• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN PEMBERIAN JAMINAN PRODUK HALAL

C. Para Pihak dalam Penyelenggaraan Jaminan Produk Halal

42

Dalam penyelenggaraan JPH, BPJPH berwenang:43

a. Merumuskan dan menetapkan kebijakan JPH.

b. Menetapkan norma, standar, prosedur, dan kriteria JPH.

40

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 3.

41

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 5.

42

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka 6.

43

c. Menerbitkan dan mencabut Sertifikat Halal dan Label Halal pada Produk. d. Melakukan registrasi Sertifikat Halal pada Produk luar negeri.

e. Melakukan sosialisasi, edukasi, dan publikasi Produk Halal. f. Melakukan akreditasi terhadap LPH.

g. Melakukan registrasi Auditor Halal. h. Melakukan pengawasan terhadap JPH. i. Melakukan pembinaan Auditor Halal.

j. Melakukan kerja sama dengan lembaga dalam dan luar negeri di bidang penyelenggaraan JPH.

Wewenang sebagaimana dimaksud dalam pasal di atas, BPJPH bekerja sama dengan:44

a. Kementerian dan/atau lembaga terkait. b. LPH.

c. MUI.

Kerja sama BPJPH dengan kementerian dan/atau lembaga terkait dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi kementerian dan/atau lembaga terkait.45

a. Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perindustrian misalnya dalam hal pengaturan serta pembinaan dan pengawasan industri terkait dengan bahan baku dan bahan tambahan pangan yang digunakan untuk menghasilkan Produk Halal. Di dalam penjelasan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk halal disebutkan bahwa:

44

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 7.

45

b. Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perdagangan misalnya dalam pembinaan kepada Pelaku Usaha dan masyarakat, pengawasan Produk Halal yang beredar di pasar, serta perluasan akses pasar.

c. Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan misalnya dalam hal penetapan cara produksi serta cara distribusi obat, termasuk vaksin, obat tradisional, kosmetik, alat kesehatan, perbekalan kesehatan rumah tangga, makanan, dan minuman.

d. Bentuk kerja sama BPJPH dengan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian misalnya dalam hal penetapan persyaratan rumah potong hewan/unggas dan unit potong hewan/unggas, pedoman pemotongan hewan/unggas dan penanganan daging hewan serta hasil ikutannya, pedoman sertifikasi kontrol veteriner pada unit usaha pangan asal hewan, dan sistem jaminan mutu dan keamanan pangan hasil pertanian.

e. Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang standardisasi dan akreditasi misalnya dalam hal persyaratan untuk pemeriksaan, pengujian, auditor, lembaga pemeriksa, dan lembaga sertifikasi dalam sistem JPH sesuai dengan standar yang ditetapkan.

f. Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang

kecil, dan menengah misalnya dalam hal menyiapkan Pelaku Usaha mikro dan kecil dalam sosialisasi dan pendampingan sertifikasi kehalalan Produk.

g. Bentuk kerja sama BPJPH dengan lembaga pemerintah yang

menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan misalnya dalam hal pengawasan produk pangan, obat, dan kosmetik dalam dan luar negeri yang diregistrasi dan disertifikasi halal.

Kerja sama BPJPH dengan LPH dilakukan untuk pemeriksaan dan/atau pengujian Produk.46 Kerja sama BPJPH dengan MUI dilakukan dalam bentuk:47

a. sertifikasi Auditor Halal;

b. penetapan kehalalan Produk; dan c. akreditasi LPH

Pelaku usaha dalam mengajukan sertifikasi halal, BPJPH merupakan pihak yang diminta atas permohonan sertifikasi halal tersebut.48 Selain itu pula, BPJPH menetapkan Lembaga Pemeriksaan Halal atau yang disingkat dengan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk.49 Fungsi BPJPH yang lain adalah menetapkan bentuk Label Halal yang berlaku nasional.50

Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal melakukan pengawasan terhadap JPH.51

46

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 9.

47

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 10.

48

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 29.

49

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 30.

50

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 37.

51

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 49.

BPJPH dan kementerian dan/atau lembaga terkait yang memiliki kewenangan pengawasan JPH dapat melakukan pengawasan secara sendiri-sendiri

atau bersama-sama.52 BPJPH dapat memberikan penghargaan kepada masyarakat yang berperan serta dalam penyelenggaraan JPH.53

BPJPH saat ini belum dibentuk dan sesuai Pasal 65 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menyebutkan bahwa BPJPH dibentuk paling lama 3 (tiga) tahun terhitung sejak Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal diudangkan. Maka dengan itu, MUI saat ini masih memiliki wewenang untuk mengeluarkan sertifikat halal sampai BPJPH dibentuk.54

Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal menyebutkan bahwa majelis ulama indonesia yang selanjutnya disingkat MUI adalah wadah musyawarah para ulama, zuama, dan cendekiawan muslim. MUI adalah Lembaga Swadaya Masyarakat yang mewadahi ulama, zu’ama, dan cendikiawan Islam di Indonesia untuk membimbing, membina dan mengayomi kaum muslimin di seluruh Indonesia. Majelis Ulama Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 Hijriah, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975 di Jakarta, Indonesia.

