• Tidak ada hasil yang ditemukan

f Analisis Kadar Vitamin C dan Asam Organik (Russel, 1986)

A. Isolasi dan Seleksi Bakter

Pengambilan sampel dilakukan di perkebunan kopi daerah Pangalengan, Bandung. Sampel yang diambil berupa biji kopi yang baru saja dikeluarkan oleh hewan luwak bersamaan dengan fesesnya melalui hasil sekresi. Kemudian, sampel tersebut dimasukan ke dalam media cair CMC seperti yang tertera pada Gambar 4. Tahap isolasi dilakukan dengan metode cawan sebar dengan media selektif berupa media xilan (xilan birchwood). Koloni-koloni yang tumbuh dimurnikan untuk tahap seleksi bakteri.

Gambar 4. Sampel biji kopi dalam media cair CMC dengan feses luwak

Seleksi dilakukan dengan menotolkan isolat murni ke dalam media agar-agar xilan. Dengan penambahan larutan merah kongo 0,1% dan pencucian menggunakan NaCl 0,2 M, diperoleh sepuluh isolat bakteri yang dapat tumbuh di media tersebut. Namun, hanya empat isolat dari kesepuluh isolat bakteri yang mampu menghasilkan zona bening. Kemudian berdasarkan pertumbuhannya, keempat isolat bakteri ini diukur Indeks Potensial (IP)-nya dan hanya dua isolat yang mampu tumbuh baik karena dapat menghasilkan zona bening terbaik pula. Kedua isolat bakteri yang terpilih adalah isolat FLx3 dan FLx5 yang akan dilakukan uji selanjutnya berupa pengujian aktivitas enzim, yaitu pengukuran kurva pertumbuhan, aktivitas enzim, dan kadar protein. Nilai Indeks Potensial (IP) isolat bakteri FLx3 sebesar 0,455 dan isolat bakteri FLx5 sebesar 1,375.

Kedua isolat tersebut memiliki koloni bakteri dengan ciri-ciri dan warna berbeda. Isolat bakteri FLx3 memiliki warna kuning, bentuk bundar, dan permukaan licin, sedangkan isolat bakteri FLx5 memiliki warna putih susu, bentuk bundar, permukaan lincin dan sedikit berlendir. Penampakan fisik kedua koloni bakteri dan pembentukan zona bening ini terlihat pada Gambar 5. Bakteri yang dapat tumbuh di media xilan 0,5% pada isolasi bakteri menunjukkan bahwa isolat bakteri dapat menghasilkan enzim xilanase untuk menghidrolisis xilan yang ditandai dengan terbentuknya zona jernih atau bening. Kemampuan bakteri membentuk zona bening sebagai akibat terputusnya ikatan β- 1,4 xilosidik oleh xilanase. Sebagai tambahan, isolat bakteri yang mampu tumbuh dengan baik mengindikasikan bahwa isolat mampu memanfaatkan sumber karbon (C) dalam media pertumbuhannya, sehingga produksi enzim akan lebih baik apabila menggunakan isolat yang mampu tumbuh dengan baik pada substratnya.

18

( a ) ( b )

( c ) ( d )

Gambar 5. Penampakan koloni bakteri dan pembentukan zona bening disekitar koloni bakteri (a) Koloni FLx3 (b) Koloni FLx5 (c) Zona Bening FLx3 (d) Zona Bening FLx5

B.

Uji Aktivitas Enzim

Pengujian aktivitas enzim terhadap isolat bakteri FLx3 dan FLx5 bertujuan untuk mengetahui waktu dan kondisi pertumbuhan optimum dari isolat. Uji aktivitas enzim dapat diketahui dengan melihat pola pertumbuhan isolat bakteri dan nilai aktivitas enzim xilanase, serta nilai kadar protein dari isolat.

1.

