• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISLAM DAN WACANA OTENTISITAS

Dalam dokumen Studi Islam perguruan tinggi (Halaman 194-200)

ISLAM DAN WACANA BUDAYA KEAGAMAAN

C. ISLAM DAN WACANA OTENTISITAS

Islam ibarat bola salju (snow ball). Semakin lama dan semakin jauh Islam “menggelinding”, semakin banyak wajah yang akan muncul sebagai gambarnya. Keragaman itu timbul karena persoalan ruang dan waktu. Perbedaan ruang dan waktu itu akan melahirkan perbedaan tantangan yang akan dihadapi oleh masyarakat. Karena tantangannya berbeda, Islam sebagai sebuah agama, yang nota bene turunnya untuk memecahkan persoalan masyarakat, akan dipahami oleh masyarakat bersangkutan sesuai dengan setting yang mereka hadapi.

Maka, muncullah wajah yang beragam, baik secara sinkronis (antara masyarakat di tempat yang satu dengan masyarakat di tempat lain pada waktu yang bersamaan) maupun secara diakronis (antara generasi satu dengan generasi lain, sebelum atau sesudahnya); atau, bisa jadi antara setting wilayah geografis satu dengan wilayah lainnya. Islam yang ada di Indonesia bisa jadi berbeda dengan di Timur Tengah. Hal ini dikarenakan perbedaan pemahaman masyarakatnya akibat setting ruang yang tidak sama. Begitu pula Islam yang dipahami oleh generasi awal Islam, berbeda dengan yang dipahami generasi abad pertengahan maupun abad modern ini.

Perbedaan pemaknaan tersebut sudah barang tentu berimbas pada timbulnya perbedaan bentuk dalam praktik-praktik Islam. Dalam konteks ini, timbul persoalan mendasar: Manakah Islam yang otentik itu?

179 Apakah seperti yang saat ini ada di Timur Tengah (baca: Saudi Arabia), tempat turunnya Islam? Apakah ia seperti yang dipahami dan dipraktikkan oleh generasi awal Islam? Ataukah justru tidak ada batasan yang pasti? Persoalan-persoalan ini patut didiskusikan dengan membuka wacana seputar pencarian Islam otentik. Hal ini penting dilakukan karena dalam wacana pencarian Islam otentik sering terjadi absolutisasi pemaknaan dan klaim-klaim kebenaran (truth claim) di masing-masing golongan umat Islam.

Dalam proses pencarian Islam yang otentik itu, seorang muslim akan dihadapkan pada persoalan-persoalan mendasar. Pertama, persoalan batasan normativitas Islam, yakni apakah, secara normatif, otentisitas Islam itu muncul secara murni oleh Nabi Muhammad? Dengan kata lain, apakah Islam seperti yang diajarkan, diyakini, dan dipraktikkan Nabi Muhammad dan sahabatnya itu otentik sama sekali, tanpa adanya penyerapan dari ajaran sebelumnya? Sebab, jika jawabannya ya, persoalan tersebut akan berhadapan dengan kenyataan historis bahwa ajaran-ajaran Islam tidak muncul dari nol. Ia merupakan akumulasi dari ajaran-ajaran sebelumnya yang masih dianggap relevan. Islam sendiri mengakui ajaran yang dibawa oleh nabi-nabi sebelum Muhammad walaupun pengakuan itu disertai dengan kritisisme yang tinggi. Islam datang untuk menyempurnakan ajaran-ajaran itu. Ini artinya bahwa otentisitas Islam tidak bisa dibatasi sejak masa nabi Muhammad, tetapi sudah ada mulai sejak masa kenabian Adam.

Kedua, persoalan paradigmatik, yakni persoalan pola

pengedepanan dalam proses pemahaman Islam antara ketentuan legal-formal (skriptural) dengan nilai keadilan masyarakat (substansial atau maqashid al-shari‟ah)). Wacana otentisitas Islam tidak bisa dilepaskan dari tarik-menarik antara paradigma legal-formal al-Qur’an dengan paradigma semangat atau nilai keadilan masyarakat. Bila otentisitas Islam dilihat dari paradigma legal-formal al-Qur’an, ia segera akan berhadapan dengan realitas sosial bahwa tidak semua ketentuan legal-formal al-Qur’an itu mempunyai kompatibilitas dengan kondisi masyarakat. Dengan demikian, otentisitas akan berhadapan secara vis a vis dengan fungsionalitas. Dalam beberapa

180

hal, terdapat persoalan sosial yang tidak terakomodasi oleh teks-teks al-Qur’an, dan teks-teks al-Qur’an itu sendiri tidak bisa memecahkan seluruh persoalan kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, teks tidak mewakili semua realitas masyarakat, dan tidak semua realitas diwadahi oleh teks.

