(ANALISIS RESEPSI INTERPRETASI PENONTON TERHADAP PLURALISME DALAM FILM)
SKRIPSI
DWI MAHLIZA ULFA
090904091
PROGRAM STUDI HUBUNGAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
(ANALISIS RESEPSI INTERPRETASI PENONTON TERHADAP PLURALISME DALAM FILM)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana
Program Strata 1 (S1) pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara
DWI MAHLIZA ULFA
090904091
PROGRAM STUDI HUBUNGAN MASYARAKAT
DEPARTEMEN ILMU KOMUNIKASI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK LEMBAR PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh :
Nama : Dwi Mahliza Ulfa
NIM : 090904091
Departemen : Ilmu Komunikasi (HUMAS)
Judul Skripsi : Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film
(Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme
Dalam Film Cin(T)a)
Medan, Juli 2013
Dosen Pembimbing, Ketua Departemen,
Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm
NIP. 197711062005011001 NIP. 196208281987012001 Dra. Fatma Wardy Lbs, MA
Dekan FISIP-USU,
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, semua sumber baik yang dikutip
maupun dirujuk telah saya cantumkan sumbernya dengan benar. Jika dikemudian
hari saya terbukti melakukan pelanggaran (plagiat), maka saya bersedia diproses
sesuai dengan hukum yang berlaku.
Nama : Dwi Mahliza Ulfa NIM : 090904091
Tanda Tangan :
Skripsi ini diajukan oleh :
Nama : Dwi Mahliza Ulfa
NIM : 090904091
Departemen : Ilmu Komunikasi (Humas)
Judul Skripsi : Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film
(Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap
Pluralisme Dalam Film Cin(T)a)
Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan penguji dan diterima sebagai bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Komunikasi pada Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
Majelis Penguji
Ketua Penguji : ( )
Penguji : ( )
Penguji Utama : ( )
Ditetapkan di :
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, Rabb semesta
alam, Pemilik Diri yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, telah
merancang skenario terindah dalam hidup peneliti, sehingga peneliti dapat
menyelesaikan skripsi ini. Serta tidak lupa pula shalawat dan salam kepada
Rasulullah Muhammad SAW yang telah menjadi teladan bagi kehidupan.
Penelitian skripsi ini berjudul “Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme
Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam
Film Cin(T)a)”, merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi untuk
menyelesaikan program sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara.
Peneliti menyadari bahwa belajar adalah sebuah proses berkelanjutan yang
tak kenal henti hingga akhir hidup. Begitupun dengan skripsi ini adalah bagian
dari proses belajar peneliti, oleh karena itu peneliti menerima kritik dan saran
yang membangun agar skripsi ini menjadi lebih baik.
Peneliti berterima kasih kepada orangtua peneliti, ayahanda Hayat Dieng,
yang semangatnya dalam menghidupi keluarga menjadi motivasi terbesar bagi
peneliti untuk menyelesaikan jenjang pendidikan. Ibunda Parithoh Hanum, yang
tidak hanya menjadi ibu bagi peneliti, tapi juga menjadi teman bercanda dan
tempat berkeluh kesah. Terima kasih atas kesabaran kalian yang luar biasa dalam
menghadapi tingkah polah peneliti. Terima kasih atas dukungan, nasehat,
semangat dan do’a yang tiada putus-putusnya menemani peneliti hingga sampai di
titik ini. Ucapan terima kasih juga peneliti sampaikan untuk kakak dan adik
peneliti, Hilda Mahdianty dan Mhd. Nurul Ikhsan atas perhatian dan pengertian
yang telah banyak diberikan pada peneliti selama ini.
Pada akhirnya, skripsi ini juga tidak akan selesai dengan baik tanpa uluran
tangan dan keikhlasan setiap hati yang telah terikat karena-Nya. Terima Kasih
sedalam-dalamnya peneliti haturkan kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Drs. Badaruddin, M.Si selaku Dekan FISIP Universitas
3. Ibu Dra. Dayana, M.Si selaku Sekretaris Departemen Ilmu Komunikasi
FISIP USU.
4. Bapak Drs. Safrin, M.Si selaku Dosen Pembimbing Akademik peneliti.
5. Abangda Haris Wijaya, S.Sos, M.Comm selaku Dosen Pembimbing
Skripsi yang dengan sabar telah membimbing, meluangkan waktu dan
memberi nasehat, sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini
dengan baik.
6. Ketua LDIK, Kak Jovita Sabarina Sitepu, M.Si. Terima Kasih atas diskusi
dan sarannya yang telah banyak membantu peneliti memahami Studi
Analisis Resepsi.
7. Ibu Dr. Nurbani, M.Si, selaku kepala stasiun Radio USUKOM yang
banyak menasihati dan membimbing peneliti baik sebagai mahasiswa
maupun sebagai pribadi.
8. Seluruh Dosen Ilmu Komunikasi yang telah menuangkan ilmu, memberi
pengajaran, membuka mata dan wawasan, tidak hanya di bangku kuliah,
tetapi juga dalam diskusi sederhana.
9. Seluruh sahabat peneliti. Rebecka, Damai, Sarah, dan Rina yang tetap
konsisten dari awal hingga akhir perjuangan bergerilya bersama. Untuk
Wina dan Nisa yang senantiasa hadir dan selalu bisa diandalkan di saat
senang maupun susah. Dhana, Sheila, Yadi, bang Amir, Yasir yang
membawa warna baru dan tak segan berbagi banyak hal. Terkhusus untuk
Long Lasting Friends peneliti, Arifah, Devi, Faisal, Fajar, Annisa yang
selama hampir delapan tahun bermimpi dan berproses bersama menjadi
pribadi yang lebih baik. Terima kasih atas semua yang telah dilalui selama
10.Kak Windi Siregar, bang Rianda, kak Ande, Cessi, Icha, Agus, Wanda,
Melany, Audy, Wisnu, Apung, Endang, Pita, Ghina, Susan, Marjul, Adhe,
Hanna, Adin beserta rekan- rekan USUKOM lainnya yang telah menjadi
keluarga kedua bagi peneliti. Terima kasih atas tawa, omelan dan
dukungan yang kalian berikan.
11.Kak Icut, kak Maya dan seluruh staf Departemen Ilmu Komunikasi FISIP
USU yang telah membantu mengurus administrasi peneliti sejak masa
kuliah.
12.Kak Siti, bang Iqbal, kak Hanim dan kak Puan yang selalu menjadi tempat
diskusi paling tokcer. Terima kasih atas bantuan dan waktu yang telah
diluangkan.
13.Teman-teman Ilmu Komunikasi 2009, para senior dan junior. Terima
kasih atas kebersamaan yang telah dibangun. Semoga ilmu kita
benar-benar diaplikasikan di dunia nyata, bukan sekedar penghias ijazah saja.
14.Sahabat, keluarga, teman, yang tidak mungkin disebutkan satu per satu,
tapi yakinlah, setiap kebaikan dan keikhlasan, Allah akan membalasnya
dan mengumpulkan kita kembali, insya Allah, di syurgaNya kelak. Amin.
Akhir kata peneliti panjatkan doa dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala
kekuatan dan kemudahan yang telah diberikan. Peneliti berharap penelitian ini
dapat bermanfaat dan menjadi inspirasi agar pendidikan di Indonesia lebih baik di
masa yang akan datang.
Medan, Juli 2013
Peneliti
Sebagai civitas akademik Universitas Sumatera Utara, saya yang bertanda tangan
di bawah ini :
Nama : Dwi Mahliza Ulfa
NIM : 090904091
Departemen : Ilmu Komunikasi (Humas)
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas : Sumatera Utara
Jenis Krya : Skripsi
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada
Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non Ekslusif (Non-ekslusive
Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Interpretasi Penonton
Terhadap Pluralisme Dalam Film (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton
Terhadap Pluralisme Dalam Film Cin(T)a), berserta perangkat yang ada (jika
diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non ekslusif ini Universitas Sumatera
Utara berhak menyimpan, mengalihmedia/format-kan, mengelola dalam bentuk
pangkalan data (database), merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya tanpa
meminta izin dari saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis
atau pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Medan
Pada Tanggal : Juli 2013
Yang Menyatakan
Hadirnya film Cin(T)a pada tahun 2009 yang mengangkat cerita tentang percintaan dua muda mudi yang berasal dari keluarga dengan budaya dan keyakinan berbeda, menimbulkan banyak pro dan kontra di masyarakat. Film indie garapan Sammaria Simanjuntak ini dianggap menghidupkan kembali wacana pluralisme setelah MUI (Majelis Ulama Indonesia) memberikan fatwa haram pada tahun 2005. Adegan yang dimunculkan dalam film Cin(T)a menghadirkan gambaran unik seputar perbedaan dua tokohnya yang mewakili kelompok mayoritas dan minoritas di Indonesia, serta dikemas dengan dialog yang santai tanpa konflik, namun sarat akan makna.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana interpretasi penonton mengenai pluralisme yang ditampilkan dalam film Cin(T)a. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan analisis resepsi. Teori dasar yang digunakan adalah teori encoding-decoding yang dikemukakan oleh Stuart Hall tentang bagaimana khalayak memproduksi sebuah pesan dari suatu teks media. Proses tersebut akan menghasilkan makna yang tidak selalu sama karena dipengaruhi oleh kapasitas setiap penonton. Data diperoleh dari wawancara mendalam terhadap lima informan dengan latar belakang berbeda.
