• Tidak ada hasil yang ditemukan

Istilah-istilah yang digunakan dalam metodologi Lean Sigma

Dalam dokumen BAB II LANDASAN TEORI (Halaman 29-45)

2.4 Konsep Lean Sigma .1 Definisi Lean Sigma

2.4.3 Istilah-istilah yang digunakan dalam metodologi Lean Sigma

Berikut adalah istilah-istilah yang digunakan dalam metodologi Lean Sigma. Istilah-istilah ini adalah istilah yang sering sekali digunakan baik itu dalam konsep Lean maupun konsep Six Sigma.

1. DPMO (Defect Per Million Opportunity),

Adalah jumlah kecacatan dalam satu juta unit produk/jasa. Untuk mendapatkan nilai DPMO, maka diperlukan hasil perhitungan DPO (Defect Per Opportunity). DPMO mengubah DPO menjadi sejuta unit karena dalam 6σ biasanya menggunakan PPM (Part Per Milion).

2. Critical To Quality (CTQ),

Merupakan kunci karakteristik terukur dari suatu produk atau proses yang standar performance atau limit spesifikasinya harus dipenuhi untuk memuaskan customer. Tujuan dari Critical To Quality adalah untuk mengkonversi kebutuhan pelanggan untuk persyaratan yang dapat terukur bagi perusahaan untuk diterapkan.

37 Didefinisikan sebagai biaya yang akan hilang jika sistem, proses dan produk sempurna. COPQ merupakan penyempurnaan dari konsep quality

cost. Pada dasarnya biaya kualitas dapat dikategorikan ke dalam 4 jenis, yaitu :

a. Biaya kegagalan internal (Internal Failure Costs) b. Biaya kegagalan eksternal (Eksternal Failure Costs) c. Biaya Penialian (Appraisal Costs)

d. Biaya pencegahan (Prevention Costs) 4. Process Cycle Efficiency (PCE),

Dapat digunakan untuk menentukan peluang perbaikan cycle time, dan dapat diaplikasikan pada manufaktur dan jasa yang berhubungan dengan industri. Peningkatan yang jelas pada process cycle efficiency dapat dilakukan dengan mengurangi waktu tunggu untuk work in process, dan secara efektif mengurangi cycle time secara keseluruhan. Selain itu, PCE merupakan salah satu tolak ukur kinerja dalam suatu sistem untuk mengukur tingkat effisiensi suatu sistem. Hal ini berkaitan erat dengan seberapa banyaknya waste dalam suatu sistem yang diukur melalui banyaknya Non

Value Added Activity (NVA). Dengan mengukur besarnya nilai waktu

Value Added Activity (VA) terhadap total Lead Time, maka kita dapat menghitung besar PCE. Sebagai hasil dari perbaikan PCE, perusahaan mungkin akan mengalami peningkatan tingkat kepuasan pelanggan, serta penghematan biaya langsung dan peningkatan pada nilai stakeholder. Rumus untuk mendapatkan nilai PCE suatu sistem adalah sebagai berikut :

38 Keterangan :

Value Added Time = Total waktu dari suatu sistem yang memberikan kontribusi dalam penambahan nilai pada produk.

Total Lead Time = Total waktu yang dibutuhkan untuk membuat suatu produk dari awal raw material sampai produk dikirim. Yang diartikan dalam skripsi ini adalah production lead time.

5. Overall Equipment Effectivenes (OEE),

Merupakan hirarki metrik yang mengevaluasi dan mengindikasikan seberapa efektif suatu operasi manufaktur yang digunakan. Hasil dinyatakan dalam bentuk generik yang memungkinkan perbandingan antara unit manufaktur di industri yang berbeda. Pengukuran OEE biasanya digunakan sebagai indikator kinerja utama (KPI) dalam implementasi lean

manufacturing untuk memberikan indikator keberhasilan. OEE membagi performa dari manufaktur menjadi tiga komponen yang diukur yaitu

Availability, Performance, dan Quality. Tiap komponen menunjuk pada aspek proses yang di targetkan untuk di dilakukan improvement. OEE dinyatakan dalam rumus berikut :

OEE = Availability x Performance x Quality Keterangan :

Availability = Operating Time / Planned Production Time

Performance = (Standard Cycle Time x Total Piece) / Operating Time Total Lead Time

Value Add Time

39

Quality = First Pass Yield (%) = FPY Pieces / Total Pieces

Availability adalah indikator yang menunjukkan kehandalan mesin.

