• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENGATURAN PEMBERIAN JAMINAN PRODUK HALAL

E. Prosedur Memperoleh Sertifikat Halal

Pengaturan penggunaan produk halal di Indonesia memiliki dua hal yang saling terkait yaitu sertifikasi halal dan labelisasi.90 Sertifikat halal adalah suatu fatwa tertulis dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari'at Islam. Sertifikat halal ini merupakan syarat untuk mendapatkan ijin pencantuman label halal pada kemasan produk dari instansi pemerintah yang berwenang. Pengadaan sertifikasi halal pada produk pangan, obat-obat, kosmetika dan produk lainnya sebenarnya bertujuan untuk memberikan kepastian status kehalalan suatu produk, sehingga dapat menentramkan batin konsumen muslim. Namun ketidaktahuan seringkali membuat minimnya perusahaan memiliki kesadaran untuk mendaftarkan diri guna memperoleh sertifikat halal.91

Adapun labelisasi halal adalah perizinan pemasangan kata “HALAL” pada kemasan prduk dari suatu perusahaan oleh Badan POM. Izin pencantuman label halal pada kemasan produk makanan yang dikeluarkan oleh Badan POM didasarkan rekomendasi MUI dalam bentuk sertifikasi halal MI. Sertifikat halal MUI dikeluarkan oleh MUI berdasarkan hasi pemeriksaan LPPOM-MUI.92

90

Zulham, Hukum Perlindungan Konsumen (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hlm. 112.

91

Anonim, “Tata Cara Sertifikasi Halal”, (jurnal) http://riau1.kemenag. go.id / file/dokumen/TataCaraSertifikasiHalal.pdf (diakses pada tanggal 18 april 2015), hlm. 1.

92

Namun sejak di terbitkannya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal akan ada perbedaan atas lembaga yang mengeluarkan sertifikat halal dan label halal. Berdasarkan Pasal Pasal 6 Undang- Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal disebutkan bahwa Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal merupakan pihak yang berwenang untuk mengeluarkan sertifikat halal dan label halal. Akan tetapi peran MUI dalam hal untuk merekomendasikan atas sertifikat dan label halal tersebut masih ada dan tetap berperan.

Prosedur memperoleh sertifikat halal tercantum pada Pasal 29 ayat 1 dan 2 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, disebutkan bahwa permohonan sertifikat halal diajukan oleh pelaku usaha secara tertulis kepada BPJPH. Permohonan Sertifikat Halal harus dilengkapi dengan dokumen:

1. data Pelaku Usaha; 2. nama dan jenis Produk;

3. daftar Produk dan Bahan yang digunaka; dan 4. proses pengolahan Produk.

Pada ayat 3 juga disebutkan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengajuan permohonan sertifikat halal diatur dalam Peraturan Menteri. Akan tetapi pada saat ini, Peraturan Menteri terkait dengan permohonan sertifikat halal belum dikeluarkan.

Di dalam Penjelasan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal pada poin 4 dan 5 disebutkan, bahwa:

1. Tata cara memperoleh Sertifikat Halal diawali dengan pengajuan permohonan Sertifikat Halal oleh Pelaku Usaha kepada BPJPH. Selanjutnya, BPJPH melakukan pemeriksaan kelengkapan dokumen. Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk dilakukan oleh LPH. LPH tersebut harus memperoleh akreditasi dari BPJH yang bekerjasama dengan MUI. Penetapan kehalalan Produk dilakukan oleh MUI melalui sidang fatwa halal MUI dalam bentuk keputusan Penetapan Halal Produk yang ditandatangani oleh MUI. BPJPH menerbitkan Sertifikat Halal berdasarkan keputusan Penetapan Halal Produk dari MUI tersebut.

2. Biaya sertifikasi halal dibebankan kepada Pelaku Usaha yang mengajukan permohonan Sertifikat Halal. Dalam rangka memperlancar pelaksanaan penyelenggaraan JPH, Undang-Undang ini memberikan peran bagi pihak lain seperti Pemerintah melalui anggaran pendapatan dan belanja negara, pemerintah daerah melalui anggaran pendapatan dan belanja daerah, perusahaan, lembaga sosial, lembaga keagamaan, asosiasi, dan komunitas untuk memfasilitasi biaya sertifikasi halal bagi pelaku usaha mikro dan kecil.

Selanjutnya, dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal juga disebutkan bahwa BPJPH menetapkan LPH untuk melakukan pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk. Penetapan LPH sebagaimana dimaksud dilakukan dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja terhitung sejak dokumen permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 ayat (2) dinyatakan lengkap.

Pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 di atas dilakukan oleh Auditor Halal. Pemeriksaan terhadap Produk dilakukan di lokasi usaha pada saat proses produksi. Dalam hal pemeriksaan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat bahan yang diragukan kehalalannya, dapat dilakukan pengujian di laboratorium. Dalam pelaksanaan pemeriksaan di lokasi usaha, pelaku usaha wajib memberikan informasi kepada Auditor Halal.93 LPH menyerahkan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan Produk kepada BPJPH. BPJPH menyampaikan hasil pemeriksaan dan/atau pengujian kehalalan produk kepada MUI untuk memperoleh penetapan kehalalan produk.94

Penetapan kehalalan produk sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dalam Sidang Fatwa Halal. Sidang Fatwa Halal MUI sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengikutsertakan pakar, unsur kementerian/lembaga, dan/atau instansi terkait. Sidang Fatwa Halal sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memutuskan kehalalan Produk paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak MUI menerima hasil pemeriksaan dan/atau pengujian produk dari BPJPH. Keputusan

Setelah dilakukan pengujian dan pemeriksaan, maka selanjutnya adalah penetapan kehalalan produk. MUI dalam hal ini masih sebagai lembaga yang memiliki wewenang dalam melakukan penetapan kehalalan produk yang dimaksud, hal ini juga sesuai dengan Pasal 33 ayat 1 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang menyebutkan bahwa penetapan kehalalan produk dilakukan oleh MUI.

93

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 31.

94

Penetapan Halal Produk ditandatangani oleh MUI. Keputusan Penetapan Halal Produk disampaikan kepada BPJPH untuk menjadi dasar penerbitan sertifikat halal.95

Sidang Fatwa Halal yang dimaksudkan untuk menetapkan halal pada produk yang dimohonkan pelaku usaha, BPJPH akan menerbitkan sertifikat halal. Kemudian dalam hal Sidang Fatwa Halal menyatakan produk tidak halal, BPJPH mengembalikan permohonan sertifikat halal kepada pelaku usaha disertai dengan alasan sertifikat halal diterbitkan oleh BPJPH paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak keputusan kehalalan produk diterima dari MUI. Penerbitan sertifikat halal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 wajib dipublikasikan oleh BPJPH.96

Berdasarkan beberapa pasal yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal di atas, tidak jauh berbeda dengan proses yang digunakan LPPOM-MUI dalam pengeluaran sertifikat halal sebelum hadirnya BPJPH tersebut. Prosedur yang digunakan LLPOM-MUI dalam mengeluarkan sertifikat halal adalah sebagai berikut:97

1. Setiap produsen yang mangajukan sertifikat halal bagi produknya, pertama diharuskan mengisi formulir yang telah disediakan LPPOM-MUI. Ada tiga jenis formulir yang digunakan dalam pengajuan ini, masing-masing untuk makanan dan minuman olahan, usaha restoran dan hewan potong.

95

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 33 ayat 2- 6.

96

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 34-36.

97

2. Surat sertifikasi yang disampaikan ke LPPOM-MUI harus dilampiri dengan sistem mutu termasuk panduan mutu dan prosedur baku pelaksanaan yang telah disiapkan produsen sebelumnya.

3. Pada saat pengajuan sertifikasi halal, produsen harus menandatangani pernyataan tentang kesediaannya menerima tim pemeriksa (audit) dari LPPOM-MUI dan memberi contoh produk termasuk bahan baku, bahan penolong dan bahan tambahan produk untuk diperiksa LPPO-MUI.

4. Semua dokumen yang dapat dijadikan jaminan atas kehalalan aslinya sedangkan fotocopynya diserahkan kepada LPPOM-MUI.

5. Surat pengajuan sertifikat halal dan formulir yang sudah diisi dengan cermat beserta seluruh lampirannya dikembalikan kepada LPPOM-MUI.

6. LPPOM-MUI akan memeriksa semua dokumen yang dilampirkan bersama surat pengajuan sertifikat halal. Jika tidak lengkap, LPPOM-MUI akan mengembalikan seluruh berkas pengajuan untuk dapat dilengkapi oleh produsen pengusul.

7. Pemeriksaan audit di lokasi produsen akan dilakukan oleh LPPOM-MUI segera setelah surat pengajuan sertifikasi halal beserta lampiran-lampirannya dianggap sudah memenuhi syarat.

8. Setelah hasil pemeriksaan (audit) dievaluasi dan memenuhi syarat halal, maka produsen yang bersangkutan selanjutnya akan diproses sertifikasi halalnya. 9. Jika ada perubahan dalam penggunaan bahan baku, bahan penolong atau bahan

tambahan dalam proses produksinya, produsen diwajigkan segera melaporkan ke LPPOM-MUI untuk mendapatkan “ketidakberaetan menggunakannya”.