Hasil penelitian menunjukkan film Cin(T)a dimaknai oleh informan sebagai film yang menampilkan fenomena keragaman dan kemajemukan di Indonesia. Selain itu film ini juga mencoba menyampaikan pesan pluralisme serta toleransi melalui adegan dan dialog di dalamnya. Dalam proses konsumsi dan produksi makna terhadap film Cin(T)a, perbedaan latar belakang agama, sosial budaya, dan pengalaman informan menjadi faktor yang penting yang membedakan pemaknaan mereka.
Film Cin(T)a was launched on 2009, tells about the romance between two youths with different cultures and beliefs. This film raised a lot of pros and cons in public. This indie movie which filmed by Sammaria Simanjuntak, considered reviving the issue of pluralism after the MUI (Indonesian Ulama Council) gave haram fatwa in 2005. The scenes in film Cin(T)a present a unique overview about the differences between two characters who represent the majority and minority groups in Indonesia, and are packed with casual dialogues without conflict, but full of meanings.
The aims of this research is to see how the audiences interpretation of pluralism that they watched in film Cin(T)a. The Method used in this research is qualitative method, using analysis reception stated by Stuart Hall about how audiences produces a message from a media text. This process will produce different meaning, influenced by the capacity of each audience. Data is obtained from in-depth interview with five informants with different backgrounds.
The result showed that informants concluded film Cin(T)a as film which raised up the phenomenon of diversity and plurality in Indonesia. In addition the film also tried to convey the message of pluralism and tolerance through scenes and dialogue in it. When produces the meaning of film Cin(T)a, differences in religious background, socio-cultural, and the experience of informants becomes an important factor that distinguishes their meaning.
HALAMAN JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... v
ABSTRAK ... vii
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Paradigma Kajian ... 10
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 38
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil ... 46
4.1.1 Sinopsis Film Cin(T)a ... 46
4.1.2 Latar Belakang Informan ... 47
4.1.3 Interpretasi Penonton ... 45
4.1.3.1 Interpretasi terhadap Film Cin(T)a ... 55
4.1.3.2 Pengetahuan Seputar Pluralisme ... . 68
4.2 Pembahasan ... 75
Nomor Judul Halaman
2. 1 Ilustrasi Proses Interpretasi ... 26
2. 2 Model Teoritik ... 37
3. 1 Metode Snowball Sampling ... 40
Hadirnya film Cin(T)a pada tahun 2009 yang mengangkat cerita tentang percintaan dua muda mudi yang berasal dari keluarga dengan budaya dan keyakinan berbeda, menimbulkan banyak pro dan kontra di masyarakat. Film indie garapan Sammaria Simanjuntak ini dianggap menghidupkan kembali wacana pluralisme setelah MUI (Majelis Ulama Indonesia) memberikan fatwa haram pada tahun 2005. Adegan yang dimunculkan dalam film Cin(T)a menghadirkan gambaran unik seputar perbedaan dua tokohnya yang mewakili kelompok mayoritas dan minoritas di Indonesia, serta dikemas dengan dialog yang santai tanpa konflik, namun sarat akan makna.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana interpretasi penonton mengenai pluralisme yang ditampilkan dalam film Cin(T)a. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan analisis resepsi. Teori dasar yang digunakan adalah teori encoding-decoding yang dikemukakan oleh Stuart Hall tentang bagaimana khalayak memproduksi sebuah pesan dari suatu teks media. Proses tersebut akan menghasilkan makna yang tidak selalu sama karena dipengaruhi oleh kapasitas setiap penonton. Data diperoleh dari wawancara mendalam terhadap lima informan dengan latar belakang berbeda.
Hasil penelitian menunjukkan film Cin(T)a dimaknai oleh informan sebagai film yang menampilkan fenomena keragaman dan kemajemukan di Indonesia. Selain itu film ini juga mencoba menyampaikan pesan pluralisme serta toleransi melalui adegan dan dialog di dalamnya. Dalam proses konsumsi dan produksi makna terhadap film Cin(T)a, perbedaan latar belakang agama, sosial budaya, dan pengalaman informan menjadi faktor yang penting yang membedakan pemaknaan mereka.
Film Cin(T)a was launched on 2009, tells about the romance between two youths with different cultures and beliefs. This film raised a lot of pros and cons in public. This indie movie which filmed by Sammaria Simanjuntak, considered reviving the issue of pluralism after the MUI (Indonesian Ulama Council) gave haram fatwa in 2005. The scenes in film Cin(T)a present a unique overview about the differences between two characters who represent the majority and minority groups in Indonesia, and are packed with casual dialogues without conflict, but full of meanings.
The aims of this research is to see how the audiences interpretation of pluralism that they watched in film Cin(T)a. The Method used in this research is qualitative method, using analysis reception stated by Stuart Hall about how audiences produces a message from a media text. This process will produce different meaning, influenced by the capacity of each audience. Data is obtained from in-depth interview with five informants with different backgrounds.
The result showed that informants concluded film Cin(T)a as film which raised up the phenomenon of diversity and plurality in Indonesia. In addition the film also tried to convey the message of pluralism and tolerance through scenes and dialogue in it. When produces the meaning of film Cin(T)a, differences in religious background, socio-cultural, and the experience of informants becomes an important factor that distinguishes their meaning.
1.1 Konteks Masalah
Pembahasan pluralisme di Indonesia selalu menjadi pembicaraan yang
hangat.Hal ini dikarenakan kondisi alamiah Indonesia yang berbeda-beda dari
segala aspek mulai dari kondisi geografis, suku, bahasa, warna kulit, dan
agama.Untuk itulah semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara de facto menjadi
cerminandari perbedaan Indonesia.Wilayah negara yang terbentang luas dari
Sabang sampai ke Merauke, memiliki sumber daya alam (natural resources) yang
melimpah seperti untaian zamrud di khatulistiwa dan juga sumber daya budaya (cultural resources) yang beraneka ragam bentuknya.
Di dalam penelitian etnologis misalnya, diketahui bahwa Indonesia terdiri
atas kurang lebih 600 suku bangsa dengan identitasnya masing-masing serta
kebudayaannya yang berbeda-beda. Selain dari kehidupan suku-suku tersebut
yang terkonsentrasi pada daerah-daerah tertentu, terjadi pula konsentrasi
suku-suku di tempat lain karena migrasi atau karena mobilisasi penduduk yang cepat.
Melalui sensus BPS tahun 2010 tercatat 1.340 suku bangsa di Indonesia dengan
jumlah total penduduk 237.556.363 jiwa sebagai warga negara.
Secara etimologi pluralisme merupakan kata serapan dari bahasa Inggris
yang terdiri dari dua kata, yakni, plural yang berarti ragam dan isme yang berarti
paham.Jadi pluralisme bisa diartikan sebagai berbagai paham atau
bermacam-macam paham. Sedangkan dalam Webster’s Third International Dictionary
pluralisme didefinisikan sebagai berikut:
(1)”a state of society in which members of diverse ethnic, religious, racial, or social groups maintain an autonomous participation in and development of their traditional culture or special interest within the confines of a common civilization;[and] (2) A concept, doctrine, or policy advocating this state”(Ghazali, 2009: 180)
Berdasarkan pengertian di atas, pluralisme didefinisikan sebagai sebuah
keadaan masyarakat di mana anggota suatu etnis, agama, ras atau kelompok sosial
tradisional mereka ataupun minat khusus dalam batas-batas peradaban
umum.Selain itu pluralisme juga diartikan sebagai sebuah konsep, doktrin atau
kebijakan untuk menyokong keadaan ataupun situasi masyarakat yang beragam.
Latar belakang munculnya gerakan pluralisme adalah sebagai akibat reaksi
dari tumbuhnya klaim kebenaran oleh masing-masing kelompok terhadap
pemikirannya sendiri. Persoalan klaim kebenaran inilah yang dianggap sebagai
pemicu lahirnya radikalisasi agama, perang dan penindasan atas nama agama.
Karenanya, para penggiat gerakan ini mengharapkan paham pluralisme dapat
menjadi penawar dari berbagai konflik dalam wacana keberagaman terutama
persoalan agama.
Indonesia dengan segala kekayaan adat istiadat, suku dan agamanya pun
tidak luput dari terpaan paham pluralisme ini.Tidak sedikit masyarakat yang
mendukung, karena pluralisme dianggap dapat menjembatani segala perbedaan
yang ada dan menumbuhkan sikap toleransi antar berbagai kelompok, sehingga
dapat meminimalisir adanya potensi konflik.Konflik horizontal adalah bukti nyata
kurangnya kesadaran maupun kemampuan masyarakat dalam menyikapi
perbedaan dan keragaman secara bijak.
