• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isu Kespro dalam Pilkada

Dalam dokumen advokasi (Halaman 72-79)

Oleh: Farid Husni*

Bulan Juni 2005 ini di beberapa kota dan kabupaten di Jawa Tengah

melaksanakan pilkada secara langsung. Dalam berbagai kesempatan para calon walikota dan bupati mulai menggulirkan berbagai macam isu strategisnya sebagai penjabaran dari visi dan misinya bila kelak terpilih.

Dalam sosialisasi tersebut paling tidak ada empat isu strategis yang sering diangkat sebagai bahan untuk menarik masyarakat agar mendukungnya. Pertama masalah ekonomi mencakup upaya pertumbuhan, investasi dan mengatasi pengangguran. Kedua, pendidikan tentang peningkatan kualitas, perbaikan infrastruktur, sekolah murah, beasiswa dan kesejahteraan guru. Ketiga, kesehatan tentang pelayanan murah dan mudah diakses segala lapisan masyarakat dan pembangunan fasilitas. Keempat adalah isu yang bersifat lokal dan spesifik.

Sejauh ini ternyata tidak ada satu pun calon walikota atau bupati yang secara khusus mengagendakan isu kesehatan reproduksi (kespro) sebagai bahan untuk menarik calon pendukungnya. Isu kesehatan lebih diartikan sebagai persoalan biaya, akses, dan pembangunan fasilitas kesehatan.

Menurut WHO, kespro diartikan sebagai keadaan kesehatan fisik, mental dan sosial seseorang secara keseluruhan dan bukan saja terbebas dari penyakit maupun kelemahan dalam hal berkaitan dengan sistem reproduksi, fungsi dan prosesnya. Dari definisi tersebut jelas persoalan kesehatan reproduksi sebenarnya memerlukan prioritas dan juga menyangkut hak-hak reproduksi. Dengan melaksanakan isu ini diharapkan setiap orang bisa mendapatkan kepuasan dan keamanan dalam kehidupan seksualnya. Artinya bila mereka mempunyai kemampuan untuk bereproduksi secara bebas sesuai dengan

keadaan dirinya. Bisa dibayangkan bagaimana resahnya masyarakat ataupun individu bila proses reproduksinya terganggu, tentu sulit mengharapkan lahirnya generasi penerus yang sehat dan berkualitas. Dalam jangka panjang akan sangat merugikan bangsa. Bangsa bangsa lemah dan tidak berkualitas baik dari segi pendidikan dan kesehatan maupun ekonomi. Logis akibatnya adalah, sudah bodoh, sakit-sakitan dan miskin pula. Lengkap penderitaannya. Mengingat betapa pentingnya hal tersebut diperhatikan di masa global sekarang, banyak organisasi dunia seperti PBB, WHO, UNDP, UNFPA, dan UNAIDS memberikan prioritas dan perhatian khusus pada isu ini. Diharapkan setiap negara memberikan perhatian dan anggaran yang memadai untuk melaksanakannya.

Enam Masalah

Di Jawa Tengah paling tidak ada enam masalah kesehatan reproduksi yang perlu diperhatikan secara serius. Pertama tentang KB. Jumlah penduduk Jateng tahun 2003 tercatat 32.052.840 jiwa terdiri atas 49,78% laki-laki dan 50,22% perempuan. Jumlah peserta KB saat ini 70,41%. Berarti ada 28,59% yang tidak menjadi peserta KB dengan berbagai alasan.

