• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isaria ditemukan berasosiasi dengan Lepidoptera. Spesimen tersebut ditemukan di serasah lantai hutan (RA 19) dan di bawah permukaan daun (RA 20). Hifa cendawan menutupi permukaan tubuh inang sehingga koloni tampak berwarna putih. Koloni tersebut merupakan struktur sinema tampak seperti serbuk berwarna putih, dengan percabangan yang tak teratur yang muncul dari tubuh inang.

Isaria RA 19

Spesimen ini (Gambar 12) memiliki sinema yang muncul dari tubuh inang, berwarna putih dengan tangkai bercabang berwarna krem dan bagian apeks berwarna putih dengan panjang 3-8 mm dan diameter 105.6-127.0 µm yang mengandung konidium. Konidium hijau kekuningan, berbentuk silinder, berukuran 0.23-0.53 x 0.12-0.18 µm. Diameter miselium cendawan ini pada media agar-agar mencapai 3.3 cm dalam waktu 10 hari masa inkubasi.

Gambar 12 Isaria RA 19 dari serasah lantai hutan (a) kumpulan sinema, (b-c) kumpulan konidium, dan (d) koloni Isaria RA 19 dalam media Agar-agar Dekstrosa Kentang.

7 ? Isaria RA 20

Spesimen ini (Gambar 13) memiliki sinema bercabang, berwarna krem dan me-mutih pada bagian apeks, berukuran 0.8-2.0 mm yang mengandung konidium. Konidium berbentuk silinder, berwarna hijau, berukuran 0.3-0.53 x 0.12-0.19 µm. Diameter miselium cendawan ini pada media agar-agar mencapai 1.4 cm dalam waktu 13 hari masa inkubasi.

Gambar 13 Spesimen RA 20 (a) di bawah permukaan daun, (b) kumpulan konidium, dan (c) koloni spesimen RA 20 pada media Agar-agar Dekstrosa Kentang.

Isolasi Cendawan Entomopatogen

Pertumbuhan cendawan entomopatogen tergolong lambat. Pada penelitian ini, pertumbuhan cendawan entomopatogen pada media Agar-agar Dekstrosa Kentang dapat diamati pada hari ke-3 masa inkubasi.

Cendawan entomopatogen yang tumbuh pada medium Agar-agar Dekstrosa Kentang (ADK), yaitu spesimen Cordyceps RA 18, Isaria RA 19, ? Isaria RA 20, dan Beauveria RA 23.Diameter miselium spesimen RA 18

a b a b c d c b c d a

7

Cordyceps mencapai 6.5 cm dalam waktu 25

hari masa inkubasi, diameter miselium spesimen Isaria RA 19 mencapai 3.3 cm dalam waktu 10 hari masa inkubasi, diameter miselium spesimen ? Isaria RA 20 mencapai 1.4 cm dalam waktu 13 hari masa inkubasi, dan diameter miselium spesimen Beauveria RA 23 mencapai 4.1 cm dalam waktu 15 hari masa inkubasi. Spesimen yang miseliumnya tumbuh cepat bukan merupakan isolat cendawan entomopatogen.

PEMBAHASAN

Cendawan entomopatogen menyerang hampir semua jenis serangga. Cendawan ini dapat menyerang stadium telur, larva (nimfa), pupa maupun stadia dewasa dari serangga (Wikardi 2000). Berdasarkan struktur repro-duksinya, cendawan entomopatogen memiliki dua fase siklus hidup, yaitu fase teleomorf dan anamorf. Teleomorf merupakan fase repro-duksi yang menghasilkan spora (seksual), sedangkan anamorf merupakan fase repro-duksi yang menghasilkan konidium (asek-sual). Sebanyak 6 genus cendawan entomo-patogen diperoleh dari kawasan CA Telaga Warna, yaitu Cordyceps dan Hypocrella (teleomorf), Aschersonia, Beauveria,

Gibelulla, dan Isaria (anamorf). Yanto (2007) melaporkan 8 genus cendawan entomo-patogen di kawasan yang sama (Tabel 2). Tabel 2 Cendawan entomopatogen yang didapat di

CA Telaga Warna pada tahun 2007 & 2008

Fase Yanto ( 2007) Tahun 2008 Teleomorf Torubiella -

Cordyceps Cordyceps Hypocrella Hypocrella Anamorf Aschersonia Aschersonia Beauveria Beauveria - Gibelulla Isaria Isaria Akanthomyces - Paecilomyces - Total 8 6

Dalam penelitian ini ditemukan 6 genus cendawan entomopatogen dan 5 diantaranya dijumpai kembali pada tahun 2008. Perbedaan genus cendawan entomopatogen tersebut terjadi karena jalur penelusuran kawasan yang dilalui berbeda, kejelian dalam pengamatan

atau kondisi alam seperti curah hujan dan suhu.

