• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN PEMBERIAN JAMINAN PRODUK HALAL

B. Jaminan Produk Halal

Setiap produsen harus memenuhi kebutuhan dan hak konsumen, termasuk konsumen Muslim. Memproduksi produk halal adalah bagian dari tanggungjawab perusahaan kepada konsumen muslim. Di Indonesia, untuk memberikan keyakinan kepada konsumen bahwa produk yang dikonsumsi adalah halal, maka perusahaan perlu memiliki sertifikat halal. Oleh karena itu untuk melindungi konsumen muslim tersebut, dibentuklah suatu undang-undang untuk sebagai dasar legalitas atas produk halal yaitu Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

Secara mendasar Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal lahir dikarenakan adanya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 Tentang Pangan, Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1999 Tentang Label dsn Iklan Pangan, Inpres Tahun 1991 Tentang Peningkatan Pembinaan dan Pengawasan Produksi dan Peredaran Makanan Olahan, Keputusan Bersama Menteri Kesehatan dan Menteri Agama RI Nomor: 427/Menkes/SKB/VIII/1985. Nomor 68 Tahun 1985 Tentang Pencantuman Tulisan “Halal” Pada Lebel Makanan, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor: 82/MENKES/SK/I/1996 Tentang Pencantuman tulisan “Halal” pada Label Makanan, yang diubah dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor :924/MENKES/SK/VIII/1996 Tentang Perubahan atas Kepmenkes RI No. 82/Menkes/SK/1996 Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Kesehatan No.

472/MENKES/SKB/VIII/1985 dan No. 68/1985 tentang pengaturan tulisan “halal” pada label makanan. Dalam pasal 4 ayat 1 SKB tersebut, soal “halal- haram’ produk ditangani Tim Penilaian Pendaftaran Makanan pada Depkes RI, dalam hal ini Direktorat Pengawasan Obat dan Makanan.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal antara lain mengatur mengenai:

1. Untuk menjamin ketersediaan Produk Halal, ditetapkan bahan produk yang dinyatakan halal, baik bahan yang berasal dari bahan baku hewan, tumbuhan, mikroba, maupun bahan yang dihasilkan melalui proses kimiawai, proses biologi, atau proses rekayasa genetik. Di samping itu, ditentukan pula PPH yang merupakan rangkaian kegiatan untuk menjamin kehalalan Produk yang mencakup penyediaan bahan, pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian Produk.

2. Undang-Undang ini mengatur hak dan kewajiban Pelaku Usaha dengan memberikan pengecualian terhadap Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan dengan kewajiban mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada kemasan Produk atau pada bagian tertentu dari Produk yang mudah dilihat, dibaca, tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Produk.

3. Dalam rangka memberikan pelayanan publik, Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH yang pelaksanaannya dilakukan oleh BPJPH.

Dalam menjalankan wewenangnya, BPJH bekerja sama dengan kementerian dan/atau lembaga terkait, MUI, dan LPH.33

Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat JPH memiliki arti suatu kepastian hukum terhadap kehalalan suatu produk yang dibuktikan dengan sertifikat halal.34

Pengertian jaminan produk halal tidak jauh berbeda dengan pengertian sistem jaminan halal yang memiliki pengertian suatu sistem manajemen yang disusun, diterapkan dan dipelihara oleh perusahaan pemegang sertifikat halal untuk menjaga kesinambungan proses produksi halal sesuai dengan ketentuan LPPOM MUI.

Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat dipahami bahwa jaminan produk halal merupakan bagian yang tidak dipisahkan dari serangkaian proses untuk memperoleh sertifikat halal. Serangkaian proses untuk memperoleh sertifikat halal tersebut diawali dengan adanya penyelenggara jaminan produk halal yang berperan dalam proses tersebut dan terdapatnya bahan dan proses produk halal dalam hal memproduksi produk tersebut sehingga pada akhirnya memperoleh sertifikat halal.

35

Seperti yang telah dijelaskan di atas bahwa jaminan produk halal merupakan suatu bentuk kepastian hukum terhadap kehalalan produk yang dibuktikan dengan sertifikat halal yang mana sertifikat halal tersebut dikeluarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal melalui fatwa tertulis MUI. Jaminan produk halal dengan sistem jaminan poduk halal hanya memiliki sedikit

33

Baca selanjutnya dalam penjelasan Undang-Udnang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

34

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka 5.

35

Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-0batan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia, Panduan Umum Sistem Jaminan Halal LPPOM-MUI (Jakarta: LPPOM-MUI, 2008), hlm. 7.

perbedaan dimana lembaga yang mengeluarkan sertifikat halal. Untuk lebih lanjut terkait dengan pihak yang mengeluarkan sertifikat halal dalam jaminan produk halal tersebut, dapat dilihat pada pembahasan berikutnya mengenai prosedur memperoleh sertifikat halal.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal memang tidak mengatur secara terperinci terkait dengan kewajiban pelaku usaha untuk menjaga kehalalan produknya karena pengaturan tersebut diatur di dalam peraturan pemerintah, namun apabila dibandingkan dengan sistem jaminan halal maka yang dapat dijelaskan disini bahwa sistem jaminan adalah suatu sistem yang dipakai oleh perusahaan produsen makanan dan minuman halal untuk memelihara dan menjamin kehalalan produk mereka. Perusahaan yang akan meminta sertifikat halal dan yang sudah mendapatkan sertfikat halal harus menyusun, mengembangkan dan menerapkan Sistem Jaminan Halal (SJH) untuk melengkapi sertifikat halal yang diminta atau dimiliki.36

Sistem jaminan halal adalah sebuah ketentuan yang harus dalam bentuk tertulis dan didukung pelaksanaannya oleh kebiijakan perusahaaan. Sistem ini Sistem jaminan halal adalah suatu aturan yang dibuat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai petunjuk untuk menjamin proses produksi dan produk yang dihasilkan adalah halal. Dengan kata lain sistem jaminan halal adalah aturan tersendiri yang dibuat oleh MUI sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang bertujuan untuk memberikan bimbingan dan tuntunan kepada kepada umat Islam.