Availability mengacu pada indikator lama waktu mesin downtime dan lama waktu untuk setup dan adjustment. Sedangkan performance, mengacu pada indikator yang menunjukkan seberapa sering mesin idle (menunggu),

stoppages (berhenti), dan mesin jalan dengan kecepatan rendah. Quality rate adalah indikator untuk seberapa banyak scrap atau rework pada sebuah proses, dan berapa banyak scrap yang terjadi saat mesin start up. 6 major

losses ini akan terlihat secara jelas dari nilai OEE untuk masing-masing komponen. Misalkan availability nya rendah, maka improvement di fokuskan untuk meningkatkan uptime mesin dan mempercepat waktu setup.

Performance improvement berfokus pada menghilangkan mesin idle karena ketidaktersediaan material, stoppages, dan mesin jalan dengan kecepatan dibawah kapasitas normal. Quality rate akan berfokus untuk improvement dalam hal pencegahan produk scrap atau terjadinya rework.

Beberapa hal yang bisa menyebabkan 6 major losses diantaranya: setup

time lama karena tidak adanya operator, tidak adanya material, changeover produk yang lama, setting mesin, dan sebagainya. Unplanned downtime karena mesin rusak, tooling yang salah, atau terjadi perbaikan mesin diluar rencana. Minor stoppages karena mesin berhenti cukup sering meskipun durasinya tidak lama. Reduce speed karena skill yang kurang dari operator dan komponen mesin yang sudah aus. Serta scrap yang terjadi selama

40 proses produksi. Improvement dari indikator OEE ini erat kaitannya dengan initiatif implementasi TPM (Total Productive Maintenance).

6. Lead Time,

Waktu rata-rata untuk mengalirnya satu unit produk di sepanjang proses (dari awal sampai akhir) termasuk waktu menunggu (waiting time) antara sub-sub proses.

Lead time = Cycle time x Unit WIP x Jumlah operasi + Delay antara proses Jumlah unit WIP (work-in-process ‘unit setengah jadi’) secara radikal meningkatkan lead time. Ini adalah salah satu alasan mengapa lean

manufacturing menginginkan ukuran batch yang kecil. Delay di antara proses juga sering menyebabkan besarnya lead time dan harus terus-menerus dieliminasi karena merupakan pemborosan (waste).

Dalam prakteknya, istilah “Lead Time” selalu berarti “Production Lead

Time”, tetapi secara teknis, terdapat beberapa jenis lead time yaitu: - Production Lead Time

- Order Lead Time - Order-to-Cash Time

Production Lead Time adalah waktu dari ketika pabrik menerima order sampai ketika produk dikirimkan. Production Lead Time dinyatakan dalam rumus berikut :

41 Di mana:

A = Waktu dari isu pesanan produksi sampai mulai produksi. B = Waktu mulai fabrikasi sampai akhir (waktu proses + delay).

C = Waktu melengkapi dari unit pertama sampai satu lot. Misalnya, jika satu box sudah disiapkan sampai ke proses berikutnya (jumlah per lot takt time produk).

Ini dapat terjadi pada suatu sub-proses, atau pada suatu keseluruhan rangkaian sub-proses terkait, sering disebut juga “Door-to-Door Time” (dikenal juga sebagai “Throughput Time”. Untuk sub-proses tunggal,

Production Lead Time = Process Lead Time).

Production lead time ditambah segala hal yang terjadi sebelum penyerahan otoritas kerja dan setelah produk meninggalkan dock pengiriman.