Cordyceps dipterigena merupakan cendawan entomopatogen yang berasosiasi spesifik dengan Diptera. Cendawan ini menghasilkan fase teleomorf dan anamorf secara bersamaan. Cordyceps dipterigena merupakan fase teleomorf, tetapi dari per-mukaan tubuh inangnya terdapat sinema. Sinema yang muncul dari inang (Diptera) sama dengan anamorf Hymenostilbe

(Luangsa-ard et al. 2006). Stroma Cordyceps dipterigena yang ditemukan pada penelitian ini memiliki stroma jauh lebih kecil daripada yang dilaporkan oleh Petch (1929) dan Yanto (2007) (Tabel 3). Spesimen yang dikoleksi pada tahun 2008 kemungkinan masih terlalu muda, hal ini dapat terlihat dari ukuran stromanya dan spesimen ini belum menghasil-kan askospora. Spesimen Cordyceps

dipterigena pernah dilaporkan Kalshoven (1930) dari Semeru dan spesimennya di-simpan di Herbarium Bogoriense. Tabel 3 Ukuran stroma Cordyceps dipterigena Stroma (mm) Sumber

6.0 x 2.5 Petch (1929) 2.5-3.0 x 1.0-2.0 Yanto (2007) 2.0-2.5 x 1.0-1.5 Penelitian ini

Cordyceps cf. militaris yang ditemukan pada penelitian ini memiliki ukuran perite-sium dan askus yang lebih besar dibandingkan dengan yang ditemukan Yanto (2007) (Tabel 4). Kedua spesimen cendawan yang ditemu-kan masih muda karena belum dibentuknya askospora. Spesimen Cordyceps militaris dilaporkan Wabst (1899) dari Sachsen dan telah tercatat di Herbarium Bogoriense. Tabel 4 Ukuran struktur reproduksi seksual

Cordyceps militaris Struktur reproduksi (µm) Sumber Peritesium 371.8-529.1 x 414.7-529.1 Penelitian ini 192.0-240.0 x 86.4-134.4 Yanto (2007) Askus 81-120 x 2.4-4.8 Penelitian ini 9.6-144.0 x 1.6-2.7 Yanto (2007)

Hypocrella merupakan genus yang mudah dikenali karena warna stroma yang mencolok. Hypocrella ditemukan berasosiasi dengan Homoptera (Aleyrodidae dan Coccidae) pada daun maupun pada batang tanaman hutan.

Dalam penelitian ini hanya dijumpai stroma Hypocrella berwarna putih dan oranye, se-dangkan Yanto (2007) melaporkan ada juga yang merah muda dan kuning. Hypocrella dengan warna stroma kuning-oranye dilapor-kan dari Cangkuang (Palupi & Sinaga 2007). Dalam keadaan segar stroma Hypocrella dapat berwarna putih, kuning, oranye, merah (Hywel-Jones & Samuel 1998; Luangsa-ard et al. 2006). Spesimen Hypocrella pernah di-laporkan Cook (1894) dari Cibodas-Jawa Barat dan Samuel (1985) dari Sulawesi Utara, spesimen tersebut disimpan di koleksi Herbarium Bogoriense.

Karakteristik Aschersonia dapat dilihat dari stroma, piknidium, sel konidiogen dan konidum. Spesimen Aschersonia ditemukan berasosiasi dengan Homoptera di bawah permukaan daun. Warna stroma Aschersonia yang dijumpai pada penelitian ini hanya berwarna oranye dan kuning, sedangkan Yanto (2007) melaporkan ada juga yang berwarna putih. Herbarium Bogoriense mencatat spesimen Aschersonia yang dilapor-kan Hailler (1894) dari Ciampea-Jawa Barat dan Gruentart (1939) dari Malang-Jawa Timur.