36

Tim Pengkajian Hukum Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Badan Pembinaan Hukum Nasional, Jakarta, Peran Serta Masyarakat dalam Pemberian informasi Produk Halal (Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI, Badan Pembinaan Hukum Nasional, 2011), hlm. 84.

dibangun, diatur dan dievaluasi oleh Tim Manajemen Halal yang dibuat oleh Pimpinan Perusahaan. Sistem ini adalah salah satu bentuk partisipasi perusahaan dalam bertanggung jawab terhadap kehalalan produk mereka. Tim terdiri dari semua bagian yang terlibat dalam aktivitas yang kritis bagi kehalalan produk Perusahaan juga harus memiliki internal halal auditor, yaitu staf perusahaan yang bertanggung jawab langsung memelihara kehalalan produk mereka yang sudah bersertifikat halal. Salah satu persyaratan seorang auditor internal adalah beragama Islam (di Indonesia) dan memiliki kewenangan untuk menghentikan proses produksi apabila ada yang menyimpang dari persyaratan halal.37

Sistem jaminan halal memiliki beberapa komponen, yaitu:

38

1. Kebijakan halal

Kebijakan halal merupakan pernyataan tertulis tentang komitmen perusahaan untuk memproduksi produk halal secara konsisten, mencakup konsistensi dalam penggunaan dan pengadaan bahan baku, bahan tambahan dan bahan penolong serta konsistensi dalam proses produksi halal

2. Panduan halal

Panduan halal adalah pedoman perusahaan dalam melaksanakan kegiatan untuk menjamin produksi halal

3. Organisasi manajemen halal

Manajemen halal merupakan organisasi internal perusahaan yang mengelolal seluruh fungsi dan aktivitas manajemen dalam menghasilkan produk halal 4. Standard operating procedures (SOP)

37

Ibid, hlm. 84-85.

38

Standard operating proscedures (SOP) adalah suatu perangkat instruksi yang dibakukan untuk menyelesaikan suatu proses kerja rutin tertentu. SOP dibuat agar perusahaan mempunyai prosedur baku untuk mencapai tujuan penerapan SJH yang mengacu kepada kebijakan halal perusahaan

5. Acuan teknis

Pelaksanaan SJH dilakukan oleh bidang-bidang yang terkait dalam organisasi manajemen halal

6. Sistem administrasi

Perusahaan harus mendisain suatu sistem administrasi terintegrasi yang dapat ditelusuri dari pembelian bahan sampai dengan distribusi produk

7. Sistem dokumentasi

Pelaksanaan SJH di perusahaan harus didukung oleh dokumentasi yang baik dan mudah diakses oleh pihak yang terlibat dalam proses produksi halal termasuk LPPOM MUI

8. Sosialisasi

SJH yang dibuat dan dimplementasikan oleh perusahaan harus disosialisasikan ke seluruh pemangku kepentingan perusahaan termasuk kepada pihak ketiga

9. Pelatihan

Perusahaan perlu melakukan pelatihan bagi seluruh jajaran pelaksana SJH. Untuk itu perusahaan harus mengidentifikasi kebutuhan pelatihan dalam peridode waktu tertentu

Perusahaan dalam melaksanakan SJH perlu melakukan komunikasi dengan berbagai pihak yang terkait baik secara intenal maupun eksternal

11. Audit internal

Pemantauan dan evaluasi SJH pelaksanaannya diwujudkan dalam bentuk audit internal.

12. Tindakan perbaikan

Tindakan perbaikan atas pelaksanaan SJH dilakukan jika pada saat dilakukan audit halal internal ditemukan ketidaksesuaian pelaksanaannya.

13. Kaji ulang manajemen

Kaji ulang manajemen atas SJH secara menyeluruh harus dilakukan dalam kurun waktu tertentu misalnya minimal 1 tahun sekali.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang diakui belum sepenuhnya mengatur mengenai produk halal seperti halnya yang diatur seperti sistem jaminan produk halal tersebut. Penyelenggaraan JPH dilakukan dengan berasaskan:39

39

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 2 .

1. pelindungan; 2. keadilan;

3 kepastian hukum;

4. akuntabilitas dan transparansi; 5. efektivitas dan efisiensi; dan 6. profesionalitas

Penyelenggaraan JPH memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan produk halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan produk; dan meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual produk halal.40 Pemerintah bertanggung jawab dalam menyelenggarakan JPH.41

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal yang selanjutnya disingkat BPJPH adalah badan yang dibentuk oleh Pemerintah untuk menyelenggarakan Jaminan Porduk Halal disingkat JPH.

Saat ini dapat dikatakan jaminan produk halal tidak terlalu luas apabila dibandingkan dengan sistem jaminan halal dalam hal peraturannya. Hal ini sangat berasalan karena jaminan produk halal merupakan peraturan baru bahkan saat ini pula masih terdapat badan-badan yang belum dibentuk seperti BPJPH. Salah satu peraturan yang tidak kalah penting yang belum dibentuk terkait dengan Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal adalah peraturan pemerintah, oleh karenanya kekurangan dari jaminan produk halal adalah dalam hal pengaturan apabila dibandingkan dengan sistem jaminan halal.

C. Para Pihak dalam Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal

Dokumen terkait