RAGAM CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DI KAWASAN CAGAR
ALAM TELAGA WARNA, CISARUA BOGOR
RESTI
AMALIA
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
RESTI AMALIA. Ragam cendawan entomopatogen di kawasan Cagar Alam Telaga Warna, Cisarua Bogor. Dibimbing oleh AGUSTIN WYDIA GUNAWAN dan KARTINI KRAMADIBRATA.
Cendawan entomopatogen adalah cendawan parasit serangga. Keberadaan dan keragaman cendawan ini di Indonesia belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi keragaman cendawan entomopatogen yang berada di kawasan Cagar Alam Telaga Warna, Cisarua Bogor. Sampel yang diambil berupa cendawan yang berasosiasi dengan serangga. Pengumpulan sampel dilakukan sepanjang jalur penelusuran kawasan Cagar Alam Telaga Warna. Sampel yang berhasil dikoleksi kemudian diidentifikasi dan diisolasi dengan menggunakan teknik spora tunggal. Cendawan entomopatogen yang diperoleh ialah Cordyceps, Hypocrella, Aschersonia, Beauveria,
Gibelulla, dan Isaria. Dua genus yang pertama ditemukan fase teleomorfnya secara alami sedangkan lainnya hanya fase anamorfnya. Spesimen yang berhasil diisolasi, ialah
Cordyceps cf. militaris, Isaria RA 19, ? Isaria RA 20dan Beauveria RA 23.
Kata kunci: Cendawan entomopatogen, teleomorf, anamorf
ABSTRACT
RESTI AMALIA. Diversity of entomopathogenic fungi in Telaga Warna Nature Reserve Cisarua, Bogor. Supervised by AGUSTIN WYDIA GUNAWAN and KARTINI KRAMADIBRATA.
Entomopathogenic fungi is parasite on insect. In Indonesia, their existence and diversity is not well known. This research was conducted to explore their biodiversity in Telaga Warna Nature Reserve, Cisarua Bogor. The samples are fungi associated with insect. Samples were collected by road sampling method in Area of Nature Reserve Telaga Warna. They were collected, identified and isolated using single spore method. Entomopathogenic fungi obtained, that are Cordyceps, Hypocrella, Aschersonia,
Beauveria, Gibelulla, and Isaria. Two genera found teleomorf phase naturally and others only found anamorf phase. Specimen success in isolation that is Cordyceps cf. militaris,
Isaria RA 19, ? Isaria RA 20 dan Beauveria RA 23.
RAGAM CENDAWAN ENTOMOPATOGEN DI KAWASAN CAGAR
ALAM TELAGA WARNA, CISARUA BOGOR
RESTI AMALIA
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Sains pada
Departemen Biologi
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIN BOGOR
Telaga Warna, Cisarua Bogor
Nama
: Resti Amalia
NIM :
G34104035
Disetujui:
Pembimbing I
Pembimbing II
Ir. Agustin Wydia Gunawan, M.S.
Dr. Kartini Kramadibrata
NIP. 130 167 078
NIP. 320 002 872
Diketahui:
Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam
Institut Pertanian Bogor
Dr. Drh. Hasim. DEA
NIP. 131 578 806.
PRAKATA
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini selesai tepat pada waktunya yang berjudul: “Ragam Cendawan Entomopatogen di Kawasan Cagar Alam Telaga Warna, Cisarua Bogor”.
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada Ibu Ir. Agustin Wydia Gunawan, M.S. sebagai pembimbing akademis sekaligus pembimbing tugas akhir yang telah banyak membantu, membimbing, serta memberikan dorongan dan semangat kepada penulis serta kepada Ibu Dr. Kartini Kramadibrata sebagai dosen pembimbing II yang berkenan memberikan kritik, saran serta bimbingan kepada penulis. Di samping itu penulis sampaikan kepada Ibu Dr. Ir. Tatik Chikmawati, M.Si. selaku wakil komisi pendidikan atas saran dan masukkannya. Kepada Bapak Cahya atas pemberian izin memasuki kawasan yang diberikan oleh Departemen Kehutanan, Bapak Ukar dan Bapak Dikdik beserta keluarga, yang telah membantu dalam pengambilan sampel di lapang. Ungkapan terima kasih juga disampaikan untuk Ayah, Ibu, adikku Rida dan Rayhan atas segala doa, dukungan dan kasih sayangnya, sahabatku Astrid, Sita, Cenra, Ari, staf laboratorium tumbuhan rendah (LIPI), Ria, Risa, Harry, Anggit, Adit, teman Biologi 41 dan semua pihak yang telah memberikan dukungan dan semangatnya.
Semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.
Bogor, September 2008
Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 7 Maret 1987 dari ayah Soehanda dan ibu Hartini. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara.
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR GAMBAR ... viii
DAFTAR TABEL... viii
PENDAHULUAN ... 1
BAHAN DAN METODE ... 1
Waktu dan Tempat... 1
Pengambilan Sampel ... 1
Identifikasi ... 1
Isolasi... 2
HASIL... 2
Ragam Cendawan Entomopatogen... 2
1 Cordyceps Fries ... 2
2 Hypocrella Saccardo ... 3
3 Aschersonia Montagne ... 4
4 Beauveria Vuillemin ... 5
5 Gibelulla Cavara... 5
6 Isaria Pers.: Fr. ... 6
7 ? Isaria RA 20 ... 6
Isolasi Cendawan Entomopatogen... 6
PEMBAHASAN ... 7
SIMPULAN ... 9
SARAN ... 9
DAFTAR PUSTAKA ... 9
Halaman
1 Struktur teleomorf dan anamorf Cordycepsdipterigena pada Diptera di bawah permukaan daun (a) fase dewasa RA 09 (b) peritesium dari irisan
melintang stroma (c) askospora, dan (d-e) fase muda RA 07 dan RA 08. ... 3
2 Cordyceps cf. militaris (a) pada serasah lantai hutan dengan stroma oranye yang mengandung peritesium, (b) peritesium, (c) askus muda, dan (d) koloni Cordyceps cf. militaris pada media Agar-agar Dekstrosa Kentang. ... 3
3 Hypocrella RA 02 (a) pada pelepah Nicolaia speciosa, (b) peritesium dari irisan membujur stroma, dan (c) askus yang mengandung askospora. ... 3
4 Hypocrella RA 03 pada (a) permukaan daun Strobilanthus cernuus, (b) kumpulan askus, (c) askus dengan tudung askus (cap), dan (d) kumpulan askospora... 4
5 Hypocrella RA 04 (a) stroma pada batang Strobilanthus cernuus, (b) kumpulan askus, (c) askus berisi askospora, dan (d) askospora... 4
6 Aschersonia RA 11 (a) stroma dengan ostiolum, (b) piknidium dengan kumpulan konidium, dan (c) konidium. ... 4
7 Aschersonia RA 21 (a) Stroma dengan ostiolum, (b) irisan melintang stroma yang mengandung piknidium, (c) piknidium yang mengandung konidium, dan (d) konidium. ... 5
8 Beauveria RA 17 (a) di bawah permukaan daun, dan (b) konidium. ... 5
9 Beauveria RA 23 (a) miselium menutupi tubuh inang, (b) kumpulan kepala konidium, (c) kumpulan konidium, dan (d) miselium Beauveria RA 23 dalam media Agar-agar Dekstrosa Kentang... 5
10 Gibelulla RA 01 (a) membentuk sinema pada inang, (b) kepala konidium dan konidium... 5
11 Gibelulla RA 13 (a) di bawah permukaan daun Ficus sp. dengan sinema, (b-c) kepala konidium, dan (d) konidium... 6
12 Isaria RA 19 dari serasah lantai hutan (a) kumpulan sinema, (b-c) kumpulan konidium, dan (d) koloni Isaria RA 19 dalam media Agar-agar Dekstrosa Kentang. ... 6
13 SpesimenRA 20 (a) di bawah permukaan daun, (b) kumpulan konidium, dan (c) koloni spesimenRA 20 pada media Agar-agar Dekstrosa Kentang. ... 6
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Cendawan entomopatogen yang diperoleh dari CA Telaga Warna beserta inangnya ... 22 Cendawan entomopatogen yang didapat di CA Telaga Warna pada tahun 2007 & 2008... 7
3 Ukuran stroma Cordyceps dipterigena... 7
4 Ukuran struktur reproduksi seksual Cordyceps militaris... 7
* Balai informasi kawasan konservasi Provinsi Jawa Barat, Bogor
PENDAHULUAN
Cendawan merupakan salah satu golongan organisme heterotrof, hidup sebagai saprob atau parasit, cara makannya secara absorbsi dengan mengeluarkan enzim ekstrasel. Enzim yang berperan dalam mekanisme tersebut ialah lipase, protease, dan kitinase (Cook 1977). Parasit merupakan organisme yang hidup pada organisme hidup lain dan meng-ambil makanan dari organisme tersebut. Umumnya cendawan parasit merugikan karena dapat menimbulkan penyakit dan akhirnya mematikan inang yang diserangnya.
Cendawan banyak terdapat di sekitar manusia, ada yang merugikan dan ada yang bermanfaat. Cendawan yang dijumpai menyebabkan kematian pada serangga disebut cendawan entomopatogen. Cendawan ini sebagian besar termasuk ke dalam filum Ascomycota. Beberapa di antaranya ialah Akanthomyces, Aschersonia, Beauveria, Cordyceps, Fusarium, Gibelulla, Hypocrella, Isaria, Metharrizium, dan Paecilomyces (Luangsa-ard et al. 2006). Sifat parasit yang dimiliki cendawan ini mematikan serangga dan sifat ini dapat dimanfaatkan sebagai pe-ngendalian hayati serangga hama, misalnya Metarrhizium anisopliae terhadap larva Aedes aegypti (Widiyanti & Muyadihardja 2004); Beauveria bassiana terhadap serangga vektor penyakit tanaman cengkeh (Nasrun & Jamalius 1994), hama tanaman kelapa sawit (Riana 2000), dan hama Boleng (Bari 2006). Selain sebagai pengendalian hayati,
Cordyceps sinensis memiliki potensi sebagai obat dan tonik (Luangsa-ard et al. 2006).
