Kepala Biro Hukum dan Hubungan Luar Negeri, Kejaksaan RI, Jakarta RI, Jakarta
ABSTRAK
Ketidakpastian mengenai kedudukan Kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia seringkali menimbulkan ambivalensi dalam penegakan hukum. Posisi Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan, mengandung makna bahwa di sisi kelembagaan Kejaksaan merupakan lembaga yang berada di ranah kekuasaan eksekutif. Sementara itu, dari sisi kewenangan dalam melaksanakan kekuasaan penuntutan Kejaksaan menjalankan kekuasaan yudikatif. Kondisi ini yaitu kerap menimbulkan keraguan mengenai objektivitas korps Adhyaksa dalam mengambil berbagai keputusan penting terkait penanganan perkara pidana, khususnya yang menyangkut kepentingan pemerintah.
Perdebatan panjang mengenai independensi Kejaksaan dan posisinya dalam struktur ketatanegaraan, disebabkan Undang-Undang Dasar 1945 tidak mengaturnya secara tegas. Tulisan ini membahas bagaimana penguatan lembaga Kejaksaan agar independen melalui amandemen UUD NRI 1945.
Kata Kunci: Kejaksaan, Kekuasaan Penuntutan, Dual Obligation, Amandemen UUD 1945
ABSTRACT
Uncertainty the position of the Prosecutor Service in the Indonesia constitutional system oten lead to ambivalence in law enforcement. In one side, the Prosecutor Service as government agencies that perform state power in the prosecution, meaning that from the institutional side, Prosecutor is an institution that is in the realm of executive power. he other side, in
performing their duty in prosecuting in the court, they became a part of the judiciary power. hese conditions turn oten lead to doubts about the their objectivity in taking important decisions related to the handling of criminal cases especially it related to the interests of the Government.
Long debate on the independence of the Prosecutor and its position in the constitutional structure in Indonesia, is an impact due to uncertainty of their position in the Constitution.
Key Word : Prosecutor, Prosecution, Dual Obligation.
I. PENDAHULUAN
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 49/PUU-VIII/2010 tanggal 22 September 2010 terhadap permohonan uji materiil yang diajukan oleh Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra atas Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia terhadap UUD 1945, seharusnya dapat membuka mata publik bahwa masih terdapat ketidakjelasan mengenai kedudukan Kejaksaan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.
Dalam putusannya yang bersifat konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), MK menyatakan bahwa Pasal 22 ayat (1) huruf d Undang- Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pasal 22 Ayat (1) UU Kejaksaan yang mengatur masa jabatan Jaksa Agung, dengan keputusan MK tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “masa jabatan Jaksa Agung itu berakhir dengan berakhirnya masa jabatan Presiden Republik Indonesia dalam satu periode bersama-sama masa jabatan anggota kabinet atau diberhentikan dalam masa jabatannya oleh presiden dalam periode yang bersangkutan”. Putusan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa Kejaksaan adalah badan pemerintahan. Dengan demikian, pimpinannya adalah pimpinan dari suatu badan pemerintahan yang ditafsirkan sebagai kekuasaan eksekutif.
Permasalahan menjadi menarik mengingat dalam salah satu pertimbangannya, MK menyatakan bahwa terlepas dari apakah Bunga Rampai Kejaksaan RI
Jan S. Maringka
pengangkatan Jaksa Agung diposisikan sebagai pejabat di dalam kabinet atau di luar kabinet, seharusnya masa jabatan Jaksa Agung adalah sesuai dengan periode (masa jabatan) Presiden. Meskipun begitu, oleh karena undang-undang tidak mengatur hal tersebut secara tegas, maka dalam praktik ketatanegaraan implementasinya menimbulkan masalah konstitusional yang dapat mengakibatkan ketidakpastian hukum (rechsonzekerheid).
Ketidakpastian mengenai kedudukan Kejaksaan secara umum dan secara lebih khusus jabatan Jaksa Agung, dalam sistem ketatanegaraan menimbulkan ambivalensi tersendiri dalam dunia penegakan hukum. Sebagai lembaga pemerintahan yang melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan, maka dilihat dari kedudukannya, mengandung makna bahwa Kejaksaan merupakan lembaga yang berada di ranah kekuasaan eksekutif. Sementara itu, jika dilihat dari sisi kewenangan Kejaksaan dalam melakukan penuntutan berarti Kejaksaan menjalankan kekuasaan yudikatif.