Setelah pelaku usaha mendapatkan sertifikasi halal maka dalam hal ibi pelaku usaha tersebut harus memiliki label halal. Label halal ditujukan untuk memberitahukan kepada masyarakat luas bahwa produk yang dimiliki pelaku usaha tersebut telah halal. Oleh karenanya label halal ini juga merupakan kewajiban yang harus dimiliki ketika pelaku usaha telah mendapatkan sertifikat halal.

Di dalam Pasal 1 angka 11 menyebutkan bahwa label halal merupakan tanda kehalalan suatu produk. Label halal itu sendiri ditetapkan bentuknya secara nasional oleh BPJPH, hal ini sesuai dengan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal. Adapun jangka waktu label halal ini tercantum dalam suatu produk selama pelaku usaha memiliki sertifikat halal. Dengan demikian jangka waktu tersebut adalah selama 4 (empat) tahun.

Pengaturan pemberian jaminan produk halal pada dasarnya didasari dari Al-Quran dan Hadist. Kedua sumber hukum tersebut tidak dapat dipisahkan walaupun Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 disahkan. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dapat dikatakan terobosan

pengaturan di Indonesia terkait perlindungan umat Islam dalam mengkonsumsi produk-produk halal. Dengan demikian, legitimasi ini diharapkan benar-benar dapat memberikan penjelasan kepada para pelaku usaha bahwasannya produk halal sangat diutamakan oleh umat Islam.

BAB III

TANGGUNG JAWAB PELAKU USAHA ATAS KEHALALAN PRODUK YANG TELAH DISERTIFKASI

A. Kedudukan Pelaku Usaha dalam Hukum Perlindungan Konsumen

Istilah produsen berasal dari bahasa Belanda yakni producent, dalam bahasa Inggris, producer yang artinya adalah penghasil.98 Produsen sering diartikan sebagai pengusaha yang menghasilkan barang dan jasa. Dalam pengertian ini termasuk di dalamnya pembuat, grosir, leveransir, dan pengecer profesional, yaitu setiap orang/badan yang ikut serta dalam penyediaan barang dan jasa hingga sampai ke tangan konsumen. Dengan demikian, produsen tidak hanya diartikan sebagai pihak pembuat/pabrik yang menghasilkan produk saja, tetapi juga mereka yang terkait dengan penyampaian/peredaran produk hingga sampai ke tangan konsumen.99

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen tidak menggunakan istilah produsen namun pelaku usaha. Pengertian pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan

98

N.H.T. Siahaan, Hukum Konsumen, Perlindungan Konsumen, dan Tanggung Jawab Produk (Jakarta: Panta Rei, 2005), hlm. 28.

99

Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia (Bandung Citra: Aditya Bakti, 2010), hlm. 16.

usaha dalam berbagai bidang ekonomi.100

Istilah pelaku usaha adalah istilah yang digunakan oleh pembuat undang- undang yang pada umumnya lebih dikenal dengan istilah pengusaha. Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) menyebut empat kelompok besar kalangan pelaku ekonomi, tiga diantaranya termasuk kelompok pengusaha (pelaku usaha, baik privat maupun publik). Ketiga kelompok pelaku usaha tersebut adalah sebagai berikut:

Pelaku usaha disini dapat termasuk adalah perusahaan, korporasi, koperasi, BUMN, koperasi, importer, pedagang, distributor dan lain-lain

101

1. Kalangan investor, yaitu pelaku usaha penyedia dana untuk membiayai berbagai kepentingan, seperti perbankan, usaha leasing, tengkulak, penyedia dana lainnya, dan sebagainya.

2. Produsen, yaitu pelaku usaha yang membuat, memproduksi barang dan/atau jasa dari barang-barang dan/atau jasa-jasa lain (bahan baku,bahan tambahan/penolong, dan bahan-bahan lainnya). Mereka terdiri atas orang/badan usaha berkaitan dengan pangan, orang/badan yang memproduksi sandang, orang/usaha yang berkaitan dengan pembuatan perumahan, orang/usaha yang berkaitan dengan jasa angkutan, perasuransian, perbankan, orang/usaha yang berkaitan dengan obat-obatan, kesehatan, narkotika, dan sebagainya.

100

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen Pasal 1 angka 3.

101

Adrian Sutedi, Tanggung Jawab Produk Dalam Perlindungan Konsumen( Bogor: Ghalia Indonesia, 2008), hlm. 11.