Total ragam cendawan ini tidak diketahui, namun hanya sekitar 400 sampai 700 lebih spesies yang telah diidentifikasi (Luangsa-ard et al. 2006). Keberadaan cendawan ini di Indonesia belum banyak dilaporkan. Dikoleksi Herbarium Bogoriense menunjukkan bahwa cendawan entomopatogen pernah dilaporkan oleh Hallier (1894) dari Ciampea; Cook (1894) dari Cibodas; Kalshoven (1930) dari Semeru; van Steenis (1940) dari Gunung Gede. Cendawan entomopatogen baru dilaporkan kembali tahun 2007 dari Telaga Warna (Yanto 2007), dari Cangkuang (Palupi & Sinaga 2007). Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi, membandingkan keragaman cendawan entomopatogen yang berada di kawasan Cagar Alam (CA) Telaga Warna, serta mengisolasinya sebagai koleksi murni.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan TempatPenelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari hingga Juni 2008. Pengambilan sampel dilakukan di kawasan Cagar Alam Telaga Warna, Cisarua Bogor. Kawasan ini memiliki ketinggian antara 1400-1900 m dpl, merupakan daerah pegunungan tinggi dengan bukit terjal dan bergelombang dengan luas 4 ha, suhu udara rata-rata 18.3°C, kelembapan rata-rata 91.95%, curah hujan tahunan 3300 mm/tahun, terletak antara 106º 50’ 12” dan 106º 51’ 14” BT pada 6º 43’ 24” LS.* Isolasi, identifikasi, serta pengamatan mikroskopi cendawan entomopatogen dilakukan di Laboratorium Tumbuhan Rendah, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Pengambilan Sampel
Bahan yang diteliti ialah cendawan entomopatogen yang dikoleksi dari kawasan CA Telaga Warna. Sampel diambil dari bulan Maret sampai dengan Mei 2008. Sampel yang diamati berupa cendawan yang memarasit serangga, baik yang terdapat pada tumbuhan maupun serasah lantai hutan. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak enam kali dengan interval waktu satu minggu sekali pada pagi hari. Sampel yang diambil ialah serangga mati yang memiliki/menunjukkan struktur repro-duksi cendawan. Pengumpulan sampel di-lakukan sepanjang jalur penelusuran kawasan Cagar Alam Telaga Warna. Banyaknya sampel yang diambil sesuai dengan keberadaan cendawan tersebut, misalnya terdapat cendawan yang berada pada permu-kaan daun dalam jumlah banyak, maka dapat diambil 3-5 sampel daun. Sampel disimpan di dalam kantung atau kotak plastik agar struk-turnya tidak rusak serta diberi label berisi informasi: waktu pengambilan sampel, nomor kode tempat, tanggal, dan nomor kantung. Daun yang merupakan substrat tempat hidup cendawan entomopatogen juga diambil untuk diidentifikasi.
Identifikasi
reproduksi cendawan yang tampak pada permukaan serangga, struktur tersebut diamati secara makroskopi (meliputi warna, bentuk, dan ukuran stroma, warna dan ukuran sinema, serta inang yang diserangnya) maupun mikroskopi (meliputi bentuk dan ukuran askus dan askospora, warna dan bentuk piknidium dan konidium). Pengukuran panjang dan lebar askus, askospora, piknidium dan konidium dilakukan sebanyak 20-30 buah.
Isolasi
Sebanyak 4 genus cendawan dominan yang diperoleh selama eksplorasi diisolasi dengan teknik spora tunggal pada media agar-agar dekstrosa kentang (14 g agar-agar-agar-agar, 20 g gula, 200 g kentang, 0.75 g antibiotik kloramfenikol, dan 1 liter akuades). Isolasi spora tunggal ini dilakukan dengan prinsip mensuspensikan spora cendawan yang tumbuh pada permukaan tubuh serangga menggunakan akuades steril. Suspensi tersebut diinokulasikan pada media agar-agar cawan dan dinkubasikan di dalam keranjang tertutup dengan kondisi lembap. Spora yang berkecambah dipindahkan ke media yang baru, sampai diperoleh biakan murni.
HASIL
Ragam Cendawan Entomopatogen
Di kawasan Cagar Alam Telaga Warna cendawan entomopatogen dapat ditemukan pada dua habitat, yaitu pada daun yang dijum-pai di atas maupun di bawah permukaan daun dan di serasah lantai hutan (Tabel 1).
Sebanyak 15 spesimen cendawan entomo-patogen berhasil diperoleh dalam periode Maret sampai dengan Mei 2008. Spesimen tersebut terdiri atas 2 genus teleomorf (Cordyceps dan Hypocrella)serta 4 genus anamorf (Aschersonia, Beauveria, Gibelulla, dan Isaria).
1 Cordyceps Fries
Tiga spesimen Cordyceps berasosiasi dengan Diptera sedangkan satu spesimen berasosiasi dengan Lepidoptera. Cordyceps yang berasosiasi dengan Diptera membentuk dua stroma di bagian toraks dan satu sinema di bagian anus. Cordyceps yang ditemukan berasosiasi dengan Lepidoptera hanya membentuk satu stroma. Ketiga spesimen tersebut masing-masing terdapat di bawah permukaan daun Ficus microcarpa (RA 07),
Ficus sp. (RA 08), Musa sp. (RA 09), dan 1 spesimen di serasah lantai hutan (RA 18).
Tabel 1 Cendawan entomopatogen yang diperoleh dari CA Telaga Warna beserta inangnya.
No. Koleksi Nama Cendawan Inang Lokasi RA 07; RA 08; RA 09 Cordyceps dipterigena Lalat (Diptera) Di bawah permukaan daun RA 18 C. cf.
militaris
Lepidoptera Di serasah lantai hutan RA 02;
RA 03; RA 04
Hypocrella Homoptera Di atas permukaan daun dan pelepah RA 11;
RA 21
Aschersonia Homoptera Di atas permukaan daun dan batang RA 17;
RA 23
Beauveria Lepidoptera Hemiptera Di bawah permukaan daun RA 01; RA 13
Gibelulla Araneae Di atas permukaan daun RA 19 Isaria Lepidoptera Di serasah
lantai hutan RA 20 ? Isaria Lepidoptera Di bawah
permukaan daun
Cordyceps dipterigena B. and Br.
Dua buah stroma berwarna krem keluar dari toraks pada ujung tangkai yang berwarna krem tua (Gambar 1a). Stroma berukuran 2.0-2.5 x 1.0-1.5 mm dan di dalam stroma ter-dapat peritesium (Gambar 1b). Peritesium hialin, berbentuk botol, kedudukan tenggelam (immersed) vertikal, berukuran 100.1-500.5 x 500.5-743.6 µm dan di dalam peritesium ter-dapat askus. Askus hialin, berbentuk silinder, berukuran 105.0-120.0 x 2.0-3.5 µm yang di dalamnya terdapat askospora (Gambar 1c). Askospora hialin berbentuk fusoid berukuran 4.5-7.5 x 0.18-0.24 µm. Selain struktur teleomorf, Cordyceps memiliki struktur anamorfnya yang merupakan sinema. Sinema tumbuh dari bagian anus berukuran 4.5-5.0 mm berwarna abu-abu dan memutih di bagian pangkal. Pada sinema terdapat piknidium berukuran 45-132 x 126-168 µm. Konidium belum dibentuk karena spesimen yang dikoleksi masih terlalu muda.
3
berukuran 3-5 mm, dan pada Cordyceps RA 08 (Gambar 1e) kedua stroma berukuran 0.2-0.3 x 0.2 mm dan sinema berukuran 3.5 mm. Pengamatan mikroskopi dari kedua spesimen ini belum tampak adanya peritesium maupun piknidium.
Gambar 1 Struktur teleomorf dan anamorf Cordyceps dipterigena pada Diptera di bawah permukaan daun (a) fase dewasa RA 09 (b) peritesium dari irisan melintang stroma (c) askospora, dan (d-e) fase muda RA 07 dan RA 08.
Cordyceps cf. militaris
Spesimen ini (Gambar 2) memiliki stroma berwarna oranye dan memutih di bagian pangkal dengan panjang 2 mm dan diameter 28-138 µm, pada permukaannya terdapat lubang ostiolum yang berisi peritesium. Peri-
Gambar 2 Cordyceps cf. militaris (a) pada serasah lantai hutan dengan stroma oranye yang mengan-dung peritesium, (b) peritesium, (c) askus muda, dan (d) koloni Cordyceps cf. militaris pada media Agar-agar Dekstrosa Kentang.
tesium berwarna oranye, bentuk botol, kedudukan tenggelam (immersed), berukuran 371.8-529.1 x 414.7-529.1µm dan di dalam peritesium terdapat askus. Askus hialin ukuran 81.0-120.0 x 2.4-4.8 µm, askospora cendawan belum terbentuk, karena spesimen yang dikoleksi masih muda. Diameter miselium Cordyceps RA 18 dalam media agar-agar mencapai 6.5 cm dalam waktu 25 hari masa inkubasi.
2 Hypocrella Saccardo
Tiga spesimen Hypocrella berasosiasi dengan inang famili Homoptera. Ketiga spesimen tersebut terdapat di pelepah daun Nicolaia speciosa (RA 02) dan di bawah permukaan daun Strobilanthus cernuus (RA 03 dan RA 04). Hifa cendawan ini tampak tumbuh menyelimuti seluruh permukaan tubuh inangnya membentuk stroma yang merupakan jalinan miselium yang memadat.
Hypocrella RA 02
Spesimen ini (Gambar 3) memiliki stroma berwarna putih, berbentuk bulat dengan permukaan tidak rata berukuran 1.5-8.0 x 1.8-5.0 mm. Pada permukaan stroma terdapat titik-titik berwarna lebih gelap yang
merupakan ostiolum, stroma berisi peritesium. Peritesium berbentuk botol, berukuran 143-514.8 x 114.4-271.17 µm, di dalam peritesium terdapat kumpulan askus. Askus hialin, berbentuk silinder, berukuran 5.7-9.8 x 1.5-2.4 µm yang mengandung askospora.
Askospora hialin, berbentuk fusoid, berukuran 5.55-6.3 x 0.195-0.315 µm.