Kekuasaan Kejaksaan dalam melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan yang dilakukan secara merdeka, terlihat dalam penjelasan Pasal 2 ayat 1 UU Kejaksaan yang menyatakan, “Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya”1.
Namun demikian, dalam pelaksanaannya UU Kejaksaan telah menempatkan Kejaksaan dalam kedudukan yang ambigu. Di satu sisi, Kejaksaan dituntut menjalankan fungsi, dan wewenangnya secara merdeka, tetapi di sisi lain, sebagai lembaga diposisikan berada di bawah kekuasaan eksekutif (dual obligation). Kemerdekaan untuk melakukan penuntutan yang dimilikinya menjadi rentan, apabila pemerintah tidak memiliki komitmen untuk menegakkan supremasi hukum di Indonesia.
1 Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi Jaksa sebagaimana yang digariskan dalam
“Guidelines on the Role of Prosecutors dan International Association of Prosecutors”.
Penguatan Lembaga Kejaksaan Melalui Amandemen UUD 1945
Dual Obligation-lah yang pada akhirnya kerap menimbulkan keraguan mengenai objektiitas korps Adhyaksa dalam mengambil berbagai keputusan penting, khususnya yang terkait dengan penanganan perkara yang menyangkut kepentingan Pemerintahan. Banyak kalangan menganggap mustahil Kejaksaan dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya akan terlepas dari pengatur kekuasaan lainnya, karena kedudukan Kejaksaan berada di bawah kekuasaan eksekutif.
Sehubungan dengan jabatan Jaksa Agung sendiri, pasca reformasi, Indonesia telah memiliki 14 (empat belas) Jaksa Agung, yaitu:
1. Soedjono C. Atmonegoro, 20 Maret 1998 - 15 Juni 1998; 2. Andi Muhammad Ghalib, 17 Juni 1998 - 1999;
3. Ismudjoko, 1999 - 20 Oktober 1999 ( Pejabat sementara Jaksa Agung); 4. Marzuki Darusman, 1999 - 2001;
5. Baharuddin Lopa, 6 Juni 2001 - 3 Juli 2001; 6. Soeparman, 2 Juli 2001 - 11 Juli 2001 (Plt);
7. Marsillam Simanjuntak, 11 Juli 2001 - 14 Agustus 2001; 8. M. A. Rachman, 14 Agustus 2001 - 21 Oktober 2004; 9. Abdul Rahman Saleh, 21 Oktober 2004 - 9 Mei 2007; 10. Hendarman Supandji, 9 Mei 2007 - 24 September 2010; 11. Darmono, 24 September 2010 - 26 November 2010 (Plh); 12. Basrief Arief, 26 November 2010 - 20 Oktober 2014;
13. Andhi Nirwanto, 21 Oktober 2014 - 20 November 2014 (Plh); 14. Muhammad Prasetyo, 20 November 2014 - saat ini;
Dari 14 (empat belas) Jaksa Agung diatas, tidak pernah terjadi Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan bersamaan dengan masa kerja Kabinet Pemerintahan. Sementara itu, timbul pula beberapa gagasan untuk mendudukan Kejaksaan sebagai “badan negara” yang mandiri dan independen, bukan menjadi lembaga pemerintahan yang berada di bawah kekuasaan eksekutif, maupun di bawah kekuasaan lainnya. Sehingga diharapkan, Kejaksaan bersifat independen dan merdeka, dalam arti
Bunga Rampai Kejaksaan RI Jan S. Maringka
tidak terpengaruh dan atau dipengaruhi, dalam melaksanakan penegakan hukum di Indonesia.