Para peserta KB tersebut 85,73% menggunakan non - metoda kontrasepsi jangka panjang (Non-MKJP) seperti pil, suntik, kondom. Sisanya 14,27% menggunakan MKJP seperti IUD, inplant dan sterilisasi. Dari data tersebut permasalahan yang muncul adalah, timbulnya kemungkinan kegagalan kontrasepsi baik sebagai akibat perilaku akseptor yang tidak disiplin, langkanya kontrasepsi karena mahal maupun karena sebab-sebab lain. Bila hal ini terjadi akibatnya muncul ledakan penduduk yang tidak terkendali, sehingga pertumbuhan ekonomi berapa persen pun akan habis “dimakan” oleh pertumbuhan penduduk, sehingga pembangunan ekonomi menjadi sia-sia. Kedua, angka kematian ibu dan anak. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi Jateng, angka kematian ibu tahun 2003 menunjukkan 116,12 per seratus ribu kelahiran hidup. Artinya, setiap 100.000 ibu yang melahirkan dalam setiap tahunnya sebanyak 116,12 ibu meninggal akibat melahirkan. Penyebab utama adalah 4 terlalu dan 3 terlambat. Yaitu terlalu muda punya anak, terlalu banyak melahirkan, terlalu rapat melahirkan, dan terlalu tua. Sedangkan 3 terlambat yaitu terlambat mengenal tanda bahaya dan mengambil keputusan, terlambat mencapai fasilitas kesehatan, dan terlambat mendapatkan fasilitas pelayanan kesehatan. Sedangkan angka kematian bayi 31 per seribu kelahiran hidup pada

tahun 2003. Dengan angka tersebut maka permasalahan pendidikan masyarakat tentang kehamilan dan proses persalinan dengan melibatkan laki-laki sebagai suami belum berjalan dengan semestinya.

Ketiga adalah HIV-AIDS. Kasus HIV-AIDS jumlahnya setiap tahun meningkat. Bila tahun 2003, tercatat 98 kasus HIV dan 3 kasus AIDS, pada tahun 2004 naik menjadi 130 kasus HIV dan 19 kasus AIDS. Kenaikan kasus inil mengkhawatirkan. Dari cara penularan 57,45% dari faktor heteroseksual, 31,91% dari intra drug user (IDU) atau penggunaan jarum suntik secara berganti-ganti untuk pengguna narkoba suntik, 8,51% dari faktor homoseks, dan 2,13% dari sebab perinatal. Sebaran daerah kasus HIV-AIDS sudah hampir menjangkau ke seluruh wilayah Jateng. Dari 35 kota/kabupaten, hanya ada 3 kabupaten yang belum ditemukan laporan kasus ini, yaitu Brebes, Purworejo, dan Kudus. Mengenai jenis kelamin para pengidap kasus HIV sebanyak 73% perempuan sisanya sebesar 27% adalah laki-laki, sedangkan pada kasus AIDS sebesar 61% adalah laki-laki, dan 38% adalah perempuan.

Keempat adalah kesehatan reproduksi remaja. Dari penelitian yang dilakukan oleh Youth Center Pilar PKBI Jawa Tengah diperoleh data perilaku remaja dalam berpacaran yaitu, saling ngobrol 100%, berpegangan tangan 93,3%, mencium/ kening 84,6%, berciuman bibir 60,9%, mencium leher 36,1%, saling meraba (payudara dan kelamin) 25%, dan melakukan hubungan seks 7,6%. Khusus untuk yang melakukan hubungan seks, pasangannya pacar adalah 78,4%, teman 10,3% dan pekerja seks 9,3%. Alasan mereka melakukan hubungan seks adalah coba-coba 15,5%, sebagai ungkapan rasa cinta 43,3% dan memenuhi kebutuhan biologis 29,9%.

Masalah lainnya adalah rendahnya pengetahuan para remaja tentang pengetahuan kespro. Mereka lebih memercayai sumber-sumber informasi yang tidak sepatutnya untuk dijadikan bahan rujukan, karena memang menyesatkan, di antaranya adalah VCD porno, internet, dan media massa baik dalam bentuk koran maupun tabloid.

Sekolah yang seharusnya bisa dijadikan tempat untuk memberikan informasi kepada siswanya dengan alasan-alasan tertentu justru menjadi sebaliknya. Akhirnya remaja lebih akrab untuk mengakses berbagai informasi yang tidak

Kelima adalah pemberdayaan perempuan dan kekerasan terhadap perempuan. Akses perempuan pada pendidikan SD dan SMA lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Pada jenjang pendidikan SD angka akses pendidikan perempuan mencapai 91,77%, laki-laki mencapai 94,23%. Sedangkan untuk SMA angka 50,70% untuk perempuan dan untuk laki-laki mencapai 53,49%. Sedangkan untuk SMP angka akses pendidikan perempuan dan laki-laki relatif seimbang.

