• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISLAM UTOPIA

Dalam dokumen Tajdid dan Islah (Halaman 72-75)

Nizam Mahmood Barakat (1985), Muqaddimah fi al-Fikr al-Siyasi, Riyadh: Dar Alam al-Kutub

ISLAM UTOPIA

Kita telah melihat bagaimana Shariati yang memaparkan dialektika dalam agama. Kita juga telah melihat dialektika agama yang bernada Hegelian ini, dengan mempertembungkan antara kesedaran dan pengetahuan. Manusia, pada Shariati, harusnya mengenepikan konsep Bashar, sambil meletakkan konsep Insan sebagai cita-cita individu, serta konsep al-Nas sebagai cita-cita masharakat ideal. Untuk tujuan murni ini, Shariati mendambakan sebuah agama revolusioner, yang mendorong kepada sebuah revolusi. Ini adalah utopia Shariati. Justeru, seperti yang diungkapkan Mohammad Subhi30, dalam menuju utopia ini, maka pemikiran Shariati keseluruhannya bolehlah dirumuskan dalam tiga ciri: (i) praxis, (ii) inklusif-elektektisme-kritis, dan (iii) mengerakkan. Ketiga ciri ini sangat betepatan dengan falsafah sosialnya, khususnya memandang agama secara dialektika.

Mithalnya, dimensi praxis kita dapat lihat ketika Shariati31 mengungkapkan tentang Abu Dharr, yang dianggapnya adalah "leluhur segenap mazhab egalitarian pasca-Revolusi Perancis." Secara ekstrim, barangkali, Shariati 32 berbicara tentang Abu Dharr yang menolak definisi kekayaan Tuhan sebagai kekayaan Muawiyyah, sekaligus juga sebagai kekayaan penguasa. Padanya, itu adalah kekayaan rakyat. Abu Dharr berkata, "aku bingung oleh orang yang tak punyai sepotong roti di rumah, tapi tak bangkit melawan mereka dengan pedang terhunus?" Kata ini kata ekstrim. Ramai yang di Barat mengingat ini adalah kata Produhon, atau kata Dostoevsky. Tapi, bukan kata mereka. Itu kata Abu Dharr, yang ungkap Shariati, adalah jauh tertutur sebelum Barat mengenal Prodhoun dan Dostoevsky lagi. Apa yang menarik dari kata ini? Menariknya, kerana kata Abu Dharr ini menunjukkan dengan jelas adanya pertentangan dalam kehidupan bermasharakat, yang itu sepenuhnya berpisah pada dua kutub; melawan atau menyerang. Justeru, bagi mereka yang berkesedaran, mereka haruslah bangkit melawan seluruhnya, bukan memilih-milih. Sebab, Abu Dharr menyebut "mereka", maksudnya setiap orang. Jadi, kesedaran itu sama sekali tak punya tolak-ansur

30

Subhi, Mohammad (2004), Dialektika Sosiologi: Suatu Kajian atas Filsafat Sosial Ali Shariati (Tesis Magister Ilmu Filsafat). Jakarta: STF Driyarkara, p. 19-26.

31

Ali Shariati (1992), And Once Again Abu Dharr. Abjad Book Designers & Builders

32

Ali Shariati (1993), Religion vs. Religion. Albuquerque, New Mexico: Abjad Book Designers & Builders, p. 47.

69

(tolerence). Bahkan, kalau kita membaca konsep tolak-ansur Zizek33 sekalipun, hal ini akan dapat kita mengerti lebih jernih. Bahawa, menurut filsuf Lacanian ini, tolak-ansur bukannya mengendurkan apa yang jadi kepunyaan kita. Sebaleknya, tolak ansur adalah memastikan hak kita tak dirampas. Jelas, di sini kita saksikan bagaimana Shariati menghalakan tujuannya kepada sebuah kritisisme. Hasilnya, terbangun sebuah gerakan revolusioner. Sebab, yang revolusioner inilah yang sentiasa menuntut keseluruhan, sentiasa menuntut khalayak terbanyak. Dan, ini juga yang mengerakkan massa, atau al-Nas tersebut, ke arah Islam utopia. Jadi, di sini, ternyata Shariati bukan bertujuan untuk menyusun falsafah. Bukan bertujuan untuk menyusun teori. Tapi, untuk mendesak praxis. Diungkapkan sendiri Shariati34:

"saya tak ingin sibuk dengan teori-teori. Saya bukan seorang teoritikus. Teori-teori adalah baik untuk universiti-universiti, tapi bukan untuk saya. Teori-teori itu tak dapat melancarkan tujuan saya."