Di indonesia sendiri konflik horizontal bukanlagi menjadi hal yang asing
ataupun baru. Mengingat bahwa heterogenitas bangsa Indonesia baik suku,
agama, etnis maupun budaya adalah sesuatu yang tak terbantahkan, maka konflik
dan perpecahan juga tidak bisa terhindarkan.Konflik horizontal yang terjadi kini
tengah menyebar hampir di setiap pulau besar di Indonesia. Mulai dari Timika,
Ambon, Poso, Bima, Flores Timur, Sampit, Sampang, Cikeusik, Tumenggung,
Lampung Selatan, hingga Aceh pernah menjadi saksi bisu pecahnya kerusuhan
antar warga tersebut.
Penyebab dan akar permasalahan tiap konflik horizontal
jugaberagam.Mulai dari etnosentrisme, wilayah kekuasaan, kecemburuan sosial
hingga yang paling sering muncul adalah masalah agama dan kepercayaan.Tidak
mengherankan jika paham pluralisme bagi sejumlah orang disambut hangat
dandianggap menjadi angin segar yang diharapkan dapat meredakan konflik di
Namun seiring berjalannya waktu, pengertian pluralisme telah banyak
mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan perubahan zaman.Salah satu
perkembangan definisi dari pluralisme yang lebih spesifik adalah seperti yang
diungkapkan oleh John Hick. Pada artikel pluralisme dalam Religious Research,
John Hick menuliskan konflik horizontal antar pemeluk agama hanya akan selesai
jika masing-masing agama tidak menganggap bahwa ajaran agama mereka yang
paling benar. Ia mengatakan bahwa semua agama sama efektifnya, atau sama
tidak efektifnya, dalam memandu dan mendorong para pengikutnya mengubah
haluan kehidupan mereka dari ‘ingat diri sendiri’ ke ‘ingat akan Yang
Lain’.Menurutnya itulah tujuan akhir dari gerakan pluralisme; untuk
menghilangkan keyakinan akan klaim kebenaran agama dan paham yang dianut,
dan menganggap yang lain salah.Ia pun mengasumsikan pluralisme sebagai
identitas kultural, kepercayaan dan agama yang harus disesuaikan dengan zaman
modern, karena agama-agama tersebut akan berevolusi menjadi satu (Knitter,
2008: 134-145).
Selain itu, dalam makalah Muhammad Nurdin Salim dengan judul Telaah
Kritis Pluralisme Agama, John Hick menganalogikan agama-agama yang ada di
dunia dengan matahari dan planet.Dia menyatakan bahwa Kristen dan
agama-agama lainnya “mengelilingi” tuhan, seperti planet planet mengelilingi
matahari.Karenanya ia menyarankan agar manusia berpindah dari sentralitas
agama menuju sentralitas tuhandan menegaskan bahwa Kristen bukanlah agama
yang paling benar. Begitu juga agama dan kepercayaan lain belum tentu lebih
baikdari agamaKristen.
Perkembangan definisi pluralisme juga terjadi di Indonesia. Ulil Abshar
Abdalla dalam wawancaranya dengan Gatra, Desember 2002 mengatakan:
“Semua agama sama. Semuanya menuju jalan kebenaran.Jadi, Islam bukan yang paling benar”.
Bahkan dalam artikelnya yang berjudul “Menyegarkan Kembali
Pemahaman Islam” di harian Kompas, November 2002, ia menulis sebagai
berikut:
berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitas itu. Semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama: yaitu keluarga pencinta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya.”
Hal inilah yang mengundang protes keras serta penolakan dari para
pemuka dan organisasi keagamaan.Di Indonesia khususnya, dominasi penolakan
dan perdebatan seputar pluralisme tersebut datang dari kaum fundamentalis Islam
dan Kristen.Mereka mencurigai adanya bahaya pluralisme yang dianggap sebagai
agendadari pihak-pihak tertentu.Menurut mereka, pluralisme akan memudahkan
terjadinya proses liberalisme sosial politik, sehingga menyebabkan wilayah
agamapun pada gilirannya dipaksa harus membuka diri untuk diliberalisasikan.
Melalui paham pluralisme tersebut wilayah yuridiksi serta nilai-nilai
keagamaanakan direduksi, dimarjinalkan dan didomestikkan sedemikian rupa.
Sehingga pada akhirnya hanya boleh beroperasi disisi kehidupan manusia yang
paling pribadi.
Perbedaan dalam memaknai pluralisme ini akhirnya membawa kepada
perdebatan dan pertentangan dua kubu.Satu memperjuangkan toleransi, satu
membela kemurnian.Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa inti polemik
selama ini terletak pada perbedaan interpretasi kata pluralisme itu sendiri.Maka
wajarlah pluralisme mendapat dukungan sekaligus penolakan karena maknanya
sendiri masih bias dan belum mampu dirumuskan dengan pemahaman yang satu.
Media massa dalam masyarakat pluralis memainkan peranan yang sangat
signifikan, baik dalam hal penyebarluasan informasi kepada khalayak maupun
dalam hal penumbuhan citra (image building). Dengan kedua muatan ini, media
massa bekerja dan mengembangkan wacana. Pengembangan wacana oleh media
massa dapat diamati melalui bagaimana bentuk-bentuk isi media seperti berita,
film, musik ataupun sinetron yang dikemas ke dalam konstruksi tertentu yang
dalam konteks masyarakat pluralis melibatkan berbagai persoalan penting seperti
suku bangsa, budaya dan agama.
Film adalah salah satu media komunikasi massa yang sangat besar
pengaruhnyaterhadap masyarakat. Film juga merupakan bentuk pesan yang terdiri
dari berbagai tandadan simbol yang membentuk sebuah sistem makna sehingga
bisa diinterpretasikan olehorang secara berbeda-beda, tergantung kepada referensi
sebagai media yang merefleksikan realitas atau bahkan membentuk realitas.Film mengkomunikasikan pesan dari pembuat film (film maker) kepada penonton
(audience).
Sebagai sebuah media, film tentunya mewakili pandangan-pandangan
yang dimiliki oleh kelompok tertentu, termasuk ideologi serta gagasan yang
dibawa oleh kelompok tersebut.Hal ini menjadi sangat esensial, karena dalam
penyampaiannya, film menyampaikan ideologi dengan lebih halus serta memiliki
unsur paksaan.Hal itu dikarenakan ketika kita menonton film, komunikasi yang
terjadi lebih bersifat satu arah. Kita sebagai penonton akan disuguhi berbagai
macam informasi yang ada dan ditampilkan dalam film sehingga tanpa sadar
diharuskan untuk ‘menelan’ segala macam informasi yang disajikan dalam film
tersebut. Lebih tepatnya pesan-pesan bermuatan ideologis yang berasal dari
pembuatnya.
Film kerap digunakan sebagai penyebar berbagai kepentingan dan ideologi
karena dianggap memiliki jangkauan, realisme, pengaruh emosional dan
popularitas yang hebat.Film merupakan media yang paling cepat ditangkap oleh
khalayak karena sifatnya yang audio visual.Oleh karena itu, pesan-pesan yang
terdapat pada film akan dengan mudah ditangkap oleh khalayak dan
diinterpretasikan.
Dalam aspek jangkauan, film mampu menjangkau jutaan (bahkan puluhan
juta) audiens didunia dalam waktu yang sangat singkat.Disamping itu, film juga
memiliki kemampuan untuk memanipulasi realitas (kenyataan) yang sebenarnya
dalam bentuk efek-efek videografi tanpa kehilangan kredibilitasnya.
Dunia perfilman saat ini telah mampu merebut perhatian masyarakat.
Lebih-lebih setelah berkembangnya teknologi komunikasi massa yang dapat
memberikan konstitusi bagi perkembangan dunia perfilman. Meskipun masih
banyak bentuk-bentuk media massa lainnya, film memiliki efek eksklusif bagi
para penontonnya. Dari puluhan sampai ratusan penelitian berkaitan dengan efek
media massa film bagi kehidupan manusia, sehingga harus disadari media mampu
mempengaruhi pikiran, sikap, dan tindakan penonton.
Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk yang sangat
individu.Film yang disajikan di layar lebar kini juga telah banyak disesuaikan
dengan fenomena yang terjadi di masyarakat kita. Film Cin(T)a adalah salah
satunya.
Cin(T)aadalah sebuah film produksi Moonbeam Creationdan Sembilan
Matahari Filmdi tahun 2009. Film ini menyentuh persoalan yang cukup sensitif,
yaitumenyangkut percintaan yang dibalut dengan perbedaan agama.Film indie
yangdisutradarai oleh Sammaria Simanjuntak dan pernah mendapatkehormatan
untuk diputar di NationalFilm Theater – British Film Institute London ini, berani
menampilkan beberapa testimoni dari pasanganbeda agama yang menjelaskan
keharmonisan mereka walaupun hidupdengan memegang keyakinan
masing-masing, sehingga menambah daya tarik tersendiri dari film ini.