Pertumbuhan Isolat Bakteri dan Aktivitas Enzim Xilanase

Antara isolat bakteri FLx3 dan isolat bakteri FLx5 memiliki pola pertumbuhan yang berbeda, seperti terlihat pada Gambar 6a. Hal ini ditunjukkan dengan waktu fase eksponensial yang tercapai untuk masing-masing isolat tidaklah sama. Waktu fase eksponensial isolat FLx3 tercapai pada jam ke- 12 hingga jam ke-48, yaitu nilai OD yang terbaca sebesar 0,195 hingga 0,286. Sementara itu, isolat FLx5 telah mencapai fase eksponensial pada jam ke-60 dan mencapai peningkatan signifikan pada pada jam ke-72 dengan nilai OD terbaca sebesar 0,702 hingga naik perlahan sampai jam ke-96 dengan nilai sebesar 0,895. Fase eksponensial merupakan fase pembiakan bakteri yang berlangsung paling cepat. Pada fase ini terjadi perbanyakan jumlah sel yang akan meningkat pada batas tertentu dan setelah itu bakteri akan memasuki fase statis.

Nilai aktivitas enzim kedua isolat bakteri dapat terlihat pada Gambar 6b. Aktivitas enzim xilanase isolat FLx3 dari jam ke-0 hingga jam ke-84 relatif masih rendah dan mulai mengalami peningkatan signifikan pada jam ke-96 sebesar 0,091 nKat/ml, setelah itu kembali mengalami penurunan. Nilai aktivitas enzim xilanase dari isolat FLx3 ini tidak dipengaruhi oleh pola pertumbuhan bakteri. Berbeda halnya dengan aktivitas enzim isolat FLx5 yang cukup menunjukkan hubungan positif dengan pola pertumbuhan bakteri, dimana aktivitas enzim mengalami peningkatan pada jam ke-60 hingga jam ke-72 sebesar 0,042 nKat/ml hingga 0,294 nKat/ml dan setelah waktu itu nilai aktivitas enzim menurun. Kondisi yang terjadi terhadap isolat FLx5 ini menunjukan bahwa

19 0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 0 12 24 36 48 60 72 84 96 108 120 OD Te rb ac a

Waktu (Jam Ke)

FLx3 FLx5 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0 12 24 36 48 60 72 84 96 108 120 n K at/ m l

Waktu (Jam Ke)

FLx3 FLx5

peningkatan aktivitas enzim berhubungan dengan pola pertumbuhan sel, dimana laju pertumbuhan sel akan maksimum ketika waktu fase eksponensial telah tercapai dan aktivitas enzim akan berkurang selama fase stasioner (Amraini, 2008).

( a ) ( b )

Gambar 6. Kurva pertumbuhan bakteri (a) dan aktivitas enzim xilanase (b)

Substrat yang digunakan dalam proses fermentasi berpengaruh terhadap aktivitas dan produktivitas enzim. Adanya substrat tertentu didalam medium produksi dapat memacu mikroorganisme untuk mensekresi metabolit selnya. Zat makanan utama bagi pertumbuhan mikroorganisme adalah sumber karbon, nitrogen, dan komponen mineral terutama fosfat. Reaksi hidrolisa xilan beberapa sumber karbon yang sering digunakan adalah molases, serealia, pati, glukosa, sukrosa dan laktosa. Produksi enzim xilanase sebagai sumber karbon adalah xilan. Xilan dengan aktivitas xilanase yang dihasilkan oleh mikroorganisme akan terhidrolisis menjadi xilosa. Hemiselulosa merupakan polimer xilosa yang berikatan β-1,4 dengan jumlah monomer 150-200 unit (Sunna dan Antraniklan, 1997). Rantai xilan bercabang dan strukturnya tidak terbentuk kristal sehingga lebih mudah dimasuki pelarut dibandingkan dengan selulosa . Dalam hal ini, komposisi media tumbuh bakteri Flx3 dan Flx5 adalah xylan from Birchwood, ekstrak khamir, sukrosa, agar- agar, dan aquades. Sesuai dengan kompisisi ini, xilan akan diubah menjadi xilosa akibat adanya aktivitas enzim xilanase karena xilosa juga digunakan sebagai sumber karbon mikroba tersebut. Fase eksponensial pada isolat FLx5 terjadi mulai jam ke-60 dan mencapai puncaknya pada jam ke-72. Berbeda dengan Flx5, isolat FLx3 mengalami fase eksponensial pada jam ke-96. Perbedaan ini kemungkinan diakibatkan oleh perbedaan kemampuan bakteri dalam mengubah xilan menjadi xilosa dengan menggunakan enzim xilanase.

Pada penelitian yang dilakukan oleh Fontes et al. (2000), pertumbuhan mikrob Cellvibrio

mixtus penghasil xilanase diuji dengan menggunakan glukosa dan xilan sebagai sumber karbon.

