• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2. Interprofessional Education (IPE)

a) Pengertian Interprofessional Education (IPE)

Interprofessional education (IPE) adalah metode pembelajaran yang interaktif, berbasis kelompok, yang dilakukan dengan menciptakan suasana belajar berkolaborasi untuk mewujudkan praktik yang berkolaborasi, dan juga untuk menyampaikan pemahaman mengenai interpersonal, kelompok, organisasi dan hubungan antar organisasi sebagai proses profesionalisasi (Royal College of Nursing, 2006). IPE dapat terjadi ketika dua atau lebih mahasiswa dari program studi kesehatan yang berbeda belajar bersama yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama dan kualitas pelayanan kesehatan (CAIPE, 2002). IPE merupakan pendidikan interdisiplin dimana profesional kesehatan belajar mengenai kolaborasi dalam lintas disiplin ilmu dengan tujuan untuk mengembangkan pengetahuan, keterampilan dan nilai dalam bekerja bersama profesi kesehatan lainnya (CIHC, 2008).

Berdasarkan definisi-definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa di dalam dunia kesehatan, IPE dapat terwujud apabila para mahasiswa dari berbagai program studi di bidang kesehatan serta disiplin ilmu terkait berdiskusi bersama mengenai konsep pelayanan kesehatan dan

14

bagaimana kualitasnya dapat ditingkatkan demi kepentingan masyarakat luas. Secara spesifik, IPE dapat dimanfaatkan untuk membahas isu-isu kesehatan maupun kasus tertentu yang terjadi di masyarakat supaya melalui diskusi interprofesional tersebut ditemukan solusi-solusi yang tepat dan dapat diaplikasikan secara efektif dan efisien. Penerapan IPE diharapkan dapat membuka mata masing-masing profesi, untuk menyadari bahwa dalam proses pelayanan kesehatan, seorang pasien menjadi sehat bukan karena 14 jasa dari salah satu profesi saja, melainkan merupakan konstribusi dari tiap profesi yang secara terintegrasi melakukan asuhan kesehatan (HPEQ Project, 2011).

World Health Organization (WHO) tahun 2010 menyatakan

bahwa banyak sistem kesehatan di negara-negara di dunia yang sangat terfragmentasi pada akhirnya tidak mampu menyelesaikan masalah kesehatan di negara itu sendiri. Hal ini kemudian disadari karena permasalahan kesehatan sebenarnya menyangkut banyak aspek dalam kehidupan, dan untuk dapat memecahkan satu persatu permasalahan tersebut atau untuk meningkatkan kualitas kesehatan itu sendiri, tidak dapat dilakukan hanya dengan sistem uniprofessional. Kontribusi berbagi disiplin ilmu ternyata memberi dampak positif dalam penyelesaian berbagai masalah kesehatan.

Pengembangan model IPE yang ideal harus dimulai dengan persamaan paradigma bahwa IPE hanyalah langkah awal dari tujuan

15

utama dalam upaya meningkatkan pelayanan kesehatan yang berpusat pada pasien. Pendekatan interprofesional akan memfasilitasi dengan lebih baik mahasiswa dari satu disiplin ilmu untuk belajar dari disiplin ilmu lainnya. Pembelajaran bersama antardisiplin ilmu dapat meningkatkan keterampilan baru mahasiswa yang akan memperkaya keterampilan khusus yang dimiliki masing-masing disiplin dan mampu bekerja sama lebih baik dalam lingkungan tim yang terintegrasi. Selama ini penerapan IPE masih tidak konsisten, untuk itu harus dibuat sebuah komitmen sehingga pembelajaran interprofesional dapat diterapkan di institusi pendidikan dan diterapkan dalam kurikulum pendidikan di semua program pelayanan kesehatan untuk memastikan keberadaan jangka panjang IPE yang berkelanjutan (ACCP, 2009).

b) Karakteristik Model IPE yang Ideal

Penyamaan paradigma merupakan hal yang penting dalam membangun konsep IPE. Kolaborasi akan tercipta apabila paradigma antar tenaga kesehatan dapat berjalan selaras yaitu fokus terhadap kesejahteraan pasien. Pengembagan IPE yang ideal harus dimulai dengan menyamakan paradigma, keefektifan IPE dapat terlihat apabila pendekatan penyelesaian masalah melibatkan lebih dari satu profesi kesehatan (Lee, 2009).