Di bidang angkatan kerja partisipasi perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki yaitu 84,67% dan 53,45% untuk perempuan. Di bidang politik partisipasi perempuan belum menunjukkan peran yang maksimal. Untuk Badan Perwakilan Desa hanya sebesar 4,66%, sebagai kepala desa sebesar 2,29% dan DPRD provinsi hanya sebesar 15%. Khusus mengenai kekerasan terhadap perempuan data dari Badan Pemberdayaan Masyarakat (Bapermas) Jawa Tengah tahun 2004 tercatat 310 kasus yang meliputi 79 kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), 195 perkosaan, 3 pelecehan seksual, 24 kekerasan terhadap buruh migran, 36 prostitusi, 4 trafficking, dan 59 kasus kekerasan dalam pacaran.

Keenam adalah lansia atau lanjut usia. Jumlah penduduk lansia meningkat dari tahun ke tahun. Bila tahun 2003 jumlahnya 6,36% namun dalam tahun 2004 menjadi 6,43%. Meningkatnya jumlah lansia ini salah satunya disebabkan meningkatnya angka harapan hidup penduduk Jateng dari 68,2 tahun 2000 menjadi 69,3 pada tahun 2004. Dengan data tersebut muncul berbagai kebutuhan akses pelayanan kespro untuk lansia, karena mereka memang masih tergolong seksual aktif meski derajatnya berbeda bila dibandingkan saat usia 40 tahun. Selain itu para lansia juga membutuhkan kegiatan penunjang untuk mendukung keberadaannya.

Masalahnya adalah mengapa keenam masalah tersebut tidak diminati dan bahkan jarang disosialisasikan sebagai isu strategis para calon wali kota dan bupati. Alasan pertama adalah melaksanakan program kespro membutuhkan waktu yang cukup lama untuk melihat hasilnya. Ini adalah investasi SDM yang hasilnya tidak bisa dilihat secara cepat. Sementara masa jabatan walikota dan bupati adalah 5 sampai 10 tahun bila yang bersangkutan berhasil dipilih kembali.

Alasan kedua yaitu kebutuhan biaya yang cukup besar. Di awal program ini dijalankan banyak membutuhkan biaya yang cukup besar misalnya untuk

penyediaan alat kontrasepsi, sementara di era otonomi daerah meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) menjadi isu utama para anggota legislatif. Bila melaksanakan program lain, katakanlah membangun pasar, atau akses jalan akan mendatangkan penghasilan untuk daerah tersebut, maka program ini akan kebalikannya justru akan banyak mengeluarkan biaya dan tentunya hal ini akan mengganggu PAD.

Alasan ketiga yaitu adanya anggapan menjalankan program kespro sarat bersinggungan dengan kepentingan moral. Sebagai contoh bila seorang calon walikota atau bupati menyetujui adanya lokalisasi dan pemakaian kondom di tempat tersebut, maka lawannya akan dengan mudah menjatuhkannya dengan menyebarkan informasi bahwa hal tersebut sebagai upaya untuk melegalkan perzinaan, padahal tujuan sesungguhnya adalah mengurangi dan melokalisasi penyebaran kasus Infeksi Menular Seksual (IMS) dan HIV/AIDS agar tidak terjadi di masyarakat.

Tersedianya anggaran yang memadai untuk mendukung hal tersebut, misalnya untuk pembelian alat kontrasepsi, obat anti-retroviral (ARV) bagi pengidap HIV-AIDS untuk masyarakat miskin, dan untuk membiayai kegiatan dalam rangka membangun sistem pelaksanaan kesehatan reproduksi di masyarakat.

