dengan konstruktivisme sosial.LeCompte

dan Preissle (1993) serta Kirk dan Miller (1986) mengandalkan metode sebagai

strategi untuk mengeliminasi kekeliruan. John K. Smith menyebutnya dengan

metodologi “jalan tengah”. Para penganjur solusi ini berpendapat bahwa

meskipun ide-ide tentang objektivitas, penjarakan dan hambatan metodologis

sebagaimana yang didefinisikan oleh kaum empiris adalah sebuah fiksi, penelitian

interpretif harus dibuat lebih sistematisdan lebih menyeluruh (rigorous).

Alasannya disini adalah bahwa meskipun metode tidak dapat menghilangkan

(30)

menjadi kriteria yang dapat digunakan untuk memutuskan bahwa sejumlah hasil

lebih objektif daripada yang lain (Bryman, 2008: 17).

Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subjektif dari social world dan

berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya.

Jadi, fokus pendekatan interpretif ini terletak pada arti individu dan persepsi

manusia terhadap realitas, bukan pada realitas independen yang berada di luar

mereka. Menurut Alfred Schutz, manusia secara terus-menerus menciptakan

realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi dengan yang lain. Tujuan

pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis realita sosial semacam ini

dan bagaimana realita sosial itu terbentuk. Untuk memahami sebuah lingkungan

sosial yang spesifik, peneliti harus menyelami pengalaman subjektif para

pelakunya. Penelitian interpretif tidak menempatkan objektivitas sebagai hal

terpenting, tetapi mengakui bahwa demi memperoleh pemahaman mendalam,

maka subjektivitas para pelaku harus digali sedalam mungkin. Hal ini

memungkinkan terjadinya trade off antara objektivitas dan kedalaman temuan

penelitian. Pendekatan interpretif mengajak untuk menggunakan logika reflektif

di samping logika induktif dan deduktif serta logika materil dan logika

probabilistik. Pendekatan interpretif tidak ingin menampilkan teori dan konsep

yang bersifat normatif atau imperatif, tetapi mengangkat makna etika dalam

berteori dan berkonsep (Sumaryono, 1999: 23).

Karena mereka memusatkan perhatian kepada makna sebagai sesuatu yang

primer, kalangan interpretivis menafsirkan dunia realitas sosial secara sangat

berbeda dengan kalangan pakar yang mendukung kerangka kerja ilmu sosial

empiris. Di mata kaum empiris, realitas sosial terdiri atas serangkaian fakta sosial

yang meliputi tindakan kasat mata (perilaku) para individu yang dapat dijelaskan

secara fisik atau institusional dan kepercayaan–kepercayaan, keadaan-keadaan

afektif dan seterusnya yang menjelaskan motivasi-motivasi tindakan. Kedua jenis

fakta ini dianggap sebagai data kasar, yakni data yang dapat diidentifikasi dan

diverifikasi sedemikian rupa sehingga tidak lagi membutuhkan interpretasi.

Dengan cara ini, kaum empiris menjelaskan perilaku manusia sekaligus makna

(31)

Pandangan-pandangan interpretivis berpijak pada asumsi bahwa gambaran

realitas sosial kaum empiris menghilangkan sesuatu yang sangat penting, yaitu

makna-makna umum serta intersubjektif, yakni cara-cara mewujudkan tindakan

dalam masyarakat yang diekspresikan dalam bahasa dan deskripsi-deskripsi yang

membentuk institusi dan praktik. Oleh karena itu, kalangan konstruktivis dan

interpretivis secara umum memfokuskan diri pada proses-proses yang

menciptakan, menegosiasikan, mempertahankan dan memodifikasi makna-makna

tersebut dalam sebuah konteks spesifik tindakan manusia. Sarana-sarana atau

proses-proses yang mengantarkan peneliti kepada interpretasi tindakan manusia

(sekaligus akhir atau tujuan proses-proses tersebut) inilah yang disebut Verstehen

atau pemahaman (Bryman, 2008: 16).