7. Takt Time,

Istilah “takt” diambil dari kata Jerman yang berarti “baton”; yaitu tongkat kecil yang dipakai oleh panglima perang atau oleh pemimpin orkestra, takt merujuk pada pukulan, tempo, dan regulasi kecepatan irama. Kristianto Jahja dalam alih bahasa buku Gemba Kaizen mengistilahkan takt

time ke dalam Bahasa Indonesia sebagai “pacu kerja”.

Batasan umum takt time adalah: waktu yang “diinginkan” untuk membuat satu unit keluaran produksi. Takt time berbeda dengan cycle time (CT) karena takt time (TT) tidak diukur dengan stopwatch, tetapi harus dihitung dengan formula sebagai berikut:

42

Takt time = Waktu operasi yang tersedia/ Permintaan pelanggan Atau bisa juga dinyatakan dalam rumus berikut :

Takt time = Waktu operasi yang tersedia / Ramalan permintaan Angka nominal takt time adalah variabel awal untuk mendikte desain “arsitektur” keseluruhan operasi manufaktur. Total waktu operasi dihitung pada saat dasar semua operasi permesinan berada pada tingkat efisiensi 100% (operational availability = 100%) selama jam kerja reguler.

Meskipun takt time dihitung berdasarkan jam kerja reguler, tetapi terkadang dimasukkan juga jumlah yang melebihi jam kerja reguler, misalnya karena dipicu oleh adanya downtime, kemampuan lini yang rendah. Takt time seperti ini disebut actual takt time.

8. Cycle Time,

Didefinisikan sebagai periode (waktu) yang diperlukan untuk melengkapi satu cycle dari suatu operasi, atau untuk melengkapi satu fungsi, pekerjaan atau tugas dari awal sampai akhir. Cycle time digunakan untuk membedakan durasi total dari suatu proses dari run timenya.

9. Line Balancing,

Merupakan proses penyeimbangan lintasan produksi, terutama dalam proses produksi assembly. Line balancing assembly adalah proses penempatan pekerjaan pada stasiun kerja sehingga target laju produksi dapat terpenuhi. 10. First Past Yield (FPY),

Didefinisikan sebagai jumlah unit yang keluar dari suatu proses dibagi dengan jumlah unit yang masuk ke dalam proses selama periode waktu

43 tertentu. Hanya unit yang bagus dan tanpa proses ulang yang dihitung sebagai output dari suatu proses.

11. Five “S” atau 5S,

Merupakan kependekan dari : Seiri (meringkas), Seiton (merapihkan),

Seisou (membersihkan), Seiketsu (merawat), Shitsuke (disiplin dan konsisten). Dengan penerapan 5S dengan penuh disiplin, perusahaan Jepang bisa mengambil banyak manfaat berupa efisiensi dan efektifitas di segala area kerja. Hal ini menghasilkan trough put yang luar biasa dan berdampak besar bagi diri karyawan maupun perusahaan.

12. Kaizen Blitz,

Kaizen dalam bahasa jepang berarti perbaikan atau perubahan menjadi lebih baik, mengacu pada filosofi atau praktek yang berfokus pada perbaikan yang terus menerus dari proses dalam manufaktur, teknik dan manajemen bisnis. Kaizen Blitz digunakan sebagai sarana untuk melakukan perbaikan secara cepat. Artinya, ide dari proses perbaikan yang diusulkan langsung dilakukan seketika. Karena biasanya proses perbaikan dalam suatu sistem menyangkut izin dan birokrasi yang mengakibatkan proses perbaikan memakan waktu cukup lama, maka Kaizen Blitz adalah solusinya.

13. Pareto Diagram

Fungsi dari Diagram Pareto adalah untuk dipergunakan mengidentifikasi dan mengevaluasi tipe-tipe/jenis-jenis Non Conformance.

