• Tidak ada hasil yang ditemukan

H. Penghitungan Jumlah Tanaman Pengayaan pada Jalur Tanam

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

4. Dominansi Jenis

Dominansi suatu jenis terhadap jenis-jenis lain di dalam tegakan dapat dinyatakan dari hasil perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) pada masing-masing jenis. Dominansi spesies menunjukkan tingkat kehadiran, tingkat kesesuaian dan penguasaan suatu jenis dalam ekosistem. Jenis yang dominan adalah jenis yang mempunyai nilai INP tinggi. Indeks Nilai Penting (INP) merupakan indikator yang sesuai untuk melihat pengaruh perubahan jumlah jenis dalam petak pada kondisi virgin ataupun setelah penebangan dan penjaluran.

Menurut Sutisna (2001), suatu jenis sudah dapat dikatakan berperan jika nilai INP pada tingkat semai dan pancang lebih dari 10% sedangkan untuk tingkat tiang dan pohon lebih dari 15%. Tetapi ada kalanya terdapat jenis yang menduduki peringkat bawah jenis yang lain, tetapi peringkat kedua jenis tersebut bisa berubah setelah kegiatan pemanenan hutan. Tabel 9 menyajikan data INP lima besar pada tingkat semai dari kondisi hutan

primer dan kondisi satu tahun setelah kegiatan penebangan dan penjaluran dengan sistem TPTII.

Tabel 9. Perbandingan Nilai Penting Terbesar Tingkat Semai Hutan Primer dengan LOA+1

Kel.

Jenis Dominan Primer Jenis Dominan LOA+1 Semai INP

(%) Semai INP (%)

Datar

Sterculia gilva 24,5 Shorea parvifolia 30,0

Shorea macrophylla 20,6 Shorea macrophylla 22,8

Shorea quadrinervis 19,4 Sterculia gilva 20,7

Syzygium guineense 19,4 Myristica sp. 19,5

Litsea firma 14,9 Litsea firma 17,7

Sedang

Shorea patoeiensis 29,5 Shorea patoeiensis 41,0

Canarium sp. 24,0 Shorea parvifolia 18,5

Shorea macrophylla 21,9 Sterculia gilva 16,9

Sterculia gilva 18,0 Vatica rassak 11,5

Litsea firma 13,8 Cratoxylon formosum 10,5

Curam

Shorea macrophylla 24,5 Syzygium guineense 31,8

Shorea parvifolia 23,4 Sterculia gilva 30,2

Syzygium guineense 17,4 Litsea firma 24,1

Litsea firma 15,6 Shorea parvifolia 21,1

Shorea patoeiensis 15,4 Myristica sp. 10,1

Untuk tingkatan permudaan semai, jenis-jenis dominan dengan nilai INP terbesar tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. Untuk kelerengan datar INP terbesar bergeser dari Jenis Bonetan atau Sterculia gilva menjadi jenis meranti merah atau Shorea sp. sedangkan jenis Bonetan sendiri masih berada di urutan lima besar yakni menduduki peringkat tiga. Untuk kelerengan sedang jenis dengan INP terbesar yakni jenis dengan nama lokal Nyerakat dan nama dagang Meranti Putih atau

Shorea patoeiensis dengan nilai INP meningkat hampir dua kali lipat yakni dari sekitar 29,5% menjadi 41,0%. Sedangkan untuk kelerengan curam INP terbesar bergeser dari jenis tengkawang atau Shorea macrophylla kepada jenis Jambu-jambu atau Syzygium guineense. Secara keseluruhan untuk tingkat semai jenis baru yang menduduki posisi INP teratas diantaranya adalah jenis Dara-dara (Myristica sp), Resak (Vatica rassak) dan Geronggang (Cratoxylon sp).

Tabel 10 menyajikan data INP lima besar pada tingkat pancang dari kondisi hutan primer dan kondisi satu tahun setelah kegiatan penebangan dan penjaluran dengan sistem TPTII.