Film yang meraih penghargaan skenarioasli terbaik pada Festival Film
Indonesia (FFI) ini, juga mencoba menyampaikan pesan-pesan yang menarik
mengenai pluralisme, khususnya pluralisme agama.Pesan-pesan tersebut tertuang
jelas dalam setiap adegan dan percakapan dalam film ini. Sebagai contoh, di salah
satu adegan saat Annisa dan Cina sedang makan bersama, doa yang Annisa baca
sebelum makan adalah “Tuhan yang disebut dengan berbagai nama, dan disembah
dengan berbagai cara”. Hebatnya lagi, film ini tidak segan menampilkan
penggalan dialog yang secara jelas menggugat Tuhan seperti "Kenapa Tuhan
nyiptain kita beda-beda kalau Tuhan hanya ingin disembah dengan satu cara?".
Selama 79 menit film ini membahas secara gamblang perbedaan antara
Cina dan Annisa.Cina (diperankan oleh Sunny Soon) adalah mahasiswa baru
ber-etnis Batak Cina. Cina tumbuh menjadi seorang remaja yang lugu tapi ia yakin
bisa mewujudkan impiannya dengan modal tekad yang kuat. Annisa (diperankan
oleh Saira Jihan), mahasiswi muslimah 24 tahun ber-etnis Jawa yang kuliahnya
terhambat oleh kariernya di industri perfilman. Ketenaran dan kecantikan
membuatnya kesepian,sehingga ia bersahabat dengan jari bermuka sedih, yaitu
teman imajiner yang ia ciptakan.
Dialog-dialog mengenai konsep Tuhan menurut sudut pandang Cina dan
Anissa yang dalam film ini dinyatakan sebagai the unpredictable character
dikemas dengan dialog yang santai tanpa konflik, namun sarat makna.Hal yang
banyaknya pro dan kontra mengenai pluralisme.Apalagi setelahMUI (Majelis
Ulama Indonesia) memberikan fatwa haram terhadap pluralisme padatahun 2005
yang lalu.
Film ini layak diteliti karena beberapa keunikan yang dimilikinya.Tema
yang diangkat masih jarang ditemui pada film-film kebanyakan.Berani menyentuh
ranah pluralisme, khususnya pluralisme agama yang di Indonesia sendiri masih
tabu untuk memperbincangkannya.
Walau sekarang mulai muncul beberapa film dengan genre serupa seperti
3 Hati, 2 Dunia, 1 Cinta (2010), Tanda Tanya (2011), dan yang terbaru Cinta
Tapi Beda (2012) tidak serta merta mengurangi nilai film ini. Film Cin(T)a tetap
menyajikan pesan pluralisme secara berbeda. Hal ini bisa terlihat dari dari
pengemasan film yang menggunakan dua konsep sinematografi
(http://www.godisadirector.com).
Konsep pertama, mengingat keberadaan Tuhan sangat subjektif pada
setiap orang, Sammaria meletakkan penonton pada 'sudut pandang Tuhan'.Reaksi
penonton pada film mencerminkan persepsi penonton itu sendiri tentang
Tuhan.Konsep kedua, Sammaria menggunakan konsep ‘dunia hanya milik berdua,
sedangkan yang lainoff - frame.’Terlihat dengan hanya ditampilkannya dua
pemeran utama di setiap scene, walaupun ada figuran hanya ditampilkan suaranya
saja sedangkan wajah mereka selalu disembunyikan.Di satu sisi film ini juga tidak
‘banjir’ romansa dan merupakan pelopor film dengan tema ’beda agama’.
Kehadiran film ini juga serta merta ‘menyentil’ masyarakat Indonesia
yang mulai nyaman dengan bauran perbedaan sejak digadang oleh Gus Dur di
masa pemerintahannya.Wacana pluralisme yang mulai ‘dingin’, kembali
memanas hingga menuai perdebatan dan kontroversi di tengah masyarakat.Perlu
disadari bahwa perdebatan yang terjadi, bermuara dari perbedaan memaknai
pluralisme itu sendiri.
Berbicara mengenai film, pasti berkaitan dengan penonton yang memaknai
maksud, bahasa, maupun ideologi yang disampaikan. Teks media mendapatkan
makna hanya pada saat penerimaan (resepsi), yaitu pada saat mereka dibaca,
dilihat dan didengarkan. Dengan kata lain, penonton dilihat sebagai produser
teks media sesuai dengan latar belakang budaya dan pengalaman subyektif yang
mereka alami dalam kehidupan. Sehingga satu teks media akan menimbulkan
banyak makna dalam sebuah teks yang sama. Setiap teks mengandung ideologi
yang menjadikan pentingnya kajian resepsi. Atas dasar inilah peneliti tertarik
melakukan penelitian mengenai interpretasi penonton terhadap pluralisme dalam
film Cin(T)a.
1.2 Fokus Masalah
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai
berikut: “Bagaimanakah Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film
Cin(T)a ?”
1.3 Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah ditujukan agar ruang lingkup dapat lebih jelas,
terarah serta tidak mengaburkan penelitian. Adapun pembatasan masalah yang
akan diteliti adalah:
1. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan studi
analisis resepsi.
2. Penelitian ini terbatas hanya pada orang-orang yang pernah menonton film
Cin(T)a.
3. Penelitian ini akan mulai dilakukan pada bulan Februari 2013 hingga
selesai.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui interpretasi yang
diberikan penonton terhadap pluralisme dalam film Cin(T)a.
1.5Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah:
1. Secara teoritis, penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah
peneliti dan pembaca mengenai kajian resepsi.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi
3. Secara akademis, penelitian ini dapat disumbangkan kepada Depertemen
Ilmu Komunikasi FISIP USU, guna memperkaya bahan penelitian dan
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1Paradigma Kajian
Salah satu dari banyak hal yang sangat memengaruhi dan membentuk ilmu
dan teori adalah paradigma (paradigm). Thomas Khun dikenal sebagai orang
pertama yang mempopulerkan istilah paradigma ini.Paradigma atau dalam bidang
keilmuan sering disebut sebagai perspektif (perspective), terkadang disebut
mazhab pemikiran (school of thought) atau teori. Paradigma secara sederhana
dapat diartikan sebagai kaca mata atau cara pandang untuk memahami dunia
nyata. Dalam hal ini, Patton berpendapat bahwa:
“A paradigm is a world view, a generalperspective, a way of breaking down the complexity of the real world. As such,paradigms are deeply embedded in the socialization of adherents and practitioners:paradigms tell them what is important, legitimate, and reasonable. Paradigms are alsonormative, telling the practitioner what to do without the necessity of long existential orepistemological consideration. But it is this aspect of paradigms that constitutes boththeir strength in that it makes action possible, their weakness in that the very reason foraction is hidden in the unquestioned assumptions of the paradigm” (Mulyana, 2002: 9).
Paradigma penelitian kualitatif adalah model penelitian ilmiah yang
meneliti kualitas-kualitas objek penelitian seperti misalnya; nilai, makna, emosi
manusia, penghayatan religius, keindahan suatu karya seni, peristiwa sejarah,
simbol-simbol atau artefak tertentu.Kualitas-kualitas itu harus dinilai atau diukur
berdasarkan pendekatan tertentu, misalnya menggunakan pendekatan
hermeneutika, semiotika, analitika bahasa, verstehen, dan metode lainnya yang
sesuai dengan objek penelitian. Penelitian kualitatif menghindari metode
matematis karena yang diukur adalah nilai (value) yang muncul dari objek
penelitian yang bersifat khusus, khas, unik bahkan sangat spesifik dan selalu
mengandung meaning.
Paradigma sangat penting perannya dalam memengaruhi teori, analisis
maupun tindak perilaku seseorang. Secara tegas boleh dikatakan bahwa pada
objektiv, melainkan salah satu di antaranya sangat tergantung pada paradigma
yang digunakan. Karena menurut Thomas Khun (dalam Mulyana, 2002: 10)
paradigma menentukan apa yang tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat, dan tidak
ingin kita ketahui. Paradigma pula yang memengaruhi pandangan seseorang apa
yang baik dan buruk, adil dan yang tidak adil. Oleh karena itu, jika ada dua orang
yang melihat sesuatu realitas sosial yang sama, atau membaca ayat dari suatu
kitab suci yang sama, akan menghasilkan pandangan, penilaian, sikap dan
perilaku yang berbeda pula. Perbedaan ini semuanya dikarenakan perbedaan
paradigma yang dimiliki, yang secara otomatis memengaruhi persepsi dan tindak
komunikasi seseorang.
Oleh karena tidak adanya paradigma, model dan sudut pandang yang
diterima secara universal, semua interpretasi yang beraneka ragam dan sering
tidak konsisten itu sama-sama absah. Keragaman paradigma berguna karena hal
itu memberikan berbagai perspektif mengenai fenomena yang sama. Agar metode
disebut ilmiah, kita harus dapat memahami apa yang kita lakukan, dan bagaimana
kesimpulan yang kita peroleh. Berdasarkan kriteria ini, hampir semua metode
bersifat ilmiah bila peneliti dapat mempertahankan pengamatan dan hasilnya
secara sistematis dan teratur karena ada kejelasan panduan, antara lain
memperhatikan tingkat kepercayaan data dan tafsiran, serta keterbukaan terhadap
publik.