Pareto Chart dikembangkan oleh seorang ahli ekonomi Italia yang bernama Vilredo Pareto pada abad ke 19. Berikut adalah contoh diagram pareto :

44 Gambar 2.16 Pareto Diagram

Pareto Diagram digunakan untuk memperbandingkan berbagai kategori kejadian yang disusun menurut ukurannya, dari yang paling besar disebelah kiri ke yang paling kecil disebelah kanan. Susunan tersebut akan membantu kita untuk menentukan pentingnya atau prioritas kategori kejadian-kejadian atau sebab-sebab kejadian yang dikaji. Dengan bantuan Pareto Diagram tersebut kegiatan akan lebih efektif dengan memusatkan perhatian pada sebab-sebab yang mempunyai dampak yang paling besar terhadap kejadian daripada meninjau berbagai sebab suatu waktu. Berbagai Pareto Chart dapat digambarkan dengan menggunakan data yang sama, tetapi digambarkan secara berlainan. Dengan cara menunjukkan data menurut frekuensi terjadinya, menurut biaya, menurut waktu terjadinya, dapat diungkapkan berbagai prioritas penanganannya tergantung pada kebutuhan spesifik yang ada. Dengan demikian tidak dapat begitu saja ditentukan bar yang terbesar dalam Pareto Chart sebagai persoalan yang terbesar. Dalam hal ini harus dikumpulkan terlebih dahulu informasi secukupnya. Dalam

45 mengadakan Analisis Pareto, yang diatasi adalah sebab kejadian, bukannya gejalanya.

Langkah yang dipergunakan menurut Eugene L. Grant, 1988 ialah : 1. Mengidentifikasi tipe-tipe/jenis-jenis yang akan diperbandingkan. Jika

pengkategorian Peta Kontrol sudah dibuat maka untuk membuat identifikasi ini adalah mudah.

2. Setelah itu merencanakan dan melaksanakan pengumpulan data, yaitu: Menentukan masalah yang akan diteliti.

3. Menentukan data apa yang akan diperlukan dan bagaimana mengklasifikasikan atau mengkategorikan data itu.

4. Menentukan metode dan periode pengumpulan data.

5. Menentukan frekuensi dari kategori Non Conformance yaitu dengan membuat suatu ringkasan daftar atau tabel yang mencatat frekuensi kejadian dari masalah yang telah diteliti dengan menggunakan Check

Sheet.

6. Mengurutkan menurut frekuensinya yaitu dengan membuat daftar masalah secara berurut berdasarkan frekuensi kejadian dari yang tertinggi sampai yang terendah.

7. Menghitung prosentase dari frekuensi tersebut dengan menghitung frekuensi kumulatif, Prosentase dari total kejadian dan prosentase dari total kejadian secara kumulatif.

46 9. Memutuskan untuk mengambil tindakan peningkatan atas Penyebab

Utama dari masalah yang sedang terjadi tersebut.

Dengan demikian dapat diketahui frekuensi Non Conformance yang paling tinggi, meskipun tidak harus yang paling penting. Diagram Pareto untuk analisis dapat dibagi dua yaitu (Vincent Gaspersz, 2001):

1. Diagram Pareto mengenai Fenomena,

Yaitu yang berkaitan dengan hasil-hasil yang tidak diinginkan dan digunakan untuk mengetahui masalah utama yang ada. Misalnya:

- Kualitas: kerusakan, kegagalan, keluhan, perbaikan dan lain-lain. - Biaya: jumlah kerugian, ongkos pengeluaran dan lain-lain.

- Delivery: penundaan delivery, keterlambatan pembayaran dan lain-lain. - Keamanan: kecelakaan, kesalahan, gangguan dan lain-lain.

2. Diagram Pareto mengenai Penyebab,

Yaitu yang berkaitan dengan penyebab dalam proses dan dipergunakan untuk mengetahui apa penyebab utama dari masalah yang ada. Misalnya:

- Operator: umur, pengalaman, ketrampilan, sifat individual dan lain-lain.