Pelaksanaan terintegrasi dalam pembelajaran perlu diperhatikan sebagai salah satu karakteristik IPE yang ideal. Pelaksanaan

16

terintegrasi dapat dilaksanakan dalam bentuk kemampuan keterampilan bekerja dalam tim meliputi kemampuan penyelesaian masalah dan penyelesaian konflik antar tim (Begley, 2009 dalam A’la,

2010). Terintegrasi ini melibatkan semua profesi kesehatan, meliputi kedokteran, keperawatan, apoteker, kesehatan masyarakat, pekerja sosial, dan ahli gizi.

Pelaksanaan pendidikan yang terintegrasi dalam penerapan IPE membutuhkan lingkungan yang mampu mendukung berlangsungnya proses pendidikan. Real world experience merupakan model lingkungan pendidikan yang sangat relevan dalam menunjang pelaksanaan IPE. Lingkungan dalam hal ini dapat berupa lingkungan yang mendukung terjadinya diskusi antar profesi kesehatan dalam menyelesaikan masalah dan sebagai media bekerja dalam tim, seperti ruang diskusi maupun mini hospital (Lee, 2009).

Persamaan paradigma, pelaksanaan yang terintegrasi maupun lingkungan yang memadai tidak akan bisa berjalan dan membentuk IPE yang ideal tanpa role model pendidikan yang mampu berkomitmen dalam menuntun pelaksanaan IPE. Role model pendidikan disini dapat diartikan sebagai dosen. Dosen dalam pelaksanaan IPE berperan sebagai fasilitator. Ketika dosen mampu berperan dengan baik sebagai fasilitator, akan menumbuhkan sikap saling menghormati antar profesi (Lee, 2009).

17

c) Manfaat IPE

Terkait dengan manfaat perkembangan personal dan profesionalisme semua kelompok yang ikut dalam IPE, melaporkan bahwa mereka telah mengalami banyak perkembangan pada diri mereka dalam melakukan tindakan dan lebih profesional, misalnya memberikan mahasiswa kesempatan untuk mendapatkan pengalaman seperti dalam kehidupan kerja yang nyata. Selain itu, para mahasiswa dapat berinteraksi lebih luas dalam lingkungan fakultas sebagai suatu lingkungan kerja, bukan hanya dalam hal akademik saja, sehingga para mahasiswa dapat belajar untuk menghargai profesi lainnya. Salah satu hasil yang signifikan dilaporkan oleh pelajar di area perkembangan profesional. Mahasiswa melaporkan bahwa mereka menjadi lebih jelas mengenai peran mereka masing-masing dan profesi lain. Selain itu mereka merasa lebih efektif dalam melakukan tindakan. Mereka dapat menilai masalah dari wilayah disiplin mereka sendiri dan disesuaikan dari segi kolaborasi sehingga mereka mampu memperluas pandangan mereka dari profesi lainnya. (Illingworth & Sonya, 2007).

Manfaat yang penting adalah mahasiswa dapat belajar bagaimana untuk bekerja dalam lingkungan kelompok. Mereka belajar bagaimana manajemen konflik dan belajar saling melengkapi sebagai sebuah tim sehingga menyelesaikan masalah lebih efektif dan efisien. Mahasiswa yang telah mengikuti program IPE melaporkan

18

peningkatan keterampilan pribadi, mereka belajar lebih hormat, sabar, dan fleksibel. Mereka juga melaporkan bahwa para mahasiswa dapat menjadi pendengar yang lebih baik dan lebih mampu untuk berkomunikasi dalam kelompok. Mereka belajar bagaimana menangani perbedaan yang timbul antara orang-orang karena budaya atau kepribadian (McCroskey & Robertson, 1999 dalam Illingworth & Sonya, 2007).