Kedua sumber karbon tersebut menghasilkan biomassa yang tinggi, dan pada medium glukosa pertumbuhan sel lebih cepat (36 jam) dibandingkan dengan xilan (84 jam). Akan tetapi, dalam medium glukosa aktivitas xilanase tidak terdeteksi. Hal tersebut terjadi karena pada medium xilan, mikrob akan berupaya membentuk xilanase untuk menghidrolisis xilan menjadi xilosa, yang kemudian digunakan sebagai sumber karbon untuk pertumbuhannya. Sementara pada medium glukosa hal tersebut tidak terjadi, mikrob langsung menggunakan glukosa sebagai sumber karbon.

20 0 0.1 0.2 0.3 0 12 24 36 48 60 72 84 96 108 120 m g /m l

Waktu (Jam Ke)

FLx3 FLx5

2. Kadar Protein dan Aktivitas Spesifik Isolat

Kadar proterin isolat FLx3 dan FLx5 tidak berhubungan langsung dengan aktivitas enzim xilanase. Hal ini dikarenakan kadar protein yang dihasilkan menunjukkan jumlah protein yang terdapat pada enzim kasar. Menurut Richana (2002), enzim kasar mengandung protein enzim, protein dari bahan penyusun medium dan protein hasil lisis bakteri. Pada Gambar 7 menunjukan bahwa kadar protein isolat FLx3 mengalami penurunan setelah jam ke-48 hingga jam ke-84, sebesar 0,123 mg/ml hingga 0,088 mg/ml dan mengalami peningkatan setelah waktu itu. Kemudian, kadar protein isolat FLx5 relatif rendah dari jam ke-0 hingga jam ke-72 dan setelah itu mengalami peningkatan pada jam ke-84 hingga jam ke-120 sebesar 0,080 mg/ml hingga 0,271 mg/ml. Berkurangnya kadar protein dalam medium dikarenakan bakteri membutuhkan protein sebagai salah satu sumber nitrogen organik dalam pertumbuhannya (Rachman, 1989). Sementara itu, peningkatan kadar protein pada waktu fase stasioner disebabkan jumlah sel mulai mengalami penurunan dan beberapa sel kemungkinan telah mengalami lisis. Kondisi lisisnya sel akan menyebabkan kenaikan nilai kadar protein sebab kandungan protein yang berasal dari dalam sel akan keluar menuju medium dan terlarut.

Gambar 7. Kadar protein isolat

Selain penentuan kadar protein isolat, nilai aktivitas spesifik isolat pun dapat ditentukan dengan membagi nilai aktivitas enzim dengan nilai kadar protein isolat. Hasil nilai aktivitas spesifik isolat FLx3 relatif semakin menurun dari jam ke-0 sebesar 0,968 nKat/mg protein hingga jam ke-120 sebesar 0,176 nKat/mg protein. Sementara itu, isolat FLx5 memiliki aktivitas spesifik yang lebih baik, karena menunjukkan pola aktivitas enzim yang semakin meningkat mulai jam ke-0 (0,158 nKat/mg protein) hingga jam ke-72 (3,085 nKat/mg protein) dan kembali menurun setelah jam ke-72.

Adanya peningkatan aktivitas spesifik isolat FLx5 pada jam ke-0 hingga jam ke-72 menunjukkan bahwa isolat berada pada fase pertumbuhan, sehingga penggunaan enzim xilanase dan hidrolisis xilan juga relatif meningkat. Hal ini dilihat dari tingkat aktivitas enzim yang dihasilkan. Kemudian, setelah jam ke-72 ini, isolat FLx5 berada pada kondisi stasioner dan menuju kematian sehingga aktivitas spesifiknya menjadi menurun akibat penggunaan enzim xilanase dan hidrolisis xilan yang berkurang akibat sudah banyaknya sel isolat yang lisis atau mati. Berdasarkan nilai aktivitas spesifik kedua isolat, isolat FLx5 memiliki nilai aktivitas spesifik dan aktivitas enzim yang relatif lebih baik dibandingkan isolat FLx3. Dengan demikian, isolat FLx5 dipilih untuk pengujian tahap lanjut berupa tahap fermentasi yang akan diinokulasikan terhadap biji kopi dan kulit kopi dengan perbandingan tertentu.