Gambar 3 Hypocrella RA 02 (a) pada pelepah Nicolaia speciosa, (b) peritesium dari irisan membujur stroma, dan (c) askus yang mengandung askospora.
a
c d
b
b
c d
sinema
stroma
a b
e
Hypocrella RA 03
Spesimen ini (Gambar 4) memiliki stroma berwarna putih, bentuk bulat, permukaan tidak rata, berdiameter 2.0-4.0 x 1.0-2.25 mm, pada permukaan stroma tidak tampak adanya ostiolum. Irisan membujur stroma berisi peri-tesium. Peritesium berbentuk botol, keduduk-an immersed berukuran 164-212 x 103-135 µm, di dalam peritesium terdapat kumpulan askus dengan cap (tudung askus). Askus hialin, berbentuk silinder, berukuran 21.6-68.3 x 2.1-4.3 µm, di dalam askus mengandung askospora. Askospora hialin, berbentuk oval, berukuran 4.5-6.4 x 0.9-2.3µm.
Gambar 4 Hypocrella RA 03 pada (a) permukaan daun Strobilanthus cernuus, (b) kumpulan askus, (c) askus dengan tudung askus (cap), dan (d) kumpulan askospora.
Hypocrella RA 04
Spesimen ini (Gambar 5) memiliki stroma berwarna oranye, berbentuk bulat dengan per-mukaan tidak rata, di atas perper-mukaan stroma terdapat ostiolum yang berwarna lebih gelap. Irisan membujur stroma berisi peritetesium. Peritesium seperti botol, kedudukan
Gambar 5 Hypocrella RA 04 (a) stroma pada batang Strobilanthus cernuus, (b) kumpulan askus, (c) askus berisi askospora, dan (d) askospora.
Immersed, berukuran 351.2-421 x 243.1-421 µm, di dalam peritesium terdapat beberapa askus. Askus hialin, berbentuk silinder, ber-ukuran 91.1-53.8 x 1.1-2.3 µm yang berisi askospora. Askospora hijau hialin, berbentuk fusoid, berukuran 4.1-6.3 x 3.1-5.0 µm.
3 Aschersonia Montagne
Dua spesimen Aschersonia ditemukan berasosiasi dengan Homoptera. Spesimen tersebut masing-masing terdapat di bawah permukaan daun Strobilanthus cernuus (RA 11) dan di pelepah Nicolaia speciosa (RA 21). Hifa cendawan ini tampak tumbuh menye-limuti seluruh permukaan tubuh inangnya membentuk stroma yang merupakan jalinan miselium yang memadat.
Aschersonia RA 11
Spesimen ini(Gambar 6) memiliki stroma berwarna oranye, berbentuk bulat, dengan permukaan tidak rata, berukuran 1.5-2.5 x 1.8-2.0 mm. Pada permukaan stroma terdapat ostiolum berwarna lebih gelap dan terdapat struktur menjulur keluar dari permukaan stroma. Irisan membujur stroma berisi piknidium. Piknidium berbentuk botol, berukuran 100.1-300.3 x 100.1-241.1 µm berisi sel konidiogen yang menghasilkan konidium. Konidium hialin, berbentuk fusoid, bersekat 2-3 buah, berukuran 7.5-9.0 x 0.9-0.12 µm.
Gambar 6 Aschersonia RA 11 (a) stroma dengan ostiolum, (b) piknidium dengan kumpulan konidium, dan (c) konidium.
Aschersonia RA 21
Spesimen ini (Gambar 7) memiliki stroma berwarna kuning, berbentuk bulat, permukaan tidak rata, berukuran 1.0-6.0 x 1.0-4.5 mm pada permukaan stroma terdapat lubang ostiolum berwarna lebih gelap. Irisan melin-tang stroma berisi piknidium. Piknidium
a b
a d
c
a
c
b
d
b
5
hialin, berbentuk botol, berukuran 243.1-529.1 x 200.2-371.8 µm yang di dalamnya mengandung konidium. Konidium hialin, berbentuk fusoid, bersekat, berukuran 6.0-10.5 x 1.3-2.5 µm.
Gambar 7 Aschersonia RA 21 (a) Stroma dengan ostiolum, (b) irisan melintang stroma yang mengandung piknidium, (c) piknidium yang mengandung konidium, dan (d) konidium.
4 Beauveria Vuillemin
Beauveria ditemukan berasosiasi dengan Lepidoptera (RA 17) dan Hemiptera (RA 23). Spesimen tersebut terdapat di bawah permu-kaan daun tumbuhan dikotil. Inang yang diserang cendawan ini biasanya diselimuti miselia berwarna putih hingga krem seperti tepung. Koloni tersebut merupakan kumpulan dari konidium.
Beauveria RA 17
Spesimen ini (Gambar 8) memiliki konidium hijau hialin, berbentuk silindris, berukuran 1.5-2.5 x 0.15-0.3 µm.
Gambar 8 Beauveria RA 17 (a) di bawah permukaan daun, dan (b) konidium.
Beauveria RA 23
Spesimen ini (Gambar 9) memiliki konidium hijau-hialin, berbentuk bulat, ber-ukuran 0.75-1.05 µm. Diameter miselium-nya pada media agar-agar mencapai 4.1 cm dalam waktu 15 hari masa inkubasi.
Gambar 9 Beauveria RA 23 (a) miselium menutupi tubuh inang, (b) kumpulan kepala konidium, (c) kumpulan konidium, dan (d) miselium Beauveria RA 23 dalam media Agar-agar Dekstrosa Kentang.
5 Gibelulla Cavara
Gibelulla berasosiasi dengan Araneae di bawah permukaan daun. Spesimen tersebut masing-masing terdapat di bawah permukaan daun tumbuhan dikotil (RA 01) dan di bawah permukaan daun Ficus sp. (RA 13). Hifa cendawan membentuk massa miselium menutupi permukaan tubuh inang, sehingga koloni tampak berwarna putih. Cendawan tersebut membentuk struktur sinema yang merupakan kumpulan konidiofor. Konidium dibentuk pada seluruh permukaan sinema oleh sel konidiofor yang memanjang. Pada ujung konidiofor menggembung merupakan kepala konidium yang menempel konidia.
Gibelulla RA 01
Spesimen ini (Gambar 10) membentuk 4 struktur sinema yang muncul pada tubuh inangnya. Setiap bagian sinema menempel kepala konidium berwarna putih berukuran 39-48 µm disangga oleh konidiofor. Konidio-for berukuran 13.9 µm, pada kepala konidium menempel konidium. Konidium hialin, ber-bentuk fusoid, dengan ukuran 0.08-0.10 x 0.08-0.12 µm.
Gambar 10 Gibelulla RA 01 (a) membentuk sinema pada inang, (b) kepala konidium dan konidium.
c
a b
b a
c d
d
b a
Gibelulla RA 13
Spesimen ini (Gambar 11) membentuk sebuah struktur sinema berwarna putih, berukuran 1.9 mm yang muncul dari anus inang, disepanjang tangkai sinema terdapat konidiofor. konidiofor berukuran 57-90 µm yang menyangga kepala konidium. Kepala konidium berukuran 30-42 µm yang mengandung konidium. Konidium hialin, berbentuk silinder, berukuran 0.6-0.15 x 2.7-3.6 µm.
Gambar 11 Gibelulla RA 13 (a) di bawah permukaan daun Ficus sp. dengan sinema, (b-c) kepala konidium, dan (d) konidium.
6 Isaria Pers.: Fr.
Isaria ditemukan berasosiasi dengan Lepidoptera. Spesimen tersebut ditemukan di serasah lantai hutan (RA 19) dan di bawah permukaan daun (RA 20). Hifa cendawan menutupi permukaan tubuh inang sehingga koloni tampak berwarna putih. Koloni tersebut merupakan struktur sinema tampak seperti serbuk berwarna putih, dengan percabangan yang tak teratur yang muncul dari tubuh inang.
Isaria RA 19
Spesimen ini (Gambar 12) memiliki sinema yang muncul dari tubuh inang, berwarna putih dengan tangkai bercabang berwarna krem dan bagian apeks berwarna putih dengan panjang 3-8 mm dan diameter 105.6-127.0 µm yang mengandung konidium. Konidium hijau kekuningan, berbentuk silinder, berukuran 0.23-0.53 x 0.12-0.18 µm. Diameter miselium cendawan ini pada media agar-agar mencapai 3.3 cm dalam waktu 10 hari masa inkubasi.
Gambar 12 Isaria RA 19 dari serasah lantai hutan (a) kumpulan sinema, (b-c) kumpulan konidium, dan (d) koloni Isaria RA 19 dalam media Agar-agar Dekstrosa Kentang.
7 ? Isaria RA 20
Spesimen ini (Gambar 13) memiliki sinema bercabang, berwarna krem dan me-mutih pada bagian apeks, berukuran 0.8-2.0 mm yang mengandung konidium. Konidium berbentuk silinder, berwarna hijau, berukuran 0.3-0.53 x 0.12-0.19 µm. Diameter miselium cendawan ini pada media agar-agar mencapai 1.4 cm dalam waktu 13 hari masa inkubasi.
Gambar 13 Spesimen RA 20 (a) di bawah permukaan daun, (b) kumpulan konidium, dan (c) koloni spesimen RA 20 pada media Agar-agar Dekstrosa Kentang.
Isolasi Cendawan Entomopatogen
Pertumbuhan cendawan entomopatogen tergolong lambat. Pada penelitian ini, pertumbuhan cendawan entomopatogen pada media Agar-agar Dekstrosa Kentang dapat diamati pada hari ke-3 masa inkubasi.
Cendawan entomopatogen yang tumbuh pada medium Agar-agar Dekstrosa Kentang (ADK), yaitu spesimen Cordyceps RA 18, Isaria RA 19, ? Isaria RA 20, dan Beauveria RA 23.Diameter miselium spesimen RA 18
a b
a b
c
d c
b
c d
7
Cordyceps mencapai 6.5 cm dalam waktu 25 hari masa inkubasi, diameter miselium spesimen Isaria RA 19 mencapai 3.3 cm dalam waktu 10 hari masa inkubasi, diameter miselium spesimen ? Isaria RA 20 mencapai 1.4 cm dalam waktu 13 hari masa inkubasi, dan diameter miselium spesimen Beauveria RA 23 mencapai 4.1 cm dalam waktu 15 hari masa inkubasi. Spesimen yang miseliumnya tumbuh cepat bukan merupakan isolat cendawan entomopatogen.