2.1.2 Analisis Resepsi

Menurut Stanley J. Baran (2003), analisis resepsi memfokuskan pada

perhatian individu dalam proses komunikasi massa (decoding), yaitu pada proses

pemaknaan dan pemahaman yang mendalam atas media texts dan bagaimana

individu menginterpretasikan isi media (Hadi, 2009: 3). Hal ini bisa diartikan

individu secara aktif menginterpretasikan teks media dengan cara memberikan

makna atas pemahamannya sesuai apa yang dilihatnya dalam kehidupan

sehari-hari.

Dalam sejarah riset audiens, reception studies mulai berkembang pada

awal 1980-an di Eropa. Dalam kajian komunikasi, reception studies biasanya

dipakai sebagai salah satu alternatif dalam riset audiens. Kemunculan reception studies bukan sebagai reaksi terhadap metode survey dalam riset audiens,

melainkan lebih sebagai alternatif dari metode analisis teks dalam studi media.

Kedua metode tersebut sama-sama memakai pendekatan kualitatif dan sama-sama

berupaya menemukan makna pesan melalui penelitian. Perbedaannya adalah,

dalam analisis teks media, makna temuan penelitian dicapai melalui pemaknaan

atas teks oleh peneliti; sementara dalam reception studies, makna yang ditemukan

merupakan hasil pemaknaan pesan atau teks media oleh audiens yang diteliti.

Mereka yang merintis metode ini dalam studinya beranggapan bahwa para

peneliti analisis teks media (termasuk pemakai semiotika) terlalu percaya akan

(32)

bahwa pemaknaan teks media yang dianggap penting untuk dipelajari adalah

pemaknaan teks media oleh audiens, dan bukan pemaknaan teks oleh peneliti

(Littlejohn & Foss, 2009: 65-67).

Reception analysis adalah metode yang merujuk pada sebuah komparasi

antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak, yang hasil

interpretasinya merujuk pada konteks, seperti cultural setting dan context atas isi

media lain. Khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive yang

selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna, tidak hanya

sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi

oleh media massa (Hadi, 2007: 16).

Analisis resepsi mempertanyakan metodologi penelitian sosial ilmiah

empiris dan juga studi humanistik isi media karena keduanya tidak mampu atau

tidak mengindahkan kemampuan khalayak dalam memberikan makna pada pesan

-pesan media. Inti dari pendekatan resepsi ini terletak pada atribusi dan konstruksi

makna (yang didapat dari media) oleh khalayak. Pesan media senantiasa polisemi

dan harus ditafsirkan.

Pendekatan studi analisis resepsi digunakan karena pada dasarnya audiens

aktif meresepsi teks dan tidak dapat lepas dari pandangan moralnya, baik pada

taraf mengamati, meresepsi atau dalam membuat kesimpulan. Penelitian resepsi

mendasarkan pada kesadaran atau cara subyek dalam memahami obyek dan

peristiwa dengan pengalaman individu. Analisis resepsi dapat melihat mengapa

khalayak memaknai sesuatu secara berbeda, faktor-faktor psikologis dan sosial

apa yang mempengaruhi perbedaan tersebut, dan konsekuensi sosial apa yang

muncul.

Pendekatan ini berasumsi bahwa makna media adalah sesuatu yang tidak

kaku. Konstruksi makna itu terjadi melalui interpretasi khalayak terhadap teks

media. Premis dari analisis resepsi adalah bahwa teks media mendapatkan makna

pada saat peristiwa penerimaan dan bahwa khalayak secara aktif memproduksi

makna dari media dengan menerima dan menginterpretasikan teks-teks sesuai

posisi-posisi sosial dan budaya mereka. Dengan kata lain pesan-pesan media

secara subjektif dikonstruksikan khalayak secara individual. Latar belakang yang

(33)

kehidupan individu khalayak dan pengalamannya bersama media. Dalam hal ini

dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara latar belakang khalayak dengan

bagaimana ia memaknai pesan yang diberikan media (Croteau & Hoynes, 2000:

268).

