• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesehatan Reproduksi Remaja Bagi Mahasiswa *

Dalam dokumen advokasi (Halaman 68-72)

Farid Husni**

Data dan Fakta

M

enurut data statistik, jumlah penduduk di Jawa Tengah pada tahun 2002 mencapai 31.691.866 jiwa, terdiri dari 15.787.143 (49,81 %) laki-laki dan 15.904.723 (50,19 %) perempuan. Dari jumlah tersebut, sekitar 9.019.505. (28,46 %) adalah mereka yang berusia anak/remaja. Jumlah ini relatip cukup besar karena mereka akan menjadi generasi penerus yang akan menggantikan kita dimasa yang akan datang. Status/keadaan kesehatan mereka saat ini akan sangat menentukan kesehatan mereka di saat dewasa khususnya bagi perempuan terutama bila mereka menjadi ibu dan melahirkan.

Data Potensi Jawa Tengah (Pemerintah Propinsi Jawa Tengah) tahun 2004/2005, jumlah mahasiswa/i di Jawa Tengah mencapai 280.473 orang terdiri dari 113.445 orang mahasiswa negeri dan 167.028 orang mahasiswa swasta, suatu jumlah yang cukup besar. Studi mengenai perilaku pacaran mahasiswa yang dilakukan oleh Youth Center PILAR PKBI Jawa Tengah tahun 2002, menunjukkan 7.6 % mahasiswa melakukan perilaku seksual hubungan seks. Selain itu data hasil polling mahasiswa di Undip Semarang tahun 2006, menunjukkan bahwa 9,86 % mahasiswa melakukan perilaku hubungan seksual. Dari survey yang dilakukan Youth Center PILAR PKBI Jawa Tengah khususnya tahun 2004 di Semarang mengenai pengetahuan mahasiswa mengenai aspek kesehatan reproduksi mengungkapkan bahwa, dengan pertanyaan-pertanyaan tentang proses terjadinya bayi, Keluarga Berencana, cara-cara pencegahan IMS HIV-AIDS, anemia, cara-cara merawat organ reproduksi, dan pengetahuan fungsi organ reproduksi diperoleh informasi, bahwa 43,22 % pengetahuannya rendah, 37,28 % pengetahuan cukup sedangkan 19,50 % pengetahuanya memadai.

Meski perilaku seksual mahasiswa yang melakukan hubungan seks ini masih di bawah 10 %, namun memberikan implikasi yang besar bagi masa depannya. Apalagi di tambah dengan tingkat pengetahuan para mahasiswa mengenai kesehatan reproduksi belumlah seperti yang diharapkan, maka permasalahan kesehatan reproduksi remaja menjadi lebih kompleks dalam penangananya. Bila melihat angka-angka fakta tersebut diatas, angka para mahasiswa yang melakukan seksual aktif (melakukan hubungan seks) rata-rata di bawah 10 %, sisanya melakukan perilaku seksual yang tidak melakukan hubungan seks. Namun lihatlah fakta yang terungkap dalam data dibawah ini:

Perilaku seks intercourse (Data YC PILAR th 2002) 7,6%

Perilaku seks intercourse (Data DCC th 2006) 9,86%

Perilaku seks petting (Data YC PILAR th 2002) 25%

Perilaku seks petting (Data DCC th 2006) 30,3%

Bila disepakati dua perilaku seks tersebut sebagai pembanding, maka ada kecenderungan angkanya naik. Kenaikan angka ini merupakan pertanda, bahwa permasalahan kesehatan reproduksi remaja di lingkungan mahasiswa merupakan sesuatu yang perlu mendapatkan perhatian dari berbagai pihak, terutama dari pihak otoritas dunia pendidikan tinggi, yang harus lebih pro aktif untuk melakukan pemberdayaan kepada mahasiswanya, agar mampu menjadikan mahasiswanya menghindari permasalahan kehamilan yang tidak dikehendaki dan terinfeksi HIV-AIDS.

Apa yang Harus Dilakukan ?

Prinsip mencegah lebih baik dari pada mengobati menjadi penting untuk sesegera mungkin dapat dilaksanakan. Paling tidak ada dua Program yang harus dilakukan yaitu :Pencegahan dan Upaya Advokasi baik secara internal maupun eksternal.

Program Pencegahan perlu dilakukan melindungi mahasiswa dari perilaku seksual yang tidak bertanggung jawab yang mengakibatkan terjadinya: kehamilan yang tidak dikehendaki (KTD) dan terjadinya penularan infeksi menular seksual (IMS ), HIV dan AIDS. Untuk mendukung program pencegahan tersebut, maka ada kegiatan-kegiatan yang harus dilakukan:

1. Kegiatan Pelatihan bagi Mahasiswa sebagai relawan untuk mahasiswa yang lain (Pelatihan PE /Peer Educator)

2. Pendidikan Kesehatan Reproduksi Remaja bagi mahasiswa, melalui kegiatan ceramah, konseling, dan juga kegiatan edukasi lainnya

3. Kegiatan Edutainment, (Kegiatan Pendidikan yang menghibur) yang diikuti oleh banyak orang, dan menggabungkan antara kegiatan pendidikan dengan kegiatan entertainment, sifatnya masal, dan biasanya berlangsung di tempat terbuka. Misalnya Penyuluhan HIV-AIDS diikuti dengan pentas musik. Ini sesuatu yang sangat digemari oleh para mahasiswa di kampusnya.