Bagi ilmu sosial, keistimewaannya justru terdapat pada keanekaragaman
perspektifnya. Objek ilmu – ilmu alam (yang statis, tidak punya kemauan bebas)
memang berbeda dengan objek ilmu sosial, yakni manusia, yang mempunyai jiwa
dan kemauan bebas. Persaingan paradigma dalam disiplin komunikasi, misalnya,
antara lain disebabkan rumitnya fenomena komunikasi. Frank Dance mengakui
(dalam Mulyana, 2002: 17), disiplin komunikasi tidak punya grand theories,
sejumlah teori parsial, dan banyak teori yang partikularistik, berdasarkan alasan
berikut.
a. Sifat prosesual komunikasi yang menyulitkan prediksi.
b. Sifat komunikasi yang hadir di mana – mana membuat penjelasan
menjadi sulit.
d. Kekuatan dan pelecehan yang berasal dari perdebatan para digmatik.
e. Persaingan antara disiplin – disiplin yang berkaitan.
Sejak abad pencerahan sampai era globalisasi ini, ada empat paradigma
ilmu pengetahuan sosial dalam mengungkap hakekat realitas atau ilmu
pengetahuan yang berkembang dewasa ini. Keempat paaradigma itu ialah:
positivisme, postpositivisme, konstruktivisme (constructivism) dan teori kritik
(critical theory).
Perbedaan paradigma ini bisa dilihat dari cara mereka memandang realitas
dan melakukan penemuan-penemuan ilmu pengetahuan, ditinjau dari tiga aspek pertanyaan: ontologis(asumsi tentang realitas), asumsi epistemologis (asumsi
tentang relasi antara peneliti dan yang diteliti), dan asumsi metodologis (asumsi
tentang cara/proses peneliti memperoleh pengetahuan).
Thomas Schwandt tentang pendekatan konstruktivis dan interpretivis
dalam Handbook of Qualitative Research, mengidentifikasi perbedaan dan aliran
pemikiran utama yang ada dalam kedua pendekatan ini, yang dipersatukan oleh
penentangan keduanya terhadap positivisme dan komitmennya untuk mempelajari
dunia dari sudut pandang individu yang berinteraksi. Namun kedua perspektif ini,
seperti yang diyakini oleh Schwandt, lebih dibedakan oleh komitmennya pada
soal-soal tentang cara mengetahui ( epistemologi ) dan wujud ( ontologi ) daripada
oleh metodologi spesifiknya, yang pada dasarnya menegakkan pendekatan emik
dan idiografik terhadap penelitian(Denzin & Lincoln, 2009 : 124).
2.1.1 Paradigma Interpretivisme
Interpretivisme dibentuk oleh ide-ide yang muncul dari tradisi
hermeneutika intelektual Jerman dan tradisi Verstehen dalam sosiologi,
fenomenologi Alfred Schutz, dan kritik-kritik terhadap saintisme dan positivisme
dalam ilmu sosial yang dipengaruhi oleh tulisan para filsuf bahasa yang
mengkritik empirisisme logis (misalnya, Peter Winch, A.R. Louch, Isaiah Berlin).
Secara historis, paling tidak para interpretivis menegaskan kekhasan penelitian
manusia. Mereka menyatakan berbagai penolakan terhadap interpretasi
naturalistik atas ilmu sosial (yakni pandangan bahwa tujuan dan metode ilmu
sosial identik dengan tujuan dan metode ilmu alam). Mereka menyatakan bahwa
berbeda dengan ilmu alam (Naturwissenschaften). Tujuan ilmu alam adalah untuk memberikan penjelasan ilmiah (Erklaren), sedangkan tujuan ilmu jiwa dan
budaya adalah memahami atau mengetahui (Verstehen) “makna” fenomena sosial
(Denzin & Lincoln, 2009: 148).
Kalangan interpretivis berupaya mempertahankan antagonisme antara
subjektivitas dan objektivitas, subjektivikasi (keterlibatan) dan objektivikasi
(internalisasi nilai-nilai). Mereka mempertahankan kelestarian dan signifikansi
dunia riil orang pertama, yakni pengalaman subjektif. Namun dalam gaya
Cartesian sejati, mereka berusaha melepaskan diri dari pengalaman tersebut dan
mengobjektivikasikannya. Mereka berusaha menarik batas antara objek penelitian
dengan peneliti.Dengan demikian, paradoks terkait dengan bagaimana
membangun ilmu pengetahuan interpretif objektif mengenai pengalaman subjektif
manusia pun muncul. Perjuangan untuk mensintesiskan subjektivitas
fenomenologis dan objektivitas ilmiah tampak dalam upaya Wilhelm Dilthey
untuk menemukan dasar bagi penelitian ilmiah tentang makna, dalam usaha Max
Weber untuk menghubungkan interpretasi makna dengan penjelasan-penjelasan
kausal dan memisahkan fakta dengan nilai dalam penelitian sosial, dan dalam
analisis Alfred Schutz tentang mekanisme Verstehen (Denzin & Lincoln, 2009:
148).
Para penerus teoritis kontemporer dari para pendiri interpretivis ini telah
memusatkan perhatian mereka kepada paradoks tersebut dengan beberapa cara.
Hammersley merupakan wakil dari para kalangan pakar interpretivis yang
mengupayakan sintetis antara realisme dengan konstruktivisme sosial.LeCompte
dan Preissle (1993) serta Kirk dan Miller (1986) mengandalkan metode sebagai
strategi untuk mengeliminasi kekeliruan. John K. Smith menyebutnya dengan
metodologi “jalan tengah”. Para penganjur solusi ini berpendapat bahwa
meskipun ide-ide tentang objektivitas, penjarakan dan hambatan metodologis
sebagaimana yang didefinisikan oleh kaum empiris adalah sebuah fiksi, penelitian
interpretif harus dibuat lebih sistematisdan lebih menyeluruh (rigorous).
Alasannya disini adalah bahwa meskipun metode tidak dapat menghilangkan
menjadi kriteria yang dapat digunakan untuk memutuskan bahwa sejumlah hasil
lebih objektif daripada yang lain (Bryman, 2008: 17).
Pendekatan ini memfokuskan pada sifat subjektif dari social world dan
berusaha memahaminya dari kerangka berpikir objek yang sedang dipelajarinya.
Jadi, fokus pendekatan interpretif ini terletak pada arti individu dan persepsi
manusia terhadap realitas, bukan pada realitas independen yang berada di luar
mereka. Menurut Alfred Schutz, manusia secara terus-menerus menciptakan
realitas sosial mereka dalam rangka berinteraksi dengan yang lain. Tujuan
pendekatan interpretif tidak lain adalah menganalisis realita sosial semacam ini
dan bagaimana realita sosial itu terbentuk. Untuk memahami sebuah lingkungan
sosial yang spesifik, peneliti harus menyelami pengalaman subjektif para
pelakunya. Penelitian interpretif tidak menempatkan objektivitas sebagai hal
terpenting, tetapi mengakui bahwa demi memperoleh pemahaman mendalam,
maka subjektivitas para pelaku harus digali sedalam mungkin. Hal ini
memungkinkan terjadinya trade off antara objektivitas dan kedalaman temuan
penelitian. Pendekatan interpretif mengajak untuk menggunakan logika reflektif
di samping logika induktif dan deduktif serta logika materil dan logika
probabilistik. Pendekatan interpretif tidak ingin menampilkan teori dan konsep
yang bersifat normatif atau imperatif, tetapi mengangkat makna etika dalam
berteori dan berkonsep (Sumaryono, 1999: 23).
Karena mereka memusatkan perhatian kepada makna sebagai sesuatu yang
primer, kalangan interpretivis menafsirkan dunia realitas sosial secara sangat
berbeda dengan kalangan pakar yang mendukung kerangka kerja ilmu sosial
empiris. Di mata kaum empiris, realitas sosial terdiri atas serangkaian fakta sosial
yang meliputi tindakan kasat mata (perilaku) para individu yang dapat dijelaskan
secara fisik atau institusional dan kepercayaan–kepercayaan, keadaan-keadaan
afektif dan seterusnya yang menjelaskan motivasi-motivasi tindakan. Kedua jenis
fakta ini dianggap sebagai data kasar, yakni data yang dapat diidentifikasi dan
diverifikasi sedemikian rupa sehingga tidak lagi membutuhkan interpretasi.
Dengan cara ini, kaum empiris menjelaskan perilaku manusia sekaligus makna
Pandangan-pandangan interpretivis berpijak pada asumsi bahwa gambaran
realitas sosial kaum empiris menghilangkan sesuatu yang sangat penting, yaitu
makna-makna umum serta intersubjektif, yakni cara-cara mewujudkan tindakan
dalam masyarakat yang diekspresikan dalam bahasa dan deskripsi-deskripsi yang
membentuk institusi dan praktik. Oleh karena itu, kalangan konstruktivis dan
interpretivis secara umum memfokuskan diri pada proses-proses yang
menciptakan, menegosiasikan, mempertahankan dan memodifikasi makna-makna
tersebut dalam sebuah konteks spesifik tindakan manusia. Sarana-sarana atau
proses-proses yang mengantarkan peneliti kepada interpretasi tindakan manusia
(sekaligus akhir atau tujuan proses-proses tersebut) inilah yang disebut Verstehen
atau pemahaman (Bryman, 2008: 16).