21 0 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 0 12 24 36 48 60 72 84 96 108 120 U/m g p ro te in

Waktu (Jam Ke)

FLx5 FLx3

Gambar 8. Aktivitas spesifik isolate

C.

Fermentasi

Fermentasi dilakukan pada biji kopi arabika dengan menggunakan bakteri FLx5 dengan harapan mampu mengubah senyawa-senyawa di dalam biji kopi menjadi komponen yang lebih sederhana agar dapat menghasilkan aroma dan cita rasa yg khas. Sebagaimana yang di sampaikan oleh Said (1987), fermentasi adalah proses perubahan senyawa-senyawa kompleks dari bahan menjadi senyawa sederhana dengan disertai bau yang spesifik atau khusus, oleh aktivitas mikroba. Sedangkan pengertian lain dari fermentasi adalah proses penguraian gula menjadi alkohol dan karbondioksida yang disebabkan oleh aktivitas sel khamir yang tumbuh dan berkembang baik dengan cairan.

1. Uji Aktivitas Enzim

Pengujian aktivitas enzim terhadap isolat bakteri FLx5 dengan berbagai perlakuan suhu bertujuan untuk mengetahui pertumbuhan dan aktivitas enzim dengan substrat kulit kopi selama fermentasi. Uji aktivitas ini dilakukan dengan menghitung kurva pertumbuhan, aktivitas enzim, kadar protein dan aktivitas spesifik.

a.

Pertumbuhan Isolat Bakteri dan Aktivitas Enzim Xilanase pada Kulit

Kopi

Terdapat pola pertumbuhan bakteri yang relatif sama pada uji fermentasi dengan perlakuan suhu yang berbeda. Waktu fase eksponensial bakteri pada suhu 30oC tercapai pada hari pertama hingga hari ke dua, yaitu nilai OD terbaca sebesar 0,437 dan pertumbuhan bakteri cenderung naik sampai hari kelima dengan OD terbaca sebesar 0,429. Sementara itu, pada suhu 40oC bakteri telah mencapai fase eksponensial pada hari ke pertama dengan nilai OD terbaca sebesar 0,552. Namun setelah itu, pertumbuhan bakteri cenderung menurun sampai hari lima dengan OD yang terbaca sebesar 0,194. Pada suhu fermentasi 50oC, bakteri mengalami fase eksponensial sampai hari ke dua dengan OD terbaca mencapai 0,390. Kurva pertumbuhan bakteri terlihat pada Gambar 9a. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, fase eksponensial merupakan fase pembiakan bakteri yang berlangsung paling cepat daripada fase-fase pertumbuhan lainnya. Pada fase ini terjadi perbanyakan jumlah sel yang akan meningkat pada batas tertentu dan setelah itu bakteri akan memasuki fase statis.

22 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0 1 2 3 4 5 OD Hari Ke

Suhu 30 Suhu 40 Suhu 50

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 0 1 2 3 4 5 n Kat /m l Hari Ke

suhu 30 suhu 40 suhu 50 ( a ) ( b )

Gambar 9. Kurva pertumbuhan bakteri (a) dan aktivitas enzim xilanase (b)

Nilai aktivitas enzim pada tiga perlakuan suhu fermentasi dapat terlihat pada Gambar 9b. Aktivitas enzim xilanase pada semua perlakuan suhu cenderung terus menurun. Pada suhu fermentasi 30oC, aktivitas enzim tertinggi terdapat pada hari pertama dengan nilai mencapai 0,442 nKat/ml. Setelah itu, aktivitas enzim terus menurun. Sama halnya dengan suhu 30oC, pada fermentasi suhu 40oC aktivitas tertinggi terdapat pada hari pertama dengan nilai mencapai 1,571 nKat/ml dan terus menerus mengalami penurunan walaupun di hari ke lima aktivitasnya sempat mengalami kenaikan dengan nilai sebesar 0,401 nKat/ml. Begitu juga dengan suhu fermentasi 50oC yang mencapai nilai aktivitas tertinggi pada hari pertama dengan nilai mencapai 0,978 nKat/ml. Walaupun pola aktivitas enzim dalam berbagai perlakuan suhu relatif sama, namun aktivitas tertinggi berada pada suhu fermentasi 40oC.

b.