PEMBAHASAN
Cendawan entomopatogen menyerang hampir semua jenis serangga. Cendawan ini dapat menyerang stadium telur, larva (nimfa), pupa maupun stadia dewasa dari serangga (Wikardi 2000). Berdasarkan struktur repro-duksinya, cendawan entomopatogen memiliki dua fase siklus hidup, yaitu fase teleomorf dan anamorf. Teleomorf merupakan fase repro-duksi yang menghasilkan spora (seksual), sedangkan anamorf merupakan fase repro-duksi yang menghasilkan konidium (asek-sual). Sebanyak 6 genus cendawan entomo-patogen diperoleh dari kawasan CA Telaga Warna, yaitu Cordyceps dan Hypocrella (teleomorf), Aschersonia, Beauveria,
Gibelulla, dan Isaria (anamorf). Yanto (2007) melaporkan 8 genus cendawan entomo-patogen di kawasan yang sama (Tabel 2).
Tabel 2 Cendawan entomopatogen yang didapat di CA Telaga Warna pada tahun 2007 & 2008
Fase Yanto ( 2007) Tahun 2008
Teleomorf Torubiella -
Cordyceps Cordyceps
Hypocrella Hypocrella Anamorf Aschersonia Aschersonia
Beauveria Beauveria
- Gibelulla Isaria Isaria
Akanthomyces -
Paecilomyces -
Total 8 6
Dalam penelitian ini ditemukan 6 genus cendawan entomopatogen dan 5 diantaranya dijumpai kembali pada tahun 2008. Perbedaan genus cendawan entomopatogen tersebut terjadi karena jalur penelusuran kawasan yang dilalui berbeda, kejelian dalam pengamatan
atau kondisi alam seperti curah hujan dan suhu.
Cordyceps dipterigena merupakan cendawan entomopatogen yang berasosiasi spesifik dengan Diptera. Cendawan ini menghasilkan fase teleomorf dan anamorf secara bersamaan. Cordyceps dipterigena merupakan fase teleomorf, tetapi dari per-mukaan tubuh inangnya terdapat sinema. Sinema yang muncul dari inang (Diptera) sama dengan anamorf Hymenostilbe
(Luangsa-ard et al. 2006). Stroma Cordyceps dipterigena yang ditemukan pada penelitian ini memiliki stroma jauh lebih kecil daripada yang dilaporkan oleh Petch (1929) dan Yanto (2007) (Tabel 3). Spesimen yang dikoleksi pada tahun 2008 kemungkinan masih terlalu muda, hal ini dapat terlihat dari ukuran stromanya dan spesimen ini belum menghasil-kan askospora. Spesimen Cordyceps
dipterigena pernah dilaporkan Kalshoven (1930) dari Semeru dan spesimennya di-simpan di Herbarium Bogoriense.
Tabel 3 Ukuran stroma Cordyceps dipterigena Stroma (mm) Sumber
6.0 x 2.5 Petch (1929) 2.5-3.0 x 1.0-2.0 Yanto (2007) 2.0-2.5 x 1.0-1.5 Penelitian ini
Cordyceps cf. militaris yang ditemukan pada penelitian ini memiliki ukuran perite-sium dan askus yang lebih besar dibandingkan dengan yang ditemukan Yanto (2007) (Tabel 4). Kedua spesimen cendawan yang ditemu-kan masih muda karena belum dibentuknya askospora. Spesimen Cordyceps militaris dilaporkan Wabst (1899) dari Sachsen dan telah tercatat di Herbarium Bogoriense.
Tabel 4 Ukuran struktur reproduksi seksual
Cordyceps militaris Struktur reproduksi (µm) Sumber Peritesium
371.8-529.1 x 414.7-529.1 Penelitian ini 192.0-240.0 x 86.4-134.4 Yanto (2007) Askus
81-120 x 2.4-4.8 Penelitian ini 9.6-144.0 x 1.6-2.7 Yanto (2007)
Dalam penelitian ini hanya dijumpai stroma Hypocrella berwarna putih dan oranye, se-dangkan Yanto (2007) melaporkan ada juga yang merah muda dan kuning. Hypocrella dengan warna stroma kuning-oranye dilapor-kan dari Cangkuang (Palupi & Sinaga 2007). Dalam keadaan segar stroma Hypocrella dapat berwarna putih, kuning, oranye, merah (Hywel-Jones & Samuel 1998; Luangsa-ard et al. 2006). Spesimen Hypocrella pernah di-laporkan Cook (1894) dari Cibodas-Jawa Barat dan Samuel (1985) dari Sulawesi Utara, spesimen tersebut disimpan di koleksi Herbarium Bogoriense.
Karakteristik Aschersonia dapat dilihat dari stroma, piknidium, sel konidiogen dan konidum. Spesimen Aschersonia ditemukan berasosiasi dengan Homoptera di bawah permukaan daun. Warna stroma Aschersonia yang dijumpai pada penelitian ini hanya berwarna oranye dan kuning, sedangkan Yanto (2007) melaporkan ada juga yang berwarna putih. Herbarium Bogoriense mencatat spesimen Aschersonia yang dilapor-kan Hailler (1894) dari Ciampea-Jawa Barat dan Gruentart (1939) dari Malang-Jawa Timur.
Hypocrella dan Aschersonia memiliki hubungan teleomorf dan anamorf.Hypocrella merupakan bentuk teleomorf dari
Aschersonia. Hifa dari kedua cendawan ini tampak tumbuh di luar tubuh serangga dan menyelimuti tubuh inang bahkan sampai ke substrat dengan membentuk stroma sehingga inang tidak lagi terlihat dengan jelas, namun di dalam stroma Hypocrella terdapat struktur yang berbentuk seperti botol yang dinamakan peritesium, dan di dalam peritesium terdapat beberapa askus tempat spora diproduksi, sedangkan di dalam stroma Aschersonia berisi piknidium dengan sel konidiogen menghasil-kan konidium. Adanya askus mencirimenghasil-kan Hypocrella, sedangkan konidium sebagai Aschersonia.
Beauveria yang ditemukan berasosiasi dengan Hemiptera dijumpai kembali pada penelitian ini, namun spesimen ini memiliki ukuran konidium yang lebih kecil disbanding-kan dengan penemuan Yanto (2007).
Beauveria yang ditemukan pada penelitian ini memiliki ukuran konidium 0.75-1.05 µm, sedangkan yang ditemukan Yanto (2007) berukuran 1.1-2.2 µm. Cendawan ini telah diaplikasikan sebagai agens pengendalian hayati hama tanaman karena mampu meng-infeksi serangga dengan kisaran inang yang
luas serta memiliki persebaran geografi yang cukup luas (Bari 2006). Selain ditemukan di hutan tropik, Beauveria juga dapat ditemukan di lahan pertanian (Luangsa-ard et al. 2006).
Pada penelitian ini ditemukan spesimen Gibelulla namun pada penelitian Yanto (2007) spesimen ini tidak dilaporkan. Spesimen ini berasosiasi dengan Araneae (Laba-laba). Luangsa-ard et al. (2006) mengemukakan ordo serangga yang mudah terinfeksi oleh cendawan entomopatogen termasuk Diptera, Homoptera, Lepidoptera, Coleoptera dan Hymenoptera, namun cendawan entomo-patogen dapat berasosiasi dengan inang selain serangga, yaitu laba-laba.
Sinema spesimen Isaria RA 19 yang ditemukan pada penelitian ini berukuran lebih pendek dibandingkan dengan ukuran sinema spesimen Isaria yang ditemukan pada tahun sebelumnya (Tabel 5).
Tabel 5 Ukuran sinema Isaria Sinema
Panjang (mm) Diameter (µ m)
Sumber
3 300 Petch (1931)
8-20 137.0-219.2 Yanto (2007) 3-8 105.6-127.0 Penelitian ini
Spesimen RA 20 ditemukan berasosiasi dengan Lepidoptera, memiliki percabangan sinema yang tidak teratur, sinema ditutupi oleh massa konidium, ciri tersebut sama seperti yang dimiliki Isaria, namun spesimen RA 20 ini ditemukan di bawah permukaan daun tumbuhan dikotil. Luangsa-ard et al. (2006) mengemukakan pada umumnya Isaria ditemukan di serasah lantai hutan, pada ran-ting tumbuhan atau batang pohon.
9
dengan keadaan lembap atau pada daerah yang berbukit.
Cendawan entomopatogen yang dapat diisolasi hanya didapatkan empat isolat. Beberapa spesimen lainnya tidak berhasil didapatkan isolatnya karena pada hari ke-3 setelah masa inkubasi terdapat banyak kon-taminan yang tumbuh, konkon-taminan yang tumbuh biasanya koloni-koloni kecil dengan elevasi licin atau terdapat koloni-koloni kecil yang tersebar dalam media agar-agar dengan pertumbuhan massa miselium yang cepat. Umumnya, jika sebelum hari ke-3 sudah tampak pertumbuhan yang cepat maka dapat dipastikan bahwa koloni tersebut ialah bukan cendawan entomopatogen. Faktor lain selain adanya kontaminan yang menyebabkan ketidakberhasilan dalam isolasi ini, ialah pengenceran spora yang berlebihan dapat menyebabkan tidak adanya spora yang tergoreskan pada media agar-agar, sehingga tidak diperoleh biakan yang tumbuh.
SIMPULAN
Enam genus cendawan entomopatogen yang ditemukan di kawasan CA Telaga Warna pada bulan Maret-Mei 2008, ialah 2 genus fase telemorf Cordyceps dan Hypocrella serta 4 genus fase anamorf Aschersonia, Beauveria, Gibelulla, dan Isaria. Spesimen yang berhasil diisolasi dengan teknik spora tunggal, yaitu spesimen Cordyceps RA 18, Isaria RA 19, ? Isaria RA 20 dan Beauveria RA 23. Keberadaan cendawan entomopatogen yang ditemukan pada tahun 2008 sebagian besar sama seperti yang ditemukan pada tahun 2007 pada musim yang sama.
SARAN
Cendawan entomopatogen perlu terus digali untuk mendapatkan informasi mengenai keberadaannya terutama pada kawasan dan musim yang berbeda di Indonesia serta koleksi isolat sebagai tindak lanjut untuk mengetahui potensi metabolit sekunder.
DAFTAR PUSTAKA
Cook R. 1977. The Biology of Symbiotic Fungi. Chichester: Wiley.
Bari D. 2006. Keefektifan beberapa isolat cendawan entomopatogen Beauveria
bassiana (Balsamo) Vuillemin terhadap hama Boleng Cylas formicarius (FABR.) (Coleoptera: Curculionidae) di
laboratorium [skripsi]. Bogor: Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Humber RA. 1998. Entomopathogenic Fungal Identification [ASP/ESA Workshop]. Las Vegas: USDA-ARS.
