• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pati merupakan suatu polisakarida yang berfungsi sebagai cadangan energi dan secara luas tersebar di berbagai macam tanaman. Pari tersusun dari unit-unit glukosa. Pati memegang peranan yang penting dalam pengolahan pangan karena mensuplai kebutuhan energi manusia di dunia dengan porsi yang lebih tinggi. Lebih dari 80% tanaman pangan terdiri dari biji-bijian atau umbi-umbian dan tanaman sumber pati lainnya (Greenwood dan Munro 1979 , diacu dalam Muchtadi et al. 1979).

Sifat pati jagung berbeda dengan tepung jagung yang komposisinya masih lengkap. Pati jagung atau yang dikenal dengan nama dagang maizena merupakan produk utama dari penggilingan jagung dengan teknik basah (wet mill). Perbedaan yang signifikan antara tepung jagung dan pati jagung terletak pada kandungan protein, lemak dan kadar abu. Tepung jagung memiliki kandungan kimia yang masih lengkap, sedangkan pada pati jagung sudah dipisahkan dan sebagian hilang pada proses pencucian. Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama, yaitu amilosa, amilopektin dan intermediet

15 materials (Hallauer 2001). Pada pati biji-bijian bahan antara yang dikandung lebih besar dibandingkan dengan pati batang dan pati umbi (Greenwood 1975, diacu dalam Muchtadi et al. 1979).

1. Amilosa

Amilosa merupakan polimer linear dari α-D glukosa yang dihubungkan dengan ikatan α-(1-4)-D-glukosa. Amilosa umumnya dikatakan sebagai bagian linear dari pati, tetapi sebenarnya amilosa juga memiliki cabang. Titik cabang amilosa berada pada ikatan α-(1-4). Hanya saja derajat percabangannya sangat rendah. Dalam satu rantai linear, cabang-cabang amilosa berada pada titik yang sangat jauh dan sedikit (Hoseney 1988).

Amilosa terdiri dari 50-300 unit glukosa. Berat molekul amilosa beragam tergantung pada sumber dan metode ekstraksi yang dipergunakan. Secara umum, amilosa yang diperoleh dari umbi-umbian dan pati batang mempunyai berat molekul yang lebih tinggi dibandingkan dengan amilosa pada pati biji-bijian (Hoseney 1998).

2. Amilopektin

Amilopektin merupakan polimer yang memiliki ikatan α-(1-4) pada rantai lurusnya dan memiliki ikatan α -(1-6) pada titik percabangannya. Ikatan percabangan tersebut berjumlah 4-5% dari keseluruhan ikatan yang ada pada amilopektin (Fennema 1976). Amilopektin biasanya mengandung 1000 atau lebih unit glukosa. Berat molekul amilopektin bervariasi tergantung sumbernya (Greenwood dan Munro 1979, diacu dalam Muchtadi et al. 1979).

Dalam produk pangan amilopektin bersifat merangsang terjadinya proses puffing dimana produk makanan yang berasal dari pati yang kandungan amilopektinnya tinggi akan bersifat ringan, poros, garing dan renyah. Sebaliknya, pati yang mengandung amilosa tinggi cenderung menghasilkan produk yang keras dan pejal karena proses puffing terjadi secara terbatas (Fahmi 2007).

16 3. Hubungan Amilosa dan Amilopektin dengan Rheologi Mie

Amilosa dan amilopektin merupakan komponen utama pati yang berperan sebagai rangka struktur pati. Kedua molekul tersebut tersusun oleh beberapa unit glukosa yang saling berikatan. Menurut Harper (1981) amilosa merupakan molekul linear polisakarida dengan ikatan α-(1-4), sedangkan amilopektin merupakan struktur seperti amilosa pada rantai lurusnya tetapi memiliki ikatan α-(1-6) pada cabang yang terdapat pada setiap 20-25 unit glukosa.

Pati jagung normal memiliki kandungan amilosa sekitar 28% merupakan pati yang baik digunakan dalam produksi bihun (Tam et al. 2004). Pasta pati dibentuk dengan cara pemanasan dispersi pati aqueous di atas suhu gelatinisasi (Mita 1992). Pasta dianggap sebagai bahan komposit yang terdiri dari granula yang mengembang yang terdispersi dalam matriks polimer (Morris 1990). Oleh karena itu karakteristik pada fase dispersi, fase kontinyu dan interaksi antara komponen sangat penting untuk mengetahui karakteristik pasta pati (Rao 1999, diacu dalam Chang et al. 2003). Gelatinisasi pasta pati selama pendinginan dan penuaan (aging) melibatkan perubahan dalam amilosa dan amilopektinnya (Mieles et al. 1985).

Selama penyimpanan dalam jangka waktu yang cukup panjang, proses pembentukan struktur (rekristalisasi) amilopektin berperan dalam perubahan tekstural yang tidak diinginkan pada pangan berbasis pati (Kulp dan Ponte 2001). Laju rekritalisai (retrogradasi) tergantung dari beberapa variabel yaitu rasio amilosa dan amilopektin, suhu, konsentrasi pati, keberadaan dan konsentrasi dari bahan organik dan inorganik (Whistler et al. 1984).

Sifat rheologi merupakan salah satu penentu kualitas produk pasta seperti mie. Pada umumnya kualitas mie dengan bahan baku terigu ditentukan oleh kadar protein, terutama gluten. Tingginya rasio glutenin dengan gliadin yang terkandung dalam gluten berkorelasi positif terhadap kualitas pemasakan (Washik and Bushuk 1975, diacu dalam Faubion 1990). Namun, pada mie dengan bahan baku tepung jagung, sifat rheologi dipengaruhi oleh kandungan amilosa dan amilopektin. Hal ini disebabkan karena tepung jagung tidak

17 memiliki gluten seperti halnya terigu yang mampu membentuk adonan yang lengket dan elastis dengan penambahan air (Fadlillah 2005).