Oleh karena itu, paradigma kedua, nilai keadilan masyarakat, yang menjadi semangat prinsipil Islam patut diajukan untuk melihat otentisitas Islam. Paradigma ini menunjuk kepada perlunya posisi teks al-Qur’an senantiasa bergerak kepada keadilan masyarakat yang menjadi semangat awal Islam sehingga pemaknaan terhadap ketentuan legal-formal al-Qur’an di atas selalu dinamis, seiring dengan konteks dan tuntutan yang dihadapi oleh masyarakat. Memang, paradigma kedua ini tidak berarti steril dari persoalan lanjutan. Yakni, jika teks bergerak mengikuti nilai keadilan masyarakat, berarti teks tidak lagi berguna sebagai acuan formal di dalam pengambilan keputusan agama. Walaupun demikian, yang lebih fundamental dari keberadaan teks adalah semangatnya, bukan nilai literalnya, sehingga teks masih menjadi acuan dalam pengambilan keputusan agama, yakni sebagai acuan moral.

Dengan memiliki konsekuensi masing-masing, kedua paradigma di atas selalu mengiringi wacana pencarian Islam otentik. Contoh konkretnya adalah dalam persoalan ketentuan waris. Bila yang dikedepankan adalah paradigma pertama, ketentuan legformal al-Qur’an, pembagian harta warisan antara ahli waris laki-laki dan perempuan tidak akan pernah mengalami perubahan, yakni laki-laki mendapatkan harta warisan lebih besar dua kali dari perempuan. Hal ini karena al-Qur’an secara eksplisit memberikan ketentuan seperti itu.59 Namun, bila yang dikedepankan adalah paradigma kedua, nilai keadilan masyarakat (substansial), ketentuan legal-formal itu harus bergerak sesuai dengan tuntutan dan gerak masyarakat, yakni laki-laki dan perempuan sama bagian warisannya, mengingat konteks sosial saat ini berbeda dari saat al-Qur’an diturunkan. Saat ini, perempuan juga mencari nafkah sebagaimana suami untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Ketentuan persamaan jumlah warisan ini sesuai dengan tujuan utama dihadirkannya agama sebagai instrumen

181 untuk memecahkan persoalan masyarakat, baik dalam konteks horisontal maupun vertikal. Jika ketentuan legal-formal itu tetap bergeming pada posisinya semula, berarti posisi agama tidak lagi fungsional karena eksistensinya tidak bisa menyentuh persoalan-persoalan yang dihadapi pemeluknya.

Berdasarkan uraian di atas, penentuan otentisitas Islam akan ditakar oleh batasan normativitas dan paradigma yang digunakan oleh seorang muslim. Oleh karena itu, untuk mendekati persoalan tersebut, patut direnungkan bersama hal-hal berikut. Pertama, bahwa historisitas (realitas sosial pemeluk agama) merupakan refleksi dari normativitas; dan sebaliknya, normativitas dibangun dari pengalaman historisitas; atau, pengalaman historisitas akan menjadi bahan untuk reformulasi normativitas. Artinya, selalu ada proses dialogis antara semangat historisitas dengan normativitas. Proses itu selalu dinamis dan tidak akan berhenti pada satu titik selama gerak manusia itu ada. Hal demikian berarti bahwa dalam mencari Islam otentik itu tidak perlu adanya fanatisme terhadap ketentuan legal-formal al-Qur’an. Karena, ketentuan legal-formal itu harus terus didialogkan dengan realitas masyarakat.

Kedua, bahwa agama, yang merupakan refleksi dari kemauan

Tuhan secara konseptual-ilahiah, bersifat mutlak, namun, ketika turun kepada manusia, telah menjadi relatif, tergantung pada latar belakang dan kemampuan manusia. Oleh karena itu, pemahaman atau penangkapan terhadap pesan-pesan agama akan berbeda dari satu orang ke yang lain. Perbedaan itu harus diakui keberadannya, dan tidak boleh terjadi pemaksaan pemahaman. Dalam kaitannya dengan penentuan otentisitas Islam, maka otentisitas itu ada pada tataran individual. Yakni, Islam otentik adalah Islam yang merupakan hasil pemahaman atau keyakinan seseorang terhadap wacana-wacana keislaman yang dia terima, dan hasil tersebut tidak boleh diintervensi oleh kekuatan sosial di luar dirinya. Hal ini karena, meminjam istilah Robert D. Lee, masing-masing orang mempunyai apa yang disebut dengan otonomi individual (human autonomy) dalam mendekati dan memahami Islam.60 Masing-masing individu memiliki akses yang sama terhadap agamanya. Ini berarti bahwa Islam sangat mengedepankan

182

nilai-nilai pluralitas (keragaman) daripada nilai-nilai uniformitas (keseragaman). Dengan demikian, otentisitas Islam itu ada seperti yang dipahami oleh umatnya secara individual, bukan komunal, dengan tetap menjaga prinsip-prinsip dasar Islam. Oleh karena itu, ada prinsip hidup yang sederhana dalam beragama: “Lakukanlah apa yang anda yakini benar tentang Islam dan jangan hanya diperdebatkan.” Karena, begitu persoalan Islam diperbincangkan sebagai wacana, maka Islam akan muncul dalam banyak wajah.

183 Catatan Akhir:

1 Yustion dkk., (Dewan Redaksi), Islam dan Kebudayaan Indonesia: Dulu,

Kini, dan Esok, (Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal, 1993), h. 172-3.