- Mesin: peralatan, istrumen dan lain-lain.

- Bahan Baku: pembuatan bahan baku, macamnya dan lain-lain.

- Metode Operasi: kondisi operasi, metode kerja, sistem pengaturan dan lain-lain.

47 Kegunaan Pareto Diagram adalah:

a. Menunjukkan prioritas sebab-sebab kejadian atau persoalan yang perlu ditangani. Pareto Chart dapat membantu kita untuk memusatkan perhatian pada persoalan utama yang harus ditangani dalam upaya perbaikan.

b. Menunjukkan hasil upaya perbaikan. Sesudah dilakukan tindakan korektif berdasarkan prioritas, kita dapat mengadakan pengukuran ulang dan membuat Pareto Chart yang baru. Apabila terdapat perubahan dalam Pareto Chart yang baru itu, maka tindakan korektif tersebut ada dampaknya.

c. Menyusun data menjadi informasi yang berguna. Dengan Pareto

Chart sejunlah data yang besar dapat disaring menjadi informasi yang signifikan.

14. Fish Bone Diagram (Ishikawa Diagram)

Diagram Ishikawa (disebut juga diagram tulang ikan atau diagram sebab-akibat) adalah diagram yang menunjukkan penyebab peristiwa tertentu. Setiap penyebab atau alasan ketidaksempurnaan merupakan sumber dari permasalahan. Penyebab umumnya dikelompokkan ke dalam kategori utama untuk mengidentifikasi sumber-sumber masalahnya. Kategori biasanya meliputi:

Manusia : Siapa saja yang terlibat dengan proses

Metode : Bagaimana proses yang dilakukan dan persyaratan khusus untuk melakukannya, seperti kebijakan, prosedur, aturan, peraturan dan hukum

48

Mesin: Peralatan, komputer, peralatan dan lain-lain yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan

Material : bahan baku, suku cadang, pena, kertas, dll yang digunakan untuk menghasilkan produk akhir

Pengukuran: Data yang dihasilkan dari proses yang digunakan untuk mengevaluasi kualitas

Lingkungan: Kondisi, seperti lokasi, waktu, suhu, dan budaya di mana proses tersebut beroperasi.

Diagram Ishikawa berbentuk fishbone yang menunjukkan faktor Peralatan, Proses, Manusia, Bahan, Lingkungan dan Manajemen. Itu semua merupakan masalah yang mempengaruhi keseluruhan. Panah kecil menghubungkan sub-penyebab penyebab utama. Ishikawa diagram yang diajukan oleh Kaoru Ishikawa pada tahun 1960. Ia mempelopori proses manajemen mutu di galangan kapal Kawasaki, dan merupakan salah satu pencetus teori manajemen modern. Diagram Ishikawa pertama kali digunakan pada tahun 1960, dan dianggap sebagai salah satu dari tujuh alat dasar kontrol kualitas. Diagram ini dikenal sebagai diagram fishbone karena bentuknya mirip dengan kerangka dasar ikan.

49 2.4.4 Pengukuran kinerja perusahaan Lean Sigma

Dalam penerapannya, perusahaan yang telah menerapkan konsep Lean

Sigma menggunakan beberapa tool dari konsep Lean dan konsep Six Sigma untuk mengukur kinerja dari sistem bisnis mereka, apakah proses yang ada sudah benar-benar efisien, efektif dan sesuai dengan target performance yang diharapkan. Berikut adalah beberapa tool yang digunakan dalam penelitian skripsi ini :

1. Mengukur kemampuan proses (process capability) dengan menggunakan statistical process control (SPC). Kemampuan proses adalah kemampuan sebuah proses untuk memenuhi spesifikasi desain yang ditetapkan oleh desain rekayasa atau permintaan costumer. Walaupun suatu proses terkendali secara statistik, output yang dihasilkan belum tentu sesuai dengan spesifikasi. Ada dua pengukuran kuantitatif yang populer digunakan untuk menetapkan apakah sebuah proses mampu, dua metode itu adalah :