2. Majelis ulama Indonesia

55

MUI berdiri sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan zu’ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air, antara lain meliputi dua puluh enam orang ulama yang mewakili 26 Provinsi di Indonesia pada masa itu, 10 orang ulama yang merupakan unsur dari ormas-ormas Islam

52

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 51.

53

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 54.

54

Pasal 59 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal

55

Anonim, “Sekilas MUI”, 2015).

tingkat pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan Al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dari Dinas Rohani Islam, Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan POLRI serta 13 orang tokoh/cendekiawan yang merupakan tokoh perorangan. Dari musyawarah tersebut, dihasilkan adalah sebuah kesepakatan untuk membentuk wadah tempat bermusyawarahnya para ulama. zuama dan cendekiawan muslim, yang tertuang dalam sebuah “Piagam Berdirinya MUI,” yang ditandatangani oleh seluruh peserta musyawarah yang kemudian disebut Musyawarah Nasional Ulama I.56

Momentum berdirinya MUI bertepatan ketika bangsa Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Dalam perjalanannya, selama dua puluh lima tahun, Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu’ama dan cendekiawan muslim berusaha untuk:57

a. memberikan bimbingan dan tuntunan kepada umat Islam Indonesia dalam mewujudkan kehidupan beragama dan bermasyarakat yang diridhoi Allah Subhanahu wa Ta’ala;

b. memberikan nasihat dan fatwa mengenai masalah keagamaan dan

kemasyarakatan kepada Pemerintah dan masyarakat, meningkatkan kegiatan bagi terwujudnya ukhwah Islamiyah dan kerukunan antar-umat beragama dalam memantapkan persatuan dan kesatuan bangsa serta;

56

Ibid.

57

c. menjadi penghubung antara ulama dan umaro (pemerintah) dan penterjemah timbal balik antara umat dan pemerintah guna mensukseskan pembangunan nasional;

d. meningkatkan hubungan serta kerjasama antar organisasi, lembaga Islam dan cendekiawan muslimin dalam memberikan bimbingan dan tuntunan kepada masyarakat khususnya umat Islam dengan mengadakan konsultasi dan informasi secara timbal balik. Lima Peran MUI

Khittah pengabdian Majelis Ulama Indonesia telah dirumuskan lima fungsi dan peran utama MUI yaitu:58

a. Sebagai pewaris tugas-tugas para Nabi (Warasatul Anbiya). b. Sebagai pemberi fatwa (mufti).

c. Sebagai pembimbing dan pelayan umat (Ri’ayat wa khadim al ummah). d. Sebagai gerakan Islah wa al Tajdid.

e. Sebagai penegak amar ma’ruf nahi munkar. 3. Lembaga pemeriksa halal

Lembaga Pemeriksa Halal yang selanjutnya disingkat LPH adalah lembaga yang melakukan kegiatan pemeriksaan dan/atau pengujian terhadap kehalalan Produk.59 Fungsi dari LPH ini adalah bekerja sama dengan BPJPH untuk melakukan pemeriksaan dan atau pengujian produk.60

58

Ibid.

59

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka 8.

60

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 9.

LPH dapat dibentuk oleh pemerintah ataupun masyarakat untuk membantu BPJPH untuk melakukan

pemeriksaan dan atau pengujian kehalalan produk.61 Untuk mendirikan LPH, harus dipenuhi persyaratan:62

a. memiliki kantor sendiri dan perlengkapannya; b. memiliki akreditasi dari BPJPH;

c. memiliki Auditor Halal paling sedikit 3 (tiga) orang; dan

d. memiliki laboratorium atau kesepakatan kerja sama dengan lembaga lain yang memiliki laboratorium.

Lembaga Pemeriksa Halal yang didirikan oleh masyarakat, LPH harus diajukan oleh lembaga keagamaan Islam berbadan hukum.63

61

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 12 ayat 1 dan 2.

62

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 13 ayat 1.