Melalui program IPE mahasiswa dapat belajar untuk bekerja di berbagai kelompok budaya dan langsung terlibat dalam berbagai kelompok. Belajar untuk menghormati dan memahami profesi lain dalam menentukan intervensi. Kelompok yang terdiri dari berbagai budaya melatih mahasiswa untuk menghargai budaya lain, misalnya dalam hal mengemukakan pendapat saat berdiskusi tanpa melibatkan rasisme, masalah budaya, kepercayaan dan etnis (McCroskey & Robertson, 1999 dalam Illingworth & Sonya, 2007).

Mahasiswa yang mengikuti program IPE dapat memanfaatkan sumber daya yang tersedia secara maksimal karena dilakukan secara kolaboratif dengan profesi lain. Para mahasiswa menjadi lebih memahami akan pentingnya kolaborasi dan memahami perannya masing-masing sebagai sebuah tim yang berorientasi pada pasien. Laporan dari mahasiswa yang mengikuti program IPE bahwa mereka merasa lebih mampu melayani klien sebagai hasil dari pengalaman mereka saat mengikuti IPE. Para mahasiswa dapat menambah

19

pengalaman mereka dalam menangani masalah kompleks mengahadapi klien (McCroskey & Robertson, 1999 dalam Illingworth & Sonya, 2007).

WHO (2010) menyajikan hasil penelitian di 42 negara tentang dampak dari penerapan collaborative practice dalam dunia kesehatan. Hasil dari penelitian ternyata sangat menjanjikan bukan hanya bagi negara terkait, namun juga apabila digunakan di negara-negara lain.

Penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa collaborative practice dapat meningkatkan:

1. Keterjangkauan serta koordinasi layanan kesehatan, 2. Penggunaan sumber daya klinis spesifik yang sesuai, 3. Outcome kesehatan bagi penyakit kronis, dan

4. Pelayanan serta keselamatan pasien.

WHO (2010) juga menjelaskan collaborative practice dapat menurunkan:

1. Total komplikasi yang dialami pasien, 2. Jangka waktu rawat inap,

3. Ketegangan dan konflik di antara pemberi layanan (caregivers), 4. Biaya rumah sakit,

5. Rata-rata clinical error, dan 6. Rata-rata jumlah kematian pasien

Mahasiswa harus mampu memahami konsep IPE sedini mungkin untuk dapat bersama-sama memecahkan masalah kesehatan

20

di kemudian hari. Mahasiswa yang sejak awal mampu bekerja secara interprofesi diharapkan sudah siap untuk memasuki dunia kerja dan masuk ke dalam tim collaborative practice. Proses IPE membentuk proses komunikasi, tukar pikiran, proses belajar, sampai kemudian menemukan sesuatu yang bermanfaat antar para pekerja profesi kesehatan yang berbeda dalam rangka penyelesaian suatu masalah atau untuk peningkatan kualitas kesehatan (Thistlethwaite & Monica, 2010).

d) Kompetensi Interprofessional Education

Kompetensi yang diharapkan dimiliki oleh mahasiswa dengan metode pembelajaran IPE adalah kemampuan untuk mengembangkan kompetensi yang diperlukan untuk berkolaborasi. Dalam buku HPEQ Project (2011) dijelaskan kompetensi kolaborasi yaitu yaitu:

1. Memahami peran, tanggung jawab dan kompetensi profesi lain dengan jelas,

2. Bekerja dengan profesi lain untuk memecahkan konflik dalam memutuskan perawatan dan pengobatan pasien,

3. Bekerja dengan profesi lain untuk mengkaji, merencanakan, dan memantau perawatan pasien,

4. Menoleransi perbedaan, kesalahpahaman dan kekurangan profesi lain,

21

6. Memasuki hubungan saling tergantung dengan profesi kesehatan lain.

American College of Clinical Pharmacy (ACCP) (2009)

membagi kompetensi untuk IPE terdiri atas empat bagian yaitu pengetahuan, keterampilan, sikap, dan kemampuan tim (Tabel 2.1):

Tabel 2.1.