2.1.2 Analisis Resepsi
Menurut Stanley J. Baran (2003), analisis resepsi memfokuskan pada
perhatian individu dalam proses komunikasi massa (decoding), yaitu pada proses
pemaknaan dan pemahaman yang mendalam atas media texts dan bagaimana
individu menginterpretasikan isi media (Hadi, 2009: 3). Hal ini bisa diartikan
individu secara aktif menginterpretasikan teks media dengan cara memberikan
makna atas pemahamannya sesuai apa yang dilihatnya dalam kehidupan
sehari-hari.
Dalam sejarah riset audiens, reception studies mulai berkembang pada
awal 1980-an di Eropa. Dalam kajian komunikasi, reception studies biasanya
dipakai sebagai salah satu alternatif dalam riset audiens. Kemunculan reception studies bukan sebagai reaksi terhadap metode survey dalam riset audiens,
melainkan lebih sebagai alternatif dari metode analisis teks dalam studi media.
Kedua metode tersebut sama-sama memakai pendekatan kualitatif dan sama-sama
berupaya menemukan makna pesan melalui penelitian. Perbedaannya adalah,
dalam analisis teks media, makna temuan penelitian dicapai melalui pemaknaan
atas teks oleh peneliti; sementara dalam reception studies, makna yang ditemukan
merupakan hasil pemaknaan pesan atau teks media oleh audiens yang diteliti.
Mereka yang merintis metode ini dalam studinya beranggapan bahwa para
peneliti analisis teks media (termasuk pemakai semiotika) terlalu percaya akan
bahwa pemaknaan teks media yang dianggap penting untuk dipelajari adalah
pemaknaan teks media oleh audiens, dan bukan pemaknaan teks oleh peneliti
(Littlejohn & Foss, 2009: 65-67).
Reception analysis adalah metode yang merujuk pada sebuah komparasi
antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak, yang hasil
interpretasinya merujuk pada konteks, seperti cultural setting dan context atas isi
media lain. Khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive yang
selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna, tidak hanya
sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi
oleh media massa (Hadi, 2007: 16).
Analisis resepsi mempertanyakan metodologi penelitian sosial ilmiah
empiris dan juga studi humanistik isi media karena keduanya tidak mampu atau
tidak mengindahkan kemampuan khalayak dalam memberikan makna pada pesan
-pesan media. Inti dari pendekatan resepsi ini terletak pada atribusi dan konstruksi
makna (yang didapat dari media) oleh khalayak. Pesan media senantiasa polisemi
dan harus ditafsirkan.
Pendekatan studi analisis resepsi digunakan karena pada dasarnya audiens
aktif meresepsi teks dan tidak dapat lepas dari pandangan moralnya, baik pada
taraf mengamati, meresepsi atau dalam membuat kesimpulan. Penelitian resepsi
mendasarkan pada kesadaran atau cara subyek dalam memahami obyek dan
peristiwa dengan pengalaman individu. Analisis resepsi dapat melihat mengapa
khalayak memaknai sesuatu secara berbeda, faktor-faktor psikologis dan sosial
apa yang mempengaruhi perbedaan tersebut, dan konsekuensi sosial apa yang
muncul.
Pendekatan ini berasumsi bahwa makna media adalah sesuatu yang tidak
kaku. Konstruksi makna itu terjadi melalui interpretasi khalayak terhadap teks
media. Premis dari analisis resepsi adalah bahwa teks media mendapatkan makna
pada saat peristiwa penerimaan dan bahwa khalayak secara aktif memproduksi
makna dari media dengan menerima dan menginterpretasikan teks-teks sesuai
posisi-posisi sosial dan budaya mereka. Dengan kata lain pesan-pesan media
secara subjektif dikonstruksikan khalayak secara individual. Latar belakang yang
kehidupan individu khalayak dan pengalamannya bersama media. Dalam hal ini
dapat dilihat bahwa terdapat hubungan antara latar belakang khalayak dengan
bagaimana ia memaknai pesan yang diberikan media (Croteau & Hoynes, 2000:
268).
Dalam studi khalayak seperti yang dikatakan Evans (Ferguson &
Goldings, 1997: 123–124) penelitian khalayak pada studi media
dikarakteristikkan oleh dua asumsi : (a) bahwa khalayak selalu aktif dan (b)
bahwa isi media selalu bersifat polisemi atau terbuka untuk diinterpretasi. Asumsi
di atas berarti bahwa mayoritas khalayak secara rutin memodifikasi atau merubah
berbagai ideologi dominan yang direfleksikan dalam isi media.
Dalam reception analysis makna teks media merupakan hasil konstruksi
khalayak dan bukan buatan produsen media semata. Khalayak di sini adalah siapa
saja yang menggunakan segala bentuk media penyiaran, dalam keadaan apapun
serta memberikan pemaknaannya pada media tersebut. Frank Biocca menyatakan
bahwa ada lima karakteristik khalayak aktif (Littlejohn, 2002: 312), yaitu:
1. Selektif. Khalayak yang aktif dianggap selektif dalam memilih media yang
mereka gunakan.
2. Utilitarian. Khalayak yang aktif dikatakan menggunakan media untuk
memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu mereka.
3. Intensional. Khalayak yang aktif menggunakan isi media yang mereka
inginkan.
4. Involvement. Khalayak secara aktif berpikir dan menggunakan media.
5. Tidak secara mudah dipengaruhi oleh media.
Teori khalayak aktif menyatakan bahwa media tidak dapat membuat
individu harus berpikir atau berperilaku sesuai dengan apa yang ditampilkan oleh
media karena khalayak bukanlah individu yang bodoh, naif dan mudah untuk
didominasi oleh indoktrinasi media. Khalayak aktif ditekankan pada kecerdasan
dan otonomi dari individu, serta khalayak memiliki kekuatan dalam menggunakan
media. Salah satu cara dasar khalayak media dapat dilihat sebagai khalayak aktif
yaitu melalui interpretasi produksi media oleh khalayak. Ada tiga cara yang
memperlihatkan aktifnya khalayak media massa (Croteau & Hoyness, 2000: 262),
1. Interpretasi
Makna dari pesan yang disampaikan oleh media massa dikonstruksikan
oleh khalayak. Aktivitas menginterpretasikan ini sangat penting dan
merupakan bagian dari proses pemaknaan. Interpretasi khalayak bisa sama
atau bahkan bertentangan dengan apa yang sebenarnya ingin disampaikan
oleh produsen media massa. Setiap individu bisa saja memiliki interpretasi
berbeda untuk sebuah pesan yang sama.
2. Konteks Sosial Interpretasi
Interpretasi khalayak tidak akan terlepas dari konteks sosial di sekitarnya.
Karena media massa merupakan bagian dari kehidupan sosial, interpretasi
terhadap isi media massa akan dipengaruhi oleh setting dan konteks sosial.
3. Aksi Kolektif
Khalayak terkadang melakukan aksi-aksi secara kolektif sehubungan
dengan isi media massa. Mereka bukanlah orang-orang yang pasif. Mereka
akan melakukan sesuatu bila menginginkan sesuatu dari produsen media
massa.
Peran aktif penonton dalam memaknai teks juga dapat terlihat pada model
encoding/decoding Stuart Hall, yaitu model yang menjelaskan bahwa sebuah
pesan yang sama dapat dikirimkan atau diterjemahkan lebih dari satu cara. Model
ini fokus pada ide bahwa audiens memiliki respon yang bermacam-macam pada
sebuah pesan media karena pengaruh posisi sosial, gender, usia, etnis, pekerjaan,
pengalaman, keyakinan dan kemampuan mereka dalam menerima pesan. Hal
tersebut terlihat pada premis-premis dari model encoding/decoding Stuart Hall
yang merupakan dasar dari analisis resepsi (Narottama, 2008: 7):
1. Peristiwa yang sama dapat dikirimkan atau diterjemahkan lebih dari satu
cara.
2. Pesan selalu mengandung lebih dari satu potensi pembacaan. Tujuan pesan
dan arahan pembacaan memang ada, tetapi itu tidak akan bisa menutup
hanya menjadi satu pembacaan saja: mereka masih polisemi (secara
prinsip masih memungkinkan munculnya variasi interpretasi).
3. Memahami pesan juga merupakan praktek yang problematik,
secara satu arah akan selalu mungkin untuk diterima atau dipahami dengan
cara yang berbeda.
Objek dari model ini adalah makna dan pesan dalam bentuk tanda yang
diproses melalui pengoperasian kode dalam rantai wacana.Kebanyakan teori
komunikasi bersifat linear karena hanya berfokus pada pesan dan tidak
memperhatikan pada faktor-faktor penyusun pesan. Oleh Fiske, analisa ini
kemudian disempurnakan dengan memberikan perhatian pada kultur media dan
menganalisa hubungan yang kompleks antara teks, khalayak, industri media,
politik dan konteks sejarah sebagai sebuah kesatuan.