Hywel-Jones NL, Samuels GJ. 1998. Three spesies of Hypocrella with large stromata pathogenic on scale insects. Mycologia 90: 36-46.
Luangsa-ard JJ, Tasanatai K, Mongkolsamrit S, Hywel-Jones NL, Spatafora JW. 2006. The Collection, Isolation, and Taxonomy of Invertebrate-Pathogenic Fungi [Workshop Manual]. Pathum Thani: NSTDA.
Nasrun, Jamalius. 1994. Potensi jamur Beauveria bassiana dalam pengendalian serangga Hindola fulva sebagai vektor penyakit bakteri pembuluh kayu cengkeh (BPKC) tanaman cengkeh. Di dalam: Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Prosiding seminar; Bogor, 24 Agu 1994. Bogor: Sub-Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Solok Sumatera Barat Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. hlm 50-56.
Palupi SN, Sinaga N. 2007. Keragaman cendawan parasit serangga di Wana Wisata Cangkuang [laporan studi lapangan]. Bogor: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.
Petch T. 1929. Studies in entomopatogenous fungi. Some Ceylon Cordyceps. Trans Br mycol Soc 10:29-44.
Petch T. 1931. Notes on entomogenous fungi. Transac Br Mycol Soc 16:55-75.
Riana D. 2000. Biologi hama tanaman kelapa sawit (Elaeis guineensis Jacq.) Tirathaba mundella Wlk. (Lepidoptera: Pyralide) serta uji beberapa konsentrasi cendawan Beauveria bassiana (Balsamo) Vuillemin dan Metarrhizium anisopliae
(Metschnikoff) Sorokin dalam
Widiyanti NLPM, Muyadihardja S. 2004. Uji toksisitas jamur Metarrhizium anisopliae terhadap larva nyamuk Aedes aegypti. Media Litbang Kesehatan 14:24-30.
Wikardi EA. 2000. Cendawan pathogen serangga sebagai bahan baku insektisida. Di dalam: Pemanfaatan Mikroba dan Parasitoid dalam Agroindustri Tanaman Rempah dan Obat. Perkembangan
Teknologi Tanaman Rempah dan Obat. Vol 12. Bogor: Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. hlm 21-28.
11
Lampiran 1 Peta jalur penelusuran pengambilan sampel di CA Telaga Warna
Keterangan:
A : Wisma
B : Loket
C : Kantor
Jalur 1 dan 2 : Jalur penelusuran kawasan yang pernah dilalui pada penelitian sebelumnya (2007)
Jalur 3 : Jalur penelusuran kawasan pada penelitian ini (2008)
Cordyceps : RA 07, RA 08, RA 09, RA 18
Hypocrella : RA 02, RA 03, RA 04
Aschersonia : RA 11, RA 21
Beauveria : RA 17, RA 23
Gibelulla : RA 01, RA 13
Isaria : RA 19, RA 20
U
TW1400 mdpl
1600 md
p
l
1500 mdpl 1500 mdpl
RA 01
RA 11 RA 02
RA 03
RA 13
RA 07
RA 04 RA 21 RA 09
RA 08 RA 18
RA 20
RA 19 RA 17
RA 01
Jalur 1 Jalur 3
Jalur 2
A
ALAM TELAGA WARNA, CISARUA BOGOR
RESTI
AMALIA
DEPARTEMEN BIOLOGI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
RESTI AMALIA. Ragam cendawan entomopatogen di kawasan Cagar Alam Telaga Warna, Cisarua Bogor. Dibimbing oleh AGUSTIN WYDIA GUNAWAN dan KARTINI KRAMADIBRATA.
Cendawan entomopatogen adalah cendawan parasit serangga. Keberadaan dan keragaman cendawan ini di Indonesia belum banyak diketahui. Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi keragaman cendawan entomopatogen yang berada di kawasan Cagar Alam Telaga Warna, Cisarua Bogor. Sampel yang diambil berupa cendawan yang berasosiasi dengan serangga. Pengumpulan sampel dilakukan sepanjang jalur penelusuran kawasan Cagar Alam Telaga Warna. Sampel yang berhasil dikoleksi kemudian diidentifikasi dan diisolasi dengan menggunakan teknik spora tunggal. Cendawan entomopatogen yang diperoleh ialah Cordyceps, Hypocrella, Aschersonia, Beauveria,
Gibelulla, dan Isaria. Dua genus yang pertama ditemukan fase teleomorfnya secara alami sedangkan lainnya hanya fase anamorfnya. Spesimen yang berhasil diisolasi, ialah
Cordyceps cf. militaris,Isaria RA 19, ? Isaria RA 20 dan BeauveriaRA 23.
Kata kunci: Cendawan entomopatogen, teleomorf, anamorf
ABSTRACT
RESTI AMALIA. Diversity of entomopathogenic fungi in Telaga Warna Nature Reserve Cisarua, Bogor. Supervised by AGUSTIN WYDIA GUNAWAN and KARTINI KRAMADIBRATA.
Entomopathogenic fungi is parasite on insect. In Indonesia, their existence and diversity is not well known. This research was conducted to explore their biodiversity in Telaga Warna Nature Reserve, Cisarua Bogor. The samples are fungi associated with insect. Samples were collected by road sampling method in Area of Nature Reserve Telaga Warna. They were collected, identified and isolated using single spore method. Entomopathogenic fungi obtained, that are Cordyceps, Hypocrella, Aschersonia,
Beauveria,Gibelulla, and Isaria. Two genera found teleomorf phase naturally and others only found anamorf phase. Specimen success in isolation that is Cordyceps cf. militaris,
Isaria RA 19, ? Isaria RA 20 dan Beauveria RA 23.
* Balai informasi kawasan konservasi Provinsi Jawa Barat, Bogor Cendawan merupakan salah satu golongan organisme heterotrof, hidup sebagai saprob atau parasit, cara makannya secara absorbsi dengan mengeluarkan enzim ekstrasel. Enzim yang berperan dalam mekanisme tersebut ialah lipase, protease, dan kitinase (Cook 1977). Parasit merupakan organisme yang hidup pada organisme hidup lain dan meng-ambil makanan dari organisme tersebut. Umumnya cendawan parasit merugikan karena dapat menimbulkan penyakit dan akhirnya mematikan inang yang diserangnya.
Cendawan banyak terdapat di sekitar manusia, ada yang merugikan dan ada yang bermanfaat. Cendawan yang dijumpai menyebabkan kematian pada serangga disebut cendawan entomopatogen. Cendawan ini sebagian besar termasuk ke dalam filum Ascomycota. Beberapa di antaranya ialah Akanthomyces, Aschersonia, Beauveria, Cordyceps, Fusarium, Gibelulla, Hypocrella, Isaria, Metharrizium, dan Paecilomyces (Luangsa-ard et al. 2006). Sifat parasit yang dimiliki cendawan ini mematikan serangga dan sifat ini dapat dimanfaatkan sebagai pe-ngendalian hayati serangga hama, misalnya Metarrhizium anisopliae terhadap larva Aedes aegypti (Widiyanti & Muyadihardja 2004); Beauveria bassiana terhadap serangga vektor penyakit tanaman cengkeh (Nasrun & Jamalius 1994), hama tanaman kelapa sawit (Riana 2000), dan hama Boleng (Bari 2006). Selain sebagai pengendalian hayati,
Cordyceps sinensis memiliki potensi sebagai obat dan tonik (Luangsa-ard et al. 2006).
Total ragam cendawan ini tidak diketahui, namun hanya sekitar 400 sampai 700 lebih spesies yang telah diidentifikasi (Luangsa-ard et al. 2006). Keberadaan cendawan ini di Indonesia belum banyak dilaporkan. Dikoleksi Herbarium Bogoriense menunjukkan bahwa cendawan entomopatogen pernah dilaporkan oleh Hallier (1894) dari Ciampea; Cook (1894) dari Cibodas; Kalshoven (1930) dari Semeru; van Steenis (1940) dari Gunung Gede. Cendawan entomopatogen baru dilaporkan kembali tahun 2007 dari Telaga Warna (Yanto 2007), dari Cangkuang (Palupi & Sinaga 2007). Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi, membandingkan keragaman cendawan entomopatogen yang berada di kawasan Cagar Alam (CA) Telaga Warna, serta mengisolasinya sebagai koleksi murni.
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari hingga Juni 2008. Pengambilan sampel dilakukan di kawasan Cagar Alam Telaga Warna, Cisarua Bogor. Kawasan ini memiliki ketinggian antara 1400-1900 m dpl, merupakan daerah pegunungan tinggi dengan bukit terjal dan bergelombang dengan luas 4 ha, suhu udara rata-rata 18.3°C, kelembapan rata-rata 91.95%, curah hujan tahunan 3300 mm/tahun, terletak antara 106º 50’ 12” dan 106º 51’ 14” BT pada 6º 43’ 24” LS.* Isolasi, identifikasi, serta pengamatan mikroskopi cendawan entomopatogen dilakukan di Laboratorium Tumbuhan Rendah, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Pengambilan Sampel
Bahan yang diteliti ialah cendawan entomopatogen yang dikoleksi dari kawasan CA Telaga Warna. Sampel diambil dari bulan Maret sampai dengan Mei 2008. Sampel yang diamati berupa cendawan yang memarasit serangga, baik yang terdapat pada tumbuhan maupun serasah lantai hutan. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak enam kali dengan interval waktu satu minggu sekali pada pagi hari. Sampel yang diambil ialah serangga mati yang memiliki/menunjukkan struktur repro-duksi cendawan. Pengumpulan sampel di-lakukan sepanjang jalur penelusuran kawasan Cagar Alam Telaga Warna. Banyaknya sampel yang diambil sesuai dengan keberadaan cendawan tersebut, misalnya terdapat cendawan yang berada pada permu-kaan daun dalam jumlah banyak, maka dapat diambil 3-5 sampel daun. Sampel disimpan di dalam kantung atau kotak plastik agar struk-turnya tidak rusak serta diberi label berisi informasi: waktu pengambilan sampel, nomor kode tempat, tanggal, dan nomor kantung. Daun yang merupakan substrat tempat hidup cendawan entomopatogen juga diambil untuk diidentifikasi.