3. Distributor, yaitu pelaku usaha yang mendistribusikan atau memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut kepada masyarakat, seperti pedagang secara retail, pedagang kaki lima, warung, toko, supermarket, hypermarket, rumah sakit, klinik, warung dokter, usaha angkutan (darat, laut, udara), kantor pengacara, dan sebagainya.

Sebagai penyelenggara kegiatan usaha, pelaku usaha adalah pihak yang harus bertanggung jawab atas akibat-akibat negatif berupa kerugian yang ditimbulkan oleh usahanya terhadap pihak ketiga, yaitu konsumen, sama seperti seorang produsen.102 Meskipun demikian konsumen dan pelaku usaha ibarat sekeping mata uang dengan dua sisinya yang berbeda.103

Secara umum, kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidaklah seimbang dan konsumen berada pada posisi yang lemah. Konsumen menjadi objek aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha melalui kiat promosi, serta peneraoan perjanjian standar yang merugikan konsumen.

Pelaku usaha pada umumnya merupakan pihak yang lebih baik dari pada konsumen, hal ini sangat beralasan ketika banyak konsumen lebih bergantung kepada pelaku usaha. Walaupun pada kenyataannya antara pelaku usaha dengan konsumen adalah pihak yang saling ketergantungan, namun realitasnya pelaku usaha berposisi di atas sedangkan konsumen berposisi di bawah.

104

102

Janus Sidabalok, Op.Cit, hlm. 17.

103

Az. Nasution, Konsumen dan Hukum Tinjauan Sosial, Ekonomi dan Hukum pada Perlindungan Konsumen Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995). hlm. 21.

104

Penjelasan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Padahal kedudukan pelaku usaha dengan konsumen adalah setara karena saling membutuhkan Namun sejak lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen memberikan perlindungan yang komprehensif kepada konsumen bahwa antara pelaku usaha dengan konsumen merupakan pihak yang memiliki kedudukan yang sama di mata hukum.

Di dalam Pasal 18 disebutkan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian. Pasal ini memiliki arti bahwa larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak, sehingga diharapkan dengan adanya Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen akan memberdayakan konsumen dari kedudukan sebagai pihak yang lemah di dalam di dalam kontrak dengan pelaku usaha sehingga menyetarakan kedudukan pelaku usaha dengan konsumen.

Dikarenakan untuk menjaga kesetaraan antara pelaku usaha dengan konsumen, maka terdapat hal-hal yang dilarang yang untuk dilakukan oleh pelaku usaha kepada konsumen. Adapun larangan tersebut termaktub di dalam Pasal 8-17 Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yaitu:

1. Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

2. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut.

menurut ukuran yang sebenarnya.

4. Tidak sesuai dengan kondisi, jaminan, keistimewaan atau kemanjuran sebagaimana dinyatakan dalam label, etiket atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.

5. Tidak sesuai dengan mutu, tingkatan, komposisi, proses pengolahan, gaya, mode, atau penggunaan tertentu sebagaimana dinyatakan dalam label atau keterangan barang dan/atau jasa tersebut.

6. Tidak sesuai dengan janji dinyatakan dalam label, etiket keterangan, iklan atau promosi penjualan barang dan/atau jasa tersebut.

7. Tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa atau jangka waktu

penggunaan/pemanfaatan yang paling baik atas barang tertentu.

8. Tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal, sebagaimana pernyataan "halal" yang dicantumkan dalam label.

9. Tidak memasang label atau membuat penjelasan barang yang memuat nama barang, ukuran, berat/isi bersih atau netto, komposisi, aturan pakai, tanggal pembuatan, akibat sampingan, nama dan alamat pelaku usaha serta keterangan lain untuk penggunaan yang menurut ketentuan harus di pasang/dibuat.

10. Tidak mencantumkan informasi dan/atau petunjuk penggunaan barang dalam bahasa Indonesia sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. 11. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau

bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.

12. Pelaku usaha dilarang memperdagangkan sediaan farmasi dan pangan yang rusak, cacat atau bekas dan tercemar, dengan atau tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar.

13. Pelaku usaha yang melakukan pelanggaran pada huruf k dan l dilarang memperdagangkan barang dan/atau jasa tersebut serta wajib menariknya dari peredaran.

14. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah.

15. Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu.

16. Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru.

17. Barang dan/atau jasa tersebut telah mendapatkan dan/atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, keuntungan tertentu, ciri-ciri kerja atau aksesori tertentu.