Kadar Protein dan Aktivitas Spesifik Bakteri pada Kulit Kopi

Kadar protein bakteri pada suhu fermentasi 30oC mengalami penurunan setelah hari pertama hingga hari ketiga dengan kadar protein mencapai 0,023 mg/ml dan mengalami peningkatan setelah waktu itu. Kemudian, kadar protein pada suhu fermentasi 40oC relatif rendah dengan penurunan pada hari ketiga mencapai 0,019 mg/ml dan setelah itu terus mengalami peningkatan. Sementara itu, kadar protein pada suhu fermentasi 50oC menurun sejak hari pertama sampai hari ketiga mencapai 0,0200 mg/ml. Perubahan kadar protein terlihat pada Gambar 10a. Berkurangnya kadar protein dalam medium dikarenakan bakteri membutuhkan protein sebagai salah satu sumber nitrogen organik dalam pertumbuhannya (Rachman, 1989).

Nilai aktivitas spesifik pada bakteri dapat ditentukan dengan cara membandingkan nilai aktivitas enzim dengan kadar proteinnya. Dalam Gambar 10b terlihat bahwa aktivitas spesifik bakteri dengan berbagai perlakuan suhu cenderung menurun. Sama halnya seperti yang terdapat pada aktivitas enzim, aktivitas spesifik tertinggi terdapat pada suhu fermentasi 40oC.

23 0 10 20 30 40 0 1 2 3 4 5 % su su t b o b o t Hari Ke

Suhu 30 Suhu 40 Suhu 50 0 0.01 0.02 0.03 0.04 0.05 0 1 2 3 4 5 m g /m l Hari Ke

Suhu 30 Suhu 40 Suhu 50

0 10 20 30 40 50 0 1 2 3 4 5 U/m g p ro te in Hari Ke

Suhu 30 Suhu 40 Suhu 50

( a ) ( b )

Gambar 10. Kurva kadar protein (a) dan aktivitas spesifik enzim xilanase (b)

2. Susut Bobot Kulit

Susut bobot kulit kopi selama fermentasi dilakukan untuk mengetahui kemampuan bakteri xilanolitik mendegradasi kandungan hemiselulosa pada kulit kopi yang digunakan sebagai substratnya. Pada suhu fermentasi 30oC, susut bobot terendah terjadi pada hari kedua dengan penyusutan mencapai 21,554% dari bobot awal. Pada suhu fermentasi 40oC, penyusutan tertinggi terjadi pada hari ke satu fermentasi sebesar 31,437% dan terus mengalami penuruan sampai hari kelima hingga mencapai 16,017%. Pada suhu 50oC, susut bobot terendah terjadi pada hari keempat mencapai 17,593%. Perubahan susut bobot terlihat pada Gambar 11. Perbedaan titik awal (nilai pada hari ke-0) kemungkinan diakibatkan oleh pengerjaan tiap perlakuan yang tidak dilakukan secara bersamaan.

Gambar 11. Perubahan susut bobot pada kulit kopi selama fermentasi

Pada tahap persiapan, terlebih dahulu kulit kopi dikeringkan dengan cara dijemur dibawah sinar matahari. Setelah kering, kulit kopi dihancurkan hingga menjadi bubuk kulit kopi. Kondisi kulit kopi sebelum fermentasi kemungkinan mempengaruhi susut bobot kulit kopi selama fermentasi berlangsung dimana sudah terlebih dahulu terjadi proses perubahan senyawa pada kulit kopi akibat perlakuan fisik dan reaksi kimia enzimatis.

24 0 10 20 30 40 50 0 1 2 3 4 5 % kar b ih id rat Hari Ke

Suhu 30 Suhu 40 Suhu 50

Sebelum terjadi proses fermentasi pada kulit, kandungan hemiselulosa dipecah terlebih dahulu oleh bakteri menjadi gula-gula yang lebih sederhana. Saat fermentasi berlangsung, gula-gula sederhana tersebut mengalami proses enzimatis dan akhirnya menghasilkan alkohol serta karbondioksida. Kemungkinan terjadi penguapan pada hasil akhir reaksi fermentasi yaitu karbondioksida yang membuat kulit kopi mengalami penurunan bobot. Peningkatan dan penurunan susut bobot yang terjadi pada kulit selama fermentasi cukup fluktuatif. Hal ini juga diperkirakan disebabkan oleh kondisi lingkungan yang tidak sama setiap harinya, sehingga jumlah karbondioksida yang mengalami penguapan juga berbeda serta komponen yang ada di dalam kulit untuk bakteri tersebut tetap hidup juga berbeda setiap harinya.