Identifikasi
* Balai informasi kawasan konservasi Provinsi Jawa Barat, Bogor
PENDAHULUAN
Cendawan merupakan salah satu golongan organisme heterotrof, hidup sebagai saprob atau parasit, cara makannya secara absorbsi dengan mengeluarkan enzim ekstrasel. Enzim yang berperan dalam mekanisme tersebut ialah lipase, protease, dan kitinase (Cook 1977). Parasit merupakan organisme yang hidup pada organisme hidup lain dan meng-ambil makanan dari organisme tersebut. Umumnya cendawan parasit merugikan karena dapat menimbulkan penyakit dan akhirnya mematikan inang yang diserangnya.
Cendawan banyak terdapat di sekitar manusia, ada yang merugikan dan ada yang bermanfaat. Cendawan yang dijumpai menyebabkan kematian pada serangga disebut cendawan entomopatogen. Cendawan ini sebagian besar termasuk ke dalam filum Ascomycota. Beberapa di antaranya ialah Akanthomyces, Aschersonia, Beauveria, Cordyceps, Fusarium, Gibelulla, Hypocrella, Isaria, Metharrizium, dan Paecilomyces (Luangsa-ard et al. 2006). Sifat parasit yang dimiliki cendawan ini mematikan serangga dan sifat ini dapat dimanfaatkan sebagai pe-ngendalian hayati serangga hama, misalnya Metarrhizium anisopliae terhadap larva Aedes aegypti (Widiyanti & Muyadihardja 2004); Beauveria bassiana terhadap serangga vektor penyakit tanaman cengkeh (Nasrun & Jamalius 1994), hama tanaman kelapa sawit (Riana 2000), dan hama Boleng (Bari 2006). Selain sebagai pengendalian hayati,
Cordyceps sinensis memiliki potensi sebagai obat dan tonik (Luangsa-ard et al. 2006).
Total ragam cendawan ini tidak diketahui, namun hanya sekitar 400 sampai 700 lebih spesies yang telah diidentifikasi (Luangsa-ard et al. 2006). Keberadaan cendawan ini di Indonesia belum banyak dilaporkan. Dikoleksi Herbarium Bogoriense menunjukkan bahwa cendawan entomopatogen pernah dilaporkan oleh Hallier (1894) dari Ciampea; Cook (1894) dari Cibodas; Kalshoven (1930) dari Semeru; van Steenis (1940) dari Gunung Gede. Cendawan entomopatogen baru dilaporkan kembali tahun 2007 dari Telaga Warna (Yanto 2007), dari Cangkuang (Palupi & Sinaga 2007). Penelitian ini bertujuan mengeksplorasi, membandingkan keragaman cendawan entomopatogen yang berada di kawasan Cagar Alam (CA) Telaga Warna, serta mengisolasinya sebagai koleksi murni.
BAHAN DAN METODE
Waktu dan TempatPenelitian ini dilaksanakan dari bulan Februari hingga Juni 2008. Pengambilan sampel dilakukan di kawasan Cagar Alam Telaga Warna, Cisarua Bogor. Kawasan ini memiliki ketinggian antara 1400-1900 m dpl, merupakan daerah pegunungan tinggi dengan bukit terjal dan bergelombang dengan luas 4 ha, suhu udara rata-rata 18.3°C, kelembapan rata-rata 91.95%, curah hujan tahunan 3300 mm/tahun, terletak antara 106º 50’ 12” dan 106º 51’ 14” BT pada 6º 43’ 24” LS.* Isolasi, identifikasi, serta pengamatan mikroskopi cendawan entomopatogen dilakukan di Laboratorium Tumbuhan Rendah, Bidang Botani, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.
Pengambilan Sampel
Bahan yang diteliti ialah cendawan entomopatogen yang dikoleksi dari kawasan CA Telaga Warna. Sampel diambil dari bulan Maret sampai dengan Mei 2008. Sampel yang diamati berupa cendawan yang memarasit serangga, baik yang terdapat pada tumbuhan maupun serasah lantai hutan. Pengambilan sampel dilakukan sebanyak enam kali dengan interval waktu satu minggu sekali pada pagi hari. Sampel yang diambil ialah serangga mati yang memiliki/menunjukkan struktur repro-duksi cendawan. Pengumpulan sampel di-lakukan sepanjang jalur penelusuran kawasan Cagar Alam Telaga Warna. Banyaknya sampel yang diambil sesuai dengan keberadaan cendawan tersebut, misalnya terdapat cendawan yang berada pada permu-kaan daun dalam jumlah banyak, maka dapat diambil 3-5 sampel daun. Sampel disimpan di dalam kantung atau kotak plastik agar struk-turnya tidak rusak serta diberi label berisi informasi: waktu pengambilan sampel, nomor kode tempat, tanggal, dan nomor kantung. Daun yang merupakan substrat tempat hidup cendawan entomopatogen juga diambil untuk diidentifikasi.
Identifikasi
reproduksi cendawan yang tampak pada permukaan serangga, struktur tersebut diamati secara makroskopi (meliputi warna, bentuk, dan ukuran stroma, warna dan ukuran sinema, serta inang yang diserangnya) maupun mikroskopi (meliputi bentuk dan ukuran askus dan askospora, warna dan bentuk piknidium dan konidium). Pengukuran panjang dan lebar askus, askospora, piknidium dan konidium dilakukan sebanyak 20-30 buah.
Isolasi
Sebanyak 4 genus cendawan dominan yang diperoleh selama eksplorasi diisolasi dengan teknik spora tunggal pada media agar-agar dekstrosa kentang (14 g agar-agar-agar-agar, 20 g gula, 200 g kentang, 0.75 g antibiotik kloramfenikol, dan 1 liter akuades). Isolasi spora tunggal ini dilakukan dengan prinsip mensuspensikan spora cendawan yang tumbuh pada permukaan tubuh serangga menggunakan akuades steril. Suspensi tersebut diinokulasikan pada media agar-agar cawan dan dinkubasikan di dalam keranjang tertutup dengan kondisi lembap. Spora yang berkecambah dipindahkan ke media yang baru, sampai diperoleh biakan murni.
HASIL
Ragam Cendawan Entomopatogen
Di kawasan Cagar Alam Telaga Warna cendawan entomopatogen dapat ditemukan pada dua habitat, yaitu pada daun yang dijum-pai di atas maupun di bawah permukaan daun dan di serasah lantai hutan (Tabel 1).
Sebanyak 15 spesimen cendawan entomo-patogen berhasil diperoleh dalam periode Maret sampai dengan Mei 2008. Spesimen tersebut terdiri atas 2 genus teleomorf (Cordyceps dan Hypocrella)serta 4 genus anamorf (Aschersonia, Beauveria, Gibelulla, dan Isaria).
1 Cordyceps Fries
Tiga spesimen Cordyceps berasosiasi dengan Diptera sedangkan satu spesimen berasosiasi dengan Lepidoptera. Cordyceps yang berasosiasi dengan Diptera membentuk dua stroma di bagian toraks dan satu sinema di bagian anus. Cordyceps yang ditemukan berasosiasi dengan Lepidoptera hanya membentuk satu stroma. Ketiga spesimen tersebut masing-masing terdapat di bawah permukaan daun Ficus microcarpa (RA 07),
Ficus sp. (RA 08), Musa sp. (RA 09), dan 1 spesimen di serasah lantai hutan (RA 18).
Tabel 1 Cendawan entomopatogen yang diperoleh dari CA Telaga Warna beserta inangnya.
No. Koleksi Nama Cendawan Inang Lokasi RA 07; RA 08; RA 09 Cordyceps dipterigena Lalat (Diptera) Di bawah permukaan daun RA 18 C. cf.
militaris
Lepidoptera Di serasah lantai hutan RA 02;
RA 03; RA 04
Hypocrella Homoptera Di atas permukaan daun dan pelepah RA 11;
RA 21
Aschersonia Homoptera Di atas permukaan daun dan batang RA 17;
RA 23
Beauveria Lepidoptera Hemiptera Di bawah permukaan daun RA 01; RA 13
Gibelulla Araneae Di atas permukaan daun RA 19 Isaria Lepidoptera Di serasah
lantai hutan RA 20 ? Isaria Lepidoptera Di bawah
permukaan daun
Cordyceps dipterigena B. and Br.
Dua buah stroma berwarna krem keluar dari toraks pada ujung tangkai yang berwarna krem tua (Gambar 1a). Stroma berukuran 2.0-2.5 x 1.0-1.5 mm dan di dalam stroma ter-dapat peritesium (Gambar 1b). Peritesium hialin, berbentuk botol, kedudukan tenggelam (immersed) vertikal, berukuran 100.1-500.5 x 500.5-743.6 µm dan di dalam peritesium ter-dapat askus. Askus hialin, berbentuk silinder, berukuran 105.0-120.0 x 2.0-3.5 µm yang di dalamnya terdapat askospora (Gambar 1c). Askospora hialin berbentuk fusoid berukuran 4.5-7.5 x 0.18-0.24 µm. Selain struktur teleomorf, Cordyceps memiliki struktur anamorfnya yang merupakan sinema. Sinema tumbuh dari bagian anus berukuran 4.5-5.0 mm berwarna abu-abu dan memutih di bagian pangkal. Pada sinema terdapat piknidium berukuran 45-132 x 126-168 µm. Konidium belum dibentuk karena spesimen yang dikoleksi masih terlalu muda.
2
reproduksi cendawan yang tampak pada permukaan serangga, struktur tersebut diamati secara makroskopi (meliputi warna, bentuk, dan ukuran stroma, warna dan ukuran sinema, serta inang yang diserangnya) maupun mikroskopi (meliputi bentuk dan ukuran askus dan askospora, warna dan bentuk piknidium dan konidium). Pengukuran panjang dan lebar askus, askospora, piknidium dan konidium dilakukan sebanyak 20-30 buah.
Isolasi
Sebanyak 4 genus cendawan dominan yang diperoleh selama eksplorasi diisolasi dengan teknik spora tunggal pada media agar-agar dekstrosa kentang (14 g agar-agar-agar-agar, 20 g gula, 200 g kentang, 0.75 g antibiotik kloramfenikol, dan 1 liter akuades). Isolasi spora tunggal ini dilakukan dengan prinsip mensuspensikan spora cendawan yang tumbuh pada permukaan tubuh serangga menggunakan akuades steril. Suspensi tersebut diinokulasikan pada media agar-agar cawan dan dinkubasikan di dalam keranjang tertutup dengan kondisi lembap. Spora yang berkecambah dipindahkan ke media yang baru, sampai diperoleh biakan murni.