Dalam studi khalayak seperti yang dikatakan Evans (Ferguson &

Goldings, 1997: 123–124) penelitian khalayak pada studi media

dikarakteristikkan oleh dua asumsi : (a) bahwa khalayak selalu aktif dan (b)

bahwa isi media selalu bersifat polisemi atau terbuka untuk diinterpretasi. Asumsi

di atas berarti bahwa mayoritas khalayak secara rutin memodifikasi atau merubah

berbagai ideologi dominan yang direfleksikan dalam isi media.

Dalam reception analysis makna teks media merupakan hasil konstruksi

khalayak dan bukan buatan produsen media semata. Khalayak di sini adalah siapa

saja yang menggunakan segala bentuk media penyiaran, dalam keadaan apapun

serta memberikan pemaknaannya pada media tersebut. Frank Biocca menyatakan

bahwa ada lima karakteristik khalayak aktif (Littlejohn, 2002: 312), yaitu:

1. Selektif. Khalayak yang aktif dianggap selektif dalam memilih media yang

mereka gunakan.

2. Utilitarian. Khalayak yang aktif dikatakan menggunakan media untuk

memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu mereka.

3. Intensional. Khalayak yang aktif menggunakan isi media yang mereka

inginkan.

4. Involvement. Khalayak secara aktif berpikir dan menggunakan media.

5. Tidak secara mudah dipengaruhi oleh media.

Teori khalayak aktif menyatakan bahwa media tidak dapat membuat

individu harus berpikir atau berperilaku sesuai dengan apa yang ditampilkan oleh

media karena khalayak bukanlah individu yang bodoh, naif dan mudah untuk

didominasi oleh indoktrinasi media. Khalayak aktif ditekankan pada kecerdasan

dan otonomi dari individu, serta khalayak memiliki kekuatan dalam menggunakan

media. Salah satu cara dasar khalayak media dapat dilihat sebagai khalayak aktif

yaitu melalui interpretasi produksi media oleh khalayak. Ada tiga cara yang

memperlihatkan aktifnya khalayak media massa (Croteau & Hoyness, 2000: 262),

(34)

1. Interpretasi

Makna dari pesan yang disampaikan oleh media massa dikonstruksikan

oleh khalayak. Aktivitas menginterpretasikan ini sangat penting dan

merupakan bagian dari proses pemaknaan. Interpretasi khalayak bisa sama

atau bahkan bertentangan dengan apa yang sebenarnya ingin disampaikan

oleh produsen media massa. Setiap individu bisa saja memiliki interpretasi

berbeda untuk sebuah pesan yang sama.

2. Konteks Sosial Interpretasi

Interpretasi khalayak tidak akan terlepas dari konteks sosial di sekitarnya.

Karena media massa merupakan bagian dari kehidupan sosial, interpretasi

terhadap isi media massa akan dipengaruhi oleh setting dan konteks sosial.

3. Aksi Kolektif

Khalayak terkadang melakukan aksi-aksi secara kolektif sehubungan

dengan isi media massa. Mereka bukanlah orang-orang yang pasif. Mereka

akan melakukan sesuatu bila menginginkan sesuatu dari produsen media

massa.

Peran aktif penonton dalam memaknai teks juga dapat terlihat pada model

encoding/decoding Stuart Hall, yaitu model yang menjelaskan bahwa sebuah

pesan yang sama dapat dikirimkan atau diterjemahkan lebih dari satu cara. Model

ini fokus pada ide bahwa audiens memiliki respon yang bermacam-macam pada

sebuah pesan media karena pengaruh posisi sosial, gender, usia, etnis, pekerjaan,

pengalaman, keyakinan dan kemampuan mereka dalam menerima pesan. Hal

tersebut terlihat pada premis-premis dari model encoding/decoding Stuart Hall

yang merupakan dasar dari analisis resepsi (Narottama, 2008: 7):

1. Peristiwa yang sama dapat dikirimkan atau diterjemahkan lebih dari satu

cara.