63

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 13 ayat 2. Pada saat ini, LPH yang dikenal oleh masyarakat adalah Lembaga Pengkajian Pangan dan Obat- obatan dan Makanan-Majelis Ulama Indonesia atau disingkat dengan LPPOM- MUI. Pembentukan LPPOM MUI didasarkan atas mandat dari Pemerintah/negara agar Majelis Ulama Indonesia (MUI) berperan aktif dalam meredakan kasus lemak babi di Indonesia pada tahun 1988. LPPOM MUI didirikan pada tanggal 6 Januari 1989 untuk melakukan pemeriksaan dan sertifikasi halal. Untuk memperkuat posisi LPPOM MUI menjalankan fungsi sertifikasi halal, maka pada tahun 1996 ditandatangani Nota Kesepakatan Kerjasama antara Departemen Agama, Departemen Kesehatan dan MUI. Nota kesepakatan tersebut kemudian disusul dengan penerbitan Keputusan Menteri Agama (KMA) 518 Tahun 2001 dan KMA 519 Tahun 2001, yang menguatkan MUI sebagai lembaga sertifikasi halal serta melakukan pemeriksaan/audit, penetapan fatwa, dan menerbitkan

sertifikat halal64.Di dalam proses dan pelaksanaan sertifikasi halal, LPPOM MUI melakukan kerjasama dengan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (Badan POM), Kementerian Agama, Kementerian Pertanian, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif serta sejumlah perguruan Perguruan Tinggi di Indonesia antara lain Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Muhammadiyah Dr. Hamka, Universitas Djuanda, UIN, Univeristas Wahid Hasyim Semarang, serta Universitas Muslimin Indonesia Makasar.65 Sedangkan kerjsama dengan lembaga telah terjalin dengan Badan Standarisasi Nasional (BSN), Kadin Indonesia Komite Timur Tengah, GS1 Indonesia, dan Research in Motion (Blackberry). Khusus dengan Badan POM, sertifikat halal MUI merupakan persyaratan dalam pencantuman label halal pada kemasan untuk produk yang beredar di Indonesia.66

Visi dari LPPOM-MUI adalah menjadi lembaga sertifikasi halal terpercaya di Indonesia dan dunia untuk memberikan ketenteraman bagi umat Islam serta menjadi pusat halal dunia yang memberikan informasi, solusi dan standar halal yang diakui secara nasional dan internasional.67 Misi dari LPPOM- MUI adalah:68

a. Menetapkan dan mengembangkan standar halal dan standar audit halal.

64

Anonim “Tentang LPPOM-MUI”, tanggal 20 April 2015). 65 Ibid. 66 Ibid. 67

Anonim”Visi dan Misi”, http://www .halalmui .org / mui14 / index.php /main / go_to_section/3/32/page/1 (diakses pada tanggal 20 April 2015).

68

b. Melakukan sertifikasi produk pangan, obat dan kosmetika yang beredar dan dikonsumsi masyarakat.

c. Melakukan edukasi halal dan menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk senantiasa mengkonsumsi produk halal.

d. Menyediakan informasi tentang kehalalan produk dari berbagai aspek secara menyeluruh.

4. Auditor halal

Auditor Halal adalah orang yang memiliki kemampuan melakukan pemeriksaan kehalalan Produk.69 Auditor halal bekerja di dalam lembaga pemeriksa halal. Auditor Halal bertugas:70

a. memeriksa dan mengkaji Bahan yang digunakan; b. memeriksa dan mengkaji proses pengolahan Produk; c. memeriksa dan mengkaji sistem penyembelihan; d. meneliti lokasi Produk;

e. meneliti peralatan, ruang produksi, dan penyimpanan; f. memeriksa pendistribusian dan penyajian Produk; g. memeriksa sistem jaminan halal Pelaku Usaha; dan

h. melaporkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kepada LPH.

Berdasarkan tugas dan fungsinya, Auditor Halal diangkat oleh LPH harus memenuhi persyaratan:71

a. warga negara Indonesia;

69

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka 9.

70

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 15

71

b. beragama Islam;

c. berpendidikan paling rendah sarjana strata 1 (satu) di bidang pangan, kimia, biokimia, teknik industri, biologi, atau farmasi;

d. memahami dan memiliki wawasan luas mengenai kehalalan produk menurut syariat Islam;

e. mendahulukan kepentingan umat di atas kepentingan pribadi dan/atau golongan; dan

f. memperoleh sertifikat dari MUI 5. Pelaku usaha

Pelaku Usaha adalah orang perseorangan atau badan usaha berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang menyelenggarakan kegiatan usaha di wilayah Indonesia.72

Penyelia Halal adalah orang yang bertanggung jawab terhadap PPH. Di dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal memang tidak secara detail dan lengkap mengenai pengertian pelaku usaha namun akan dijelaskan pada mengenai pelaku usaha dan jenisnya dalam bab selanjutnya.

6. Penyelia halal

73

Penyelia Halal bertugas:74

a. mengawasi PPH di perusahaan;

b. menentukan tindakan perbaikan dan pencegahan; c. mengoordinasikan PPH; dan

72

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka 12.

73

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 1 angka 13.

74

d. mendampingi Auditor Halal LPH pada saat pemeriksaan

Terdapat beberapa persyaratan Penyelia Halal dalam melaksakan tanggung jawab PPH,yaitu:75

a. beragama Islam; dan

b. memiliki wawasan luas dan memahami syariat tentang kehalalan;

c. penyelia Halal ditetapkan oleh pimpinan perusahaan dan dilaporkan kepada BPJPH.

Dokumen terkait