3. Analisis Karbohidrat Biji Kopi

Analisis karbohidrat ini dilakukan untuk mengetahui perubahan total karbohidrat yang terjadi pada biji kopi selama fermentasi bakteri xilanolitik berlangsung. Penambahan bakteri xilanolitik selama fermentasi pada suhu 30oC menyebabkan kadar karbohidrat biji kopi mencapai angka tertinggi pada hari kedua sebesar 22,193% dan sempat mengalami penurunan pada hari ketiga menjadi 18,435%. Setelah itu, kadar karbohidrat terus naik sampai hari kelima. Pada suhu fermentasi 40oC, angka tertinggi terdapat pada hari ke pertama dengan kadar karbohidrat mencapai 25,536% dan terus mengalami penurunan sampai hari ketiga dengan kadar karbohidrat mencapai 12,045%. Untuk suhu fermentasi 50oC, perubahan kadar karbohidrat cenderung menurun. Sejak hari fermentasi pertama, karbohidrat terus mengalami penurunan walaupun sempat mengalami kenaikan, namun tidak terlalu signifikan, seperti tertera pada Gambar 12. Sama halnya dengan pengujian susut bobot, perbedaan titik awal (nilai pada hari ke-0) kemungkinan diakibatkan oleh pengerjaan tiap perlakuan yang tidak dilakukan secara bersamaan.

Gambar 12. Perubahan kadar karbohidrat pada biji kopi selama fermentasi

Pada fermentasi suhu 30oC, kadar karbohidrat pada biji cenderung meningkat. Ini ditandai dengan pemecahan karbohidrat menjadi gula-gula sederhana yang membuat kadar karbohidrat semakin tinggi. Sedikit berbeda dengan suhu fermentasi 30oC, kadar karbohidrat saat fermentasi suhu 40oC mulai menurun karena kemampuan bakteri melalui enzim dalam memecah karbohidrat tidak dapat berlangsung secara terus menerus. Hal ini dibuktikan dengan perubahan kadar karbohrat pada

25 0 2 4 6 8 10 12 0 1 2 3 4 5 % p ro te in Hari Ke

hari ke-0 sampai hari pertama mengalami kenaikan sampai kadar 25,536%, disusul dengan penurunannya sampai hari ke tiga. Bahkan saat fermentasi suhu 50oC, kadar karbohidrat pada biji semakin lama semakin menurun. Ini diakibatkan oleh kurang mampunya bakteri dalam memecah karbohidrat menjadi gula sederhana pada suhu 50oC.

Perubahan kadar karbohidrat dalam berbagai perlakuan suhu fermentasi disebabkan oleh adanya perubahan polisakarida menjadi gula-gula yang lebih sederhana. Klasifikasi karbohidrat terdiri dari monosakarida, disakarida, dan polisakarida. Bahan-bahan yang mengandung monosakarida langsung dapat difermentasi, akan tetapi disakarida, pati ataupun karbohidrat kompleks harus dihidrolisis terlebih dahulu menjadi komponen sederhana, yaitu monosakarida baru setelah itu bisa difermentasi. Selanjutnya, dari gula sederhana akan dihasilkan asam lemak mudah menguap (volatile

fatty acid) yang terdiri dari asetat, propionat, butirat, isobutirat, valerat, dan isovalerat (Preston dan

Leng, 1987).

4. Analisis Protein Biji Kopi

Analisis protein juga dilakukan untuk mengetahui seberapa besar perubahan yang terjadi sebagai efek dari penambahan bakteri xilanolitik selama proses fermentasi. Pada suhu 30oC, terjadi penurunan kadar protein sampai hari ketiga dengan kadar protein sebesar 9,74%. Pada suhu fermentasi 40oC, kadar protein terendah terdapat pada hari kelima dengan nilai sebesar 8,95%. Pada suhu fermentasi 50oC, kadar protein terendah terdapat pada hari kedua dengan kadar protein mencapai 8,59%. Perubahan kadar protein terlihat pada Gambar 13.