Hypocrella dan Aschersonia memiliki hubungan teleomorf dan anamorf.Hypocrella merupakan bentuk teleomorf dari

Aschersonia. Hifa dari kedua cendawan ini tampak tumbuh di luar tubuh serangga dan menyelimuti tubuh inang bahkan sampai ke substrat dengan membentuk stroma sehingga inang tidak lagi terlihat dengan jelas, namun di dalam stroma Hypocrella terdapat struktur yang berbentuk seperti botol yang dinamakan peritesium, dan di dalam peritesium terdapat beberapa askus tempat spora diproduksi, sedangkan di dalam stroma Aschersonia berisi piknidium dengan sel konidiogen menghasil-kan konidium. Adanya askus mencirimenghasil-kan Hypocrella, sedangkan konidium sebagai Aschersonia.

Beauveria yang ditemukan berasosiasi dengan Hemiptera dijumpai kembali pada penelitian ini, namun spesimen ini memiliki ukuran konidium yang lebih kecil disbanding-kan dengan penemuan Yanto (2007).

Beauveria yang ditemukan pada penelitian ini memiliki ukuran konidium 0.75-1.05 µm, sedangkan yang ditemukan Yanto (2007) berukuran 1.1-2.2 µm. Cendawan ini telah diaplikasikan sebagai agens pengendalian hayati hama tanaman karena mampu meng-infeksi serangga dengan kisaran inang yang

luas serta memiliki persebaran geografi yang cukup luas (Bari 2006). Selain ditemukan di hutan tropik, Beauveria juga dapat ditemukan di lahan pertanian (Luangsa-ard et al. 2006).

Pada penelitian ini ditemukan spesimen Gibelulla namun pada penelitian Yanto (2007) spesimen ini tidak dilaporkan. Spesimen ini berasosiasi dengan Araneae (Laba-laba). Luangsa-ard et al. (2006) mengemukakan ordo serangga yang mudah terinfeksi oleh cendawan entomopatogen termasuk Diptera, Homoptera, Lepidoptera, Coleoptera dan Hymenoptera, namun cendawan entomo-patogen dapat berasosiasi dengan inang selain serangga, yaitu laba-laba.

Sinema spesimen Isaria RA 19 yang ditemukan pada penelitian ini berukuran lebih pendek dibandingkan dengan ukuran sinema spesimen Isaria yang ditemukan pada tahun sebelumnya (Tabel 5).

Tabel 5 Ukuran sinema Isaria Sinema Panjang (mm) Diameter (µ m) Sumber 3 300 Petch (1931) 8-20 137.0-219.2 Yanto (2007) 3-8 105.6-127.0 Penelitian ini

Spesimen RA 20 ditemukan berasosiasi dengan Lepidoptera, memiliki percabangan sinema yang tidak teratur, sinema ditutupi oleh massa konidium, ciri tersebut sama seperti yang dimiliki Isaria, namun spesimen RA 20 ini ditemukan di bawah permukaan daun tumbuhan dikotil. Luangsa-ard et al. (2006) mengemukakan pada umumnya Isaria ditemukan di serasah lantai hutan, pada ran-ting tumbuhan atau batang pohon.

Keberadaan cendawan entomopatogen di hutan tropik lebih mudah ditemukan di serasah lantai hutan dibandingkan dengan di tanah lantai hutan. Hal ini dikarenakan di tanah lantai hutan jarang ditemukan serangga kecuali rayap yang berada di dalam tanah pada kedalaman tertentu (Luangsa-ard et al. 2006). Di kawasan CA Telaga Warna diperoleh 2 spesimen yang ditemukan di serasah lantai hutan, yaitu Cordyceps cf. militaris (RA 18) dan Isaria RA 19 pada ketinggian 1500-1600 m dpl, dan jalur penelusuran merupakan jalur terjal. Yanto (2007) melaporkan spesies yang sama di kawasan yang sama. Luangsa-ard et al. (2006) mengemukakan bahwa cendawan entomo-patogen lebih sering ditemukan di tanah

9

dengan keadaan lembap atau pada daerah

yang berbukit.