1. Rasio kemampuan proses (process capability ratio = Cp).

Proses dapat dikatakan mampu apabila nilainya jatuh diantara spesifikasi atas dan bawah. Hal ini berarti kemampuan proses berada dalam ±3 standar deviasi dari rata-rata proses. Karena rentangan nilai adalah 6 standar deviasi, maka toleransi sebuah proses yang mampu, yaitu perbedaan antara spesifikasi atas dan bawah harus lebih atau sama dengan 6. Rasio kemampuan proses, Cp dihitung sebagai berikut :

50 Dimana standar deviasinya dihitung dengan menggunakan rumus :

Sebuah proses yang mampu adalah proses yang memiliki Cp paling sedikit 1,0. Jika Cp kurang dari 1,0, maka proses menghasilkan produk atau jasa yang berada diluar toleransi yang diperbolehkan. Dengan Cp 1,0; 2,7 komponen dari 1000 diharapkan berada “diluar spesifikasi”. Semakin tinggi rasio kemampuan proses, semakin besar kecendrungan proses berada dalam spesifikasi desain. Cp berkaitan dengan penyebaran output proses relatif terhadap toleransinya, Cp tidak melihat seberapa baik rata-rata sebuah proses berada di tengah nilai target.

2. Indeks kemampuan proses (process capability index = Cpk).

Indeks kemampuan proses, Cpk menghitung perbandingan antara dimensi yang diinginkan dan yang aktual dari suatu produk atau jasa yang diproduksi. Formula Cpk adalah :

51 Dimana :

X = Rata-rata proses σ = Standar deviasi proses

Di saat indeks Cpk = 1,0 , variasi proses berada di tengah-tengah antara batas spesifikasi atas dan bawah, dan proses mampu menghasilkan dalam ±3 standar deviasi (kurang dari 2700 kecacatan per sejuta). Cpk = 2,0 berarti proses mampu memproduksi kurang dari 3,4 kecacatan per sejuta.

Saat sebuah proses berada di tengah antara batas spesifikasi atas dan bawah, rasio kemampuan proses akan sama dengan indeks kemampuan proses. Walaupun demikian, indeks Cpk menghitung kemampuan aktual sebuah proses, baik rata-rata proses berada di tengah batas spesifikasi maupun tidak.

2. Quality Productivity Ratio. Pada tahun 1978, Mali mendefinisikan

secara terintegrasi antara produktivitas dan efisiensi. Produktivitas didefinisikan efisiensi penggunaan sumber-sumber daya (input) dalam menghasilkan barang dan/atau jasa (output). Efektivitas didefinisikan pencapaian tujuan, dengan kata lain bagaimana sebaiknya suatu hasil (output) dicapai akan merefleksikan efektivitas. Sedangkan efisiensi berkaitan dengan bagaimana sebaiknya sumber-sumber daya (input) digunakan untuk mencapai hasil (output). Produktivitas merupakan

52 kombinasi antara efektivitas dan efisiensi. Namun dalam perkembangan selanjutnya, terutama berkembangnya konsep integrasi Lean dengan Six

Sigma (Lean Sigma), pengukuran produktivitas sederhana yang hanya berdasarkan rasio output fisik terhadap input fisik dipandang tidak cukup merefleksikan kinerja peningkatan proses. Konsep Lean Sigma mulai menggunakan indikator quality-productivity ratio sebagai salah satu pengukuran kinerja terintegrasi (integrated performance measurement). Berikut adalah formula yang sering digunakan dalam pengukuran produktivitas konsep lean sigma :

Q-P ratio = (Banyaknya unit produk berkualitas) / {( Banyaknya unit output x ongkos produksi per unit) + (Banyaknya unit cacat yang diproduksi x ongkos pengerjaan kembali per unit)}.

Dalam dokumen BAB II LANDASAN TEORI (Halaman 29-45)

Dokumen terkait