Tabel 10. Perbandingan Nilai Penting Terbesar Tingkat Pancang Hutan Primer dengan LOA+1

Kel. Jenis Dominan Primer Jenis Dominan LOA+1 Pancang INP (%) Pancang INP (%)

Datar

Syzygium guineense 35,5 Diospyros malam 23,8

Litsea firma 26,2 Syzygium guineense 22,9

Myristica sp. 18,4 Sterculia gilva 21,7

Sterculia gilva 17,5 Litsea firma 20,1

Vatica rassak 13,6 Myristica sp. 19,3

Sedang

Sterculia gilva 22,3 Shorea patoeiensis 24,0

Myristica sp. 21,7 Sterculia gilva 16,6

Vatica rassak 20,4 Shorea parvifolia 14,7

Diospyros malam 17,1 Syzygium guineense 11,4

Litsea firma 14,4 Dillenia excelsa 11,3

Curam

Litsea firma 26,3 Syzygium guineense 19,3

Syzygium guineense 21,0 Litsea firma 18,2

Myristica sp. 16,2 Sterculia gilva 17,7

Sterculia gilva 15,8 Macaranga gigantifolia 16,1

Shorea macrophylla 14,2 Anthocepalus cadamba 14,5

Untuk tingkatan permudaan pancang, jenis-jenis dominan dengan nilai INP terbesar juga tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. Untuk kelerengan datar INP terbesar bergeser dari Jenis Jambu-jambu atau

Syzygium guineense menjadi jenis Kayu Arang atau Diospyros malam

sedangkan jenis Syzygium guineense atau Jambu-jambu sendiri turun satu peringkat dan menduduki tempat kedua INP terbesar. Untuk kelerengan sedang dari jenis dengan INP terbesar yakni jenis dengan nama lokal Bonetan atau Sterculia gilva bergeser menjadi jenis Nyerakat yang lebih dikenal dengan nama dagang Meranti Putih atau Shorea patoeiensis. Untuk kelerengan curam INP terbesar juga mengalami perubahan, yakni bergeser dari jenis Medang atau Litsea firma menjadi jenis Jambu-jambu atau Syzygium guineense. Secara keseluruhan untuk tingkat pancang, jenis baru yang naik menduduki posisi INP lima teratas diantaranya adalah jenis

Tabel 11 menyajikan data INP lima besar pada tingkat tiang dari kondisi hutan primer dan kondisi satu tahun setelah kegiatan penebangan dan penjaluran dengan sistem TPTII.

Tabel 11. Perbandingan Nilai Penting Terbesar Tingkat Tiang Hutan Primer dengan LOA+1

Kel.

Jenis Domminan Primer Jenis Dominan LOA+1 Tiang INP

(%) Tiang

INP (%)

Datar

Syzygium guineense 50,4 Syzygium guineense 33,7

Paraserianthes falcataria 35,6 Litsea firma 24,9

Litsea firma 20,8 Diospyros malam 24,2

Myristica sp. 18,7 Dillenia borneensis 23,7

Sterculia gilva 18,2 Sterculia gilva 22,7

Sedang

Syzygium guineense 37,5 Sterculia gilva 39,6

Paraserianthes falcataria 24,2 Vatica rassak 37,4

Sterculia gilva 22,1 Syzygium guineense 24,0

Litsea firma 21,5 Litsea firma 23,9

Dillenia borneensis 16,9 Myristica sp. 22,2

Curam

Litsea firma 31,2 Syzygium guineense 38,3

Syzygium guineense 26,4 Litsea firma 34,3

Dillenia borneensis 21,6 Dillenia borneensis 24,4

Paraserianthes falcataria 19,7 Paraserianthes falcataria 22,1

Nephelium lappaceum 19,0 Vatica rassak 12,8

Untuk tingkatan permudaan tiang, jenis-jenis dominan dengan nilai INP terbesar tetap tidak banyak mengalami perubahan yang signifikan. Untuk kelerengan datar INP terbesar tetap diduduki oleh jenis Jambu-jambu atau Syzygium guineense hanya nilai INPnya saja yang menurun cukup signifikan yakni dari 50,4% menjadi 33,7%. Untuk kelerengan sedang dari jenis dengan INP terbesar yakni jenis dengan nama lokal Jambu-jambu atau Syzygium guineense bergeser menjadi jenis Bonetan atau Sterculia gilva. Sedangkan untuk kelerengan curam INP terbesar juga mengalami perubahan, yakni bergeser dari jenis Medang atau Litsea firma

menjadi jenis Jambu-jambu atau Syzygium guineense. Penambahan jenis baru yang menduduki INP lima terbesar hanya tampak pada jenis Resak yang dikenal dengan nama latin Vatica rassak.