2. Pesan selalu mengandung lebih dari satu potensi pembacaan. Tujuan pesan

dan arahan pembacaan memang ada, tetapi itu tidak akan bisa menutup

hanya menjadi satu pembacaan saja: mereka masih polisemi (secara

prinsip masih memungkinkan munculnya variasi interpretasi).

3. Memahami pesan juga merupakan praktek yang problematik,

(35)

secara satu arah akan selalu mungkin untuk diterima atau dipahami dengan

cara yang berbeda.

Objek dari model ini adalah makna dan pesan dalam bentuk tanda yang

diproses melalui pengoperasian kode dalam rantai wacana.Kebanyakan teori

komunikasi bersifat linear karena hanya berfokus pada pesan dan tidak

memperhatikan pada faktor-faktor penyusun pesan. Oleh Fiske, analisa ini

kemudian disempurnakan dengan memberikan perhatian pada kultur media dan

menganalisa hubungan yang kompleks antara teks, khalayak, industri media,

politik dan konteks sejarah sebagai sebuah kesatuan.

Melalui model encoding-decoding dapat diketahui bahwa struktur makna

(meaning structure) satu dan struktur makna dua kemungkinan tidak sama. Kode

encoding dan decoding kemungkinan juga tidak sejajar. Derajat simetrisnya akan

tergantung dari derajat simetri dan asimetri yang dibangun antara

decoder/receiver dan encoder/producer. Derajat asimetri disini adalah derajat

pengertian dan salah pengertian dalam pertukaran komunikasi (Durham &

Kellner, 2002: 173).

Decoding adalah proses melalui mana audiens menggunakan pengetahuan

mereka secara implisit tentang teks dan nilai-nilai budaya guna

menginterpretasikan teks media. Decoding berkaitan dengan kapasitas subyektif

untuk menghubungkan tanda tersebut dengan tanda lainnya. Model ini

memberikan fokus pada hubungan antara pesan media yang di-encode oleh

produser dan cara pesan tersebut diinterpretasikan atau di-decode oleh khalayak.

Berdasarkan model ini, khalayak akan men-decode pesan suatu teks dengan

menggunakan pengetahuan dan nilai-nilai budaya yang mereka miliki serta

mengaitkannya dengan keadaan lingkungan secara menyeluruh. Namun apa yang

di-encode oleh pembuat teks tidak selalu simetri dengan apa yang di-decode oleh

khalayaknya.

Namun demikian khalayak tidak bisa men-decode pesan semaunya karena

teks media memiliki batasan intrpretasi, seperti yang dikatakan oleh Hall, (Hagen

& Wasko, 2000: 19) “Encoding will have the effect of constructing some of the

limits within wich decoding will operate.” Karena encoding akan memiliki efek

(36)

pembacaan antara penulis teks dan pembaca serta bagaimana pesan itu dibaca di

antara keduanya (Durham & Kellner, 2002: 174-175).

1. Dominant-Hegemonic Position.

Yaitu, audience mengambil makna yang mengandung arti dari isi media

dan meng-decode-nya sesuai dengan makna yang dimaksud (preferred

reading) yang ditawarkan teks media. Audience sudah punya pemahaman

yang sama, tidak akan ada pengulangan pesan, pandangan komunikator

dan komunikan sama, langsung menerima.

2. Negotiated Position.

Yaitu, mayoritas audience memahami hampir semua apa yang telah

didefinisikan dan ditandakan dalam teks media. Audience bisa menolak

bagian yang dikemukakan, di pihak lain akan menerima bagian yang lain.

3. Oppositional Position.

Yaitu, audience memaknai pesan secara kritis dan menemukan adanya

bias dalam penyampaian pesan dan berusaha untuk tidak menerimanya

secara mentah-mentah. Dalam hal ini audience berusaha untuk

melakukan demitologisasi terhadap teks.