Melalui model encoding-decoding dapat diketahui bahwa struktur makna
(meaning structure) satu dan struktur makna dua kemungkinan tidak sama. Kode
encoding dan decoding kemungkinan juga tidak sejajar. Derajat simetrisnya akan
tergantung dari derajat simetri dan asimetri yang dibangun antara
decoder/receiver dan encoder/producer. Derajat asimetri disini adalah derajat
pengertian dan salah pengertian dalam pertukaran komunikasi (Durham &
Kellner, 2002: 173).
Decoding adalah proses melalui mana audiens menggunakan pengetahuan
mereka secara implisit tentang teks dan nilai-nilai budaya guna
menginterpretasikan teks media. Decoding berkaitan dengan kapasitas subyektif
untuk menghubungkan tanda tersebut dengan tanda lainnya. Model ini
memberikan fokus pada hubungan antara pesan media yang di-encode oleh
produser dan cara pesan tersebut diinterpretasikan atau di-decode oleh khalayak.
Berdasarkan model ini, khalayak akan men-decode pesan suatu teks dengan
menggunakan pengetahuan dan nilai-nilai budaya yang mereka miliki serta
mengaitkannya dengan keadaan lingkungan secara menyeluruh. Namun apa yang
di-encode oleh pembuat teks tidak selalu simetri dengan apa yang di-decode oleh
khalayaknya.
Namun demikian khalayak tidak bisa men-decode pesan semaunya karena
teks media memiliki batasan intrpretasi, seperti yang dikatakan oleh Hall, (Hagen
& Wasko, 2000: 19) “Encoding will have the effect of constructing some of the
limits within wich decoding will operate.” Karena encoding akan memiliki efek
pembacaan antara penulis teks dan pembaca serta bagaimana pesan itu dibaca di
antara keduanya (Durham & Kellner, 2002: 174-175).
1. Dominant-Hegemonic Position.
Yaitu, audience mengambil makna yang mengandung arti dari isi media
dan meng-decode-nya sesuai dengan makna yang dimaksud (preferred
reading) yang ditawarkan teks media. Audience sudah punya pemahaman
yang sama, tidak akan ada pengulangan pesan, pandangan komunikator
dan komunikan sama, langsung menerima.
2. Negotiated Position.
Yaitu, mayoritas audience memahami hampir semua apa yang telah
didefinisikan dan ditandakan dalam teks media. Audience bisa menolak
bagian yang dikemukakan, di pihak lain akan menerima bagian yang lain.
3. Oppositional Position.
Yaitu, audience memaknai pesan secara kritis dan menemukan adanya
bias dalam penyampaian pesan dan berusaha untuk tidak menerimanya
secara mentah-mentah. Dalam hal ini audience berusaha untuk
melakukan demitologisasi terhadap teks.
Teks dalam model encoding-decoding diartikan sebagai struktur penanda
yang terdiri dari tanda dan kode yang penting bagi komunikasi.Struktur ini sangat
bervariasi bentuknya mulai dari pembicaraan, tulisan, film, pakaian, dekorasi
mobil, gestur, dan lain sebagainya. Maka film Cin(T)a dalam penelitian ini
disebut dengan teks.
Teks media dikatakan bersifat polisemi (Croteau & Hoynes, 2000: 266,
268) karena menurut John Fiske teks media mengandung berbagai makna.Media
dari sudut pandang ini memungkinkan terjadinya keragaman interpretasi; teks
terstruktur sedemikian rupa sehingga memungkinkan pemaknaan yang
berlawanan dengan keinginan pembuat teks. Namun teks tidak terbuka begitu
saja, teks memang terbuka untuk dimaknai namun memiliki batasan interpretasi.
Batasan interpretasi itu dipengaruhi oleh keikutsertaan audiens dalam suatu
kelompok dan faktor-faktor seperti usia, etnis, kelas sosial, pekerjaan, status
perkawinan, ras, gender, latar belakang pendidikan dan keyakinan politik yang
teks. Beberapa makna akan lebih mudah untuk dikonstruksi karena nilai-nilainya
yang tersebar di masyarakat. Sebaliknya pemaknaan lain akan lebih sulit karena
jarang disosialisasikan kepada masyarakat.
2.2 Kajian Pustaka
Ilmu komunikasi merupakan ilmu yang mempelajari, menelaah dan
meneliti kegiatan – kegiatan komunikasi manusia yang luas ruang lingkup
(scope)-nya dan banyak dimensinya. Para mahasiswa selalu mengklasifikasikan
aspek – aspek komunikasi ke dalam jenis – jenis yang satu sama lain berbeda
konteksnya (Effendy, 2006: 52).
2.2.1 Komunikasi
Setiap sendi kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari kegiatan
komunikasi, baik secara verbal maupun nonverbal. Komunikasi dapat
diikhtisarkan sebagai berikut (Lubis, 2007: 11).
1. Komunikasi berasal dari bahasa latin, communis yang berarti ‘sama’.
Maksudnya bila seseorang menyampaikan pesan komunikasi kepada orang
lain maka terlebih dahulu harus menyadarkan persamaan lambang dengan
orang yang dituju sebagai sasaran komunikasi.
2. Komunikasi merupakan proses penyampaian pesan komunikasi dari
seseorang atau sekelompok kepada seseorang atau sekelompok lainnya.
3. Kegiatan komunikasi meliputi komponen-komponen seperti sumber, pesan, saluran, penerima, gangguan, proses penyampaian, arus balik dan
efek.
4. Kegiatan komunikasi meliputi komunikasi intra individu, antar individu,
kelompok kecil, public speaking komunikasi massa atau komunikasi antar
kebudayaan.
Menurut Frey, Botan dan Kreps (2000), Communication is the process of
managing messages for the purpose of creating meaning, bahwa komunikasi
adalah suatu proses mengelola pesan dengan tujuan menciptakan makna. Pada
pengertian ini terdapat 3 kata kunci, diantaranya messages (pesan), managing
(mengelola), dan meaning (makna). Messages (pesan) disini dinyatakan dalam
dinyatakan dalam kata-kata, sedangkan pesan nonverbal dinyatakan dalam simbol
yang berupa tindakan dan isyarat. Managing (mengelola) yaitu mengelola pesan
dengan cara menerima pesan untuk direspon kemudian diolah untuk menjadi
pesan yang mungkin dijadikan pilihan yang dapat memengaruhi makna yang akan
ditimbulkan. Meaning (makna) yaitu penafsiran seseorang terhadap pesan yang
telah diberikan kepadanya untuk kemudian dipahami (Griffin, 2006: 52).
Proses komunikasi berkaitan dengan bagaimana komunikasi itu
berlangsung. Menurut Daft (2006), ada dua elemen umum dalam setiap situasi
komunikasi, yaitu pengirim dan penerima. Pengirim (sender) adalah orang yang
ingin menyampaikan ide atau konsep kepada orang lain, mencari informasi, atau
mengungkapkan pemikiran atau emosi. Penerima (receiver) adalah orang
kepadasiapa pesan tersebut dikirimkan. Pengirim meng-enkode (encodes) ide
dengan memilih simbol-simbol yang digunakan untuk menyusun sebuah pesan.
Pesan (message) adalah perumusan yang nyata dari ide yang dikirimkan
untuk penerima.Pesan tersebut dikirim lewat sebuah saluran (channel). Saluran
tersebut bisa berupa laporan formal, e-mail, pertemuan dengan berhadapan secara
langsung, lagu bahkan film. Penerima pesan kemudian men-dekode (decodes)
simbol-simbol untuk menginterpretasikan arti pesan tersebut.
Lambang atau simbol adalah sesuatu yang digunakan untuk menunjukan
sesuatu lainnya, berdasarkan kesepakatan sekelompok orang. Lambang meliputi
kata-kata (pesan verbal), perilaku nonverbal, dan objek yang maknanya disepakati
bersama. Lambang mempunyai beberapa sifat seperti berikut ini.
Lambang bersifat sembarang, manasuka, atau sewenang-wenang. Apa saja
bisa dijadikan lambang, bergantung pada kesepakatan bersama. Kata-kata (lisan
atau tulisan), isyarat anggota tubuh, makanan dan cara makan, tempat tinggal,
jabatan (pekerjaan), olahraga, hobi, peristiwa, hewan, tumbuhan, gedung, alat
(artefak), angka, bunyi, waktu dan sebagainya. Semua itu bisa dijadikan lambang.
Lambang pada dasarnya tidak mempunyai makna; kitalah yang memberi
makna pada lambang. Makna sebenarnya ada dalam kepala kita, bukan terletak
pada lambang itu sendiri. Kalaupun ada orang yang mengatakan bahwa kata-kata
mempunyai makna, yang ia maksudkan sebenarnya bahwa kata-kata itu
kata-kata itu. Persoalan akan timbul bila para peserta komunikasi tidak memberi
makna yang sama pada suatu kata.