Tabel 12 menyajikan data INP lima besar pada tingkat pohon dari kondisi hutan primer dan kondisi satu tahun setelah kegiatan penebangan dan penjaluran dengan sistem TPTII.

Untuk tingkatan permudaan pohon, pada kelerengan datar INP terbesar bergeser dari jenis dengan nama dagang meranti merah atau Shorea parvifolia menjadi jenis Jambu-jambu atau Syzygium guineense. Hal ini mungkin terjadi akibat kegiatan penebangan yang mana jenis meranti merah merupakan jenis yang ditebang sehingga menurun nilai INPnya dari 40,9% menjadi 21,7%. Untuk kelerengan sedang jenis Shorea parvifolia

kembali merajai dan kali ini tetap paling mendominasi walaupun nilai INPnya menurun dari sekitar 35,8% menjadi 22,4% pada rentang waktu setahun setelah penebangan. Sedangkan untuk kelerengan curam INP terbesar mengalami perubahan. Bergeser dari jenis dengan nama dagang meranti merah atau Shorea parvifolia berubah menjadi jenis Girik atau

Dillenia borneensis.

Tabel 12. Perbandingan Nilai Penting Terbesar Tingkat Pohon Hutan Primer dengan LOA+1

Kel.

Jenis Domminan Primer Jenis Dominan LOA+1 Pohon INP

(%) Pohon

INP (%)

Datar

Shorea parvifolia 40,9 Syzygium guineense 31,4

Syzygium guineense 30,9 Dillenia borneensis 27,6

Litsea firma 29,9 Shorea macrophylla 25,5

Paraserianthes falcataria 22,5 Shorea parvifolia 21,7

Shorea macrophylla 19,8 Litsea firma 16,5

Sedang

Shorea parvifolia 35,8 Shorea parvifolia 22,4

Shorea macrophylla 31,7 Syzygium guineense 22,1

Syzygium guineense 26,6 Dillenia borneensis 16,5

Paraserianthes falcataria 16,1 Litsea firma 15,5

Dillenia borneensis 15,7 Shorea patoeiensis 14,7

Curam

Shorea parvifolia 25,9 Dillenia borneensis 33,6

Syzygium guineense 23,7 Litsea firma 30,2

Paraserianthes falcataria 21,6 Syzygium guineense 27,4

Shorea macrophylla 20,7 Shorea parvifolia 25,6

Litsea firma 17,7 Shorea macrophylla 16,2

,

Secara keseluruhan untuk tingkat pohon perubahan nilai INP lebih dipengaruhi oleh kegiatan penebangan untuk kayu jenis komersil dan kematian atau kerusakan pohon untuk jenis non komersil. Tidak teramati terjadi perubahan atau penambahan jenis baru yang menduduki INP lima terbesar pada tingkatan permudaan pohon.

Kegiatan penebangan atau produksi hasil hutan kayuhanya dilakukan terhadap kayu komersial yang diijinkan oleh pemerintah untuk ditebang. Pohon-pohon dengan nilai ekonomi tinggi tetapi dilindungi dan bermanfaat lokal tidak akan diproduksi oleh perusahaan.

Tabel 13 menyajikan data INP yang dikelompokkan kedalam tiga jenis yakni, Komersil Tebang (KT), Komersil Tidak Tebang (KTT) yang biasanya merupakan jenis-jenis dilindungi, dan Non Komersil Tidak Tebang (NK).

Tabel 13. Indeks Nilai Penting Kelompok Jenis.