Jadi apa tujuan Shariati? Tujuannya adalah untuk melakukan perubahan, seperti yang kita sebut, untuk revolusi. Ini mengingatkan kita pada kalimat terkenal Marx35, kita adalah "bukan untuk menafsir, tapi untuk mengubah." Jadi, seruan utama Shariati untuk kembali kepada monotheisme adalah menganjurkan kita bertindak, melawan mereka yang cuba merebut legitimasi agama. Mudahnya, melakukan perubahan. Dalam hal ini, Rahnema36 merumuskan bahawa dengan membangun tasawwur yang monotheistik, Shariati berkira itu dapat dijadikan alat sebagai sebuah tindakan. Di sini Shariati melihat, hanya dengan menerima kekuatan dari Tuhan saja, maka mereka yang beriman akan sedia untuk menghilangkan semua sumber-sumber kekuatan yang lain. Lanjut Rahnema lagi, "tasawwur monotheistik ini yang sebuah undangan terbuka ke arah memberontak terhadap semua tuhan-tuhan semu". Justeru, untuk melancarkan revolusi ini, maka kita harus siap untuk mengutip hikmah dari mana saja, serta menemukan dalam suara inklusif-elektisme-kritisime. Selain dari ciri tersebut, Shariati juga mengemukakan falsafah yang mengerakkan, di mana baginya sebagai raushafikir itu seharusnya memileh untuk bersikap, bukannya bersikap untuk memileh. Inilah yang menjadi tugas para nabi dan pewarisnya, yang dalam bahasa Barat dikenali sebagai "tanggungjawab kaum intelektual yang tercerah." Kaum raushanfikir inilah yang menunjukkan mana kebenaran, mana kebathilan. Jalaluddin Rakhmat37 melihat, raushanfikir harus menawar lebih daripada ilmu:

“Raushanfikir berbeza dengan ilmuan. Seorang ilmuan mencari kenyataan, sementara seorang raushanfikir mencari kebenaran.

33

Slavoj Zizek (2008), Violence: Six Sideways Reflections. New York: Picador.

34

Ali Shariati (1982), Man and Islam. Mashhad: Mashhad University, p. 268.

35

Karl Marx (1998), The German Ideology. New York: Prometheus Books.

36

Ali Rahnema (1998), An Islamic Utopian. A Political Biography of Ali Shari‘ati. London: I.B. Tauris.

37

Jalaluddin Rakhmat (1984), "Ali Syari'ati: Panggilan Untuk Ulul Albab", Ali Syari'ati, Ali Shariati: Idealogi Kaum Intelektual. Bandung: Penerbit Mizan, p. 14-15.

70

Ilmuan hanya menampilkan fakta sebagaimana terdapat, rausyanfikir memberi penilaian sebagaimana seharusnya. Ilmuan berbicara dengan bahasa universal, raushanfikir --seperti para nabi-- berbicara dengan bahasa kaumnya. Ilmuan bersikap neutral dalam menjalankan pekerjaannya, raushanfikir harus melibatkan diri pada ideologi. Sejarah, kata Shariati, dibentuk hanya oleh kaum raushanfikir ini.

Dalam konteks Shi'sime, lebih mengakar lagi konsep tanggungjawab ini. Sebab, Shi'i yang sejati tak beragama kerana agama. Jika demikianlah, maka Shariati38 berujar:

"agama demi agama, shalat demi shalat, puasa demi puasa, mencintai Ali demi mencintai Ali, membaca al-Qur'an demi membaca al-Qur'an... maka itu bererti memuji Ali, al-Qur'an, puasa, shalat, Shi'isme, Islam, semuanya sekaligus tak bererti sama sekali. Ini yakni, kesemua itu juga adalah bererti meletakkan keselesaan kita dalam bingkai emas, lalu membungkuk dan bersujud di hadapan-Nya sebagai tanda kekaguman dan penghurmatan. Dan itu dapat mengelak kita untuk memberikan rasa sakit dan derita. Inilah makna agama demi agama."

Bagi Shariati, Shi'isme itu, mirip seperti ekstensialisme yang praxis, di mana tindakan merekalah yang melahirkan realiti, melahirkan kebenaran. Tanpa tindakan, bagi Shariati, itu sama ertinya dengan keingkaran, dan tiada beza dengan atheisme. Sambil memekik Neitzsche: "seni demi seni, ilmu demi ilmu, puisi demi puisi, adalah helah yang digunakan untuk menutup watak jahat seniman, ilmuan, serta hanya memberikan pembenaran atas sikapnya dalam menghindari tanggungjawab sosial." Shariati benar, ketika memanggil Nietzsche di sini. Sebab, Nietzsche juga menyatakan, jika akhirnya "seni demi seni", maka itu samalah maknanya dengan "yang jahat mengambil-alih moral".