Lambang itu bervariasi dari suatu budaya ke budaya lainnya, dari suatu
tempat ke tempat lainnya, dari suatu konteks waktu ke konteks waktu lainnya.
Begitu juga makna yang diberikan kepada lambang tersebut. Kita hanya
memerlukan kesepakatan mengenai suatu lambang. Akan tetapi, makna yang
diberikan kepada suatu lambang boleh jadi berubah dalam perjalanan waktu,
meskipun perubahan makna itu berjalan lambat.
Menggunakan lambang, baik dalam penyandian ataupun penyandian-balik,
manusia dapat berbagi pengalaman dan pengetahuan, bukan hanya antara mereka
yang sama-sama hadir, bahkan juga antara mereka yang tinggal berjauhan dan
tidak pernah saling bertemu, atau antara pihak-pihak yang berbeda generasi. Kita
tidak hanya dapat menyampaikan pengetahuan dari orang ke orang, namun juga
gagasan dari satu generasi ke genarasi lainnya, meskipun generasi-generasi
tersebut dipisahkan oleh waktu ratusan tahun.
Thomas M. Scheidel mengemukakan bahwa kita berkomunikasi terutama
untuk menyatakan dan mendukung identitas diri, untuk membangun kontak sosial
dengan orang disekitar kita dan untuk memperngaruhi orang lain untuk merasa,
berpikir, atau berperilaku seperti yang kita inginkan (Mulyana, 2007: 4).
Menurut Carl I. Hovland, ilmu komunikasi adalah upaya yang sistematis
untuk merumuskan secara tegas asas-asas penyampaian informasi serta
pembentukan pendapat dan sikap. Definisi Hovland diatas menunjukan bahwa
yang dijadikan objek studi ilmu komunikasi bukan saja penyampaian informasi,
melainkan juga pembentukan pendapat umum (public opinion) dan sikap publik
(public attitude) yang dalam kehidupan sosial dan kehidupan politik memainkan
peranan yang amat penting. Bahkan dalam definisinya secara khusus mengenai
pengertian komunikasinya sendiri, Hovland mengatakan bahwa komunikasi
adalah proses mengubah perilaku orang lain (Effendy, 2006: 10).
Komunikasi yang secara sederhana dapat diartikan sebagai proses
penyampaian dan penerimaan pesan dengan menggunakan simbol atau tanda
sebuah tanda yang dipertukarkan akan memerlukan makna-makna yang juga
dipertukarkan untuk membentuk sebuah komunikasi yang baik.
Hal tersebut diatas akan mengacu pada bagaimana cara menciptakan
makna. Ini yang akan memberikan penekanan yang berbeda dalam bidang
komunikasi, karena dalam model tersebut tidak dilihat pada proses transmisi
pesan atau proses penyampaian pesan, tetapi lebih menekankan pada relasi antar
unsur-unsur dalam menciptakan makna. Menyangkut hal ini, Fiske
mengklasifikasikannya dalam dua paradigma utama, yaitu:
“Paradigma pertama yang disebut juga paradigma ‘proses’ yang melihat komunikasi sebagai transmisi pesan. Ia tertarik dengan bagaimana pengirim dan penerima mengkonstruksi pesan (encode) dan menerjemahkannya (decode), dan dengan bagaimana transmitter mengunakan saluran dan media komunikasi. Ia tertarik dengan hal-hal seperti efisiensi dan akurasi. Ia melihat komunikasi sebagai suatu proses yang dengannya seorang pribadi mempengaruhi perilaku atau state of mind pribadi yang lain. Sedangkan paradigam kedua melihat komunikasi sebagai produksi dan pertukaran makna. Ia berkenaan dengan bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan orang-orang dalam rangka menghasilkan makna, yakni ia berkenaan dengan peran teks dalam kebudayaan kita. Ia menggunakan istilah-istilah seperti pertandaan (signification) dan tidaak memandang kesalahpahaman sebagai bukti penting dari kegagalan komunikasi.” (Fiske, 2007: 8).
Dari pandangan diatas dapat diketahui pada dasarnya komunikasi
merupakan proses interaksi sosial melalui pesan. Pada paradigma pertama melihat
komunikasi sebagai proses penyampaian pesan (transmission of message). Hal ini
berhubungan dengan bagaimana pengirim (sender) dan penerima (receiver)
menyampaikan serta menerima pesan. Disini komunikasi dimaknai sebagai suatu
proses dimana seseorang berusaha mempengaruhi tingkah laku atau pikiran orang
lain. Dengan kata lain, pandangan ini melihat interaksi sosial sebagai proses
hubungan seseorang dengan yang lain, atau proses mempengaruhi sikap, tingkah
laku dan respon emosional terhadap orang lain.
Pada paradigma kedua lebih melihat komunikasi sebagai suatu aktifitas produksi serta pertukaran makna-makna pesan (production and exchange of
meaning). Ini berkaitan dengan bagaimana pesan-pesan atau teks berinteraksi
sosial dengan menyatakan individu sebagai bagian dari sebuah kebudayaan atau
masyarakat tertentu. Pandangan ini juga tidak mempertimbangkan
kesalahpahaman yang akan menyebabkan kegagalan komunikasi, karena ini
menyangkut perbedaan latar belakang budaya antara pengirim dan penerima
pesan. Oleh sebab itu, dalam paradigma ini lebih menekankan pada studi
komunikasi sebagai studi terhadap teks dan budaya.
Makna merupaka hakekat komunikasi. Bagaimana tidak, seseorang yang
terlibat dalam kondisi percakapan, ia dan lawan bicaranya terus menerus
memberikan makna pada berbagai pesan/informasi yang mereka sampaikan
maupun yang diterimanya. Pemaknaan yang dilakukan para pihak yang terlibat
dalam komunikasi, berada dalam koridor mencari kebenaran, melalui
langkah-langkah kreatif dalam memberi makna.
Dalam konteks komunikasi, makna dan interpretasi selalu muncul dalam
episode pembuatan pesan, penerimaan pesan dan proses yang berlangsung di
dalamnya. Pembuatan dan penerimaan pesan dapat dimaknai dan terdiri dari
berbagai perspektif termasuk individualis, sosialis interpretif dan kritik.
Pembuatan pesan berurusan dengan bagaimana pesan-pesan dihasilkan yang
bermuara pada produk pesan. Sementara itu penerimaan pesan berfokus pada
bagaimana pesan diterima. Baik pembuatan maupun penerimaan pesan, berkutat
di seputar bagaimana manusia memahami, mengorganisasikan dan menggunakan
informasi yang terkandung dalam pesan. Sebagaimana diketahui bahwa
komunikasi merupakan proses yang fokus pada pesan yang dibangun oleh
berbagai informasi.
Interpretasi didefinisikan sebagai kondisi aktif seseorang dalam proses
berpikir dan kegiatan kreatif pencarian makna (Littlejohn, 1999: 199). Makna
pesan media tidaklah permanen, melainkan dikonstruksi oleh khalayak melalui
komitmen dengan teks media dalam kegiatan rutin interpretasinya. Artinya,
khalayak aktif dalam menginterpretasi dan memaknai teks media.
Gambar 2.1
Sumber : Journal of Communication, 1990, vol. 40 no. 1, Hal 73 Proses interpretasi terjadi setelah pesan diorganisir dan individu akan mengenali bentuk dan makna dari rangsangan yang diterimanya. Dari rangsangan
yang diterima, ditarik kesimpulan dan menciptakan gambaran akhir mengenai
makna dari rangsangan di dalam pikiran individu. Dapat diibaratkan menafsirkan
suatu hal dari sudut pandang kita sendiri.
Suatu interpretasi dapat merupakan bagian dari suatu presentasi atau
penggambaran informasi yang diubah untuk menyesuaikan dengan suatu
kumpulan simbol spesifik. Informasi itu dapat berupa lisan, tulisan, gambar,
angka atau berbagai bentuk bahasa lainnya. Makna yang kompleks dapat timbul
sewaktu penafsir baik secara sadar maupun tidak, melakukan rujukan silang
terhadap suatu objek dengan menempatkannya pada kerangka pengalaman dan
pengetahuan yang lebih luas.
2.2.2 Pluralisme
Secara etimologi pluralisme berasal dari kata plural (Inggris) yang berarti
jamak, dalam arti ada keanekaragaman dalam masyarakat, ada banyak hal lain di
luar kelompok kita yang harus diakui. Lebih luas lagi, pluralisme adalah sebuah
“ism” atau aliran tentang pluralitas.
Pluralisme dalam ilmu sosial merupakan konsep pemahaman tentang
kehidupan majemuk (plural) yang harus ditata sedemikian rupa untuk
menciptakan suasana saling menghargai dan menghormati guna menghindari
konflik. Sementara itu, dalam pengertian yang lain, pluralisme dimaknai juga
sebagai filsafat yang mengajarkan ada lebih dari satu macam “kebenaran terakhir”
yang dipertentangkan dengan aliran “monoisme” atau “dualisme”. Monoisme