Cendawan entomopatogen yang dapat diisolasi hanya didapatkan empat isolat. Beberapa spesimen lainnya tidak berhasil didapatkan isolatnya karena pada hari ke-3 setelah masa inkubasi terdapat banyak kon-taminan yang tumbuh, konkon-taminan yang tumbuh biasanya koloni-koloni kecil dengan elevasi licin atau terdapat koloni-koloni kecil yang tersebar dalam media agar-agar dengan pertumbuhan massa miselium yang cepat. Umumnya, jika sebelum hari ke-3 sudah tampak pertumbuhan yang cepat maka dapat dipastikan bahwa koloni tersebut ialah bukan cendawan entomopatogen. Faktor lain selain adanya kontaminan yang menyebabkan ketidakberhasilan dalam isolasi ini, ialah pengenceran spora yang berlebihan dapat menyebabkan tidak adanya spora yang tergoreskan pada media agar-agar, sehingga tidak diperoleh biakan yang tumbuh.

SIMPULAN

Enam genus cendawan entomopatogen yang ditemukan di kawasan CA Telaga Warna pada bulan Maret-Mei 2008, ialah 2 genus fase telemorf Cordyceps dan Hypocrella serta 4 genus fase anamorf Aschersonia, Beauveria, Gibelulla, dan Isaria. Spesimen yang berhasil diisolasi dengan teknik spora tunggal, yaitu spesimen Cordyceps RA 18, Isaria RA 19, ? Isaria RA 20 dan Beauveria RA 23. Keberadaan cendawan entomopatogen yang ditemukan pada tahun 2008 sebagian besar sama seperti yang ditemukan pada tahun 2007 pada musim yang sama.

SARAN

Cendawan entomopatogen perlu terus digali untuk mendapatkan informasi mengenai keberadaannya terutama pada kawasan dan musim yang berbeda di Indonesia serta koleksi isolat sebagai tindak lanjut untuk mengetahui potensi metabolit sekunder.

DAFTAR PUSTAKA

Cook R. 1977. The Biology of Symbiotic Fungi. Chichester: Wiley.

Bari D. 2006. Keefektifan beberapa isolat cendawan entomopatogen Beauveria

bassiana (Balsamo) Vuillemin terhadap hama Boleng Cylas formicarius (FABR.) (Coleoptera: Curculionidae) di

laboratorium [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Humber RA. 1998. Entomopathogenic Fungal

Identification [ASP/ESA Workshop]. Las Vegas: USDA-ARS.

Hywel-Jones NL, Samuels GJ. 1998. Three spesies of Hypocrella with large stromata pathogenic on scale insects. Mycologia 90: 36-46.

Luangsa-ard JJ, Tasanatai K, Mongkolsamrit S, Hywel-Jones NL, Spatafora JW. 2006. The Collection, Isolation, and Taxonomy of Invertebrate-Pathogenic Fungi [Workshop Manual]. Pathum Thani: NSTDA.

Nasrun, Jamalius. 1994. Potensi jamur Beauveria bassiana dalam pengendalian serangga Hindola fulva sebagai vektor penyakit bakteri pembuluh kayu cengkeh (BPKC) tanaman cengkeh. Di dalam: Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Prosiding seminar; Bogor, 24 Agu 1994. Bogor: Sub-Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Solok Sumatera Barat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm 50-56.

Palupi SN, Sinaga N. 2007. Keragaman cendawan parasit serangga di Wana Wisata Cangkuang [laporan studi lapangan]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Petch T. 1929. Studies in entomopatogenous fungi. Some Ceylon Cordyceps. Trans Br mycol Soc 10:29-44.

Petch T. 1931. Notes on entomogenous fungi. Transac Br Mycol Soc 16:55-75.

Riana D. 2000. Biologi hama tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Tirathaba mundella Wlk. (Lepidoptera: Pyralide) serta uji beberapa konsentrasi cendawan Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin dan Metarrhizium anisopliae

(Metschnikoff) Sorokin dalam

pengendaliannya [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Widiyanti NLPM, Muyadihardja S. 2004. Uji toksisitas jamur Metarrhizium anisopliae terhadap larva nyamuk Aedes aegypti. Media Litbang Kesehatan 14:24-30. Wikardi EA. 2000. Cendawan pathogen

serangga sebagai bahan baku insektisida. Di dalam: Pemanfaatan Mikroba dan Parasitoid dalam Agroindustri Tanaman Rempah dan Obat. Perkembangan

Teknologi Tanaman Rempah dan Obat. Vol 12. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. hlm 21-28.

Yanto A. 2007. Eksplorasi keragaman cendawan entomopatogen di kawasan Cagar Alam Telaga Warna, Cisarua Bogor [skripsi]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Insitut Pertanian Bogor.