Tulisan ini akan membahas bagaimana memperkuat lembaga Kejaksaan agar independen dan merdeka dalam melaksanakan penegakan hukum. Pembahasan akan mengkaji kedudukan Kejaksaan didalam konstitusi, mengapa Kejaksaan tidak diatur secara tegas dalam UUD 1945, dan melakukan perbandingan kedudukan Jaksa di berbagai negara. Dari pembahasan, dapat ditentukan kemungkinan dilakukan perubahan kelima UUD 1945, dan rekomendasi muatan dalam perubahan kelima yang menjamin kedudukan dan fungsi Kejaksaan dan Jaksa Agung, secara lebih tegas dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Memang menimbulkan sebuah petanyaan tersendiri mengenai sejauh manakah negara menganggap penting untuk menjamin kedudukan lembaga Kejaksaan dalam menjalankan fungsi penegakan hukum di Indonesia, atau apakah fungsi penuntutan yang dilaksanakan oleh Kejaksaan dipandang kurang penting dibandingkan dua sub sistem peradilan pidana lain yang secara tegas telah diatur dalam UUD 1945, yaitu Kepolisian (penyidikan) dan Mahkamah Agung (pengadilan).
II. PEMBAHASAN
A.
Lembaga Kejaksaan Sebagai “Constitutional Importance”.Menurut William G. Andrews, konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern, pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan (consensus), yaitu2:
1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of the same philosophy of goverment);
2 William G. Andrews, Constitutional and Constitutionalism, hird Edition. 1968, New
Jersey, Van Nostrand Company, p. 9 dalam Ellydar Chaidir, Hukum dan Teori Konstitusi, Cet. 1, (Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2007) hlm. 19
Penguatan Lembaga Kejaksaan Melalui Amandemen UUD 1945
2. Kesepakatan tentang “the rule of law” sebagai landasan pemerintahan atau penyelenggaraan negara (the basis of government)
3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur- prosedur ketatanegaraan (the form of institutions and procedures) Tidak dapat dipungkiri, bahwa perdebatan panjang mengenai independensi Kejaksaan dan posisinya dalam struktur ketatanegaraan di Indonesia, disebabkan ketidakjelasan posisi Kejaksaan dalam UUD 1945. Dalam ketentuan Pasal 24 ayat (3) UUD 19453, Kejaksaan hanya disebutkan secara implisit sebagai “badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur dalam undang-undang”.
Dengan demikian, Kejaksaan tidak termasuk dalam 35 (tiga puluh lima) subjek jabatan yang secara tegas disebutkan dalam UUD 1945 seperti Presiden4; Wakil Presiden5; Dewan Pertimbangan Presiden6; Kementerian Negara7; Menteri Luar Negeri8; Menteri Dalam Negeri9; Menteri Pertahanan10; Duta11; Konsul12; Pemerintahan Daerah Provinsi13; Gubernur/Kepala Pemerintah Daerah Provinsi14; DPRD Provinsi15; Pemerintahan Daerah Kabupten16; Bupati/Kepala Pemerintah Daerah
3 Jimly Asshiddiqie, “Lembaga-Lembaga Negara, Organ Konstitusional Menurut UUD
1945”> www.jimly.com/…/ORGAN-ORGAN_KONSTITUSI. Diakses tanggal 27 April 2014.