18. Barang dan/atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi :

a. barang dan/atau jasa tersebut tersedia;

b. barang tersebut tidak mengandung cacat tersembunyi;

c. barang tersebut merupakan kelengkapan dari barang tertentu; d. barang tersebut berasal dari daerah tertentu.105

105

Selanjutnya baca Pasal 8 – 17 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Kedudukan pelaku usaha tidak kalah pentingnya dengan kedudukan konsumen dalam hal hubungan ekonomi. Tidak ada pihak yang lebih tinggi dibandingkan dengan pihak lainnya, karena pelaku usaha dengan konsumen adalah pihak yang sama-sama memiliki kesamaan apalagi di depan hukum. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memberikan keseteraan posisi secara legalitas sehingga menciptakan keadilan.

B. Kewajiban Pelaku Usaha terkait Jaminan Produk Halal

Setelah mendapat sertifikasi halal, maka dalam hal ini pelaku usaha memiliki beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan. Kewajiban ini merupakan kewajiban yang tidak dapat dikesampingkan, karena apabila tidak dilaksanakan akan mendapatkan hukuman dan pelaku usaha tersebut harus bertanggung jawab.

Kewajiban merupakan suatu bentuk yang harus dilaksanakan oleh seseorang ataupun badan hukum. Kewajiban itu sendiri dapat timbul dikarenakan adanya hubungan hukum dan dikarenakan undang-undang. Kewajiban yang timbul karena hubungan hukum dapat terjadi karena adanya suatu perjanjian. Seperti contoh adalah ketika A melakukan jual beli sebuah mobil dengan B. A wajib menyerahkan mobilnya ketika menerima sejumlah uang dari B sesuai dengan perjanjian yang telah disepakati.

Adapun kewajiban yang timbul dikarenakan undang-undang adalah ketika pelaku usaha harus memberikan informasi yang jelas terkait dengan barang dagangannya. Apabila pelaku usaha tidak melaksanakannya, maka pelaku usaha tersebut akan mendapatkan sanksi sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya.

Kewajiban-kewajiban yang telah disebutkan di atas merupakan beberapa contoh dari kewajiban yang timbul dari salah satu pihak dalam hal melakukan hubungan ekonomi dengan pihak lain. Sama halnya dalam jaminan produk halal, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang jaminan produk halal memberikan beberapa kewajiban yang harus dilaksanakan terkait dengan jaminan produk halal tersebut.

Salah satu kewajiban pelaku usaha tersebut adalah ketika melakukan permohonan sertifikat halal. Dalam proses pengajuan permohonan tersebutm pelaku usaha wajib:106

1. memberikan informasi secara benar, jelas, dan jujur;

2. memisahkan lokasi, tempat dan alat penyembelihan, pengolahan,

penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak halal;

3. memiliki Penyelia Halal; dan

4. melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada BPJPH.

Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan sebagaimana dikecualikan dari mengajukan permohonan Sertifikat Halal wajib mencantumkan keterangan tidak halal pada Produk.107

Beberapa kewajiban yang harus dipenuhi oleh pelaku usaha setelah mendapat sertifikat halal adalah pelak usaha wajib mencantumkan Label Halal pada:108

1. kemasan Produk;

106

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 24

107

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 26 ayat 2

108

2. bagian tertentu dari Produk; dan/atau 3. tempat tertentu pada Produk

Pencantuman label halal harus mudah dilihat dan dibaca serta tidak mudah dihapus, dilepas, dan dirusak.109 Selain mencantumkan label halal pelaku usaha yang telah mendapatkan sertifikat halal juga wajib untuk:110

1. Menjaga kehalalan Produk yang telah memperoleh Sertifikat Halal;

2. Memisahkan lokasi, tempat dan penyembelihan, alat pengolahan, penyimpanan, pengemasan, pendistribusian, penjualan, dan penyajian antara Produk Halal dan tidak halal

3. Memperbarui Sertifikat Halal jika masa berlaku Sertifikat Halal berakhir 4. Melaporkan perubahan komposisi Bahan kepada BPJPH

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal jufa mengatur kewajiban Pelaku Usaha dengan memberikan pengecualian terhadap Pelaku Usaha yang memproduksi Produk dari Bahan yang berasal dari Bahan yang diharamkan dengan kewajiban mencantumkan secara tegas keterangan tidak halal pada kemasan Produk atau pada bagian tertentu dari Produk yang mudah dilihat, dibaca, tidak mudah terhapus, dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Produk.

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal juga mengatur beberapa kewajiban yang harus dilakukan pelaku usaha setelah mendapatkan sertifikat halal. Diakui bahwa tidak terlalu banyak hal-hal yang mengatur kewajiban pelaku usaha tersebut, namun untuk melengkapi kewajiban

109

Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal Pasal 39.

Dokumen terkait