Kondisi Hutan Kelerengan (%)

Kelompok Jenis

Tingkatan Vegetasi (%) Semai Pancang Tiang Pohon

Hutan Primer Datar KT 180,0 172,3 236,4 235,5 KTT 13,7 22,5 58,9 52,3 NK 6,3 5,2 4,7 12,2 Sedang KT 189,2 173,6 241,5 246,5 KTT 6,3 20,7 52,0 41,8 NK 4,5 5,7 6,5 11,7 Curam KT 179,4 175,5 239,5 226,9 KTT 14,0 18,5 49,3 53,5 NK 6,6 6,0 11,2 19,6 Et+1 Datar KT 180,3 177,4 254,9 255,0 KTT 17,1 20,3 38,6 31,4 NK 2,6 2,3 6,5 13,6 Sedang KT 161,2 156,1 249,0 243,7 KTT 33,2 35,9 40,1 38,7 NK 5,6 8,0 10,9 17,6 Curam KT 167,1 148,4 246,9 235,1 KTT 29,3 48,8 45,4 51,7 NK 3,6 2,8 7,7 13,2

Keterangan : KT = Komersil Tebang KTT = Komersil Tak Tebang,

NK = Non Komersil (Lesser Known Timber)

Pada Tabel 13 dapat dilihat INP total pada masing-masing kondisi hutan dan kelerengan yang dikelompokkan berdasarkan jenis-jenis kayu komersil, yang ditebang, komersial tidak ditebang dan non komersil. Secara keseluruhan kondisi hutan dapat dinyatakan bahwa jenis kayu komersil ditebang terlihat sangat mendominasi nilainya jika dibandingkan dengan jenis komersil tidak ditebang. Hal ini dapat membuktikan bahwa potensi kawasan hutan tempat penelitian cukup tinggi.

5. Keanekaragaman Jenis

Untuk mengetahui tingkat keanekaragaman jenis dapat diketahui dengan melihat besarnya nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H’). Tinggi rendahnya nilai H’ mencerminkan tingkatan keanekaragaman pada suatu tegakan. Nilai H’ akan mencapai maksimum jika jenis yang ada pada suatu tegakan mempunyai nilai kualitatif yang sangat besar. Keanekaragaman suatu jenis ditentukan oleh dua komponen yaitu kekayaan jenis dan kemerataan jenisnya (Magurran, 1988). Dan untuk menentukan parameter pertama digunakan Indeks Kekayaan Jenis Margallef (R1). R1 adalah indeks yang menunjukkan kekayaan jenis suatu komunitas. Berdasarkan Magurran (1988) besaran R1<3,5 menunjukkan kekayaan jenis tergolong rendah, 3,5<R1<5,0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong sedang, dan R1>5,0 menunjukkan kekayaan jenis tergolong tinggi. Besarnya R1 untuk masing-masing lokasi plot pengamatan dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14. Indeks Kekayaan Margallef (R1) pada Plot Pengamatan.

Kondisi Hutan

Kelerengan (%)

Tingkatan Vegetasi

Semai Pancang Tiang Pohon

A Datar 4,0 6,1 6,7 7,4 Sedang 5,3 6,0 7,4 7,9 Curam 5,9 5,4 6,2 7,3 D Datar 3,1 4,8 4,9 5,1 Sedang 4,1 4,1 5,9 6,3 Curam 4,5 4,2 5,9 6,6 Keterangan : A = Hutan Primer

D = Hutan Setelah Setahun Penebangan (Et+1)

Dari Tabel 14 terlihat bahwa pada tingkat semai nilai R1 tergolong tinggi terdapat pada kondisi primer sedang dan curam, untuk nilai R1 yang tergolong rendah terdapat pada Et+1 datar dan R1 tergolong sedang terdapat pada kondisi primer datar, Et+1 sedang dan Et+1 curam. Pada tingkatan pancang R1 yang tergolong sedang terdapat pada kondisi E+1 pada semua kelerengan sedangkan pada kondisi primer nilai R1 seluruhnya tergolong tinggi. Pada tingkatan tiang, hampir seluruh nilai R1 tergolong tinggi dengan nilai tertinggi pada kondisi primer sedang. Sedangkan untuk kondisi Et+1 datar nilai R1 tergolong sedang. Dan pada tingkatan pohon seluruh nilai R1 tergolong tinggi dengan nilai R1 tertinggi pada kondisi primer sedang.