Teks dalam model encoding-decoding diartikan sebagai struktur penanda

yang terdiri dari tanda dan kode yang penting bagi komunikasi.Struktur ini sangat

bervariasi bentuknya mulai dari pembicaraan, tulisan, film, pakaian, dekorasi

mobil, gestur, dan lain sebagainya. Maka film Cin(T)a dalam penelitian ini

disebut dengan teks.

Teks media dikatakan bersifat polisemi (Croteau & Hoynes, 2000: 266,

268) karena menurut John Fiske teks media mengandung berbagai makna.Media

dari sudut pandang ini memungkinkan terjadinya keragaman interpretasi; teks

terstruktur sedemikian rupa sehingga memungkinkan pemaknaan yang

berlawanan dengan keinginan pembuat teks. Namun teks tidak terbuka begitu

saja, teks memang terbuka untuk dimaknai namun memiliki batasan interpretasi.

Batasan interpretasi itu dipengaruhi oleh keikutsertaan audiens dalam suatu

kelompok dan faktor-faktor seperti usia, etnis, kelas sosial, pekerjaan, status

perkawinan, ras, gender, latar belakang pendidikan dan keyakinan politik yang

(37)

teks. Beberapa makna akan lebih mudah untuk dikonstruksi karena nilai-nilainya

yang tersebar di masyarakat. Sebaliknya pemaknaan lain akan lebih sulit karena

jarang disosialisasikan kepada masyarakat.

2.2 Kajian Pustaka

Ilmu komunikasi merupakan ilmu yang mempelajari, menelaah dan

meneliti kegiatan – kegiatan komunikasi manusia yang luas ruang lingkup

(scope)-nya dan banyak dimensinya. Para mahasiswa selalu mengklasifikasikan

aspek – aspek komunikasi ke dalam jenis – jenis yang satu sama lain berbeda

konteksnya (Effendy, 2006: 52).

2.2.1 Komunikasi

Setiap sendi kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari kegiatan

komunikasi, baik secara verbal maupun nonverbal. Komunikasi dapat

diikhtisarkan sebagai berikut (Lubis, 2007: 11).

1. Komunikasi berasal dari bahasa latin, communis yang berarti ‘sama’.

Maksudnya bila seseorang menyampaikan pesan komunikasi kepada orang

lain maka terlebih dahulu harus menyadarkan persamaan lambang dengan

orang yang dituju sebagai sasaran komunikasi.

2. Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan komunikasi dari

seseorang atau sekelompok kepada seseorang atau sekelompok lainnya.

3. Kegiatan komunikasi meliputi komponen-komponen seperti sumber, pesan, saluran, penerima, gangguan, proses penyampaian, arus balik dan

efek.

4. Kegiatan komunikasi meliputi komunikasi intra individu, antar individu,

kelompok kecil, public speaking komunikasi massa atau komunikasi antar

kebudayaan.

Menurut Frey, Botan dan Kreps (2000), Communication is the process of

managing messages for the purpose of creating meaning, bahwa komunikasi

adalah suatu proses mengelola pesan dengan tujuan menciptakan makna. Pada

pengertian ini terdapat 3 kata kunci, diantaranya messages (pesan), managing

(mengelola), dan meaning (makna). Messages (pesan) disini dinyatakan dalam

(38)

dinyatakan dalam kata-kata, sedangkan pesan nonverbal dinyatakan dalam simbol

yang berupa tindakan dan isyarat. Managing (mengelola) yaitu mengelola pesan

dengan cara menerima pesan untuk direspon kemudian diolah untuk menjadi

pesan yang mungkin dijadikan pilihan yang dapat memengaruhi makna yang akan

ditimbulkan. Meaning (makna) yaitu penafsiran seseorang terhadap pesan yang

telah diberikan kepadanya untuk kemudian dipahami (Griffin, 2006: 52).