4 Pasal 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, dan Pasal 16 UUD 1945.
5 Pasal 4 ayat (2), Pasal 6, 6A, Pasal 7, 7A, 7B, 7C, Pasal 8, dan Pasal 9 UUD 1945. 6 Pasal 16 UUD 1945.
7 Pasal 17 ayat (1), (2), (3), dan ayat (4) UUD 1945. 8 Pasal 8 ayat (3) UUD 1945.
9 Ibid. 10Ibid.
11 Pasal 13 ayat (1), (2), dan ayat (3) UUD 1945. 12 Pasal 13 ayat (1) UUD 1945.
13 Pasal 18 dan 18A UUD 1945. 14 Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. 15 Pasal 18 ayat (3) UUD 1945. 16 Pasal 18 dan 18A UUD 1945
Bunga Rampai Kejaksaan RI Jan S. Maringka
Kabupaten17; DPRD Kabupaten18;Pemerintahan Daerah Kota19; Walikota/ Kepala Pemerintah Daerah Kota20; DPRD Kota21; Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)22; Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)23; Dewan Perwakilan Daerah (DPD)24; Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang bersifat nasional, tetap dan mandiri, yang diatur lebih lanjut dengan undang-undang25; Bank sentral26; Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)27; Mahkamah Agung (MA)28; Mahkamah Konstitusi (MK)29; Komisi Yudisial (KY)30; Tentara Nasional Indonesia (TNI)31, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI)32. Angkatan Darat (AD)33; Angkatan Laut (AL)34; Angkatan Udara (AU)35; Satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa36; dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat37. Tidak disebutkannya Kejaksaan secara tegas memang menimbulkan petanyaan tersendiri mengenai sejauh manakah negara menganggap penting untuk menjamin
17 Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. 18 Pasal 18 ayat (3) UUD 1945. 19 Pasal 18 dan 18A UUD 1945. 20 Pasal 18 ayat (4) UUD 1945. 21 Pasal 18 ayat (3).
22 Pasal 2, 3, dan Pasal 8 ayat (2) dan (3) UUD 1945. 23 Pasal 22C dan Pasal 22D UUD 1945.
24 Pasal 22E ayat (5) UUD 1945.
25 Pasal 23E, 23F, dan Pasal 23G UUD 1945. 26 Pasal 23D UUD 1945.
27 Pasal 23E, 23F, dan Pasal 23G UUD 1945. 28 Pasal 24 dan Pasal 24A UUD 1945. 29 Pasal 24 dan Pasal 24C UUD 1945.
30 Pasal 24B dan Pasal 24A ayat (3) UUD 1945. 31 Pasal 30 ayat (1), (2), (3), dan ayat (5) UUD 1945. 32 Pasal 30 ayat (1), (2), (4), dan ayat (5) UUD 1945. 33 Pasal 10 UUD 1945.
34 Ibid. 35 Ibid.
36 Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. 37 Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Penguatan Lembaga Kejaksaan Melalui Amandemen UUD 1945
kedudukan lembaga Kejaksaan dalam menjalankan fungsi penegakan hukum di Indonesia?, dan apakah fungsi penuntutan yang dilaksanakan oleh Kejaksaan dipandang kurang penting dibandingkan dua sub sistem peradilan pidana lain yang secara tegas telah diatur dalam UUD 1945, yaitu Kepolisian (penyidikan) dan Mahkamah Agung (pengadilan)?.
Menurut Prof. Indriyanto Seno Adjie38, eksistensi substansi perubahan III Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945, menyatakan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum, tidak cukup semata-mata makna gramatikal tanpa ada penjelasan maupun tambahan pelaksanaan dari makna negara hukum itu sendiri. Lebih lanjut, Indriyanto berpendapat untuk melaksanakan prinsip negara hukum harus diikuti penegasan atas sistem penegakan hukum dan lembaga-lembaganya, termasuk aksentuasi perlunya eksistensi Kejaksaan melalui konstitusi (UUD). Eksistensi Kejaksaan dalam konstitusi adalah bentuk penegasan mengenai kedudukan Kejaksaan sebagai subsistem dari sistem Sistem Peradilan Pidana/SPP (Criminal Justice System).
Begitu pula perubahan III Pasal 24 UUD 1945 yang menyatakan, “kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”, harus diterjemahkan dalam kaitan penegakan hukum terhadap pelaksanaan SPP, khususnya eksistensi Kejaksaan sebagai lembaga negara yang independen di bidang penuntutan .
Senada dengan pandangan tersebut, Prof Jimly Asshiddiqie39, berpendapat tidaklah tepat untuk menyatakan bahwa Kepolisian lebih penting daripada Kejaksaan, hanya karena ketentuan mengenai Kepolisian tercantum dalam UUD 1945, sedangkan ketentuan mengenai Kejaksaan sama sekali tidak tercantum secara eksplisit dalam UUD 1945. Sejalan dengan prinsip negara hukum yang ditentukan oleh Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, maka lembaga Kejaksaan tetap dapat disebut memiliki kedudukan
38 Indriyanto Seno Adji, Kejaksaan Agung dan Eksistensi Konstitusional, http://www.
kompas.co.id/kompas-cetak/0406/22/opini/1097980.htm
39 Jimly Asshiddiqie, Ibid.
Bunga Rampai Kejaksaan RI Jan S. Maringka