Evenness Index (E) atau Indeks Kemerataan menunjukkan ukuran kemerataan proporsi jumlah individu pada setiap spesies yang dijumpai pada suatu komunitas. E juga dapat digunakan sebagai indikator adanya sistem dominansi antara setiap spesies (Magurran, 1988). E pada kondisi hutan primer dan pada kondisi hutan satu tahun setelah penebangan tersaji pada Tabel 15.

Tabel 15. Indeks Kemerataan Jenis (E) pada Plot Pengamatan.

Kondisi Hutan

Kelerengan (%)

Tingkatan Vegetasi

Semai Pancang Tiang Pohon

A Datar 0,9 0,8 0,9 0,8 Sedang 0,7 0,8 0,9 0,9 Curam 0,8 0,8 0,9 0,9 D Datar 0,8 0,8 0,8 0,8 Sedang 0,8 0,8 0,8 0,8 Curam 0,8 0,8 0,9 0,9 Keterangan : A = Hutan Primer

D = Hutan Setelah Setahun Penebangan (Et+1)

Berdasarkan perhitungan dapat dilihat bahwa nilai Indeks Kemerataan (E) pada kondisi primer ataupun Et+1 memiliki nilai diatas 0,6. Dengan demikian maka berdasarkan kriteria Megurran (1988) kedua kondisi hutan tersebut bahwa memiliki nilai kemerataan jenis yang tinggi.

Indeks Nilai Penting masing-masing jenis berkaitan erat dengan Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) dalam petak. Nilai H’ sebenarnya menggambarkan banyaknya jumlah individu jenis dan jumlah jenis. Perhitungan nilai H’ menghasilkan nilai yang berbeda-beda. Perubahan nilai H’ yang terjadi akibat adanya suatu gangguan menyebabkan penurunan nilai H’ pada umumnya. Nilai Keanekaragaman jenis dari setiap tegakan hutan tersaji dalam Tabel 16.

Tabel 16. Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) pada Plot Pengamatan.

Kondisi Hutan

Kelerenga n (%)

Tingkatan Vegetasi

Semai Pancang Tiang Pohon

A Datar 2,8 2,9 3,1 3,2 Sedang 2,6 3,1 3,3 3,4 Curam 2,9 3,0 3,2 3,4 D Datar 2,8 2,9 3,1 3,3 Sedang 2,9 3,2 3,2 3,3 Curam 2,8 3,0 3,1 3,5 Keterangan : A = Hutan Primer

Menurut Magurran (1988) nilai Indeks Keanekaragaman Jenis umumnya berada pada kisaran antara 1,5 – 3,5. Jika nilai Indeks Keanekaragaman Jenis (H’) dibawah nilai 1,5 maka nilai H’ tergolong rendah. Jika nilai H’ berada pada rentang 1,5<H’<3,5 maka tergolong sedang dan jika berada pada nilai diatas 3,5 maka nilai H’ tergolong tinggi. Pada umumnya karena jarang didapati nilai H’ pada suatu kawasan yang tergolong tinggi dan mengingat terlalu lebarnya rentang nilai sedang maka jika suatu nilai H’ mendekati 3,5 maka tingkat keanekaragaman sudah dapat digolongkan cukup tinggi.

Dari tabel 16 terlihat bahwa secara umum keanekaragaman jenis pada kedua kondisi hutan berada pada rentang nilai diatas 3,0 sehingga berdasarkan Magurran (1988) kedua kondisi hutan tersebut memiliki tingkat keanekaragaman cukup tinggi. Pada kondisi hutan primer seluruh nilai H’ berada dibawah 3,5 sedangkan pada kondisi hutan setahun setelah penebangan terdapat nilai batas 3,5 yang dapat dikatakan terjadi peningkatan nilai keanekaragaman.

Dokumen terkait