Contoh lainnya adalah bila ada kebijakan memberikan pendidikan kespro

remaja di sekolah, hal itu oleh lawan-lawan politiknya dianggap sebagai upaya memberikan pelajaran kepada anak dan remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah.

Yang Dilakukan

Lalu apa yang bisa dilakukan oleh para calon walikota dan bupati? Harus ada kesepakatan dan kesadaran bersama para stakeholders bahwa membangun masyarakat haruslah ada keseimbangan antara pembangunan yang bersifat fisik dan non fisik.

Dari aspek non fisik selain penanaman nilai-nilai moral, maka memberikan komitmen untuk melaksanakan kesehatan reproduksi terutama pada enam area tersebut di atas menjadi penting untuk dijadikan kebijakan para calon walikota atau bupati kelak bila terpilih. Pembangunan SDM haruslah dimulai semenjak dalam kandungan, menyangkut proses dan upaya perawatannya,

Oleh karena itu hak-hak reproduksi yang merupakan hak asasi manusia (HAM) yang diakui secara hukum internasional dan nasional adalah hak-hak dasar bagi pasangan maupun individu untuk secara bebas dan bertanggung jawab menjalankan fungsi-fungsi reproduksinya, yang terbebaskan dari diskriminasi, pemaksaan, dan kekerasan. Hak-hak tersebut di dalamnya termasuk untuk mendapatkan informasi dan pelayanan kepada siapa pun, baik laki-laki, perempuan termasuk kepada remaja. Dengan demikian ada dua langkah yang bisa dilakukan.

Pertama, kebijakan memberikan informasi yang benar dan komprehensif serta terjaminnya pelayanan kesehatan reproduksi yang non diskriminatif. Kebijakan tersebut adalah tersedianya alat kontrasepsi yang murah dan dalam jumlah yang memadai serta tersedianya informasi yang cukup kepada para peserta KB untuk menentukan jenis kontrasepsi yang sesuai dengan keadaan dirinya. Kedua, tersedianya informasi yang cukup tentang proses kehamilan dan proses kelahiran di berbagai pelosok kota yang melibatkan laki-laki, dengan didukung sarana pelayanan kesehatan dan tenaga kesehatan yang memadai dan terlatih sesuai dengan standar.

Khusus untuk kesehatan reproduksi remaja adalah, adanya kebijakan memasukkan kurikulum pendidikan kespro remaja sebagai muatan lokal di seluruh jenjang sekolah. Sedangkan untuk permasalahan HIV-AIDS adalah adanya kewajiban pemakaian kondom bagi mereka yang perilaku hubungan seksnya berisiko (dengan banyak pasangan) di lokalisasi. Selain itu tersedianya anggaran yang memadai untuk mendukung hal tersebut, misalnya untuk pembelian alat kontrasepsi, obat anti-retroviral (ARV) bagi pengidap HIV-AIDS untuk masyarakat miskin, dan untuk membiayai kegiatan dalam rangka membangun sistem pelaksanaan kesehatan reproduksi di masyarakat.

Perempuan

Di bidang pemberdayaan perempuan diharapkan adanya kebijakan yang berpihak kepada perempuan, antara lain menyediakan beasiswa khusus untuk perempuan untuk meneruskan sekolah dengan alasan semata-mata masalah ekonomi.

Kebijakan mengenai lansia, adalah tersedianya sarana dan prasarana terutama layanan medis agar kualitas hidupnya lebih meningkat dan terbebas dari osteoporosis.

Pada akhirnya, siapa pun yang terpilih sebagai wali kota dan bupati akan menghadapi masalah ini meski derajatnya berbeda antara satu kota dengan kota lainnya. Oleh karena itu semenjak para calon walikota dan bupati mencalonkan, harus ada niatan dan kepedulian yang kuat bahwa melaksanakan program kespro pada dasarnya adalah merupakan investasi pembangunan manusia terutama menyiapkan generasi.

PENGERTIAN DAN STRATEGI

Dalam dokumen advokasi (Halaman 72-79)

Dokumen terkait