2 Parsudi Suparlan, (ed.), Pengetahuan Budaya, Ilmu-ilmu Sosial dan Pengkajian

Masalah-Maslah Agama, (Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan

Lektur Agama Balitbang Agama) 1982), h. 18.

3 Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya II, (Jakarta: UI Press, 1985), h. 7-8.

4 Ibid., h. 8.

5 Hakim & Mubarak, Metodologi, h. 38.

6 Penyebutan semacam ini lebih mengacu kepada perkembangan masa modern daripada perkembangan secara menyeluruh sejarah Islam.

7 Mengenai makna istilah-istilah tersebut lihat ed. John L. Esposito, The

Oxford Encyclopaedia of the Modern Islamic World, (New York & Oxford:

Oxford University Press, 1995).

8 Lihat, misalnya, Achmad Jainuri, “Landasan Teologis Gerakan Pembaruan Islam,” Ulumul Qur‟an, No. 3, Vol. VI, (Tahun 1995), h. 38.

9 Kata “modernisasi” dalam beberapa tempat dari pembahasan ini mengalami perubahan sesuai dengan konteks dan segala konsekuensinya: modernitas, modernisme, dan modernis.

10 Abu Dawud, Sunan Abi Dawud, Vol. IV (Kairo: Mat}ba’at Musthafa Mahmud, 1353/1950), h. 159.

11 Abu al-`A’la al-Mawdudi mengidentifikasi mujaddidun yang beredar di kalangan Islam sampai abad kesembilan Hijriyah sebagai berikut: 1) `Umar b. Abd al-`Aziz, 2) Imam Abu Hanifah, 3) Imam Malik, 4) Imam Shafi’i, 5) Imam Ahmad b. Hanbal, 6) Imam Ghazali, 7) Ibn Taymiyah, dan 8) Shaykh Ahmad Shirhindi. Lihat Abu al`A’la Mawdudi, A Short History of the Revivalist Movement in Islam, terj. al-Ash’ari (Lahore: Islamic Publications Limited, 1981), 45-81. Sementara itu, merespon hadith tentang pembaruan di atas, Saiful Jazil juga berhasil mengidentifikasi mujaddidun itu secara berurutan abadnya

184

sebagaimana berikut: Umar b. `Abd al-`Aziz (abad ke-1), Imam Shafi’i (ke-2), Ibn Surayj (ke-3), Abu Hamid al-Asfarayini (ke-4), al-Ghazali (ke-5), Fakhr al-Din al-Razi (ke-6), Ibn Daqiq al-`Id (ke-7), Siraj al-Din al-Bulqayni (ke-8), Jalal al-Din al-Suyuti (ke-9), Shams al-Din al-Ramli (ke-10), `Abd al-Qadir al-`Aydrus (ke11), Ahmad al-Dayrabi (ke 12) dan `Abdullah al-Sharqawi (ke-13). Lihat Saiful Jazil, “Pemikiran Modern tentang Pembaharuan Hukum Islam,” Nizamia, Vol.1, No. 2, (1998), h. 57.

12 Al-Mawdudi, A Short History, hal. 33-34; Jainuri, “Landasan Teologis,” h. 40.

13 Jainuri, “Landasan Teologis,” hal. 40. Sebagai contoh dari pernyataan Jainuri ini, `Umar b. `Abd al-`Aziz meninggal pada tahun 101 H (720 M), Imam Abu Hanifah 150 H (767 M), Ima>m Shafi’i 205 H (820 M), dan Imam Ahmad b. Hanbal 233 H (855 M). Lihat Montgomary Watt,

The Formative Period of Islamic Thought, (Edinburgh: Edinburgh University

Press, 1973), hal. 71, 132; Thaha Jabir al-Alwani, Ushul al-Fiqh al-Islami;

Source Methodology in Islamic Jurisprudence, (Herndon Virginia USA: The

International Institute of Islamic Thought, 1990), hal. 33, 45; K. Ali, A

Study of Islamic History, (Delhi: Idarah-I Adabiyat-I Delli, 1980), 185;

Cryl Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam, (New York: HaperColiins Publishers, 1989), h. 19,170, 359.

14 Jainuri, “Landasan Teologis,” h. 40.

15 Nurcholish Madjid, “Peranan Ummat dan Cendekiawan Muslim dalam Memasuki Era Industrialisasi,” (Orasi Ilmiah di Unisba Bandung, 1989, hal. 15), seperti dikutip oleh Dedy Djamaluddin Malik & Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia; Pemikiran dan Aksi Politik (Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998), h. 191.

16 Kemaslahatan universal Islam ini juga diakui oleh Frances Fukuyama: “Daya tarik Islam adalah secara potensial bersifat universal, melintasi semua manusia, laki-laki maupun perempuan, dan bukan diperuntukkan bagi anggota etnis atau kelompok nasional tertentu.” Lihat Frances Fukuyama, The End of History and the Last Man, (New York: Avon Books, 1992), h. 45.

17 Al-Qur’an menyatakan: “Ya ayyuha al-nas inna khalaqnakum min dhakar

Dalam dokumen Studi Islam perguruan tinggi (Halaman 194-200)