Proses komunikasi berkaitan dengan bagaimana komunikasi itu

berlangsung. Menurut Daft (2006), ada dua elemen umum dalam setiap situasi

komunikasi, yaitu pengirim dan penerima. Pengirim (sender) adalah orang yang

ingin menyampaikan ide atau konsep kepada orang lain, mencari informasi, atau

mengungkapkan pemikiran atau emosi. Penerima (receiver) adalah orang

kepadasiapa pesan tersebut dikirimkan. Pengirim meng-enkode (encodes) ide

dengan memilih simbol-simbol yang digunakan untuk menyusun sebuah pesan.

Pesan (message) adalah perumusan yang nyata dari ide yang dikirimkan

untuk penerima.Pesan tersebut dikirim lewat sebuah saluran (channel). Saluran

tersebut bisa berupa laporan formal, e-mail, pertemuan dengan berhadapan secara

langsung, lagu bahkan film. Penerima pesan kemudian men-dekode (decodes)

simbol-simbol untuk menginterpretasikan arti pesan tersebut.

Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjukan

sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi

kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati

bersama. Lambang mempunyai beberapa sifat seperti berikut ini.

Lambang bersifat sembarang, manasuka, atau sewenang-wenang. Apa saja

bisa dijadikan lambang, bergantung pada kesepakatan bersama. Kata-kata (lisan

atau tulisan), isyarat anggota tubuh, makanan dan cara makan, tempat tinggal,

jabatan (pekerjaan), olahraga, hobi, peristiwa, hewan, tumbuhan, gedung, alat

(artefak), angka, bunyi, waktu dan sebagainya. Semua itu bisa dijadikan lambang.

Lambang pada dasarnya tidak mempunyai makna; kitalah yang memberi

makna pada lambang. Makna sebenarnya ada dalam kepala kita, bukan terletak

pada lambang itu sendiri. Kalaupun ada orang yang mengatakan bahwa kata-kata

mempunyai makna, yang ia maksudkan sebenarnya bahwa kata-kata itu

(39)

kata-kata itu. Persoalan akan timbul bila para peserta komunikasi tidak memberi

makna yang sama pada suatu kata.

Lambang itu bervariasi dari suatu budaya ke budaya lainnya, dari suatu

tempat ke tempat lainnya, dari suatu konteks waktu ke konteks waktu lainnya.

Begitu juga makna yang diberikan kepada lambang tersebut. Kita hanya

memerlukan kesepakatan mengenai suatu lambang. Akan tetapi, makna yang

diberikan kepada suatu lambang boleh jadi berubah dalam perjalanan waktu,

meskipun perubahan makna itu berjalan lambat.

Menggunakan lambang, baik dalam penyandian ataupun penyandian-balik,

manusia dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan, bukan hanya antara mereka

yang sama-sama hadir, bahkan juga antara mereka yang tinggal berjauhan dan

tidak pernah saling bertemu, atau antara pihak-pihak yang berbeda generasi. Kita

tidak hanya dapat menyampaikan pengetahuan dari orang ke orang, namun juga

gagasan dari satu generasi ke genarasi lainnya, meskipun generasi-generasi

tersebut dipisahkan oleh waktu ratusan tahun.

Thomas M. Scheidel mengemukakan bahwa kita berkomunikasi terutama

untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial

dengan orang disekitar kita dan untuk memperngaruhi orang lain untuk merasa,

berpikir, atau berperilaku seperti yang kita inginkan (Mulyana, 2007: 4).

Menurut Carl I. Hovland, ilmu komunikasi adalah upaya yang sistematis

untuk merumuskan secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta

pembentukan pendapat dan sikap. Definisi Hovland diatas menunjukan bahwa

yang dijadikan objek studi ilmu komunikasi bukan saja penyampaian informasi,

melainkan juga pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik

(public attitude) yang dalam kehidupan sosial dan kehidupan politik memainkan

peranan yang amat penting. Bahkan dalam definisinya secara khusus mengenai

pengertian komunikasinya sendiri, Hovland mengatakan bahwa komunikasi

adalah proses mengubah perilaku orang lain (Effendy, 2006: 10).