11

Lampiran 1 Peta jalur penelusuran pengambilan sampel di CA Telaga Warna

Keterangan:

A : Wisma

B : Loket

C : Kantor

Jalur 1 dan 2 : Jalur penelusuran kawasan yang pernah dilalui pada penelitian sebelumnya (2007) Jalur 3 : Jalur penelusuran kawasan pada penelitian ini (2008)

Cordyceps : RA 07, RA 08, RA 09, RA 18 Hypocrella : RA 02, RA 03, RA 04 Aschersonia : RA 11, RA 21 Beauveria : RA 17, RA 23 Gibelulla : RA 01, RA 13 Isaria : RA 19, RA 20

U

TW

1400 mdpl

160 0 md p l 1500 mdpl 1500 mdpl RA 01 RA 11 RA 02 RA 03 RA 13 RA 07 RA 04 RA 21 RA 09 RA 08 RA 18 RA 20 RA 19 RA 17 RA 01 Jalur 1 Jalur 3 Jalur 2 A B C

ALAM TELAGA WARNA, CISARUA BOGOR

RESTI AMALIA

DEPARTEMEN BIOLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2008

ABSTRAK

RESTI AMALIA. Ragam cendawan entomopatogen di kawasan Cagar Alam Telaga Warna, Cisarua Bogor. Dibimbing oleh AGUSTIN WYDIA GUNAWAN dan KARTINI KRAMADIBRATA.

Cendawan entomopatogen adalah cendawan parasit serangga. Keberadaan dan keragaman cendawan ini di Indonesia belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi keragaman cendawan entomopatogen yang berada di kawasan Cagar Alam Telaga Warna, Cisarua Bogor. Sampel yang diambil berupa cendawan yang berasosiasi dengan serangga. Pengumpulan sampel dilakukan sepanjang jalur penelusuran kawasan Cagar Alam Telaga Warna. Sampel yang berhasil dikoleksi kemudian diidentifikasi dan diisolasi dengan menggunakan teknik spora tunggal. Cendawan entomopatogen yang diperoleh ialah Cordyceps, Hypocrella, Aschersonia, Beauveria,

Gibelulla, dan Isaria. Dua genus yang pertama ditemukan fase teleomorfnya secara alami sedangkan lainnya hanya fase anamorfnya. Spesimen yang berhasil diisolasi, ialah

Cordyceps cf. militaris,Isaria RA 19, ? Isaria RA 20 dan BeauveriaRA 23.

Kata kunci: Cendawan entomopatogen, teleomorf, anamorf

ABSTRACT

RESTI AMALIA. Diversity of entomopathogenic fungi in Telaga Warna Nature Reserve Cisarua, Bogor. Supervised by AGUSTIN WYDIA GUNAWAN and KARTINI KRAMADIBRATA.

Entomopathogenic fungi is parasite on insect. In Indonesia, their existence and diversity is not well known. This research was conducted to explore their biodiversity in Telaga Warna Nature Reserve, Cisarua Bogor. The samples are fungi associated with insect. Samples were collected by road sampling method in Area of Nature Reserve Telaga Warna. They were collected, identified and isolated using single spore method. Entomopathogenic fungi obtained, that are Cordyceps, Hypocrella, Aschersonia,

Beauveria,Gibelulla, and Isaria. Two genera found teleomorf phase naturally and others only found anamorf phase. Specimen success in isolation that is Cordyceps cf. militaris,

Isaria RA 19, ? Isaria RA 20 dan Beauveria RA 23.

* Balai informasi kawasan konservasi Provinsi Jawa Barat, Bogor Cendawan merupakan salah satu golongan organisme heterotrof, hidup sebagai saprob atau parasit, cara makannya secara absorbsi dengan mengeluarkan enzim ekstrasel. Enzim yang berperan dalam mekanisme tersebut ialah lipase, protease, dan kitinase (Cook 1977). Parasit merupakan organisme yang hidup pada organisme hidup lain dan meng-ambil makanan dari organisme tersebut. Umumnya cendawan parasit merugikan karena dapat menimbulkan penyakit dan akhirnya mematikan inang yang diserangnya.