HASIL
Ragam Cendawan Entomopatogen
Di kawasan Cagar Alam Telaga Warna cendawan entomopatogen dapat ditemukan pada dua habitat, yaitu pada daun yang dijum-pai di atas maupun di bawah permukaan daun dan di serasah lantai hutan (Tabel 1).
Sebanyak 15 spesimen cendawan entomo-patogen berhasil diperoleh dalam periode Maret sampai dengan Mei 2008. Spesimen tersebut terdiri atas 2 genus teleomorf (Cordyceps dan Hypocrella)serta 4 genus anamorf (Aschersonia, Beauveria, Gibelulla, dan Isaria).
1 Cordyceps Fries
Tiga spesimen Cordyceps berasosiasi dengan Diptera sedangkan satu spesimen berasosiasi dengan Lepidoptera. Cordyceps yang berasosiasi dengan Diptera membentuk dua stroma di bagian toraks dan satu sinema di bagian anus. Cordyceps yang ditemukan berasosiasi dengan Lepidoptera hanya membentuk satu stroma. Ketiga spesimen tersebut masing-masing terdapat di bawah permukaan daun Ficus microcarpa (RA 07),
Ficus sp. (RA 08), Musa sp. (RA 09), dan 1 spesimen di serasah lantai hutan (RA 18).
Tabel 1 Cendawan entomopatogen yang diperoleh dari CA Telaga Warna beserta inangnya.
No. Koleksi Nama Cendawan Inang Lokasi RA 07; RA 08; RA 09 Cordyceps dipterigena Lalat (Diptera) Di bawah permukaan daun RA 18 C. cf.
militaris
Lepidoptera Di serasah lantai hutan RA 02;
RA 03; RA 04
Hypocrella Homoptera Di atas permukaan daun dan pelepah RA 11;
RA 21
Aschersonia Homoptera Di atas permukaan daun dan batang RA 17;
RA 23
Beauveria Lepidoptera Hemiptera Di bawah permukaan daun RA 01; RA 13
Gibelulla Araneae Di atas permukaan daun RA 19 Isaria Lepidoptera Di serasah
lantai hutan RA 20 ? Isaria Lepidoptera Di bawah
permukaan daun
Cordyceps dipterigena B. and Br.
Dua buah stroma berwarna krem keluar dari toraks pada ujung tangkai yang berwarna krem tua (Gambar 1a). Stroma berukuran 2.0-2.5 x 1.0-1.5 mm dan di dalam stroma ter-dapat peritesium (Gambar 1b). Peritesium hialin, berbentuk botol, kedudukan tenggelam (immersed) vertikal, berukuran 100.1-500.5 x 500.5-743.6 µm dan di dalam peritesium ter-dapat askus. Askus hialin, berbentuk silinder, berukuran 105.0-120.0 x 2.0-3.5 µm yang di dalamnya terdapat askospora (Gambar 1c). Askospora hialin berbentuk fusoid berukuran 4.5-7.5 x 0.18-0.24 µm. Selain struktur teleomorf, Cordyceps memiliki struktur anamorfnya yang merupakan sinema. Sinema tumbuh dari bagian anus berukuran 4.5-5.0 mm berwarna abu-abu dan memutih di bagian pangkal. Pada sinema terdapat piknidium berukuran 45-132 x 126-168 µm. Konidium belum dibentuk karena spesimen yang dikoleksi masih terlalu muda.
berukuran 3-5 mm, dan pada Cordyceps RA 08 (Gambar 1e) kedua stroma berukuran 0.2-0.3 x 0.2 mm dan sinema berukuran 3.5 mm. Pengamatan mikroskopi dari kedua spesimen ini belum tampak adanya peritesium maupun piknidium.
Gambar 1 Struktur teleomorf dan anamorf Cordyceps dipterigena pada Diptera di bawah permukaan daun (a) fase dewasa RA 09 (b) peritesium dari irisan melintang stroma (c) askospora, dan (d-e) fase muda RA 07 dan RA 08.
Cordyceps cf. militaris
Spesimen ini (Gambar 2) memiliki stroma berwarna oranye dan memutih di bagian pangkal dengan panjang 2 mm dan diameter 28-138 µm, pada permukaannya terdapat lubang ostiolum yang berisi peritesium. Peri-
Gambar 2 Cordyceps cf. militaris (a) pada serasah lantai hutan dengan stroma oranye yang mengan-dung peritesium, (b) peritesium, (c) askus muda, dan (d) koloni Cordyceps cf. militaris pada media Agar-agar Dekstrosa Kentang.
tesium berwarna oranye, bentuk botol, kedudukan tenggelam (immersed), berukuran 371.8-529.1 x 414.7-529.1µm dan di dalam peritesium terdapat askus. Askus hialin ukuran 81.0-120.0 x 2.4-4.8 µm, askospora cendawan belum terbentuk, karena spesimen yang dikoleksi masih muda. Diameter miselium Cordyceps RA 18 dalam media agar-agar mencapai 6.5 cm dalam waktu 25 hari masa inkubasi.
2 Hypocrella Saccardo
Tiga spesimen Hypocrella berasosiasi dengan inang famili Homoptera. Ketiga spesimen tersebut terdapat di pelepah daun Nicolaia speciosa (RA 02) dan di bawah permukaan daun Strobilanthus cernuus (RA 03 dan RA 04). Hifa cendawan ini tampak tumbuh menyelimuti seluruh permukaan tubuh inangnya membentuk stroma yang merupakan jalinan miselium yang memadat.
Hypocrella RA 02
Spesimen ini (Gambar 3) memiliki stroma berwarna putih, berbentuk bulat dengan permukaan tidak rata berukuran 1.5-8.0 x 1.8-5.0 mm. Pada permukaan stroma terdapat titik-titik berwarna lebih gelap yang
merupakan ostiolum, stroma berisi peritesium. Peritesium berbentuk botol, berukuran 143-514.8 x 114.4-271.17 µm, di dalam peritesium terdapat kumpulan askus. Askus hialin, berbentuk silinder, berukuran 5.7-9.8 x 1.5-2.4 µm yang mengandung askospora.
Askospora hialin, berbentuk fusoid, berukuran 5.55-6.3 x 0.195-0.315 µm.
Gambar 3 Hypocrella RA 02 (a) pada pelepah Nicolaia speciosa, (b) peritesium dari irisan membujur stroma, dan (c) askus yang mengandung askospora.
a
c d
b
b
c d
sinema
stroma
a b
e
4
Hypocrella RA 03
Spesimen ini (Gambar 4) memiliki stroma berwarna putih, bentuk bulat, permukaan tidak rata, berdiameter 2.0-4.0 x 1.0-2.25 mm, pada permukaan stroma tidak tampak adanya ostiolum. Irisan membujur stroma berisi peri-tesium. Peritesium berbentuk botol, keduduk-an immersed berukuran 164-212 x 103-135 µm, di dalam peritesium terdapat kumpulan askus dengan cap (tudung askus). Askus hialin, berbentuk silinder, berukuran 21.6-68.3 x 2.1-4.3 µm, di dalam askus mengandung askospora. Askospora hialin, berbentuk oval, berukuran 4.5-6.4 x 0.9-2.3µm.
Gambar 4 Hypocrella RA 03 pada (a) permukaan daun Strobilanthus cernuus, (b) kumpulan askus, (c) askus dengan tudung askus (cap), dan (d) kumpulan askospora.
Hypocrella RA 04
Spesimen ini (Gambar 5) memiliki stroma berwarna oranye, berbentuk bulat dengan per-mukaan tidak rata, di atas perper-mukaan stroma terdapat ostiolum yang berwarna lebih gelap. Irisan membujur stroma berisi peritetesium. Peritesium seperti botol, kedudukan
Gambar 5 Hypocrella RA 04 (a) stroma pada batang Strobilanthus cernuus, (b) kumpulan askus, (c) askus berisi askospora, dan (d) askospora.
Immersed, berukuran 351.2-421 x 243.1-421 µm, di dalam peritesium terdapat beberapa askus. Askus hialin, berbentuk silinder, ber-ukuran 91.1-53.8 x 1.1-2.3 µm yang berisi askospora. Askospora hijau hialin, berbentuk fusoid, berukuran 4.1-6.3 x 3.1-5.0 µm.
3 Aschersonia Montagne
Dua spesimen Aschersonia ditemukan berasosiasi dengan Homoptera. Spesimen tersebut masing-masing terdapat di bawah permukaan daun Strobilanthus cernuus (RA 11) dan di pelepah Nicolaia speciosa (RA 21). Hifa cendawan ini tampak tumbuh menye-limuti seluruh permukaan tubuh inangnya membentuk stroma yang merupakan jalinan miselium yang memadat.
Aschersonia RA 11
Spesimen ini(Gambar 6) memiliki stroma berwarna oranye, berbentuk bulat, dengan permukaan tidak rata, berukuran 1.5-2.5 x 1.8-2.0 mm. Pada permukaan stroma terdapat ostiolum berwarna lebih gelap dan terdapat struktur menjulur keluar dari permukaan stroma. Irisan membujur stroma berisi piknidium. Piknidium berbentuk botol, berukuran 100.1-300.3 x 100.1-241.1 µm berisi sel konidiogen yang menghasilkan konidium. Konidium hialin, berbentuk fusoid, bersekat 2-3 buah, berukuran 7.5-9.0 x 0.9-0.12 µm.
Gambar 6 Aschersonia RA 11 (a) stroma dengan ostiolum, (b) piknidium dengan kumpulan konidium, dan (c) konidium.
Aschersonia RA 21
Spesimen ini (Gambar 7) memiliki stroma berwarna kuning, berbentuk bulat, permukaan tidak rata, berukuran 1.0-6.0 x 1.0-4.5 mm pada permukaan stroma terdapat lubang ostiolum berwarna lebih gelap. Irisan melin-tang stroma berisi piknidium. Piknidium
a b
a d
c
a
c
b
d
b
hialin, berbentuk botol, berukuran 243.1-529.1 x 200.2-371.8 µm yang di dalamnya mengandung konidium. Konidium hialin, berbentuk fusoid, bersekat, berukuran 6.0-10.5 x 1.3-2.5 µm.
Gambar 7 Aschersonia RA 21 (a) Stroma dengan ostiolum, (b) irisan melintang stroma yang mengandung piknidium, (c) piknidium yang mengandung konidium, dan (d) konidium.