Kompetensi untuk IPE (ACCP, 2009)

No Kompetensi utama

IPE Komponen kompetensi IPE

1 Kompetensi pengetahuan

Strategi koordinasi

Model berbagi tugas/ pengkajian situasi Kebiasaan karakter bekerja dalam tim Pengetahuan terhadap tujuan tim Tanggung jawab tugas spesifik 2 Kompetensi

keterampilan

Pemantauan kinerja secara bersamasama Fleksibilitas/ penyesuaian

Dukungan/ perilaku saling mendukung Kepemimpinan tim

Pemecahan konflik Umpan balik

Komunikasi/ pertukaran informasi 3. Kompetensi sikap

Orientasi tim (moral)

Kemajuan bersama

Berbagi pandangan/ tujuan

4. Kompetensi kemampuan tim

Kepaduan tim Saling percaya Orientasi bersama Kepentingan bekerja tim

22

e) Gambaran Pelaksanaan IPE

Sejak WHO (2010) mengidentifikasi IPE sebagai komponen penting dari perawatan kesehatan primer pada tahun 1978, berbagai universitas di dunia mulai mengembangkan IPE dalam kurikulum mereka. Salah satu universitas yang relah menerapkan IPE adalah Universitas Australia. Pada tahun 2009 telah dibentuk sebuah komite yang terdiri dari perwakilan seluruh program profesi kesehatan di Universitas Australia yang bertugas membahas pelaksanaan IPE dan mengidentifikasi berbagai hambatan yang ada. Mahasiswa keperawatan, patologi, pendidikan dokter, kesehatan masyarakat desa, gizi kesehatan, kesehatan masyarakat, psikologi dan psikiatri di Universitas Australia belajar bersama dan berkolaborasi dalam sebuah pendidikan interprofessional. Program pendidikan tersebut bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan mahasiswa dalam bekerjasama dengan profesi kesehatan yang lain.

Universitas di Eropa dan Amerika juga telah mengaplikasikan IPE dalam kurikulum pendidikan mereka. Terdapat departemen khusus di bagian pendidikan fakultas yang mengelola IPE secara tersendiri yang mengelola dan melakukan managemen terhadap pelaksanaan IPE. Metode pembelajaran yang diterapkan adalah dengan ceramah dan diskusi di kelas, fieldtrip untuk memperdalam pengetahuan mereka dan melakukan diskusi kelompok dengan topil-topik pembelajaran tertentu (The University of Queensland, 2005).

23

Pada pelaksanaan program IPE terdapat pengelompokan program dan pengembangan governance model dalam kurikulum IPE. Metode Interprofessional Learning Clinic (ILC) dan Stimulated

Practice Centre (SPC) mempermudah integrasi pelaksanaan IPE. Para

mahasiswa menjadi mampu mengaitkan antara teori dengan praktek secara teamwork yang dapat meningkatkan outcome pasien (Wolfson, 2007)

f) Pendekatan Pembelajaran IPE

Tidak ada satu pun metode penerapan IPE yang menjadi pilihan utama, metode pembelajaran IPE dapat berubah sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan belajar peserta didik dan bagaimana cara dosen untuk menjaga perhatian peserta didik terhadap pelajaran. Metode-metode balajar yang ada dapat saling memperkuat, tidak berdiri sendiri. Pendekatan belajar mengajar yang dapat diterapkan dalam IPE yaitu exchange-based learning, action-based learning, practice-based learning, simulation-based learning, observation-based learning, dan e-basedlearning (Sedyowinarso, dkk., 2011).

i. Exchanged-based learning merupakan salah satu cara yang

digunakan untuk memungkinkan para peserta mengungkapkan perasaan, membandingkan pandangan pertukaran pengalaman. Debat tentang masalah etika dapat mengekspos nilai yang mendasari perbedaan antara profesi. Permainan yang memainkan hubungan kerja antara profesi dan antara organisasi dapat