Cendawan banyak terdapat di sekitar manusia, ada yang merugikan dan ada yang bermanfaat. Cendawan yang dijumpai menyebabkan kematian pada serangga disebut cendawan entomopatogen. Cendawan ini sebagian besar termasuk ke dalam filum Ascomycota. Beberapa di antaranya ialah Akanthomyces, Aschersonia, Beauveria, Cordyceps, Fusarium, Gibelulla, Hypocrella, Isaria, Metharrizium, dan Paecilomyces (Luangsa-ard et al. 2006). Sifat parasit yang dimiliki cendawan ini mematikan serangga dan sifat ini dapat dimanfaatkan sebagai pe-ngendalian hayati serangga hama, misalnya Metarrhizium anisopliae terhadap larva Aedes aegypti (Widiyanti & Muyadihardja 2004); Beauveria bassiana terhadap serangga vektor penyakit tanaman cengkeh (Nasrun & Jamalius 1994), hama tanaman kelapa sawit (Riana 2000), dan hama Boleng (Bari 2006). Selain sebagai pengendalian hayati,

Cordyceps sinensis memiliki potensi sebagai obat dan tonik (Luangsa-ard et al. 2006).

Total ragam cendawan ini tidak diketahui, namun hanya sekitar 400 sampai 700 lebih spesies yang telah diidentifikasi (Luangsa-ard et al. 2006). Keberadaan cendawan ini di Indonesia belum banyak dilaporkan. Dikoleksi Herbarium Bogoriense menunjukkan bahwa cendawan entomopatogen pernah dilaporkan oleh Hallier (1894) dari Ciampea; Cook (1894) dari Cibodas; Kalshoven (1930) dari Semeru; van Steenis (1940) dari Gunung Gede. Cendawan entomopatogen baru dilaporkan kembali tahun 2007 dari Telaga Warna (Yanto 2007), dari Cangkuang (Palupi & Sinaga 2007). Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi, membandingkan keragaman cendawan entomopatogen yang berada di kawasan Cagar Alam (CA) Telaga Warna, serta mengisolasinya sebagai koleksi murni.

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari hingga Juni 2008. Pengambilan sampel dilakukan di kawasan Cagar Alam Telaga Warna, Cisarua Bogor. Kawasan ini memiliki ketinggian antara 1400-1900 m dpl, merupakan daerah pegunungan tinggi dengan bukit terjal dan bergelombang dengan luas 4 ha, suhu udara rata-rata 18.3°C, kelembapan rata-rata 91.95%, curah hujan tahunan 3300 mm/tahun, terletak antara 106º 50’ 12” dan 106º 51’ 14” BT pada 6º 43’ 24” LS.* Isolasi, identifikasi, serta pengamatan mikroskopi cendawan entomopatogen dilakukan di Laboratorium Tumbuhan Rendah, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Pengambilan Sampel

Bahan yang diteliti ialah cendawan entomopatogen yang dikoleksi dari kawasan CA Telaga Warna. Sampel diambil dari bulan Maret sampai dengan Mei 2008. Sampel yang diamati berupa cendawan yang memarasit serangga, baik yang terdapat pada tumbuhan maupun serasah lantai hutan. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak enam kali dengan interval waktu satu minggu sekali pada pagi hari. Sampel yang diambil ialah serangga mati yang memiliki/menunjukkan struktur repro-duksi cendawan. Pengumpulan sampel di-lakukan sepanjang jalur penelusuran kawasan Cagar Alam Telaga Warna. Banyaknya sampel yang diambil sesuai dengan keberadaan cendawan tersebut, misalnya terdapat cendawan yang berada pada permu-kaan daun dalam jumlah banyak, maka dapat diambil 3-5 sampel daun. Sampel disimpan di dalam kantung atau kotak plastik agar struk-turnya tidak rusak serta diberi label berisi informasi: waktu pengambilan sampel, nomor kode tempat, tanggal, dan nomor kantung. Daun yang merupakan substrat tempat hidup cendawan entomopatogen juga diambil untuk diidentifikasi.

Identifikasi

Identifikasi cendawan entomopatogen didasarkan pada struktur reproduksi yang ada pada tubuh serangga (teleomorf atau anamorf) menggunakan kunci identifikasi Humber (1998) dan Luangsa-ard et al. (2006). Identifikasi dilakukan terhadap struktur

* Balai informasi kawasan konservasi Provinsi Jawa Barat, Bogor

PENDAHULUAN

Cendawan merupakan salah satu golongan organisme heterotrof, hidup sebagai saprob atau parasit, cara makannya secara absorbsi dengan mengeluarkan enzim ekstrasel. Enzim yang berperan dalam mekanisme tersebut ialah lipase, protease, dan kitinase (Cook 1977). Parasit merupakan organisme yang hidup pada organisme hidup lain dan meng-ambil makanan dari organisme tersebut. Umumnya cendawan parasit merugikan karena dapat menimbulkan penyakit dan akhirnya mematikan inang yang diserangnya.