Apa yang tercantum pada butir 1 sd 3 adalah untuk kegiatan pencegahan khususnya untuk mereka yang kegiatan seksualnya non aktif. Sekarang bagaimana dengan kegiatan untuk mereka-mereka yang secara seksual sudah aktif yaitu mereka yang sudah melakukan hubungan seks?. Memberikan pilihan solusi agar mereka menghentikan perilaku hubungan seksnya bukan sesuatu yang mudah, bahkan hampir tidak mungkin dilakukan. Apa mungkin kita dapat mengontrol perilaku seksual mereka secara langsung dalam 24 jam sehari. Adalah sesuatu yang sangat mustahil untuk dilaksanakan. Oleh jumlahnya yang masih belum besar (<10 %) maka secara terbatas, perlu diberikan informasi, bagaimana mereka melakukan pencegahan kehamilan, dan penularan IMS, HIV dan AIDS, melalui pengenalan alat kontrasepsi secara bertanggung

jawab kepada mereka. Ini mungkin dianggap sebuah gagasan yang kontroversi,

mengingat apa yang kita ketahui selama ini mengenai alat kontrasepsi hanya terbatas digunakan untuk pasangan suami istri dan pencegahan kehamilan. Padahal faktanya alat kontrasepsi, kondom misalnya, sebenarnya mempunyai fungsi ganda. Pertama sebagai alat pencegahan kehamilan, yang kedua sebagai alat untuk mencegah terjadinya penularan IMS, HIV dan AIDS. Pilihan ini memang sangat dilematis ditengah masyarakat Indonesia yang sangat menghargai nilai-nilai moral. Namun pilihan ini harus diambil, suka atau tidak, setuju atau tidak setuju. Bila tidak setuju dengan pilihan ini, maka kita harus siap menerima konsekuensi dari pilihan ini. Terjadinya KTD dan terjadinya penularan IMS, dan HIV-AIDS hanya menunggu waktu saja.

Namun bila setuju, maka bersiaplah-siaplah menjadi pihak yang akan dihujat, dicaci maki karena dianggap melegalkan perzinahan, dengan mengenalkan pendidikan kontrasepsi bagi remaja (mahasiswa). Sesuatu yang sangat dilematis, namun semuanya tergantung cara kita memandang permasalahan ini.

kesehatan reproduksi remaja bagi mahasiswa/i adalah investasi sumberdaya manusia dan bersifat jangka panjang. Hasil dari pendidikan ini akan dinikmati saat mereka mungkin sudah tidak menjadi mahasiswa/i lagi. Dari aspek sumberdaya manusia, memiliki mahasiswa yang cerdas dan mampu melindungi dari Kehamilan, narkoba, HIV-AIDS adalah menjadi cita-cita mulia dari Universitas. Oleh karena itu universitas perlu mendukung kegiatan ini dengan memberikan peluang dan kebijakan. Pendirian pusat informasi kesehatan reproduksi menjadi sebuah kebutuhan di lingkungan universitas di era yang serba global saat ini. Oleh karena itu perlu dukungan dalam bentuk regulasi, kebijakan dan dukungan dana untuk menjalankan ini. Kegiatan advokasi eksternal perlu juga dilakukan untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan lokal maupun nasional, agar tercipta situasi yang kondusif untuk remaja dalam menjalankan kegiatannya. Misalnya kebijakan mengenai kebebasan media cetak/elektronik dalam melakukan penerbitan/siaran, dapat menjadi area advokasi. Selain itu perlu juga dukungan regulasi-regulasi lokal yang memberikan kewajiban kepada Universitas, untuk memberikan alokasi waktu, sumberdaya, dan kebijakan dalam program pendidikan kesehatan reproduksi remaja bagi mahasiswa di lingkungan universitas masing-masing. Tujuan yang akan dicapai adalah agar para mahasiswa dapat melindungi diri sendiri dari masalah kehamilan, narkoba, HIV-AIDS, serta IMS.

Posisi mahasiswa sebagai agen perubahan sosial di banyak negara, termasuk di Indonesia sebenarnya mempunyai peran yang sangat strategis untuk melakukan advokasi agar terjadi perubahan-perubahan kebijakan seperti yang diperjuangkan. Masalahnya, tidak semua mahasiswa mengerti mengenai isu kesehatan reproduksi, kemudian tidak semua mahasiswa sepakat dengan isu agenda apa yang akan diperjuangkan dan isu kesehatan reproduksi sendiri tidak terlalu populer, seperti halnya isu korupsi, hak asasi manusia dan juga isu lingkungan hidup. Karena tidak menarik, dan tidak populer, maka mahasiswa enggan melakukan perannya sebagai agen perubahan sosial, padahal mereka mepunyai potensi untuk melakukan itu. Advokasi sebagai sebuah alat perjuangan untuk mempengaruhi dan merubah kebijakan harus senantiasa dilakukan di berbagai level, mulai dari daerah hingga ke tingkat nasional. Sehingga pada akhirnya akan dapat diwujudkan kebijakan kesehatan reproduksi, khususnya untuk remaja yang kondusif.

Dalam dokumen advokasi (Halaman 68-72)

Dokumen terkait