Gambar 13. Perubahan kadar protein pada biji kopi selama fermentasi

Berkurangnya kadar protein saat fermentasi xilanase mengindikasikan dikonsumsinya protein sebagai sumber nitrogen. Bakteri memerlukan protein sebagai salah satu nitrogen organik dalam pertumbuhannya (Rachman, 1989). Diperkirakan bakteri xilanolitik ini mampu memfermentasi biji kopi dengan N sehingga asam dan alkohol yang dihasilkan mampu merangsang terbentuknya senyawa

volatile aromatic pada biji kopi. Ketika dikeluarkan dalam bentuk feses oleh luwak, biji kopi tersebut

akan memiliki aroma yang khas dan berbeda dari kopi biasa pada umumnya. Proses fermentasi memecah protein menjadi asam-asam amino sehingga dapat menghasilkan rasa yang unik pada kopi.

Menurut Said (1987), dalam proses fermentasi akan diperoleh hasil ikutan seperti gliserol, asam laktat, asam asetat asetaldehida, dan 2,3 butilen glikol. Protein pada substrat akan diubah oleh

26 enzim lipase menjadi asam lemak, dan asam lemak ini akan bereaksi dengan alkohol menjadi ester, dimana ester inilah yang menjadi aroma dan flavor.

Berdasarkan hasil tersebut, maka biji kopi yang dipilih untuk uji lebih lanjut adalah biji kopi untuk suhu fermentasi 30oC pada hari ke dua (2A) dan tiga (3A), dan biji kopi untuk suhu 40oC pada hari ke dua (2B) dan tiga (3B). Pada kedua hari tersebut, kadar karbohidrat pada biji mengalami penurunan dan kadar proteinnya mengalami kenaikan. Ini disebabkan oleh kemampuan bakteri xilanolitik mendegradasi karbohidrat secara optimal pada hari dan suhu tersebut. Hal ini juga didukung oleh suhu fermentasi di dalam perut luwak yaitu sekitar 37oC, berada diantara 30oC dan 40oC.

5. Pengujian Asam Organik menggunakan HPLC

Asam organik adalah hasil samping dari fermentasi kopi. Hasil dai uji keasaman kopi hasil fermentasi tertera pada Tabel 3. Uji keasaman pada biji kopi fermentasi, menunjukan bahwa kadar asam oksalat pada biji cukup rendah sekitar 0,03-0,06%, sedangkan kadar asam oksalat pada biji kopi arabika mencapai 0,3% dan biji kopi luwak 0,17%. Kadar asam oksalat yang tinggi akan menyebabkan terjadinya pembentukan dan penumpukan kristal kalsium oksalat. Penumpukan ini dapat menyebabkan penyakit ginjal pada manusia karena oksalat berinteraksi dengan kalsium atau ion-ion lainnya (Munir, 2005).

Di bandingkan asam oksalat, kadar asam butirat pada biji hasil fermentasi menunjukan nilai yang cukup tinggi hingga mencapai 0,12%. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan biji kopi arabika yang mempunyai kadar asam oksalat sebesar 0,0072% dan biji kopi luwak sebesar 0.0082%. Kopi yang mengandung serat kasar berupa hemiselulosa dapat didegradasi oleh bakteri xilanolitik dan menghasilkan asam lemak yang mudah menguap (volatile fatty acid), salah satunya adalah asam butirat. Butirat dapat menghambat pertumbuhan sel-sel kanker kolorektal dengan cara menghambat proliferasi sel, serta meningkatkan kemampuan diferensiasi dan apoptosis sel (Syamsir, 2008).

Berdasarkan perubahan yang terjadi pada karbohidrat sebagai akibat dari aktivitas mikroorganisme, maka produk fermentasi dapat dikelompokan sebagai proses fermentasi yang merubah karbohidrat menjadi asam-asam organik dan alkohol serta karbondioksida sebagai komponen utama. Proses fermentasi dikatakan bersifat homofermetatif jika hanya menghasilkan satu jenis komponen saja sebagai hasil utamanya dan heterofermentatif jika menghasilkan campuran berbagai senyawa atau komponen utama. Lintasan metabolisme Embedden-Meyerhoff-Parnas merupakan

Dokumen terkait