Komunikasi yang secara sederhana dapat diartikan sebagai proses

penyampaian dan penerimaan pesan dengan menggunakan simbol atau tanda

(40)

sebuah tanda yang dipertukarkan akan memerlukan makna-makna yang juga

dipertukarkan untuk membentuk sebuah komunikasi yang baik.

Hal tersebut diatas akan mengacu pada bagaimana cara menciptakan

makna. Ini yang akan memberikan penekanan yang berbeda dalam bidang

komunikasi, karena dalam model tersebut tidak dilihat pada proses transmisi

pesan atau proses penyampaian pesan, tetapi lebih menekankan pada relasi antar

unsur-unsur dalam menciptakan makna. Menyangkut hal ini, Fiske

mengklasifikasikannya dalam dua paradigma utama, yaitu:

“Paradigma pertama yang disebut juga paradigma ‘proses’ yang melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Ia tertarik dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmitter mengunakan saluran dan media komunikasi. Ia tertarik dengan hal-hal seperti efisiensi dan akurasi. Ia melihat komunikasi sebagai suatu proses yang dengannya seorang pribadi mempengaruhi perilaku atau state of mind pribadi yang lain. Sedangkan paradigam kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Ia berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam rangka menghasilkan makna, yakni ia berkenaan dengan peran teks dalam kebudayaan kita. Ia menggunakan istilah-istilah seperti pertandaan (signification) dan tidaak memandang kesalahpahaman sebagai bukti penting dari kegagalan komunikasi.” (Fiske, 2007: 8).

Dari pandangan diatas dapat diketahui pada dasarnya komunikasi

merupakan proses interaksi sosial melalui pesan. Pada paradigma pertama melihat

komunikasi sebagai proses penyampaian pesan (transmission of message). Hal ini

berhubungan dengan bagaimana pengirim (sender) dan penerima (receiver)

menyampaikan serta menerima pesan. Disini komunikasi dimaknai sebagai suatu

proses dimana seseorang berusaha mempengaruhi tingkah laku atau pikiran orang

lain. Dengan kata lain, pandangan ini melihat interaksi sosial sebagai proses

hubungan seseorang dengan yang lain, atau proses mempengaruhi sikap, tingkah

laku dan respon emosional terhadap orang lain.

Pada paradigma kedua lebih melihat komunikasi sebagai suatu aktifitas produksi serta pertukaran makna-makna pesan (production and exchange of

meaning). Ini berkaitan dengan bagaimana pesan-pesan atau teks berinteraksi

(41)

sosial dengan menyatakan individu sebagai bagian dari sebuah kebudayaan atau

masyarakat tertentu. Pandangan ini juga tidak mempertimbangkan

kesalahpahaman yang akan menyebabkan kegagalan komunikasi, karena ini

menyangkut perbedaan latar belakang budaya antara pengirim dan penerima

pesan. Oleh sebab itu, dalam paradigma ini lebih menekankan pada studi

komunikasi sebagai studi terhadap teks dan budaya.

Makna merupaka hakekat komunikasi. Bagaimana tidak, seseorang yang

terlibat dalam kondisi percakapan, ia dan lawan bicaranya terus menerus

memberikan makna pada berbagai pesan/informasi yang mereka sampaikan

maupun yang diterimanya. Pemaknaan yang dilakukan para pihak yang terlibat

dalam komunikasi, berada dalam koridor mencari kebenaran, melalui

langkah-langkah kreatif dalam memberi makna.

Dalam konteks komunikasi, makna dan interpretasi selalu muncul dalam

episode pembuatan pesan, penerimaan pesan dan proses yang berlangsung di

dalamnya. Pembuatan dan penerimaan pesan dapat dimaknai dan terdiri dari

berbagai perspektif termasuk individualis, sosialis interpretif dan kritik.