4 Beauveria Vuillemin
Beauveria ditemukan berasosiasi dengan Lepidoptera (RA 17) dan Hemiptera (RA 23). Spesimen tersebut terdapat di bawah permu-kaan daun tumbuhan dikotil. Inang yang diserang cendawan ini biasanya diselimuti miselia berwarna putih hingga krem seperti tepung. Koloni tersebut merupakan kumpulan dari konidium.
Beauveria RA 17
Spesimen ini (Gambar 8) memiliki konidium hijau hialin, berbentuk silindris, berukuran 1.5-2.5 x 0.15-0.3 µm.
Gambar 8 Beauveria RA 17 (a) di bawah permukaan daun, dan (b) konidium.
Beauveria RA 23
Spesimen ini (Gambar 9) memiliki konidium hijau-hialin, berbentuk bulat, ber-ukuran 0.75-1.05 µm. Diameter miselium-nya pada media agar-agar mencapai 4.1 cm dalam waktu 15 hari masa inkubasi.
Gambar 9 Beauveria RA 23 (a) miselium menutupi tubuh inang, (b) kumpulan kepala konidium, (c) kumpulan konidium, dan (d) miselium Beauveria RA 23 dalam media Agar-agar Dekstrosa Kentang.
5 Gibelulla Cavara
Gibelulla berasosiasi dengan Araneae di bawah permukaan daun. Spesimen tersebut masing-masing terdapat di bawah permukaan daun tumbuhan dikotil (RA 01) dan di bawah permukaan daun Ficus sp. (RA 13). Hifa cendawan membentuk massa miselium menutupi permukaan tubuh inang, sehingga koloni tampak berwarna putih. Cendawan tersebut membentuk struktur sinema yang merupakan kumpulan konidiofor. Konidium dibentuk pada seluruh permukaan sinema oleh sel konidiofor yang memanjang. Pada ujung konidiofor menggembung merupakan kepala konidium yang menempel konidia.
Gibelulla RA 01
Spesimen ini (Gambar 10) membentuk 4 struktur sinema yang muncul pada tubuh inangnya. Setiap bagian sinema menempel kepala konidium berwarna putih berukuran 39-48 µm disangga oleh konidiofor. Konidio-for berukuran 13.9 µm, pada kepala konidium menempel konidium. Konidium hialin, ber-bentuk fusoid, dengan ukuran 0.08-0.10 x 0.08-0.12 µm.
Gambar 10 Gibelulla RA 01 (a) membentuk sinema pada inang, (b) kepala konidium dan konidium.
c
a b
b a
c d
d
b a
6
Gibelulla RA 13
Spesimen ini (Gambar 11) membentuk sebuah struktur sinema berwarna putih, berukuran 1.9 mm yang muncul dari anus inang, disepanjang tangkai sinema terdapat konidiofor. konidiofor berukuran 57-90 µm yang menyangga kepala konidium. Kepala konidium berukuran 30-42 µm yang mengandung konidium. Konidium hialin, berbentuk silinder, berukuran 0.6-0.15 x 2.7-3.6 µm.
Gambar 11 Gibelulla RA 13 (a) di bawah permukaan daun Ficus sp. dengan sinema, (b-c) kepala konidium, dan (d) konidium.
6 Isaria Pers.: Fr.
Isaria ditemukan berasosiasi dengan Lepidoptera. Spesimen tersebut ditemukan di serasah lantai hutan (RA 19) dan di bawah permukaan daun (RA 20). Hifa cendawan menutupi permukaan tubuh inang sehingga koloni tampak berwarna putih. Koloni tersebut merupakan struktur sinema tampak seperti serbuk berwarna putih, dengan percabangan yang tak teratur yang muncul dari tubuh inang.
Isaria RA 19
Spesimen ini (Gambar 12) memiliki sinema yang muncul dari tubuh inang, berwarna putih dengan tangkai bercabang berwarna krem dan bagian apeks berwarna putih dengan panjang 3-8 mm dan diameter 105.6-127.0 µm yang mengandung konidium. Konidium hijau kekuningan, berbentuk silinder, berukuran 0.23-0.53 x 0.12-0.18 µm. Diameter miselium cendawan ini pada media agar-agar mencapai 3.3 cm dalam waktu 10 hari masa inkubasi.
Gambar 12 Isaria RA 19 dari serasah lantai hutan (a) kumpulan sinema, (b-c) kumpulan konidium, dan (d) koloni Isaria RA 19 dalam media Agar-agar Dekstrosa Kentang.
7 ? Isaria RA 20
Spesimen ini (Gambar 13) memiliki sinema bercabang, berwarna krem dan me-mutih pada bagian apeks, berukuran 0.8-2.0 mm yang mengandung konidium. Konidium berbentuk silinder, berwarna hijau, berukuran 0.3-0.53 x 0.12-0.19 µm. Diameter miselium cendawan ini pada media agar-agar mencapai 1.4 cm dalam waktu 13 hari masa inkubasi.
Gambar 13 Spesimen RA 20 (a) di bawah permukaan daun, (b) kumpulan konidium, dan (c) koloni spesimen RA 20 pada media Agar-agar Dekstrosa Kentang.
Isolasi Cendawan Entomopatogen
Pertumbuhan cendawan entomopatogen tergolong lambat. Pada penelitian ini, pertumbuhan cendawan entomopatogen pada media Agar-agar Dekstrosa Kentang dapat diamati pada hari ke-3 masa inkubasi.
Cendawan entomopatogen yang tumbuh pada medium Agar-agar Dekstrosa Kentang (ADK), yaitu spesimen Cordyceps RA 18, Isaria RA 19, ? Isaria RA 20, dan Beauveria RA 23.Diameter miselium spesimen RA 18
a b
a b
c
d c
b
c d
Cordyceps mencapai 6.5 cm dalam waktu 25 hari masa inkubasi, diameter miselium spesimen Isaria RA 19 mencapai 3.3 cm dalam waktu 10 hari masa inkubasi, diameter miselium spesimen ? Isaria RA 20 mencapai 1.4 cm dalam waktu 13 hari masa inkubasi, dan diameter miselium spesimen Beauveria RA 23 mencapai 4.1 cm dalam waktu 15 hari masa inkubasi. Spesimen yang miseliumnya tumbuh cepat bukan merupakan isolat cendawan entomopatogen.
PEMBAHASAN
Cendawan entomopatogen menyerang hampir semua jenis serangga. Cendawan ini dapat menyerang stadium telur, larva (nimfa), pupa maupun stadia dewasa dari serangga (Wikardi 2000). Berdasarkan struktur repro-duksinya, cendawan entomopatogen memiliki dua fase siklus hidup, yaitu fase teleomorf dan anamorf. Teleomorf merupakan fase repro-duksi yang menghasilkan spora (seksual), sedangkan anamorf merupakan fase repro-duksi yang menghasilkan konidium (asek-sual). Sebanyak 6 genus cendawan entomo-patogen diperoleh dari kawasan CA Telaga Warna, yaitu Cordyceps dan Hypocrella (teleomorf), Aschersonia, Beauveria,
Gibelulla, dan Isaria (anamorf). Yanto (2007) melaporkan 8 genus cendawan entomo-patogen di kawasan yang sama (Tabel 2).
Tabel 2 Cendawan entomopatogen yang didapat di CA Telaga Warna pada tahun 2007 & 2008
Fase Yanto ( 2007) Tahun 2008
Teleomorf Torubiella -
Cordyceps Cordyceps
Hypocrella Hypocrella Anamorf Aschersonia Aschersonia
Beauveria Beauveria
- Gibelulla Isaria Isaria
Akanthomyces -
Paecilomyces -
Total 8 6
Dalam penelitian ini ditemukan 6 genus cendawan entomopatogen dan 5 diantaranya dijumpai kembali pada tahun 2008. Perbedaan genus cendawan entomopatogen tersebut terjadi karena jalur penelusuran kawasan yang dilalui berbeda, kejelian dalam pengamatan
atau kondisi alam seperti curah hujan dan suhu.
Cordyceps dipterigena merupakan cendawan entomopatogen yang berasosiasi spesifik dengan Diptera. Cendawan ini menghasilkan fase teleomorf dan anamorf secara bersamaan. Cordyceps dipterigena merupakan fase teleomorf, tetapi dari per-mukaan tubuh inangnya terdapat sinema. Sinema yang muncul dari inang (Diptera) sama dengan anamorf Hymenostilbe
(Luangsa-ard et al. 2006). Stroma Cordyceps dipterigena yang ditemukan pada penelitian ini memiliki stroma jauh lebih kecil daripada yang dilaporkan oleh Petch (1929) dan Yanto (2007) (Tabel 3). Spesimen yang dikoleksi pada tahun 2008 kemungkinan masih terlalu muda, hal ini dapat terlihat dari ukuran stromanya dan spesimen ini belum menghasil-kan askospora. Spesimen Cordyceps
dipterigena pernah dilaporkan Kalshoven (1930) dari Semeru dan spesimennya di-simpan di Herbarium Bogoriense.
Tabel 3 Ukuran stroma Cordyceps dipterigena Stroma (mm) Sumber
6.0 x 2.5 Petch (1929) 2.5-3.0 x 1.0-2.0 Yanto (2007) 2.0-2.5 x 1.0-1.5 Penelitian ini
[image:30.612.325.478.560.640.2]Cordyceps cf. militaris yang ditemukan pada penelitian ini memiliki ukuran perite-sium dan askus yang lebih besar dibandingkan dengan yang ditemukan Yanto (2007) (Tabel 4). Kedua spesimen cendawan yang ditemu-kan masih muda karena belum dibentuknya askospora. Spesimen Cordyceps militaris dilaporkan Wabst (1899) dari Sachsen dan telah tercatat di Herbarium Bogoriense.
Tabel 4 Ukuran struktur reproduksi seksual
Cordyceps militaris Struktur reproduksi (µm) Sumber Peritesium
371.8-529.1 x 414.7-529.1 Penelitian ini 192.0-240.0 x 86.4-134.4 Yanto (2007) Askus
81-120 x 2.4-4.8 Penelitian ini 9.6-144.0 x 1.6-2.7 Yanto (2007)
7
Cordyceps mencapai 6.5 cm dalam waktu 25 hari masa inkubasi, diameter miselium spesimen Isaria RA 19 mencapai 3.3 cm dalam w