24

meringankan belajar tetapi tetap berisi konten serius. Studi kasus dapat meningkatkan peran aktif peserta dari profesi yang berbeda untuk memperkenalkan pemahaman yang berbeda dan menyarankan intervensi berbeda sebagai kelompok kerja terhadap respon kolaboratif.

ii. Action-based learning, atau problem-based learning (PBL), atau enquiry-based learning (EBL), sejak tahun 1970 telah menjadi rekomendasi WHO sebagai metode pembelajaran untuk interprofesional. Sistem pembelajaran ini tidak dirancang untuk menyelesaikan masalah saat ini. Bukti menunjukkan bahwa PBL mendorong kebebasan, kerja tim, ilmu pengetahuan yang lebih terintegrasi, dan pembelajaran mendalam (Bligh, 1995 dalam Freeth, 2005). Hughes dan Lucas, 1997 dalam Freeth, 2005, menemukan bahwa PBL efektif dalam mencapai tujuan IPE seperti belajar tentang peran dan meningkatkan keterampilan komunikasi interprofesional.

iii. Interprofessional practice-based learning mengambil beberapa

bentuk penugasan luar dalam lingkungan kerja profesi lain, pemebelajaran terkait untuk peserta didik secara bersamaan pada penempatan di tempat kerja yang berdekatan, penempatan bersama di pengaturan yang sama dan tujuan yang dirancang untuk lingkungan belajar seperti pelatihan bangsal

25

iv. Simulated-based learning dapat menggunakan permainan peran

yang diadaptasi untuk memaparkan hubungan kerja antar profesi, peserta berperan sebagai klien, pemberi pelayanan atau praktisi dari diri mereka sendiri atau perspektif profesi lain. Keterampilan laboratorium dikenalkan dalam pendidikan professional, misalnya pada kedokteran dan keperawatan, dalam kondisi ini bias dikembangkan penyertaan dua profesi atau lebih dan perspektif interprofessional dalam diagnosis dan pengobatan. Kehidupan kerja bisa disimulasikan di dalam lingkungan belajar di mana hubungan tiap-tiap orang, tiap-tiap kelompok, dan tiap-tiap organisasi bisa ditunjukkan keluar.

v. Observation-based learning, pelajar secara sederhana diminta

untuk mengamati pertemuan tim multidisiplin dengan menggunakan metode studi observasional yang lebih canggih.

vi. E-based learning timbul karena adanya peningkatan pengenalan

dunia elektronik, ditambah dengan pembelajaran kesehatan dan profesi kesehatan sehingga dapat memperbesar peluang penerapan IPE. Penerapan teknologi ini dalam IPE digunakan untuk melengkapi dan memperkuat pembelajaran tatap muka atau sebagai penggantinya (Freeth, 2005).

g) Hambatan IPE

Berbagai penelitian mengenai hambatan IPE sudah banyak dilakukan. Hambatan ini terdapat dalam berbagai tingkatan dan

26

terdapat pada pengorganisasian, pelaksanaan, komunikasi, budaya ataupun sikap. Sangat penting untuk mengatasi hambatan-hambatan ini sebagai persiapan mahasiswa dan praktisi profesi kesehatan yang lebih baik demi praktik kolaborasi hingga perubahan sistem pelayanan kesehatan (Sedyowinarso, dkk., 2012).

Hambatan-hambatan yang mungkin muncul adalah penanggalan akademik, peraturan akademik, struktur penghargaan akademik, lahan praktek klinik, masalah komunikasi, bagian kedisiplinan, bagian profesional, evaluasi, pengembangan pengajar, sumber keuangan, jarak geografis, kekurangan pengajar interdisipliner, kepemimpinan dan dukungan administrasi, tingkat persiapan peserta didik, logistik, kekuatan pengaturan, promosi, perhatian dan penghargaan, resistensi perubahan, beasiswa, sistem penggajian, dan komitmen terhadap waktu (ACCP, 2009).

27

B. Persepsi Mengenai IPE

Dokumen terkait