• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEDUDUKAN SUNAH DAN HADITH DALAM ISLAM

Dalam dokumen Studi Islam perguruan tinggi (Halaman 110-113)

AL-SUNAH SEBAGAI DASAR OPERASIONAL ISLAM

B. KEDUDUKAN SUNAH DAN HADITH DALAM ISLAM

Umat Islam sepakat bahwa sunah merupakan sumber kedua ajaran Islam setelah al-Qur‘an, meski di kalangan imam madzhab ada perbedaan dalam penentuan syarat penerimaannya. Doktrin Islam yang belum dijelaskan rincian hukumnya, tidak dijelaskan operasionalnya dan atau tidak dikhususkan menurut petunjuk ayat yang masih mutlak, maka hendaknya dicarikan penyelesaiannya dengan sunah atau hadith. Seandainya usaha ini mengalami kegagalan, disebabkan belum adanya pada masa nabi, sehingga memerlukan ijtihad baru untuk menghindari kevakuman hukum dan kebekuan beramal, maka baru boleh dicarikan solusinya lewat ijtihad, baik fardi maupun jama‟i, sepanjang tidak kontras dengan ruh doktrin Islam. Tahapan penetapan hukum semacam ini sejalan dengan realitas historis yang menerangkan bahwa nabi menyetujui langkah Mu‘ad bin Jabal, sahabat yang diangkat menjadi gubernur Yaman, yang dalam memutuskan persoalan mula-mula merujuk al-Qur‘an, disusul hadith dan akhirnya ijtihad.

Berkaitan dengan penempatan sunah sebagai sumber kedua ajaran Islam, di bawah al-Qur‘an, al-Syatibi memberikan argumen sebagai berikut:7

1. Al-Qur‘an bersifat qath‟i wurud, sedangkan sunah zhanni

al-wurud—selain hadith mutawatir. Keyakinan kita terhadap hadith

hanya secara global, bukan rinci, sedangkan al-Qur‘an, baik secara global maupun detail, diterima secara meyakinkan.

95 2. Sunah atau hadith ada kalanya menerangkan sesuatu yang masih global dalam al-Qur‘an, kadangkala memberi komentar terahadap al-Qur‘an, dan kadangkala membicarakan sesuatu yang belum dibicarakan oleh al-Qur‘an. Kalau sunah berfungsi sebagai penjelas atau pemberi komentar terhadap al-Qur‘an, maka sudah tentu ia memiliki status di bawah al-Qur‘an.

3. Di dalam hadith sendiri terdapat penegasan bahwa hadith atau sunah menduduki posisi kedua setelah al-Qur‘an. Di antaranya adalah riwayat al-Bukhari dan Muslim, yang memuat dialog nabi dengan Mu‘adz saat diangkat sebagai gubernur Yaman.

Identik dengan argumen al-Syatibi pertama di atas, Mahmud Abi Rayyah mengatakan bahwa posisi sunah atau hadith itu di bawah al-Qur‘an disebabkan oleh perbedaan tingkat periwayatannya. Al-Qur‘an sampai kepada umat Islam dengan jalan mutawatir dan tidak ada keraguan sedikit pun, dan karenanya al-Qur‘an dikatakan bersifat

qath‟i al-wurud, baik secara global maupun terinci. Sedangkan hadith

sampai kepada umat Islam tidak semuanya dengan jalan mutawatir, bahkan sebagian besar diterima secara ahad. Dengan demikian hadith bersifat zhanni al-wurud, kecuali hadith mutawatir yang jumlahnya relatif sangat sedikit.8

Kedudukan sunah sebagai sumber kedua dari ajaran Islam sebenarnya secara eksplisit telah tercantum dalam sabda nabi berikut ini:

ٌٖييػ ك بْيسزأ بَف ىّى ٘ت ٍِٗ للها ع بط أ دقف ه ٘سسىا غطي ٍِ بظيفح Artinya: “Barangsiapa mentaati rasul, sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa berpaling (dari ketaatan itu) maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka” (Qs. an-Nisa‟: 80)

ٌنٍْ سٍلأا ىىٗأٗ ه٘سسىا ا٘ؼيطأٗ للها ا٘ؼيطأ اٍْ٘ا ِبرىا بٖيا بي , ُئف للهبب ٍُْ٘ؤت ٌتْم ُإ ه٘سسىاٗ للها ىىإ ّٓٗدسف بيش ىف ٌتػشبْت ً٘يىاٗ سخلأا . لايٗأت ِسحأ ٗ سيخ لى ذ

96

Allah dan rasul-(Nya), dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur‟an) dan rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (Qs. an-Nisa‟: 59).

Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa perintah taat kepada Allah dan rasul berarti perintah taat kepada al-Qur‘an dan sunah,9

yang keduanya senantiasa berada dalam saling keterkaitan. Maksudnya, seseorang tidak mungkin dinyatakan taat kepada Allah kalau tidak mentaati rasul-Nya, dan demikian pula sebaliknya seseorang tidak mungkin disebut telah taat kepada rasul kalau tidak mentaati Allah. Di antara cara mentaati rasul adalah dengan menerima dan melaksanakan apa-apa yang disampaikan olehnya dan meninggalkan apa-apa yang dilarangnya (Qs. al-Hasyr: 7).

Sehubungan dengan hal tersebut ada teori klasifikasi hadith dari Abdul Mun‘im al-Namr. Bagi al-Namr, hadith atau sunah dapat dikategorikan atas sunah tasyri‟iyah dan sunah ghair tasyri‟iyah.10 Jika yang pertama menuntut adanya kewajiban diikuti, maka tidak demikian halnya sunah kategori ghair tasyri‘iyah. Kategorisasi ini didasarkan kepada prinsip pemisahan antara aspek kemanusiaan (basyariyah) nabi Muhammad dengan kerasulannya. Lebih jauh an-Namr menyebutkan bahwa sunah tasyri‟iyah meliputi pada:

1. Hadith-hadith yang timbul dari nabi sebagi al-tabligh dalam kapasitasnya sebagai seorang rasul.

2. Hadith yang timbul dari nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin kaum muslimin seperti mengutus tentara, mengelola harta negara, mengangkat hakim dan semisalnya.

3. Hadith yang timbul dari nabi dalam kedudukannya sebagai hakim, yakni ketika beliau menghukum dan menyelesaikan persengketaan di kalangan umat.

Sedangkan hadith atau sunah kategori ghair tasyri‟iyah menurut al-Namr meliputi:

97 seperti bediri, duduk, berjalan, makan, minum, tidur dan sebagainya.

2. Hadith yang berkenaan dengan pergaulan, kebiasaan individu dan masyarakat, seperti mode pakaian, pengobatan, perdagangan, pertanian dan beberapa kemahiran dan pengalaman lainnya dalam masalah keduniaan.

3. Hadith yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat dalam aspek-aspek tertentu, seperti penyebaran pasukan perang ke pos-pos tertentu, mengatur barisan dan sebagainya.

Menyangkut hadis kategori pertama—sunah tasyri‟iyah, baik yang berupa perkataan maupun perbuatan, sebagai dikatakan oleh Wahab Khalaf, mempunyai kekuatan hujjah tasyri‘ yang wajib diikuti oleh seluruh umat Islam. Sedangkan segala yang berasal dari Muhamad dalam kapasitasnya sebagai manusia biasa, maka ia bukan merupakan tasyri‘ yang wajib diikuti kecuali memang ada dalil yang menunjukkan atau menegaskan bahwa maksud perbuatan itu adalah untuk diikuti oleh umat Islam, sehingga statusnya berubah menjadi sunah tasyri‟iyah.11 Dalam kaitan ini Abu Zahrah menambahkan satu bentuk perbuatan yang memang khusus untuk nabi dan karenanya tidak dimaksudkan sebagai tasyri‘ yang wajib diikuti oleh umat Islam, yakni perbuatan rasul beristri lebih dari empat orang.12

Dalam dokumen Studi Islam perguruan tinggi (Halaman 110-113)