Pembuatan pesan berurusan dengan bagaimana pesan-pesan dihasilkan yang

bermuara pada produk pesan. Sementara itu penerimaan pesan berfokus pada

bagaimana pesan diterima. Baik pembuatan maupun penerimaan pesan, berkutat

di seputar bagaimana manusia memahami, mengorganisasikan dan menggunakan

informasi yang terkandung dalam pesan. Sebagaimana diketahui bahwa

komunikasi merupakan proses yang fokus pada pesan yang dibangun oleh

berbagai informasi.

Interpretasi didefinisikan sebagai kondisi aktif seseorang dalam proses

berpikir dan kegiatan kreatif pencarian makna (Littlejohn, 1999: 199). Makna

pesan media tidaklah permanen, melainkan dikonstruksi oleh khalayak melalui

komitmen dengan teks media dalam kegiatan rutin interpretasinya. Artinya,

khalayak aktif dalam menginterpretasi dan memaknai teks media.

Gambar 2.1

(42)

Sumber : Journal of Communication, 1990, vol. 40 no. 1, Hal 73 Proses interpretasi terjadi setelah pesan diorganisir dan individu akan mengenali bentuk dan makna dari rangsangan yang diterimanya. Dari rangsangan

yang diterima, ditarik kesimpulan dan menciptakan gambaran akhir mengenai

makna dari rangsangan di dalam pikiran individu. Dapat diibaratkan menafsirkan

suatu hal dari sudut pandang kita sendiri.

Suatu interpretasi dapat merupakan bagian dari suatu presentasi atau

penggambaran informasi yang diubah untuk menyesuaikan dengan suatu

kumpulan simbol spesifik. Informasi itu dapat berupa lisan, tulisan, gambar,

angka atau berbagai bentuk bahasa lainnya. Makna yang kompleks dapat timbul

sewaktu penafsir baik secara sadar maupun tidak, melakukan rujukan silang

terhadap suatu objek dengan menempatkannya pada kerangka pengalaman dan

pengetahuan yang lebih luas.

2.2.2 Pluralisme

Secara etimologi pluralisme berasal dari kata plural (Inggris) yang berarti

jamak, dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, ada banyak hal lain di

luar kelompok kita yang harus diakui. Lebih luas lagi, pluralisme adalah sebuah

“ism” atau aliran tentang pluralitas.

Pluralisme dalam ilmu sosial merupakan konsep pemahaman tentang

kehidupan majemuk (plural) yang harus ditata sedemikian rupa untuk

menciptakan suasana saling menghargai dan menghormati guna menghindari

konflik. Sementara itu, dalam pengertian yang lain, pluralisme dimaknai juga

sebagai filsafat yang mengajarkan ada lebih dari satu macam “kebenaran terakhir”

yang dipertentangkan dengan aliran “monoisme” atau “dualisme”. Monoisme

Gambar

Gambaran Pemaknaan
Gambaran Pemaknaan
Gambaran Pemaknaan
Gambaran Pemaknaan

Referensi

Dokumen terkait

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan Keputusan Bupati Bantul tentang Pemberian Insentif Pemungutan Retribusi Daerah

NIP : 196612121993032002 Email :bwt_wati@yahoo.co.id Unit Kerja :Fakultas MIPA Status :Dosen..

Dunia disain saat ini benar-benar suatu factor penting di zaman globalisasi saat ini. Baik disain foto,video shooting,dan lain sebagainya.Dunia disain seperti ini masih jarang

Pendidikan Institusi/Jurusan/Program Studi Tahun Morfologi.. Tumbuhan

At 12 months the group of patients who had received the 24-mg dose of galantamine in the double-blind phase had preserved cognitive function, as indicated by a mean change from

[r]

In considering therapeutic approaches to AD and the use of cholinergic drugs, one is reminded of the great com- plexity of the nicotinic cholinergic system in the CNS, which is due

[r]