Cendawan banyak terdapat di sekitar manusia, ada yang merugikan dan ada yang bermanfaat. Cendawan yang dijumpai menyebabkan kematian pada serangga disebut cendawan entomopatogen. Cendawan ini sebagian besar termasuk ke dalam filum Ascomycota. Beberapa di antaranya ialah Akanthomyces, Aschersonia, Beauveria, Cordyceps, Fusarium, Gibelulla, Hypocrella, Isaria, Metharrizium, dan Paecilomyces (Luangsa-ard et al. 2006). Sifat parasit yang dimiliki cendawan ini mematikan serangga dan sifat ini dapat dimanfaatkan sebagai pe-ngendalian hayati serangga hama, misalnya Metarrhizium anisopliae terhadap larva Aedes aegypti (Widiyanti & Muyadihardja 2004); Beauveria bassiana terhadap serangga vektor penyakit tanaman cengkeh (Nasrun & Jamalius 1994), hama tanaman kelapa sawit (Riana 2000), dan hama Boleng (Bari 2006). Selain sebagai pengendalian hayati,

Cordyceps sinensis memiliki potensi sebagai obat dan tonik (Luangsa-ard et al. 2006).

Total ragam cendawan ini tidak diketahui, namun hanya sekitar 400 sampai 700 lebih spesies yang telah diidentifikasi (Luangsa-ard et al. 2006). Keberadaan cendawan ini di Indonesia belum banyak dilaporkan. Dikoleksi Herbarium Bogoriense menunjukkan bahwa cendawan entomopatogen pernah dilaporkan oleh Hallier (1894) dari Ciampea; Cook (1894) dari Cibodas; Kalshoven (1930) dari Semeru; van Steenis (1940) dari Gunung Gede. Cendawan entomopatogen baru dilaporkan kembali tahun 2007 dari Telaga Warna (Yanto 2007), dari Cangkuang (Palupi & Sinaga 2007). Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi, membandingkan keragaman cendawan entomopatogen yang berada di kawasan Cagar Alam (CA) Telaga Warna, serta mengisolasinya sebagai koleksi murni.

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari hingga Juni 2008. Pengambilan sampel dilakukan di kawasan Cagar Alam Telaga Warna, Cisarua Bogor. Kawasan ini memiliki ketinggian antara 1400-1900 m dpl, merupakan daerah pegunungan tinggi dengan bukit terjal dan bergelombang dengan luas 4 ha, suhu udara rata-rata 18.3°C, kelembapan rata-rata 91.95%, curah hujan tahunan 3300 mm/tahun, terletak antara 106º 50’ 12” dan 106º 51’ 14” BT pada 6º 43’ 24” LS.* Isolasi, identifikasi, serta pengamatan mikroskopi cendawan entomopatogen dilakukan di Laboratorium Tumbuhan Rendah, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Pengambilan Sampel

Bahan yang diteliti ialah cendawan entomopatogen yang dikoleksi dari kawasan CA Telaga Warna. Sampel diambil dari bulan Maret sampai dengan Mei 2008. Sampel yang diamati berupa cendawan yang memarasit serangga, baik yang terdapat pada tumbuhan maupun serasah lantai hutan. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak enam kali dengan interval waktu satu minggu sekali pada pagi hari. Sampel yang diambil ialah serangga mati yang memiliki/menunjukkan struktur repro-duksi cendawan. Pengumpulan sampel di-lakukan sepanjang jalur penelusuran kawasan Cagar Alam Telaga Warna. Banyaknya sampel yang diambil sesuai dengan keberadaan cendawan tersebut, misalnya terdapat cendawan yang berada pada permu-kaan daun dalam jumlah banyak, maka dapat diambil 3-5 sampel daun. Sampel disimpan di dalam kantung atau kotak plastik agar struk-turnya tidak rusak serta diberi label berisi informasi: waktu pengambilan sampel, nomor kode tempat, tanggal, dan nomor kantung. Daun yang merupakan substrat tempat hidup

Dokumen terkait