Dalam pembuatan mie jagung, karakteristik adonan memanfaatkan pati tergelatinisasi untuk mendapatkan sifat rheologi yang baik. Hal ini berbeda dengan mie terigu yang lebih memanfaatkan keberadaan protein gluten. Sifat rheologi yang diamati dalam pembuatan mie antara lain kekerasan dan kelengketan. Menurut Etikawati (2007), amilosa terlarut akan mempengaruhi tingkat kekerasan mie. Tingginya jumlah amilosa terlarut akan meningkatkan kekerasan mie karena amilosa terlarut akan berikatan satu sama lain dengan matriks pengikat. Selain itu amilosa juga akan mengalami retrogradasi yang dapat meningkatkan kekerasan mie. Kekerasan berhubungan dengan kekenyalan mie setelah rehidrasi (Fadlillah 2005).

Kelengketan pada produk mie jagung dapat diakibatkan oleh lepasnya pati selama proses, gelatinisasi yang tidak sempurna dan rasio amilosa dan amilopektin (Etikawati 2007). Semakin tinggi kadar amilopektinnya, mie akan makin lengket. Pada umumnya pati jagung memiliki kadar amilosa 24-26% dan kadar amilopektin 74-76% (Johnson 1991).

4. Gelatinisasi Pati

Bila pati mentah dimasukan ke dalam air dingin, granula patinya akan menyerap air dan membengkak. Namun, jumlah air yang terserap terbatas begitu pula dengan pembengkakannya. Air yang terserap tersebut hanya dapat mencapai kadar 30%. Peningkatan volume granula pati yang terjadi di dalam air pada suhu 55-65oC merupakan pembengkakan yang sesungguhnya dan setelah pembengkakan ini granula pati dapat kembali pada kondisi semula. Granula pati dapat dibuat membengkak luar biasa tetapi bersifat tidak dapat kembali pada kondisi semula. Perubahan tersebut dinamakan gelatinisasi. Suhu pada saat granula pati pecah disebut suhu gelatinisasi (Winarno 2008).

Pada proses gelatinisasi terjadi perusakan ikatan hidrogen intramolekuler. Ikatan hidrogen ini berfungsi untuk mempertahankan struktur integritas granula. Terdapatnya gugus hidroksil yang bebas akan menyerap molekul air, sehingga terjadi pembengkakan granula pati (Greenwood 1976,

18 diacu dalam Pomeranz 1976). Granula pati bersifat tidak larut air dingin, tetapi menyerap air bila berada dalam kelembaban yang tinggi atau direndam dan akan kembali ke bentuk semula. Apabila campuran pati dengan air dipanaskan hingga di atas suhu kritis, ikatan hidrogen yang mengatur integritas pati akan melemah sehingga air masuk dan terjadi hidrasi terhadap amilosa dan amilopektin (Wurzburg 1989). Menurut Wurzburg (1989) lebih lanjut, ketika granula mengembang, amilosa akan keluar dari granula. Suspensi menjadi bening dan viskositasnya akan meningkat terus hingga mencapai puncak di mana granula pecah dan terpotong-potong membentuk molekul polimer atau agregat dan viskositasnya menurun.

Fenomena gelatinisasi sangat dipengaruhi oleh ukuran granula, kadar amilosa, berat molekul dan struktur miselar granula pati. Suspensi dari pati jagung, tepung terigu, beras, dan bahan lain yang mempunyai kadar amilosa tinggi dapat membentuk gel yang opaque pada saat didinginkan. Suhu gelatinisasi dapat ditentukan dengan Brabender Viscoamylograph dan Differential Scanning Calorimetry (Whitsler 1984). Suhu gelatinisasi berbagai jenis pati dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati *

Sumber pati Suhu gelatinisasi pati (oC)

Beras 65-73 Ubi jalar 82-83 Tapioka 59-70 Jagung 61-72 Gandum 53-64 * Sumber : Fennema (1996)

5. Sifat Pati yang Diinginkan untuk Produk Mie

Sifat fungsional pati akan sangat menentukan kualitas mie yang dihasilkan. Hal tersebut disebabkan karena sifat fungsional ini berkaitan dengan pembentukan adonan dan kualitas tekstur mie. Menurut Lii dan Chang (1981) diacu dalam Collado et al. (2001), pati yang ideal untuk produk mie adalah pati yang memiliki swelling power dan kelarutan yang terbatas serta memiliki kurva viskositas Brabender yang tidak memperlihatkan puncak pada

19 viskositas maksimum, namun viskositasnya cenderung tinggi dan tetap dipertahankan atau meningkat selama pemanasan. Selain itu karakter pati yang baik untuk mie adalah pati yang stabil terhadap panas dan pengadukan bahkan cenderung mengalami peningkatan selama pemanasan serta memiliki nilai persen sineresis yang rendah (Chen et al. 2003), memiliki viskositas yang tinggi pada suhu rendah dan cepat mengalami retrogradasi (Tam et al. 2004).

Mie yang dihasilkan dari pati dengan karakter seperti yang disebutkan di atas memiliki kualitas cooking loss yang rendah, untaian mie yang kuat dan kompak, elastis, serta kelengketan yang rendah (Collado et al. 2001; Purwani 2006).

Dokumen terkait