Selain itu, dalam bahasa agama juga, konsep tanggungjawab kaum intelektual ini turut dikenal dengan prinsip "amar maaruf nahyi mungkar." Prinsip ini, menurut Shariati adalah seruan untuk kembali semula kepada teofani kehendak Tuhan. Apa yang dimaksudkan Shariati ini akan makin nyata kalau kita membaca Motahhari39 tentang konsep: "Dari Tuhan kita datang, dan kepada-Nya jua kita kembali". Jadi agama --mahupun falsafah, atau mana-mana ilmu pun-- menurut Shariati, itu sama sekali tak boleh neutral. Agama harus memihak, harus menjelma menjadi sebuah idealogi pembebasan. Di sinilah Shariati 40 membezakan antara tiga sosok Husayn; Abu Ali al-Husain ibn Abdallah ibn Sina, Husayn Mansour al-Hallaj, dan Imam Husayn itu sendiri. Dengan menjelaskan Ibn Sina adalah ahli sufi, yang memang geliga, serta banyak menghasilkan karya besar lewat falsafah Islam. Tapi, Shariati mengingatkan, meskipun begitu Ibn Sina

38

Ali Shariati (1978), Shi`ism, Collected Works No. 7. Tehran: Hosseiniyeh Ershad.

39

Murteza Motahhari (1999), Fitrah. Jakarta: Penerbit Lentera, p. 184-197.

40

71

berpaling dari masharakat, hanya mengabdi kepada struktur kekuasaan yang ada. Ibn Sina sama sekali tak memberontak terhadap status quo. Tak menunjukkan reaksi kebenciannya kepada kezaliman kekuasaan. Tugasnya, selamanya, hanyalah melakukan penelitian, dan tak melakukan perbezaan untuk dirinya, sehinggalah kematiannya. Manakala, al-Hallaj pula, hanya memegang api dan terbakar. Ahli sufi ini tak memiliki tanggungjawab, sekadar berteriak dalam kerumunan di Baghdad, "bebaskan aku dari api yang membakar batinku. Aku tiada. Akulah Tuhan," yang bermaksud "aku bukanlah diriku dan segala sesuatu yang ada adalah Tuhan." Tapi, apa hasilnya? Di sini, Shariati membayangkan, "bagaimana sekiranya masharakat Iran yang terdiri 25 juta waktu itu bertindak seperti al-Hallaj? Jawabnya, seluruh Iran adalah hospital gila. Namun, berbeza sekali dengan Imam Husayn, atau Abu Dharr. Di tangan mereka, agama berupa praxis, dan persoalan masharakat mendapat perhatian. Mereka mencintai Tuhan dalam pembuktian tindakan, "bangkit bersaksi" melawan apa yang melawan-Tuhan. Kata Shariati41:

"Jika kesemua individu dari suatu masharakat bertindak seperti Husayn atau Abu Dharr, maka akan ada kehidupan, akan ada kebebasan. Di sana, pengetahuan dan pelajaran, juga kekuasaan dan kestabilan; musuh-musuh akan hancur dan yang tersisa hanya cinta kepada Tuhan."

Bahkan Shariati dalam memerli falsafah yang melangit, dengan merujuk kepada pengalaman Greek, bahawa jika kita mencabut Sokrates dan murid-muridnya dari sejarah, maka apa yang terjadi? "Hanyalah perpustakaan dan akademi-akademi yang keluar menjerit-jerit", kata Shariati. Tapi, rakyat tak tahu tentang mereka, dan mereka takkan merasa kehilangan. Justeru, falsafah yang mengerakkan dari Shariati ini adalah bertepatan dengan rumusan Hamid Algar42, bahawa kalimat-kalimat Shariati itu sangat mengesankan sehingga itu menjadi slogan revolusi yang membara tatkala dimuntahkan kembali. Tulisnya --"shuhada adalah jantung sejarah" serta "setiap hari adalah Ashura, setiap tempat adalah Karbala"-- kalimat Shariati itu tercantum bersama banting, yang sering terpampang sewaktu demostrasi, selama Revolusi Islam Iran.

Dalam dokumen Tajdid dan Islah (Halaman 72-75)

Dokumen terkait